20.5.06

Figur Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi Solo

Dai Yang Pandai Berkisah

Dai alumni dari Darul Musthafa yang satu ini dalam berdakwah banyak menyanmpaikan kisah-kisah teladan dari kaum salafus shalih. Menurutnya metode ceramah demikian lebih banyak menyentuh dan berkesan pada jamaah

Pada awal bulan April yang lalu, dai dari kota Surakarta berkeliling Pulau Dewata berdakwah kalimatillah menyemarakan suasana peringatan Maulid yang digelar Majelis Taklim Simthud Durar, Bali. Dai ini dalam berdakwah lebih banyak berkisah dan menitikberatkan penataan akhlaq dan contoh-contoh tauladan dari kaum salafus salih. Tak heran dengan cara dakwah yang demikian banyak jemaah yang lebih cepat menyerap kalam dan nasehat yang disampaikannya.
Dai yang satu ini bernama lengkap Habib Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali Al-Habsyi adalah putra tertua dari Habib Ali Al-Habsyi. Pria yang sedari kecil mengenyam pendiidkan dasar di Kota Surakarta ini dilahirkan pada 31 Maret 1970.
Ketika masih sekolah dasar, teman-teman dan guru-gurunya sampai bingung menyebut nama Habib Alwi dan Ali karena kadang menyebutnya juga sampai terbalik-balik. Akhirnya salah seorang gurunya memanggilnya Habib “Alwi Kuadrat”.
Ayah dari Habib Alwi, Habib Ali Al-Habsyi tentu punya alasan tersendiri untuk menamai sang putra sulungnya itu dengan harapan Habib Alwi paling tidak maqam dan kecakapan ilmu pengetahuannya mewarisi seperti kakek buyutnya yakni Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Untuk mencapai makam dan kedukan mulia seperti datuk-datuknya itulah, Habib Alwi sejak usia kanak-kanak telah ditanamkan pendidikan agama secara intensif oleh kedua orang tuanya dan beberapa Habaib dan alim ulama yang ada di kota bengawan itu.
Sejak usia muda ia telah belajar pada Habib Abubakar Assegaff yang tidak lain adalah putra tertua dari Habib Muhammad bin Abubakar Assegaf (Gresik). Kebetulan saat itu Habib Abubakar tinggal bersama sang ibundanya berdekatan dengan kediamannya yang terletak di Jl Kaliwidas.
Kira-kira sampai umur remaja ia menyerap berbagai ilmu agama, terutama tentang Sirah (riwayat para salafus shalihin). Selain itu ia berguru pada Habib Anis Al-Habsyi yang tidak lain adalah sang paman yang banyak berdakwah. Setelah sang gurunya wafat, ia juga masih berguru secara tabarrukan pada Habib Ahmad bin Ali Alattas (Pekalongan), Husein bin Abubakar Assegaf (Bangil), Habib Anis Al-Habsyi, Ustadz Abubakar Al-Habsyi (Solo), Habib Ali bin Idrus Al-Habsyi, Syeikh Ahmad Salmin Daoman, dan lain-lain.
Selepas menempuh pendidikan sampai tingkat Aliyah di Madrasah Aliyah Al-Islam I Honggowongso, Solo. Ia sebenarnya ingin melanjutkan ke Hadramaut, namun nasib belum mentaqdirkannya berangkat. Saat itu Habib Umar Al-Hafidz datang ke Solo pada 1993 menjemput para santri dari Indonesia untuk belajar di Darul Musthafa. Ketika pertama kali bertemu dengan Habib Umar Al-Hafidz, ada perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Kau harus jadi murid saya di Hadramaut,” kata Habib Umar Al-Hafidz, kala itu.
