23.9.06

Perjalanan Sunyi



Entah sudah berapa lama, lelaki itu melakukan suatu pengembaraan yang disebutnya “Perjalanan Sunyi”. Ia melakukan perjalanan itu sendirian. Diam-diam berbagai tempat ia kunjungi. Berbagai nuansa ia hayati...berbagai nilai ia rasuki, berbagai kesunyian dan kesendirian ia selami, berbagai, berbagai....
Jika saja, lelaki itu disuruh bercerita tentang perjalanannya, sudah barang tentu, beribu-ribu lembar kertas akan habis untuk menceritakan 'hasil perjalanan sunyinya'. Jika saja ia seorang intelektual tulen, sudah berapa teori besar akan 'nerocos' keluar dari kandungan otaknya yang nakal 'bukan main'. Jika ia seorang pengarang, sudah berapa puluh novel siap untuk diterbitkan. Jika saja ia seorang penyair, tentu bisa dibayangkan berapa danau kegetiran dan pahitnya 'kesendirian dalam hidup' siap ia teteskan dalam mutiara kata-kata yang sepi dan penuh kesunyian.
Sayang, lelaki itu hanyalah orang kecil, ia hanya manusia biasa. Ia hanya bisa meneteskan air mata ketika perpisahan demi perpisahan ia hadapi dalam perjalanan sunyinya itu. Sayang lelaki itu hanya 'bersandal jepit' an tidak berpotensi untuk hidup mentereng 'jreng', penuh gemerlap hidup. Ia hanya rakyat biasa. Ia tidak pernah risau akan perebutan kekuasaan demi kekuasaan. Baginya itu tidak penting dan ia tidak ingin sedikit pun berkuasa.
Lelaki itu biasa menabung 'kesabaran' atas kecongkakan dan kesombongan 'gemerlap metropolis' serta 'konsumerisme'. Lelaki itu begitu tabah untuk senantiasa 'berpuasa' atas segala 'kemegahan' demi 'kemegahan' yang ia saksikan. Ia tidak silau dengan apa yang ada.
Lelaki itu tentu saja bukan 'turis' yang sedang menyaksikan berbagai keindahan hasil budaya atau indahnya alam semesta ciptaan Tuhan. Lelaki itu bukan seorang ilmuan yang sedang meneliti berbagai fenomena sosial, yang di mana dari hasil penelitiannya itu akan menjadi suku cadang karya-karya monumental dan spektakuler di kemudian hari.
Kalau anda menjumpai lelaki asing itu, dengan wajah yang ceria dan mungkin saja ia kini memakai jaket kumal seperti gelandangan. Berarti, ia sedang hidup menggelandang, layaknya masyarakat kebanyakan--gelandangan ibu kota--.
Lelaki itu terus mengembara, menghilang dari peradaban budaya. Ia tengah meniti jalan (tharieq) yang tidak pernah tersentuh oleh penguasa, organisasi sosial politik, atau masyarakat. Pada saat-saat tertentu ia telah memilih 'tidak ada'. Artinya, ia melenyapkan seluruh potensi penglihatan manusia, karena ia merasa 'tidak ada' (Wujuduhu ka'adamihi)--Sungguh adanya, adalah tiadanya, ada ndak apa-apa dan tidak ada juga tidak apa-apa--.
Ya itu hanya sekelumit dari sebuah perjalanan sunyi yang sebentar lagi berakhir....
081327187625

14.9.06

Sowan dumatheng Mbah KH. Maimoen Zubair

Tamu Kita
KH. Maimoen Zubair

Sentuhan Dingin ‘Ulama Sarang’
Dalam acara bahsul masail antar pesantren, santri-santri dari Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang terkenal dengan penguasaan ilmu-ilmu fiqh. Itu semua berkah sentuhan tangan dingin sang pengasuh pesantren, yakni KH. Maimoen Zubair