“Saya belum ditakdirkan Allah SWT untuk berangkat ke sana. Padahal saya mendambakan betul. Namun ketidakberangkatan itu justeru membuat semangat berkobar-kobar saat itu untuk belajar lebih giat lagi,” kata Habib Alwi.
Dia kemudian melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta pada jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab dan lulus 1997. Selama menempuh kuliah di IAIN, Habib Alwi bergabung dalam organisasi Al-Amin yang mayoritas diikuti oleh mahasiswa dari kalangan habaib yang menempuh pendidikan di kota pelajar, saat itu Jamaah Al-Amin diketuai Habib Syekh Bagir bin Smith. Setelah menggondol gelar sarjana 1997, ia masih sempat bertabarukan dengan beberapa habaib yang ada di Pulau Jawa.
Semangatnya belajar ke Darul Musthafa itu ternyata masih berkobar, hingga suatu waktu ia bersama menunaikan umrah ke Mekkah dengan sang Ayah, Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi dan misannya yakni Habib Ali bin Idrus Al-Habsyi pada 1998. Mereka selepas umrah, menyempatkan berkunjung ke Pesantren yang terkenal menjadi benteng Ahlussunnah Waljamaah itu. Ketika singgah di Darul Musthafa, mengantarkannya diterima sebagai pelajar di Pondok Darul Musthafa, Tarim pimpinan Habib Umar bin Hafidz.
Ia beruntung saat di Hadramaut bisa bertemu sekaligus belajar dengan dengan para alim ulama yang ada di Hadramaut, seperti Habib Mashur, Syekh Ali Al-Khatib, Syekh Muhammad Basaudan, Syekh Abdurrahman Bafadhal, Habib Hasan Asy-Syatiry, Habib Salim Asy-Syatiry dan lain-lain,”Saya bertemu dengan mereka, saya seakan-akan bukan di dunia. Namun di dalam surga Allah SWT. Kok tidak ada orang seperti mereka, yang begitu alim dan tawadhu,” ujarnya.
Pendidikan pesantren Darul Musthafa ia tempuh dalam 2,5 tahun sebab sebagian kitab-kitab yang diajarkan di sana sudah ia pelajari di tanah air. Kebetulan kitab semacam Alfiah (nahwu) dan Minhaj (fikih) sudah ia pelajari di Indonesia. Kitab-kitab yang disenangi saat itu adalah Jurumiyah, Mumammimah (nahwu) serta Risalatul Jami’ah, Zubad, Al Yaqut an-Nafis (fikih). Ia juga menggemari membaca kitab-kitab kalam dan nasehat dari salafus shalih serta tidak ketinggalan sirah Nabawiyah karangan Ibnu Hisyam.
Sekalipun di Hadramaut dalam waktu yang relatif singkat, ia mengaku mempunyai pengalaman yang berkesan saat Habib Umar mengutusnya untuk berdakwah ke Dau’an, sebuah kota yang letaknya dekat dengan kuburan Hadun, anak Nabi Hud AS November 1999. Selama 50 hari Habib Alwi hanya ditemani Habib Abdullah Sathuf, santri Habib Umar Alhafidz. Padahal medan dakwah yang mereka hadapi adalah daerah yang tidak mengenal agama sama sekali dan penduduknya berkomunikasi dengan logat yang berbeda dengan bahasa Arab pada umumya. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah daerahnya sangat panas, keadaan kering dan tidak ada air. Sekalipun ada sumber air, mereka harus menempuh jarak sampai 5 kilometer jalan kaki. Namun, ia menemukan tantangan dalam berdakwah, ketika itu ia mendekati anak-anak muda. Sampai akhirnya masa dakwahnya itu digantikan Habib Husein bin Nadjib Al-Haddad (Surabaya).