Dalam berbagai ceramah yang disampaikan, Mbah Maimoen, demikian kalangan santri kerap memanggilnya, senantiasa memberikan keoptimisan pada umat Islam Indonesia di tengah berbagai bencana krisis dan hantaman musibah yang datang bertubi-tubi.“Syiar Islam yang makin berkembang di Indonesia akhir-akhir ini akan memberikan pengaruh besar bagi penyelesaian krisis multidimensi berkepanjangan.”
Dialah KH. Maimoen Zubair, sosok ‘ulama yang sangat disegani di kalangan Nahdlatul ‘Ulama (NU). Ia juga adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang berada di kawasan pantai utara Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang dan masih masuk kabupaten Rembang. Lewat sentuhan tangan dingin sang Kiai sepuh ini, alumni pesantren Sarang banyak dikenal tangguh dalam masalah fiqh. Hal ini dapat dilihat dari uraian-uraian para santri saat acara bahsul masail atau forum sawir (seminar) yang membahas masalah fiqh kontemporer (aktual) antar pesantren di Jawa Tengah dan sekitarnya.
Sosok ulama ini, sekalipun usianya semakin sepuh terus giat berdakwah memberikan taushiah dan wejangan yang menyejukan. Hampir tiap hari, Kiai sepuh yang telah berusia 78 tahun ini sering diminta untuk taushiah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Jadwal untuk mengisi pengajian semakin padat, terutama pada bulan Rajab, Sya’ban, Ramadhan dan Syawal. Ia sering diminta mengisi taushiah haul, pengajian khataman santri. Ceramahnya penuh dengan tinjauan sejarah dan kaya nuansa fiqh, membuat betah para jama’ah untuk menyimaknya.
Sekalipun sering mengisi acara di luar pesantren, seperti untuk organisasi, partai politik atau acara pengajian umum, KH Maimoen Zubair tak melupakan kewajiban pokoknya untuk mengasuh santri-santri. Pulang dari berceramah dari berbagai daerah, begitu sampai ke kediamannya ia tetap mengajar kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab Tasawuf, terutama untuk santri senior setiap ba’da Subuh dan sehabis shalat Ashar.
Kiai Maimoen —panggilan akrabnya— sering menjadi rujukan dan tempat meminta pendapat dari berbagai kalangan. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maupun pejabat pemerintah. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, pernah berkunjung ke Sarang. Dr. H. Hamzah Haz (mantan Wakil Presiden RI) yang juga adalah Ketua Pimpinan Harian Pusat Partai Persatuan Pembangunan (Ketua PHP PPP), Drs. H. Suryadharma Ali (Menteri Koperasi dan UKM), Drs. H. Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial), KH. Thoyfoer MC (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Lasem yang juga adalah anggota DPR RI periode 2004-2009) termasuk tokoh-tokoh yang rajin sowan ke Kiai Maimoen Zubair.
Banyak santri-santri dari Pondok Pesantren Al-Anwar yang dibimbing langsung Mbah Maimoen, saat ini mulai berkiprah di masyarakat. Sebut saja, KH. Habib Abdullah Zaki bin Syeikh Al-Kaff (Bandung), KH. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), KH. Hafidz (Mojokerto), KH. Hamzah bin Muhammad, KH. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), KH. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas) dan masih banyak ribuan ulama lainnya.
Siapa sesungguhnya Kiai Maimoen, kok banyak orang-orang di NU sangat menghormatinya? Publik selama ini tidak banyak tahu, padahal ia adalah putra KH. Zubair, seorang ulama tersohor di belahan pantai utara Jawa, Sarang, Rembang.
Ulama yang telah berumur 78 tahun ini dilahirkan di dusun Karangmangu, Sarang pada bulan Oktober 1928 dan merupakan putra pertama dari 14 bersaudara.Walau masih keturunan kiai, ia bukanlah termasuk golongan ningrat yang membangun menara gading dalam lingkungan santri yang begitu ketat. Justru melalui sentuhan kedua orangtuanya, ia mendidik dirinya untuk membaur hidup dengan kalangan masyarakat mana pun.
Praktis, sejak kecil Maimoen telah membaur dalam alam pendidikan masyarakat desa yang sarat religius itu. Sedari kecil, ia tak segan-segan bergabung dengan teman-teman sebayanya yang rata-rata juga menjadi santri di kampung. Sikap inilah yang kelak menempanya menjadi ulama yang berjiwa suka berkawan dengan siapa saja dan di mana pun, egaliter. ”Kehidupan santri itu begitu campur. Siapa yang mempunyai ilmu itu belum tentu ada kaitan dengan ras, suku, pangkat atau katakan anak Kiai. Itu sama rata. Siapa yang tekun, akan mendapat ilmu.’Man jada wa jada’ (siapa yang sungguh-sungguh akan mendapatkannya),” katanya.
Sebagai anak sulung, ia dari kecil telah ditempa secara intensif oleh ayahandanya, namun bukan berarti ia kehilangan masa kanak-kanak sebagaimana umumnya. Perjalanan waktu berjalan penuh arti dan kesan, baik untuk mengaji, belajar dan bermain. Setiap hari, hampir dipastikan lepas pulang dari madrasah ibtidaiyah yang terletak persis di komplek pesantren, Maimoen mengaji ilmu agama pada ayah tercinta di masjid. Didikan yang keras dari sang ayah tercinta, tak sia-sia. Pada usia yang relatif muda, ia telah banyak menyerap ilmu agama dari sang ayah, KH. Zubair yang dikenal banyak melahirkan ulama-ulama ternama, seperti KH. Sahal Mahfudz, KH. Hasyim Muzadi dan lain-lain.
Selain mendapat didikan agama, sang ayah, KH. Zubair juga membekali Maimoen dengan pendidikan umum seperti sosial, ekonomi, politik dan kemasyarakatan. Sejak usia tujuh tahun, sang ayah, memberikan buku bahasa Indonesia, tata bahasa jawa, ekonomi, majalah-majalah dan terutama buku-buku terbitan Budi Pustaka. Ia sedari kecil telah ditanamkan untuk mencintai ilmu pengetahuan, tanpa membedakan masalah ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Tak heran, Maimoen Zubair selain menguasai ilmu-ilmu agama dari madrasah, ia juga menguasai ilmu umum dengan pengetahuan plus.
Maimoen Zubair menamatkan pendidikan dasar di Madrasah di Pondok yang diasuh oleh sang ayah, yakni Pondok Pesantren Al-Anwar tahun 1943. Ketika umurnya menginjak usia 18 tahun, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dari 1944-1948. Selama menuntut ilmu di Lirboyo, ia sangat terkesan dengan metode mengajar dari salah satu gurunya, yakni KH. Abdul Karim. “Beliau dalam mengajar sangat tekun dan kitab yang diajarkan tidak memakai syah-syahan (makna). Sampai sekarang, metode mengajar beliau saya tiru dalam mengajar pada santri-santri,” kata Mbah Maimoen.
Selain itu, lanjut Mbah Maimoen, KH. Abdul Karim sangat menekankan pentingnya penanaman budi pekerti bagi setiap santri.”Ilmu itu letaknya di hati, bukan yang tertulis (ditulis -red). Oleh karena itu untuk menjadi ulama, harus tahu rujukan (dhomir). Seperti kata pepatah, ’Adhomir fi dhomir’ (di mana santri harus tahu rujukan ‘dhomir’, tanpa yang ditulis). Dhomir itu ada di hati. Itu yang masih saya kagumi dari KH. Abdul Karim.”
Setelah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri), ia kemudian kembali belajar di Pondok Pesantren Al-Anwar (Sarang, Rembang) dan mendapat didikan langsung dari sang ayah, KH. Zubair dari tahun 1948-1950.
Sebagaimana para Kiai tempo dulu, Kiai Maimoen Zubair saat menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1950, sekaligus menimba ilmu agama pada ulama-ulama yang ada di sana. Seperti Sayid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Syaikh Amin Kutbi, Sayid Hasan Masdah, Syaikh Yasin Al-Fadani dan lain-lain.
Sungguh keberuntungan besar saat bejar di Masjidil Haram, KH. Maimoen Zubair dapat berguru dengan Syaikh Yasin Fadani. Syaikh Yasin adalah seorang ulama yang telah mengarang kitab seperti Ad Darul Mahdud Syarah Sunan Abu dawud (20 jilid), Fathul Alam Syarah Bulughul Maram (4 jilid), Arbauna Haditsan min Arbaina Kitaban an Arbaina Syaikhon (Hadits), Bagyatul Musytaq Syarah Luma Abu Ishaq, Hasyiatun alal Asybah wan nadhair fil furu’ al Fiqhiyah, Tatmimuddukhul Ta’liqat ‘ala Wushul Ila Ilmil usul (Fiqh dan Qowaid) dan lain-lain.Tercatat karya Syaikh Yasin berjumlah 50 kitab lebih.
Tidak sedikit murid-murid dari Syaikh Yasin Fadani dari Indonesia di kemudian hari menjadi ulama-ulama ternama di tanah air. Diantara nama-nama kesohor murid Syaikh Yasin Fadani adalah KH. Sahal Mahfudz (Rois Am PBNU sekarang), KH. Abdullah Faqih salah satu kiai khos NU (Pengasuh Ponpes Langitan, Tuban), KH. Sukron Makmun (Pengasuh Ponpes Darul Rokhman, Jakarta), KH. Idham Chalid (Mantan Ketua PBNU), KH. Syafi’i Hadzami (Jakarta), KH. Mahrus Aly (Kediri), KH. Zainuddin Pancor (Lombok) dan lain sebagainya.
Setelah dirasa cukup menimba ilmu di Masjidil Haram, sekitar akhir tahun 1952, KH. Maimoen Zubair pulang ke Sarang (Rembang) dan mengasuh Pondok Al-Anwar hingga sekarang. Selain mengajar dan berdakwah, KH. Maimoen Zubair masih menyempatkan diri menulis kitab. Kitab-kitab yang ditulisnya dalam bentuk taqrirat dan syarah. Bentuk taqrirat antara lain kitab Jawarud Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah dan dalam bentuk syarah yakni Syarah Imriti (Nahwu). Kitab-kitab tersebut dicetak terbatas untuk kalangan sendiri, yakni santi-santri Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang.
Ia aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yakni jamiyyah Nahdlatul ‘Ulama (NU). Sejak tahun 1950-an ia pernah menjadi Ketua Ranting Desa Karang Mangu, Sarang (Rembang) dan pada 1955 ia dipercaya menjadi Rois Syuriah Majelis Wakil Cabang (MWC) Kecamatan Sarang. Lepas itu ia mendapat kepercayaan menjadi anggota Syuriah Cabang Kabupaten Rembang dari tahun 1960-1970 dan menjadi anggota Syuriah Wilayah Jawa Tengah pada periode 1979-1984. Ia juga pernah menjadi anggota Syuriah PBNU pada periode 1984-1989, di bawah kepemimpinan Rois Am KH. Ahmad Siddiq (Jember).
KH. Maimoen Zubair selain berkiprah di NU, ia juga dikenal sebagai tokoh politikus yang teguh pendirian. Di saat ulama-ulama NU berduyun-duyun “hijrah” dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekitar tahun 1998, ia tetap istiqamah dan teguh berjuang memimpin Majelis Syari’ah PPP di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama ulama-ulama NU yang lain, seperti KH. Syafi’i Hadzami (Jakarta), KH. Alawy Muhammad At-Taroqy (Sampang, Madura), KH. Ismail Muzakki (Bangkalan, Madura), KH. Nasiruddin (Pasuruan), KH. Warits Ilyas (Surabaya), KH. Syaiful Islam (Probolinggo), KH. Munir Hasyim Latief (Surabaya), KH. Qawa’id As’ad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), KH. Thoyfoer MC (Rembang), KH. Dr. Zuhrul Anam (Banyumas), KH. Munzir Tamam (Jakarta) dan lain-lain.
Kiai sepuh ini menegaskan, bahwa silang pendapat dalam tubuh NU adalah satu hal yang biasa, kalau nggak dikatakan sudah menjadi ciri khas, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya secara arif, dan menyadari bahwa beda pendapat adalah sunatullah. “KH. Hasjim Asy’ari dan KH. Faqih Mas Kumambang ialah prototipe kiai yang bisa bersatu dalam perbedaan. KH. Hasjim Asy’ari menganjurkan membunyikan kentongan setiap datang waktu shalat, sementara KH. Faqih Mas Kumambang punya pendapat sebaliknya, namun perbedaan itu tidak membuat hubungan kedua kiai, yang pada saat itu, KH. Hasjim Asy’ari menjabat Rais Am PBNU, sedangkan KH. Faqih Mas Kumambang sebagai wakilnya, menjadi renggang,” katanya bertamsil.
Berbagai jabatan politik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai dari tingkat Desa (Ranting) sampai Nasional (Pusat) di Partai berlambang Ka’bah itu pernah diembannya. Jabatan yang masih diembannya hingga sekarang adalah Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (MPP PPP), yang bertugas memberikan fatwa pada Pengurus Harian Pusat PPP (PHP PPP) di bawah kepimpinanan Dr. H. Hamzah Haz. Tampilnya Hamzah Haz ke tampuk jabatan Wakil Presiden RI pada periode yang lalu, diyakini oleh sebagian kalangan partai berlambang Ka’bah sebagai syiasah tingkat tinggi dari ‘Ulama Sarang’ ini.
“Kekuasaan di Indonesia tidak bisa baik jika ulama tidak terlibat mewujudkan situasi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang kondusif. Kekuasaan tidak bisa baik tanpa ikut sertanya ulama yang membantu pelaksanaan mewujudkan negara aman dan tenang. Demikian pula berlaku untuk sebaliknya,” kata KH. Maimoen Zubair.
Ia menyatakan yakin krisis multidimensi berkepanjangan di Indonesia selama ini akan bisa diakhiri jika suasana kehidupan beragama terus menerus dikembangkan oleh Pondok Pesantren. “Pondok Pesantren adalah kelompok pendidikan yang meluluskan para santrinya untuk hidup mandiri dan tidak menjadi beban penguasa. Para santri memiliki tanggungjawab melakukan pembinaan umat agar hidup takwa. Ketakwaan beragama menjadi jalan mengatasi berbagai kesulitan hidup,” lanjut bapak 15 anak (7 putra, 8 putri) ini.
Selain itu, menurutnya, adalah tantangan saat ini dalam berdakwah adalah mengembalikan umat kembali pada agama, tanpa membedakan golongan, partai. Dengan penuh kesejukan ia memberikan nasehat. “Mayoritas bangsa ini adalah beragama Islam. Tidak bisa umat ditekan dan digiring dalam satu partai. Partai harus berbeda-beda, tapi saling menghargai. Dari bermacam-macam aneka warna, partai dan golongan itu, mari bersama-sama dalam satu tujuan membangun bangsa. Dari rahiem keanekaragaman akan lahir kekuatan yang besar untuk mengatasi persoalan kebangsaan yang sekarang ini ada,” tambahnya penuh optimis.

AST/Ft AST
Caption:
1. Lead
2. Sedang memberi taushiah. Pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan umat
3. Sehabis berceramah. Menjadi magnet di kalangan jamaah
4. Memimpin doa bersama. Mengharap berkah doa Mbah Maimoen
5. Bersama salah satu jamaah. Menjadi tempat curahan dan pendapat

--------------------- ---------------------
Tamu Kita, alKisah No 21/IV/2006
-------------------------------------------
KH. Muhammad Subadar

Juru Bicara Kiai Khos
Banyak orang yang mengenalnya sebagai salah satu Kyai Khos Nahdhlatul Ulama. Di Forum Ulama yang disepuhkan di kalangan jamiyyah umat Islam terbesar di Indonesia ini, ia sering ditugaskan sebagai menjadi juru bicara

Di Forum Kiai Khos,-poros Kyai Nahdhlatul Ulama yang disepuhkan-, seperti KH. Muchith Muzadi (Jember), KH Kafabihi Mahrus, KH Idris Marzuki, KH Chamim Sujono dan KH Anwar Iskandar (Kediri), KH Noer Mohammad Iskandar SQ (Jakarta), KH Zainuddin Djazuli dan KH Nurul Huda Djazuli (Ploso, Kediri), KH M. Hasan Mutawakkil Alallah (Ponpes Genggong, Probolinggo), KH. Warson Munawwir (Krapyak, Yogyakarta) dan masih banyak ulama-ulama lainnya sering menunjuk KH. Muhammad Subadar, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Besuk, Pasuruan, Jawa Timur itu sebagai juru bicara forum kiai khos NU.
Sikapnya yang teguh dan senantiasa berpegang teguh pada koridor kajian fiqh klasik, itulah yang menyebabkan sosok Kiai yang telah berumur 65 tahun ini, tak aneh, sering dilibatkan dalam bahstul masa’il (pembahasan masalah) yang diselenggarakan oleh Nahdhlatul Ulama itu.
Selain itu, tutur katanya juga halus, argumentatif, dan mampu menyesuaikan diri dengan bahasa masyarakat yang dihadapi, ini membuat masyarakat di kawasan tapal kuda, Jawa Timur sering mendatangi pengajian yang diisinya. Mereka tertegun menyimak orasi Kiai Muhammad Subadar.
Muhammad, demikian nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya, ia lahir pada 1942 di sebuah desa Besuk, Kejayan, Pasuruan dari pasangan KH. Subadar dan Hj. Maimunah. Pada usia 3 bulan (1942), ia telah yatim karena ditinggal wafat sang ayahanda, KH. Subadar. Sehingga ia banyak belajar mandiri dengan diasuh oleh ibundanya yakni Hj Maimunah.
Kecenderungan belajar mandiri pada generasi kelima dari KH Aly Murtadho, pendiri pondok pesantren yang kini diasuhnya, memang sudah nampak dari kecil. Lebih-lebih ketika Subadar mengeluti jenjang pendidikan formal, masuk SR langsung duduk di kelas tiga. Tapi kemudian tak pernah ia menamatkannya. ”Itu tak pantas ditiru. Saya orang yang pembosan,” katanya menerawang masa lalu.
KH. Muhammad Subadar sangat mengidolakan sosok Ibunda, baginya, Hj Maimunah adalah sosok panutan. Sebab melalui sentuhan lembut dan tangan dingin sang Ibunda, ia menjadi pribadi yang mandiri dan tegar dalam menatap tantangan jaman.“Ibu sangat perhatian dengan kondisi mengaji saya. Kalau saya minta apa-apa, ibu sering memberi motivasi semangat saya untuk bisa mengaji. Ini membuat semangat belajar saya lebih berkobar untuk menguasai pelajaran agama. Seperti ketika masih kecil ia minta dibelikan sepeda, namun syaratnya harus hafal sekian surat Al-Qur’an. Dan saya bisa, hingga akhirnya ia bisa dibelikan sepeda,” ujarnya sambil tersenyum.
Pendidikannya masa kecil itu smepat terputus, namun melalui motivasi dan bimbingan sang ibu, Hj Maimunah, itulah yang membuatnya merasa dekat dengan pelajaran agama. Secara kebetulan pula, ia banyak dididik oleh lingkungan keluarga yang sarat religius, termasuk ia belajar pada kakak-kakaknya seperti KH. Ali Murtadlo dan KH Ahmad di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan. Tamat dari Madrasah Ibtidaiyah, ia lalu melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dari 1958-1961.
Di pondok Lirboyo, Kediri itu KH. Muhammad Subadar menemukan tempat belajar yang sesungguhnya. Hari-hari dipondok, dihabiskan untuk mengaji dan belajar ilmu agama, terutama mengenai ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain. Apalagi, di pondok yang terkenal dengan gaya belajar yang ketat namun berkualitas, ia menemukan dua guru yang sangat berkesan dalam hidupnya. “Dua guru saya itu hebat sekali, yakni KH. Makrus Ali dan KH. Idris Marzuki (Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo). Masjid, kitab, dan pesantren adalah seakan-akan menjadi jalan hidupnya dan seluruh waktunya sudah diberikan untuk orang lain,” katanya.
Selain itu, mengenai keduanya, Subadar banyak belajar cara-cara mengelola pondok pesantren. ”Keduanya itu adalah pasangan yang hebat dalam mengelola pesantren,” tambah KH. Muhammad Subadar.
Setelah dirasa cukup memperdalam ilmu agama dari beberapa ulama yang ada di sekitar Pasuruan, ia kemudian mulai memperdalam keilmuannya secara mandiri dengan menelaah kitab-kitab klasik (kuning). Dengan tekun, secara otodidak, sejak tahun 1961 ia menggali khasanah peninggalan ulama abad pertengahan hampir selama 6 tahun. Praktis, pada masa itu ia banyak mengurung diri dalam kamar, tidak ke mana-mana, seluruh waktunya dihabiskan mengkaji kitab-kitab klasik yang ada di perpustakaan Pondok Pesantren Roudhotul Ulum.
Lepas dari masa-masa “mengurung diri”, ia kemudian mulai berkiprah dalam organisasi NU pada tahun 1967. Mula-mula ia di IPNU, dua tahun kemudian namanya langsung mencuat sebagai ketua GP Anshor Pasuruan.
Aktivitasnya di organisasi sempat terhenti setelah menikahi Aisyah pada tahun 1969. Baru pada kisaran 1976 Subadar kembali terjun dalam kegiatan organisasi dan sekaligus mengemudikan kepemimpinan pesantren Raudhotul Ulum. Pada tahun 1980, ia terpilih sebagai Rois Syuri’ah NU Cabang Pasuruan dan sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai Wakil Rois Syuri’ah NU Jawa Timur.