Dai yang lebih suka berkisah selama berdakwah ini ternyata mengagumi Habib Munzir Al-Musawa, pengasuh majelis Rasulullah SAW. “Beliau dalam menyampaikan sesuatu itu tidak bertele-tele, tapi menyentuh pada jamaah. Dari cara berpakaian dan bicara saja sudah mengundang orang untuk berbuat baik,” kata Habib Alwi.
Selepas dari Hadramaut, ia kemudian membuka Majelis Taklim Al-Hidayah. Ada dua progam yang telah dibuka, yakni program mukim (menginap) dan khorijin (reguler). Ada pun pelajaran kitab yang diajarkan Risatul Jami’ah, Zhahiratul Musyarofah, Safinatun Najah, Mukhtasar Shahir. Setiap santri pemula diwajibkan menghafal kitab Jurumiyah (Nahwu) sementara untuk mematangkannya disarankan menghafal kitab Imriti dan Alfiyah.
Ia juga masih mengelola sekitar 5 majelis taklim yang rutin di kota Solo. Seperti di Masjid Assegaf pada tiap hari Senin ba’da Maghrib dengan materi hadits dari kitab Nurul Imam karangan Habib Umar bin Hafidz, Majelis An-Nisa setiap hari Sabtu di Darud Da’wah tentang fikih wanita, Majelis Habib Syeikh bin Abdul Qadir Assegaf tiap Rabu malam ba’da Isya, Majelis Baitu Syukur tiap dua minggu sekali dengan mauidhah hasanah tentang tasawuf dan lain-lain.
Selain berdakwah lewat berbagai taklim Habib Alwi ternyata pernah menulis Kitab As-Sabilul Wadih Finuq Tathin Min Tartib Al-Kutub Al-Fatih karangan Habib Syekh Abubakar bin Muhammad Assegaf dan sekarang telah dicetak ulang. Yang kedua ia juga menulis kumpulan dzikir dan wirid-wirid ba’da shalat. Ada keinginan besarnya yang sampai saat ini belum dituntaskan yakni menulis kitab Ihya Ulimiddin dengan tangan nya sendiri dan saat ini baru sampai pada jilid pertama.
Untuk menempanya menjadi pendakwah yang mumpuni, ia banyak mendengarkan kaset-kaset dari ulama dan nasehat-nasehat Habib Abdul Qadir bin Abdullah Assegaf, Jeddah. Selain itu ia banyak membaca kitab fikih dan nahwu secara ototidak. Ia juga tak segan-segan bertanya pada orang-orang yang lebih alim. Sementara kitab lain yang sering dibacanya adalah kitab tasawuf seperti Ihya Ulimiddin, Bidayatul Hidayah dan kalamul Habaib.
”Kalam (nasehat) habib Ali Al-Habsyi yang berjudul Alkunuzus Sa’adah al Abadiyah fi Anfasil Habsyiah. Biasanya saya baca saat menjelang tidur malam dan tujuannya lebih untuk menasehati diri pribadi, karena sifatnya duduk santai,” tuturnya.
Nesehat yang paling berkesan dari Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi adalah tentang permasalahan qalbu (hati) dan husnuzhan (prasangka baik). “Ini juga mendidik pribadi karena banyak menitikberatkan pada i’tibba (ikut ajaran) Nabi pada khususnya, kedua tentang husnuzhan (prasangka baik) dan birrul walidain (berbakti pada orang tua).