Bicara Dakwah
Selain di tengah kesibukannya mengelola organisasi NU, ia pun tak melupakan tugas utamanya yakni mengajar santri. Pengasuh Pondok Pesantren Raudhotul Ulum ini, setiap pukul 06.00 sampai siang banyak mendampingi sekitar 2000-an santri putra dan putri, terutama mengajar kitab-kitab tasawuf seperti Ihya Ulumiddin, Bidayah An-Nihayah dan lain-lain. Sementara dari sore sampai malam hari, ia selalu memenuhi undangan pengajian. “Kalau pengajian malam hari bisa berpindah-pindah dari satu desa ke desa yang lainnya. Pukul rata sampai enam tempat sehari,” katanya.
Sosok ulama yang gigih membentengi umat Islam, terutama di pedesaan ini mengaku sangat suka berada di tengah-tengah umat. Berbagai rintangan dalam berdakwah, tak dirasakannya, namun dinikmatinya sebagai suatu tantangan.
”Pernah saya berdakwah ke daerah pegunungan di Pasuruan, medan jalanan yang buruk membuat kendaraan tak bisa meneruskan perjalanan. Namun masyarakat tetap memaksanya untuk mengisi pengajian, padahal saya sudah sangat capek. Akhirnya, masyarakat ramai-ramai membawa tandu dan membawa saya ke arena pengajian. Itu sangat berkesan bagi saya,” kata KH. Muhammad Subadar.
Ia disukai para peserta pengajiannya karena kehalusan dalam bertutur. Tak heran, ia harus mengisi banyak majelis taklim yang tersebar di Pasuruan dan daerah-daerah sekitarnya. Yang terjadwal, sekitar lima puluh tiga tempat taklim dalam sebulan harus disambanginya.
Tantangan dakwah sekarang menurut KH Moh Suadar adalah ramainya maksiat yang sedang merajalela. Ancaman bencana moral itu harus disikapi oleh semua pihak. Ia juga menyayangkan di saat umat Islam sedang bahu membahu memperbaiki kondisi moral umat, masih ada segelintir orang yang menentang. “Di sini ada yang memperbaiki, di sana ada yang merusak,” katanya.
Tantangan dakwah sekarang hanya maksiat, selain itu tidak ada. Jadi dalam ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar- ini namanya tantangan.”Yang mana yang cocok saya dukung, namun yang berlawanan dengan kaidah agama, akan lawan,” kata KH. Muhammad Subadar dengan tegas.
AST/Ft.AST
Caption:
1. Lead
2. Duduk bersama cucu-cucu. Dididik oleh lingkungan keluarga yang religius
3. Sedang memberikan taushiah. Mampu menyesuaikan diri dengan bahasa masyarakat

Mutiara Rasulullah SAW

Bulan Puasa Penuh Berkah

Rasulullah SAW di akhir bulan Sya’ban berkhutbah di hadapan kaum muslimin tentang berkah bulan Ramadhan. Di bulan ini terdapat keberkahan malam lailatul qadr dan keutamaan memberi makan orang-orang berbuka puasa

Pada hari terakhir bulan Sya’ban, Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan kaum muslimin. Dengan mengenakan jubah putih dan berselempangkan surban berwarna hijau, beliau berdiri di depan mimbar, bersabda,”Wahai manusia, kini telah dekat kepadamu satu bulan yang agung, bulan yang penuh berkah, yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan, malam lailatul qadr. Inilah bulan yang Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan shalat Tarawih di malam harinya sebagai sunah. Barang siapa ingin mendekatkan dirinya kepada Allah di bulan ini dengan suatu amalan sunnat. Maka pahalanya seolah-olah dia melakukan amalan fardhu pada bulan-bulan yang lain. Dan barang siapa melakukan amalan fardhu di bulan ini, maka dia akan dibalas dengan pahala seolah-olah telah melakukan tujuh puluh kali lipat amalan fardhu pada bulan yang lain. Inilah bulan kesabaran, dan ganjaran bagi kesabaran yang sejati adalah surga. Bulan ini juga merupakan bulan simpati terhadap sesama. Pada bulan inilah rezeki orang-orang yang beriman ditambah. Barangsiapa memberi makan untuk berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, maka kepadanya dibalas dengan keampunan terhadap dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka Jahanam dan dia juga memperoleh ganjaran yang sama sebagaimana orang yang berpuasa, tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang berpuasa itu.”
Selesai berhutbah, beliau masih berdiri di depan mimbar. Wajahnya yang putih bersih penuh kasih dan senantiasa memancar kesejukan itu pandangannya menyapu seluruh seisi masjid. Tiba-tiba salah seorang sahabat bertanya,”Ya Rasulullah! Tidak semua orang di antara kami mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka.”
Setelah diam sejenak, Rasulullah SAW dengan suara yang jernih dan pelan namun tetap berwibawa bersabda,”Allah SWT akan mengkaruniakan balasan ini kepada seseorang yang memberi buka puasa walaupun hanya dengan sebiji korma, atau seteguk air atau seisap susu. Inilah bulan yang pada sepuluh hari pertamanya Allah menurunkan rahmat. Sepuluh hari pertengahannya Allah memberikan keampunan, dan pada sepuluh hari terakhir Allah membebaskan hamba-Nya dari neraka Jahanam. Barang siapa yang meringankan beban hamba sahaya nya(membebaskan budak) pada bulan ini, maka Allah SWT akan mengampuninya dan membebaskan dari api neraka. Perbanyaklah di bulan ini empat perkara. Dua perkara akan dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan yang dua lagi kamu pasti memerlukannya. Dua perkara yang kalian ridha kepada Rabb kalian ialah syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan hendaklah kalian memohon ampunan kepada-Nya. Sedangkan dua hal yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu, hendaknya kalian memohon surga kepada Allah dan kalian berlindung kepada-Nya dari api neraka. Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka Allah akan memberi minum dari telaga Haudh (kolam) yang sekali minum saja dia tidak akan merasakan dahala lagi hingga dia memasuki surga.”(HR Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqy, Abusy-Syaikh dan Ibnu Hibban). Lepas mendengar jawaban dari beliau yang terang dan jelas, para sahabat pun kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Hingga tibalah saat kaum muslimin memasuki bulan Ramadhan, mereka menjalaninya penuh khusyuk dan khidmat. Pada sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW dan para sahabat terlihat banyak menghabiskan waktu dengan beri’ktikaf di masjid. Kaum muslimin mengisinya dengan membaca Al-Qur’an atau berdzikir untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.
Tepat ketika memasuki hari keduapuluh, beliau kemudian menyampaikan khutbah,“Aku bermimpi pada lailatul qadr, namun kemudian aku lupa.” Beliau mengulanginya lagi sabdanya,”Lalu aku lupa.” Sejenak beliau terdiam dan pandangannya yang sejuk menyapu seluruh masjid tempat beliau beri’ktikaf. Para sahabat menyimak penjelasan beliau penuh takdim dan mereka tertunduk tak berani menatap wajah baginda Rasulullah SAW agung dan mulia itu.
Dengan nada suara yang perlahan beliau melanjutkan kembali khutbahnya, ”Maka carilah pada sepuluh hari terakhir pada malam ganjil ini, karena aku bermimpi sujud pada air dan tanah. Siapa yang beri’ktikaf bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka hendaklah pulang.”
Maka para sahabat menuruti semua perintah Rasulullah SAW untuk pulang ke rumah masing-masing. Pagi itu di sekitar kediaman Rasulullah SAW tampak sepi, langit terlihat cerah, tak nampak sedikit pun awan menggantung di langit. Namun, tak berapa lama kemudian tiba-tiba datang awan tebal dan disusul dengan curahan air hujan yang sangat lebat. Air deras dari langit itu menimbulkan suara gemuruh, hingga atap masjid yang terbuat dari pelepah kurma bocor dan sebagian membasahi seluruh lantai-lantainya. Saat itu Rasulullah SAW tengah menunaikan shalat sunnah dan tengah bersujud di atas air dan tanah, hingga terlihat bekas tanah liat di kening beliau yang agung.
AST

-------------------------------------------
Tamu kita, alKisah edisi 17/IV/2006
--------------------------------------------
KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah


Pada saat-saat genting, kiai ini mendapat tugas penting untuk menyelesaikan masalah. Tidak hanya mengandalkan rasio, ia juga berpayung barokah para ulama sepuh.

Usai Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, tahun 1994, hubungan NU dan pemerintah orde baru kembali memanas. NU menganggap pemerintah telah campur tangan dalam perhelatan lima tahunan ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu. Sementara pemerintah menuding hasil muktamar yang kembali memilih Gus Dur itulah yang tidak sah.
Melihat efek negatif dari perseteruan itu, beberapa ulama sepuh pun menggagas sebuah pertemuan ishlah, perdamaian. Dan dalam even pembukaan musyawarah nasional Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah (RMI –organisasi pesantren-pesantren NU) 1996 di Pesantren Genggong Probolinggo, Soeharto dan Gus Dur akhirnya berjabat tangan. Peristiwa yang bersejarah itu kemudian dikenal dengan nama “Salaman Genggong”.
Peristiwa Salaman Genggong tentu saja sangat populer di kalangan warga Nahdliyin. Namun tak banyak yang tahu bahwa salah satu tokoh kunci yang menjadi arsitek pertemuan itu adalah K.H.M. Hasan Mutawakkil Alallah, pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo, Tamu Kita kali ini.
Lahir di Genggong, 22 April 1959, Kiai Mutawakkil adalah putra KH. Hasan Saifourridzal, putra pendiri pesantren Genggong. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kampungnya, ia kemudian nyantri di pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah, selama sembilan bulan saja.
Atas saran kedua orang tuanya, Gus Mutawakkil lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di lingkungan Pesantren Lirboyo, tahun 1979 - 1981. Di lirboyo, kiai yang mengidolakan gurunya, KH Marzuki dan KH Mahrus Ali, ini sangat menggemari pelajaran Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadits.
Selepas Aliyah, ia kuliah di Fakultas Syari’ah Universitas Tribakti, Kediri, sampai lulus dari tingkat III. Usai menyabet gelar sarjana muda, KH Mutawakil, yang sejak kecil selalu berada di lingkungan pesantren, bermaksud mencari pengalaman baru di luar tembok pesantren. Pilihannya jatuh pada Kota Pelajar, Jogjakarta. Ia pun menempuh ujian masuk persamaan di Universitas Islam Indonesia (UII).
Namun, lagi-lagi hal itu tak bertahan lama. Ia mendapat tawaran beasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir). Setelah menempuh beberapa ujian, Mutawakkil pun akhirnya berhasil duduk di bangku universitas terpopuler di kawasan Timur Tengah itu.
Selama belajar di Al Azhar Kairo, ia juga berusaha mencari pengalaman yeng lebih luas. Maka ia pun sering mengikuti paket study tour ke negeri lain semisal Frankrut (Jerman), Polandia, Belgia dan Belanda. Untuk menutup biaya perjalanan yang terbilang besar, Mutawakil mencari tambahan dana dengan bekerja serabutan. Ia pernah menjadi pelayan restoran di beberapa negara yang dikunjunginya.
Dari perjalanan itu ia mendapat pengalaman berharga. “Saya melihat hubungan kerja antara buruh dan majikan yang islami ternyata justru berada di Barat. Bukan di mayoritas negeri Islam, termasuk Arab Saudi,” tuturnya.
Namun di tengah keasyikannya menuntut ilmu, tahun 1985 Mutawakkil dijemput pulang sang ayahanda. Meski berat meninggalkan negeri yang telah memberinya berjuta pengalaman ia pun kembali ke Probolinggo dan langsung mengajar di pesantren ayahnya. Sepertinya penjemputan itu merupakan isyarat, karena tak lama kemudian ayah dan ibunya berpulang ke hadirat Allah SWT.
Sebagai putra tertua K.H. Hasan Saifouridzal, Mutawakkil otomatis menggantikan sang abah menjadi pengasuh pesantren yang berdiri sejak 1839 tersebut. Perjalanan waktu kemudian membuktikan, pesantren tersebut jatuh ke tangan orang yang tepat. Tangan dingin Kiai Mutawakkil terbukti berhasil memajukan pondok yang kini memiliki dua ribu santri.
Ketika ditanya kunci keberhasilannya dalam mengasuh pesantren, bapak enam putri tersebut menjelaskan, “Di Indonesia saat ini ada tiga jenis pesantren. Pertama, pesantren salaf murni, yang tidak mau menerima intervensi dunia luar dalam bentuk apa pun, termasuk kurikulum atau intitusi lembaganya. Kedua, pesantren setengah-setengah, yang mencoba mempertahankan budaya salaf di satu sisi, dan membuka pintu terhadap tuntutan jaman, di sisi lain. Ketiga, pesantren yang kehilangan identitas karena terlalu membuka diri tanpa filter. Pesantren tipe ketiga ini tidak akan happy ending”.
Pesantren model ketiga ini memang akan mengeluarkan anak-anak pintar, tapi belum tentu benar. Padahal kualitas alumni pesantren, menurutnya, terutama diukur berdasarkan kualitas akhlaknya. Akhlak terhadap Allah, guru, orang tua dan sesama manusia serta lingkungan hidupnya.
“Kualifikasi seperti itulah yang khas dari pesantren salaf,” kata Kiai Mutawakil.
Tujuan pendidikan di Ponpes Zainul Hasan ini sendiri, tambah sang pengasuh, diarahkan pada pembinaan manusia berkarakter Muslim sejati, yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan berjiwa ikhlas. Para santri juga diharapkan dapat mengembangkan kebebasan berpikir yang diimbangi ketulusan dalam pengabdiannya.
Dalam kesehariannya, mantan ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah atau RMI periode 1999-2004 ini juga dikenal sebagai tokoh yang sangat tawadhu terhadap ulama lain. Ketulusannya dalam melayani umat diakui semua kalangan. Tak mengherankan pesantrennya sering diminta PBNU menjadi tuan rumah event tingkat nasional, seperti Munas I Pagar Nusa dan Munas Jam’iyatul Qura’ wal Huffazh (organisasi para penghapal dan pelantun Al-Quran).
Selain mengasuh pesantren, aktivitas lain yang tengah digeluti Kiai Mutawakkil saat ini antara lain menjabat Wakil Ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur, yang membidangi lembaga hukum, perekonomian dan tenaga kerja.
Belakangan ini, Kiai Mutawakkil juga diamanati menjadi Ketua Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) wilayah Jawa Timur. Berbeda dengan kegemilangannya mengelola pesantren, dalam mengurus koperasi ia menemui kendala yang cukup berat, yakni keterbatasan SDM pesantren yang memahami dunia perekonomian dan keuangan.
“Sebenarnya keberadaan kopontren di berbagai daerah merupakan langkah maju untuk menjadikan pesantren sebagai sentral dinamika keagamaan sekaligus sentral ekonomi umat. Jika hal itu terwujud, pesantren akan menjadi benteng paling kuat dalam menjaga aqidah umat.”
Namun sayang kesadaran pentingnya memahami dunia bisnis belum sepenuhnya tumbuh di kalangan santri yang kebanyakan lebih tertarik menjadi ulama. Padahal bisnis pun bisa dijadikan sarana dakwah dan amar makruf nahi munkar, jika dilakukan dengan pemahaman agama yang benar.
Kiai Mutawakkil mencontohkan dengan keberhasilannya menjembatani pertemuan Gus Dur Soeharto yang tidak lain berkat hubungan bisnisnya dengan keluarga Cendana. Meski demikian, keberhasilan mempertemukan dua tokoh yang saling bersebrangan itu cukup di luar dugaan.
“Alhamdulillah setelah event ‘salaman Genggong’ menyusul pula terjadinya rekonsiliasi NU – pemerintah, yang berbuntut diterimanya Gus Dur oleh kalangan pemerintah,” kenang kiai yang lembut ini.
Dari peristiwa “Salaman Genggong”, K.H.M. Hasan Mutawakil Alallah juga memetik pelajaran penting dan mengesankan, “Kita tidak boleh hanya mengandalkan rasio dan strategi (rasional) namun juga kita harus percaya barokah dari para ulama,” katanya mengenang.
Ia mencontohkan tantangan yang dihadapinya saat mempertemukan Gus Dur dan Pak Harto. Selain harus menempuh prosedur birokrasi yang berlapis-lapis, ia juga menghadapi warning (peringatan) dari tentara terkait keamanan.
”Bahkan di belakang dan depan rumah saya ada tank,” kenang sang kiai sambil terkekeh, “ternyata setelah acara berlangsung, justru Pak Harto sendiri yang bertindak di luar protokoler. Misalnya, saat transit di Pondok Genggong yang menurut protokol tidak akan lama. Faktanya, Pak Harto malah memilih jalan kaki dan berbincang-bincang cukup lama,” katanya.