AST/ft. AST, TR

1. Lead
2. Habib Alwi sedang berceramah. Menyampaikan kisah-kisah kaum salaf
3. Bersama sang ayahanda. Bahu membahu dalam berdakwah
4. Perjalanan menuju Pulau Nusa Penida. Berdakwah ke daerah terpencil

19.5.06

Figur-Cover

Habib Taufiq bin Abdul Kadir Assegaf


‘Cahaya Nabawiy’ Pasuruan



Pasuruan sebagai kota Santri terkenal dengan gudang ulama habaib. Salah satu tokoh dakwah dari kota ini adalah Habib Taufiq bin Abdul Kadir bin Husein Assegaf

Bersemangat baja lelaki tampan dengan penampilan meyakinkan itu, telah memberanikan diri menerbitkan Majalah Cahaya Nabawiy. Majalah ini bentuknya mungil sebagaimana majalah Islam yang ada di tanah air. Namun di balik kemungilan majalah ini, terkandung isi yang menarik dan sarat dengan ajaran agama. Sehingga wajar bila majalah ini disenangi pembaca dan memiliki pangsa pasar luas di tanah air.
Sosok pengelola majalah ini adalah Habib Taufiq bin Abdul Kadir Assegaf. Pria kelahiran Pasuruan, 1969. Dia tidak pernah menempuh pendidikan formal, tapi dari pendidikan taklim ke taklim menempa dirinya menjadi sosok dai yang kreatif dan dikenal berwawasan luas.
Semasa kecil, Habib Taufiq diasuh ayahandanya, Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf. Kemudian dia melanjutkan taklim pada para ulama dan habaib yang ada di Pasuruan, salah satunya adalah Habib Ahmad bin Hadi Al-Hamid.
Satu per satu rumah para habaib dan ulama yang ternama dia datangi, untuk diminta mengajarkan ilmu kepadanya. “Karena itu saya belajar seadanya, tidak seperti lulusan pesantren luar negeri,” katanya merendah.
Habib Taufiq kemudian melanjutkan belajar pada seorang habib ternama kota Surabaya, yakni Habib Umar bin Hasyim Ba’agil. Selama menempuh taklim dia seminggu di Surabaya dan seminggu kemudian ke Pasuruan. Aktivitas itu dia jalani sampai Habib Umar bin Hasyim Ba’agil wafat.
Habib Umar adalah seorang guru yang sangat mendalam ilmunya. Dalam sisi yang lain, ia adalah seorang guru yang sangat bersemangat dalam mengajar ilmu. “Sekalipun dalam keadaan sakit, Habib Umar masih menyempatkan diri mengajar. Bahkan kalau pun dia tertidur saat mengajar, dia minta dibangunkan,” cerita Habib Taufiq.
Setelah menggali ilmu ke berbagai tempat dan habaib serta ulama. Mulailah ia merintis berdakwah. Pada awalnya ia hanya membuka madrasah di Jl. KH Wahid Hasyim (barat Masjid kota) Pasuruan. Kemudian dia melanjutkan mengelola madrasah yang pernah diasuh Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf (kakeknya) dan Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf (ayahnya).