AST/Ft. AST

Caption
Lead (selamat Datang di Genggong)
K.H. Mutawakil dalam suasana santai.
K.H. Mutawakil bersama tamu-tamunya.
K.H. Mutawakil dalam sebuah acara.
Kompleks Pondok Genggong. Memadukan pendidikan salaf dan modern
Bangunan Pesantren yang sedang dibangun. Merintis koperasi pesantren

--------------------------------------------
Kisah Wali, alKisah No 18/IV/2006
---------------------------------------------
KH Achmad Djazuli Utsman

Sang Blawong Pewaris Keluhuran
Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan itu, H. Jazuli dan teman-temannya harus mengarungi padang pasir yang saat itu sedang musim panas-panasnya. Uniknya, setiap kehabisan bekal, H. Djazuli selalu mendapat kiriman makanan dari seorang lelaki asing, yang cukup untuk dimakan mereka berenam. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modal tekad dan semangat yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia pun mulai mengembangkan ilmu yang dimilikinya. KH. Achmad Djazuli Utsman kemudian merintis jalan dakwah dengan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini rupanya menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Satu demi satu santri berdatangan, untuk menimba ilmu dari majelis Al-Falah, Ploso.
Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia. Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri. Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

AST/ft.AST

Caption:
1. Lead
2. Masjid Kenaiban. Awal keberangkatan Al-Falah
3. Foto Bersama Keluarga. Berjuang di jalan dakwah
4. Makam KH. Ahmad Djazuli Utsman. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar


----------------------------------------------
Ziarah, majalah alKisah No 20/IV/2006
-----------------------------------------------
Ziarah Auliya Tambak, Kediri

Kompleks makam awliya ini terletak di Dusun Tambak, Desa Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri. Di sini terbaring sekitar 22 awliya.

Sekitar delapan kilometer dari Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kec Mojo, Kediri ada sebuah pemakaman awliya di dusun Tambak. Para peziarah biasanya mampir ke objek ziarah makam awliya’ Tambak ini sehabis ziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya dan berziarah ke makam KH. Achmad Djazuli di kompleks Pondok Pesantren Al-Falah.
Bagi peziarah dari luar kota, dari terminal Kediri sebaiknya naik mikrolet jurusan Tulung Agung dan turun di Ponpes Al-Falah. Sampai di kompleks pesantren, peziarah biasanya langsung menuju kompleks makam pendiri pesantren, KH.Achmad Djazuli Utsman di samping kiri masjid Kenaiban. Selepas itu baru menuju kompleks makam awliya Tambak yang berada di dukuh Tambak. Peziarah bisa mempergunakan kendaraan ojek sepeda motor yang mangkal di depan pondok Al-Falah.
Sampai di kompleks Tambak para jamaah akan disambut oleh pintu Gerbang Makam yang tampak kokoh berdiri, terbuat dari kayu jati. Setelah masuk lebih dalam lagi sekitar 10 meter, tampak sebuah bangunan tua yang di dalamnya terdapat sekitar 22 makam awliya. Para peziarah sebelum masuk ke areal makam mengambil air wudhu di bagian paling barat kompleks makam. Selepas itu menuju masjid atau langsung makam Syekh Maulana Abdul Qadir Khoiri Al-Iskandari, Syekh Maulana Abdullah Soleh dan Syekh Maulana Erman Al-Jawi di selatan masjid. Ketiga makam ini diyakini sebagai pembawa syiar Islam di wilayah Kediri dan sekitarnya.
Selepas itu jamaah baru melangkah ke bagian makam-makam awliya yang lain, seperti makam KH Chamim Djazuli (Gus Miek), KH Achmad Siddiq dan lain-lain. Keberadaan makam Tambak ini tidak bisa dilepaskan dari peran dan kiprah dakwah KH. Chamim Djazuli (Gus Miek). Putra ketiga dari KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri Pondok Pesantren Al-Falah ini lahir pada 1940. Sejak kecil ia memang sudah terlihat aneh. Sejak kecil ia suka mengembara, sehingga orang tuanya tidak tahu di mana Chamim kecil berada. Bahkan oleh ayahnya ia pernah dianggap sebagai anak hilang. Kebiasaan ini berlanjut hingga masa tuanya.
Gus Miek dikenal sebagai tokoh sentral kegiatan semaan Al-Quran yang pengikutnya ribuan orang. Semaan ialah kegiatan membaca dan mendengarkan Al-Quran bersama-sama, dilakukan oleh ratusan orang dalam sebuah majelis. Awalnya setelah ia menemukan komplekss makam 3 awliya yakni Syekh Maulana Abdul Qadir Khoiri Al-Iskandari, Syekh Maulana Abdullah Soleh dan Syekh Maulana Erman Jawi di dusun Tambak.
Sejak tahun 1976-1986, Gus Miek bersama jamaahnya mengadakan acara semaan Al-Quran dan Dzikrul Ghofilin di kompleks makam ini. Hingga akhirnya Gus Miek membeli sebagian kompleks makam ini, dan lambat laun, kompleks pemakaman ini terkenal menjadi tempat ziarah awliya Tambak. Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993, meninggalkan seorang istri dan lima anak, dimakamkan di sebelah timur kompleks 3 makam awliya tersebut. Haul Gus Miek diadakan setiap satu hari setelah hari raya Idul Adha di PP Ploso, Kediri.
Di sebelah timur makam Gus Mik (atau persis di tengah-tengah kompleks makam) terdapat makam Rais Am PBNU tahun 1984-1989 yakni KH Achmad Siddiq (PP As-Shiddiqiyah Putra/ Ponpes Asthra, Jember). Ia peletak dasar Khittah Nahdliyah pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo. KH Achmad Siddiq dilahirkan di Jember pada 24 Januari 1926. Kiai Achmad pernah menjadi sekretaris Menteri Agama KH Wahid Hasyim pada 1949-1952. Pada 1955-1957 dan 1971 ia pernah menjadi anggota DPR dari Partai NU. Ia wafat pada hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 H di Surabaya dan dimakamkan di Tambak.
Di kompleks ini paling tidak ada sekitar 22 awliya yang kebanyakan para guru sekaligus murid Gus Miek. Mereka adalah pengasuh sekaligus pendamping Gus Miek di Majelis Semaan Al-Qur’an dan Dzikrul Ghofilin untuk wilayah Jawa Timur dan sekitarnya. Seperti di selatan makam Gus Miek, terdapat makam KH. Anis Ibrahim, KH Shohib Mustofa, KH Ma’ruf, H. Abdul Hamid.
Sementara itu di sebelah utara makam Gus Miek terdapat makam KH Ahmad Khudori. Di ujung timur kompleks makam itu terdapat makam KH. Yasin Yusuf, KH. Rokhmat Zubair, KH. Hamzah Nur, KH. Imtoha, Nyai Hj. Dewi Hajar, Asmui, Bani Askar, Hj Mardiyah dan H. Muslam. Sedangkan di sebelah tenggara terdapat sebuah bangunan tua yakni makam Mbah Danan dan Mbah Chamim Hasyim.