Cahaya Nabawiy
Aktivitasnya dalam berdakwah tidak hanya membuka taklim di rumahnya. Ia kemudian mulai merintis membuat majalah Islam yang bernama Cahaya Nabawiy bersama kawan-kawannya yang ada di kota Pasuruan. Awalnya mereka hanya menerbitkan sekitar 300 ekslempar, tapi melihat perkembangan dan permintaan pembaca yang kian meningkat, lambat laun tirasnya terus meningkat. Sekarang tirasnya mencapai 7000 ekslemplar setiap bulan. Walau hanya diterbitkan dari kota Pasuruan, majalah ini telah merambah ke berbagai wilayah tanah air. Bahkan pada perkembangan terakhir, pihaknya sampai kewalahan melayani permintaan dari luar Jawa.
Selain membagi waktu untuk mengelola majalah, ia juga rajin memberikan taushiah. Di tengah kesibukannya mengelola taklim, majalah, radio, dan berceramah di sekitar Pasuruan, dia juga berdakwah ke berbagai wilayah penjuru tanah air. Sampai sekarang ia secara rutin membina umat di daerah-daerah yang minoritas muslim, seperti daerah Tengger, Sampit, Bali, dan lain lain. Habib Taufiq tak segan-segan mengirim santri-santrinya dan mendampingi masyarakat yang awam pengetahuan agama.
Untuk mematangkan konsep dan langkah berdakwah, sejak tahun 2003, dia mendirikan Pondok Pesantren di Jl Sidogiri, Pasuruan. Sistem pesantren ini menggunakan halaqah (diskusi) yang menggunakan kitab-kitab salaf (kitab kuning). “Sebenarnya saya membuat pesantren tidak direncanakan, karena saya hanya ingin membuat madrasah saja. Cuma takdir Allah, akhirnya menjadi pesantren,” jelasnya.
Meski baru berumur tiga tahun, sekarang sudah berdiri sekitar 30 cabang madrasah dan 13 pondok pesantren yang tersebar di Jawa, Bali, Kalimantan. Memang letak pesantren yang berdiri di bawah naungan Pondok Pesantren As-Sunny As-Salafiyah tidak ada satu tempat, sehingga setelah lulus dari cabang-cabang pendidikan yang dia kelola, baru mereka boleh masuk ke pesantren yang ada di Jl Sidogiri.
Setiap alumni pesantren dia dorong untuk berdakwah. “Mereka kita tempatkan di daerah-daerah yang minoritas seperti di Tengger. Bahkan di daerah pegunungan Tengger sekarang telah didirikan 14 Madrasah dan beberapa madrasah di daerah-daerah minoritas muslim lainnya.”
Di Pondok ini ada tiga penjurusan yakni pertama, Tahasus Al- Qur’an, yaitu program hafal qur’an dan tafsirnya. Kedua, Tahasus Syari’ah, dimana setiap santri ditekankan untuk menghafalkan Zubath (kitab fikih), serta mempelajari kitab Minhaj, Ushul Fiqh, Qawaidh Fiqhiyah. Ketiga, Bismul Lughah, tentang masalah bahasa yakni penekanan pelajaran yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah.
Jumlah santri yang ia kelola di Jl Sidogiri saat ini ada sekitar 300-350 santri. Sedangkan jumlah total dari seluruh santri ada sekitar lebih dari 2000 santri. Mengenai kriteria alumni pesantren yang dia pimpin, dia mengharapkan setiap ilmu selain berhasil juga menghasilkan. ”Bukan berarti murid selama di pesantren saja berhasil menuntut ilmu. Namun sampai pulang ke rumah pun, dia juga harus berhasil memanfaatkan ilmunya dengan berdakwah ke masyarakat,” jelasnya.
Di tengah kesibukannya berdakwah langsung ke masyarakat, dia juga juga mempunyai jadwal tetap, yakni mengajar taklim di rumahnya di Jl KH Wahid Hasyim atau tepatnya di barat Masjid Kota Pasuruan tiap hari jam enam pagi dan teruskan dengan pembacaan kalam salaf. Majelis Taklim yang sudah berlangsung turun-temurun dari sang kakek, Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dan sang ayahanda, Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf yakni membacakan Kitab Ihya Ulumiddin karya Hujjatul Islam, Imam Ghazali yang diikuti oleh masyarakat Pasuruan dan sekitarnya.
Uniknya dari setiap acara pengajian baik di rumahnya maupun di pesantren Sunny As Salafiyah dipancarkan langsung melalui Radio Suara Nabawiy baik melalui frekuensi 107 FM dan 747 AM. Dakwah melalui stasiun radio Suara Nabawiy ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan dakwah. Sebab pancaran radio ini ternyata juga sampai ke seluruh pelosok sekitar Pasuruan bahkan sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian timur.
Dengan berbagai ragam aktivitas dakwah yang ia emban, Habib Taufiq mengaku bukannya tidak ada hambatan. ”Tantangannya modal kita terbatas, tidak hanya sumber daya manusia (SDM) dan modal (finansial). Sebab sumber dana dan tenaga kita bagi dengan dakwah yang lainnya, seperti untuk madrasah, anak yatim, dan lainnya. Saya bukan orang yang banyak uang. Alhamdulillah, kita sudah buktikan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan seluruh potensi dakwah,” katanya.

AST/Ft. AST

Caption:
1. Lead
2. Sedang memberikan taushiah. Penuh semangat dan berapi-api
3. Di tengah santri-santri. Memulai dengan serba keterbatasan
4. Siaran di Radio Suara Nabawiy. Memperluas jangkauan dakwah
5. Habib Taufiq. Merambah daerah terpencil
6. Sedang memberikan taklim. Sudah berjalan rutin

Manakib

Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi
Ayah bagi Fakir Miskin dan Anak Yatim

Dia peduli pada nasib fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ayah anak yatim dan fakir miskin.