AST/Ft.AST
Caption foto:
Lead
Tiga makam keramat Awliya’ di Tambak. Pembawa syiar Islam di Kediri dan sekitarnya
Makam Gus Miek. Tokoh sentral kegiatan semaan Al-Quran
Makam KH Achmad Siddiq. Mengembalikan NU pada Khittah Nahdliyah 1926

---------------
Ziarah
-----------------
Wali Pitu, Pulau Dewata

Jika di Jawa ada Wali Songo, di Bali ada Wali Pitu alias Sab’atul Awliya’. Sebagaimana makam para wali di Jawa, makam tujuh wali di Bali juga diziarahi kaum muslimin.

Bali, yang termasyhur sebagai Pulau Dewata dan tujuan wisata nomor wahid di Indonesia, ternyata menyimpan khazanah dakwah Islam. Di beberapa tempat terdapat makam para wali, seperti di Denpasar, Karangasem, Tanah Lot. Jumlahnya tujuh, karena itu disebut juga Wali Pitu. Seperti halnya makam Wali Songo di Jawa, makam ketujuh wali di Bali juga sering diziarahi kaum muslimin dari berbagai penjuru tanah air.
Seperti halnya di kompleks makam para wali di Jawa, di sekitar makam Wali Pitu di Bali juga tumbuh pasar rakyat tradisional seperti warung-warung makan, pedagang bakso, toko buku dan kitab. Tentu saja juga ada yang berjualan berbagai peralatan ibadah seperti baju koko, sarung, kopiah, tasbih, minyak wangi.
Wali yang pertama bernama Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat, yang punya nama Bali, Ida Cokordo. Ia putra Raja Mengwi I yang menikah dengan seorang putri muslimah dari Kerajaan Balambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kecil ia dibesarkan oleh ibundanya di Balambangan, setelah dewasa menemui ayahandanya, Raja Mengwi ke-I.
Raden Amangkurat terkenal sakti mandraguna, namun tetap rendah hati dan pemaaf, terutama kepada musuh yang telah menyerah. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya di Pantai Seseh, Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung (berdampingan dengan candi Pura Agung di Tanah Lot), juga dihormati oleh umat Hindu. Bahkan juru kuncinya adalah seorang pendeta Hindu. Karena terletak di pantai Seseh, makam ini juga terkenal dengan sebutan Makam Keramat Pantai Seseh.
Makam keramat kedua ialah makam Keramat Pamecutan Dewi Khadijah, yang juga disebut makam Keramat Pamecutan, terletak di Jalan Batu Karu, Pamecutan, Kampung Monang-Maning, Denpasar. Dewi Khadijah, yang nama aslinya Ratu Ayu Anak Agung Rai, adalah adik perempuan Raja Cokorda III dari Kerajaan Pamecutan yang bergelar Batara Sakti – yang bertahta pada abad ke-17 M. Ia adalah isteri Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati Kerajaan Mataram.
Dewi Khadijah wafat terbunuh oleh seorang punggawa Kerajaan Pamecutan karena salah paham. Suatu malam, Dewi Khadijah shalat tahajud. Karena mengenakan mukena warna putih, dan bergerak-gerak (rukuk, sujud, duduk, berdiri), Dewi Khadijah dikira leak atau hantu perempuan. Dan ketika ia mengucapkan takbir Allahu akbar, yang terdengar oleh punggawa itu ialah makeber, makeber (terbang, bahasa Bali).
Maka sang punggawa pun melaporkannya kepada Raja Cokorda III yang kontan memerintahkannya untuk menghabisinya. Tanpa pikir panjang, si punggawa pun menghunjamkan keris ke punggung Dewi Khadijah yang tengah sujud. Ajaib, darah segar yang menyembur dari tubuhnya bersinar terang kebiru-biruan menembus dinding dan atap hingga menerangi seluruh Istana Pamecutan.

Rebo Wekasan
Konon, seluruh Denpasar menjadi terang benderang, sementara suara takbir terdengar di segala penjuru. Tentu saja Raja Cokorda III dan segenap punggawa keraton terkejut. Sebab, yang dibunuh ternyata bukan leak melainkan adik raja.
Wali ketiga ialah Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi, yang makamnya berada di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Nasabnya diyakini bersambung sampai Rasulullah SAW. Untuk mencapai lokasi makam, para peziarah harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Mereka harus sangat hati-hati, karena anak tangganya masih asli dari tanah, tanpa pagar atau pegangan tangan.
Yang keempat ialah Habib Ali Zainal Abidin Al-Idrus, yang juga dimakamkan di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Wafat pada 9 Ramadhan 1493 H (19 Juni 1982), ia dikenal sebagai ulama besar yang arif bijaksana. Semasa hidupnya banyak santri yang mengaji kepadanya. Mereka tidak hanya berasal dari beberapa daerah di Bali, tapi juga dari Lombok dan sekitarnya.
Wali kelima ialah Habib Syaikh Mawlaya Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi, yang dimakamkan tidak jauh dari makam Habib Ali bin Zainal Al-Idrus di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Di atas makam tersusun batu bata merah tanpa semen yang tak terawat dan tampak sangat tua. Makam itu selamat dari amukan Gunung Agung yang meletus dengan dahsyat pada 1963.
Wali yang keenam ialah Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid, yang makamnya terdapat di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Makam keramat ini terletak tak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan pulau Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Di depan makam dibangun patung seorang tokoh bersorban dan berjubah menunggang kuda.
Semasa hidupnya Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dhalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang raja menghadiahkan seekor kuda kepadanya sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju istana Klungkung. Suatu hari, pulang mengajar di istana, ia diserang oleh kawanan perampok. Ia wafat dengan puluhan luka di tubuhnya.
Jenazahnya dimakamkan di ujung barat pekuburan desa Kusamba. Malam hari selepas penguburan, terjadi keajaiban. Dari atas makam menyemburlah kobaran api, membubung ke angkasa, memburu kawanan perampok yang membunuh sang habib. Akhirnya senua kawanan perampok itu tewas terbakar. Kaum muslimin setempat biasa menggelar haul Habib Ali setiap Ahad pertama bulan Sya’ban.
Wali yang terakhir ialah Syaih Abdul Qadir Muhammad, yang nama aslinya Thee Kwan Pau-lie, di Desa Temukus, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Penduduk menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rebu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing mengelar upacara menurut keyakinan masing-masing.