Sebagian kaum muslimin di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, tentu mengenal Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, yang mukim di Surabaya pada pertengahan abad ke-20 silam. Ia adalah seorang habib dan ulama besar, yang wafat di Surabaya pada malam Rabu, 12 Rabi’ul Akhir 1337 H /1917 M. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Ampel Gubah, Kompleks Masjid Ampel, Surabaya.
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lebih dikenal sebagai ulama yang mencintai fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya kaum muslimin menjulukinya sebagai “bapak kaum fakir miskin dan anak yatim.” Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel melainkan bermalam di rumah salah seorang habib.
Hampir setiap hari banyak tamu yang bertandang ke rumahnya, sebagian dari mereka datang dari luar kota. Ia selalu menyambut mereka dengan senang hati dan ramah. Jika tamunya tidak mampu, ia selalu mempersilakannya menginap di rumahnya, bahkan memberinya ongkos pulang disertai beberapa hadiah untuk keluarganya.
Ia juga memelihara sejumlah anak yatim yang ia perlakukan seperti halnya anak sendiri. Itu sebabnya mereka menganggap Habib Muhammad sebagai ayah kandung mereka sendiri. Tidak hanya memberi mereka tempat tidur, pakaian dan makanan, setelah dewasa pun mereka dinikahkan.
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lahir di kota Khala’ Rasyid, Hadramaut, Yaman Selatan, pada 1265 H atau 1845 M. Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Habib Shaleh bin Muhammad Al-Habsyi. Ayahandanya, Habib Idrus bin Muhammad Alhabsyi, berdakwah ke Indonesia dan wafat pada 1919 M di Jatiwangi, Majalengka. Sedangkan ibunya, Syaikhah Sulumah binti Salim bin Sa’ad bin Smeer.
Seperti hanya para ulama yang lain, di masa mudanya Habib Muhammad juga rajin menuntut ilmu agama hingga sangat memahami dan menguasainya. Beberapa ilmu agama yang ia kuasai, antara lain, tafsir, hadits dan fiqih. Menurut Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, seorang ulama terkemuka, “Sesungguhnya orang-orang Hadramaut pergi ke Indonesia untuk bekerja dan mencari harta, tetapi putra kami Muhammad bin Idrus Al-Habsyi bekerja untuk dakwah Islamiyyah dalam rangka mencapai ash-shidqiyyah al-kubra, maqam tertinggi di kalangan para waliyullah.”
Ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, ia sekalian menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar di Al-Haramain alias dua kota suci tersebut. Salah seorang di antara para ulama besar yang menjadi gurunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi.
Banyak kalangan mengenal Habib Muhammad sebagai ulama yang berakhlak mulia, dan sangat dermawan. Ia begitu ramah dan penuh kasih sayang, sehingga siapa pun yang sempat duduk di sampingnya merasa dirinyalah yang paling dicintai. Ia selalu tersenyum, tutur katanya lemah lembut. Itu semua tiada lain karena ia berusaha meneladani akhlaq mulia Rasulullah SAW.
Tak heran jika masyarakat di sekitar rumahnya, bahkan juga hampir di seluruh Surabaya, sangat mencintai, hormat dan segan kepadanya. Ia juga dikenal sebagai juru damai. Setiap kali timbul perbedaan pendapat, konflik, pertikaian di antara dua orang atau dua fihak, ia selalu tampil mencari jalan keluar dan mendamaikannya. Sesulit dan sebesar apa pun ia selalu dapat menyelesaikannya.
Sebagai dermawan, ia juga dikenal gemar membangun tampat ibadah. Ia, misalnya, banyak membantu pembangunan beberapa masjid di Purwakarta (Jawa Tengah) dan Jombang (Jawa Timur). Dialah pula yang pertama kali merintis penyelenggaraan haul para waliyullah dan shalihin. Untuk pertama kalinya, ia menggelar haul Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad di Tegal, Jawa Tengah. Ia juga merintis kebiasaan berziarah ke makam para awliya dan shalihin.
Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat, ”Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak dan para pembantu rumah tanggamu. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan oleh orang-orang di bawah tanggungannya, yaitu isteri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”

AST/Ft. AST
Caption:
Lead (foto Habib Muhammad)
Kompleks Masjid Ampel, Surabaya.
Salah satu sudut kota Surabaya.

10.5.06

Dunia Vis a Vis Akhirat

Mau Revolusi? Baca dulu tulisan yang genit-genit revolusioner..di:
http://pengrajinkata.blogspot.com/



Agar hati adem, tenang dan semakin khusyuk menjalankan hidup, baca keseimbangan dunia dan akhirat... di:

http://ajisetiawan.blogs.friendster.com/my_blog/