AST.
---------------------------------------------------
Pesantren, AlKisah, Edisi No 20/IV/2006
---------------------------------------------------
Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Kediri

Pondok Salaf dengan Ribuan Santri
Pesantren ini bermula dari sebuah majelis taklim yang dirintis KH Achmad Djazuli Utsman untuk memerangi maksiat di kawasan Ploso, Kediri. Kini pesantren Al-Falah telah berkembang dengan mencapai 8000 santri

Ploso, demikian sebuah kampung kecil di sebelah barat sungai Brantas merupakan daerah yang mudah dijangkau dari Kota Kediri. Jaraknya kurang lebih lima belas kilometer. Pada awal abad 19, daerah Ploso dikenal sebagai kawasan basis maksiat di kecamatan Mojo. Tetapi kemaksiatan yang merajela itu lambat laun semakin lenyap. Itu semua berkat adanya majelis taklim yang dirintis oleh KH Achmad Djazuli Utsman yang dikemudian hari dikenal sebagai Pondok Pesantren Al-Falah.
Kini bangunan megah pesantren yang menghadap jalan raya Tulung Agung Kediri itu tampak asri. Sejauh mata memandang, bangunan madrasah dan pemukiman santri berpadu menjadi bukti konkrit dari buah perjuangan yang telah digoreskan oleh pendiri pondok, yakni KH Achmad Djazuli Utsman yang mulai merintis majelis taklim Al-Falah dari tahun 1925.
Pada awal berdiri, ia hanya mempunyai santri dari daerah sekitar kecamatan Mojo dan berjumlah dua orang. Lambat laun, para santri mulai bertambah. Para santri diajar dan dididik di serambi masjid kena’iban Ploso.
Waktu beranjak dari tahun ke tahun. Seiring berjalannya waktu, jumlah santri pun semakin bertambah. Ini rupanya yang menuntut berdirinya gedung madrasah untuk menampung para santri yang semakin hari semakin bertambah. Dengan semangat keikhlasan dan kekuatan untuk mensyiarkan dakwah Islamiyah, KH Achamd Djazuli Utsman berkeliling dari desa ke desa dengan mempergunakan sepeda onthel untuk mewujudkan gedung madrasah itu. Upaya kerja keras, jerih payah dan kesabaran yang diiringi sikap tawakal kepada Allah SWT ini pun berbuah. Pada tahun 1927, gedung madrasah abang yang terletak persis di depan masjid dapat dibangun. Gedung asrama pondokan ini masih terlihat utuh dan menjadi saksi sejarah awal berdirinya Ponpes Ploso.
Selang beberapa waktu kemudian didirikan pula pondokan lain dan pada tahun 1939 jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 orang. Waktu Jepang datang dan menjajah RI, Pesantren Ploso menjadi tempat pendidikan santri untuk berjuang melawan penjajah. Para santri yang telah digembleng lahir dan bathin, banyak yang ikut berjuang di berbagai daerah tempat asal santri. Sehingga pada masa itu, pesantren Ploso menjadi vakum dari kegiatan pengajaran. Bahkan jumlah santri yang tersisa hanya tinggal 6 orang saja, yakni Bapak Zainuddin (Kebumen), Masudin (Yogyakarta), Kholil (Solo), Abdul Kholik Dhofir (Kediri), Romli (Trenggalek), dan Nawawi (Banyumas).
Keenam pemuda inilah yang bahu membahu membantu dan membina kemajuan pondok setelah agresi militer I dan II Belanda. Selepas kemerdekaan, sedikit demi sedikit keadaan pondok mulai pulih kembali. Demikian juga dengan semakin tersyiarnya dakwah dari Ponpes Ploso, semakin harum dan namanya ke seluruh pelosok tanah air sebagai pencetak ulama-ulama yang handal. Perkembangan santri pun semakin lama semakin bertambah banyak. Untuk mengimbangi jumlah santri yang terus bertambah, pengelola terus membangun sarana dan prasarana pesantren, seperti pondokan, fasilitas kesehatan, perpustakaan, aula, ruang-ruang kelas dan lain-lain.

Jenjang Pendidikan
Memang tidak mudah mudah merintis pesantren, apalagi sebuah pesantren yang besar. Lebih sukar lagi dalam pengelolaan pendidikan dan pengajaran untuk memenuhi kebutuhan para santri. Untuk memudahkan dalam pengaturan pendidikan santri. Setiap calon santri diharapkan memilih sesuai dengan taraf pendidikan yang sudah ditempuh, yakni melalui tingkat Madrasah Islamiyah Riyadlotul Uqul (MISRU). Dalam program pendidikan, setiap santri memperdalam pelajaran ‘gramar’ dan ilmu alat bahasa Arab. Bagi para santri baru, mereka masuk jenjang pendidikan ibtidaiyah (sifir) selama 3 tahun. Kemudian dilanjutkan ke tingkat atasnya yakni Tsanawiyah selama 4 tahun.
Selepas tamat dari madrasah tsanawiyah, bagi santri yang ingin memperdalam ilmu agama (fiqh) dibentuk Jami’yatul Musyawaroh Riyadlatut Tholabah. Setiap santri yang masuk ke program ini adalah santri-santri yang sudah menguasai ilmu nahwu, shorof dan imu alat untuk memperdalam kitab kuning. Karena di forum ini ( semacam sawir), para santri dituntut untuk menyelesaikan masalah yang hadapi dan kitab yang dipergunakan dengan cara mandiri. Setiap santri akan mengkaji kitab kuning klasik selama 5 tahun. Setiap tahun para santri akan mengkaji satu kitab secara khusus, seperti kitab Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab Awal, Fathul Wahab Tsani dan Fathul Wahab Tsalib.
“Diharapkan supaya nantinya bila terjun dalam masyarakat sudah mampu menjawab dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakatnya,” kata pengasuh Ponpes Al-Falah, KH. Ahmad Zainudin Djazuli.
Di Pesantren yang bersendikan pendidikan salaf ini, hampir seluruh waktu santri dipergunakan untuk belajar, baik belajar formal mau pun informal. Dalam hal pengajian, kepada para santri ada yang diwajibkan. Seperti pengajian kitab Fathul Ghorib dan Ta’limul Muta’alim yang diajarkan oleh Masyayikh (putra-putri Hadrrotussyeikh KH. Achmad Djazuli Utsman). Pengertian wajib di sini adalah para santri yang masih rendah diharuskan mengikuti materi pengajian dua kitab tersebut. Untuk tingkat di atasnya, diwajibkan mengaji kitab yang lebih tinggi yakni Bukhari, Tafsir Jalalain dan Minhajut Tholibin. Untuk pengajian lainnya ada pengajian kitab Ihya Ulumiddin, Fatkhul Wahab, Fathul Mu’in, Iqna dan lain-lain.
Untuk menambah bobot pengajian, dalam pelajaran juga masih ada pengajian yang diberikan oleh santri senior yang sudah mampu, waktunya pun dipergunakan dalam celah-celah kegiatan para santri. Semua sistem yang dipergunakan adalah model bandongan, yakni guru membaca kitab, para santri kemudian memberi makna gandul (bahasa kromo).
Tidak sebagaimana sekolah atau universitas yang memakai kalender Masehi sebagai patokan dalam memulai aktivitas belajar. Di pesantren ini memakai patokan tahun Hijriah baik untuk pendidikan madrasah maupun pondok. Hari-hari efektif dimulai pertengahan bulan Syawal. Sedangkan ujian pertengahan tahun pada awal bulan Rabiul Awal (Maulud). Setelah ujian selesai, para santri memperoleh libur selama 1 minggu, biasanya waktu libur itu dipergunakan untuk menengok keluarga di kampung halaman masing-masing santri. Ujian akhir sendiri diadakan pada bulan Rajab. Ketika memasuki ulan Ramadhan, pondok ini juga menyelenggarakan pesantren kilat (pasaran/puasanan) yang terbuka untuk santri dan masyarakat umum. Seluruh rangkaian kegiatan belajar santri kemudian ditutup dengan acara Haflatus Tasyakur (acara tutup tahun) yang berbarengan dengan acara Haul Al-Maghfurlah KH. Achmad Djazuli Utsman di bulan Muharram.
Selain kegiatan wajib, para santri juga dianjurkan untuk mengikuti aktivitas lain yang menambah wawasan dan pengetahuan santri, seperti; baca Tahlil dan Yasin, muhafadzah, dhi’baiyah, mujahadah, khitobah, bahtsul masa’il. Demikian gambaran seluruh rangkaian aktivitas pesantren yang saat ini jumlah santri baik putra maupun putri sekitar 8000 orang dan yang tersebar di asrama pondokan yang berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar itu. Peran dan sumbangannya untuk mendidik dan membina generasi yang kokoh, tangguh dan mampu berperan di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah tidak diragukan lagi dengan jumlah alumni yang sudah mencapai lebih dari puluhan ribu dan tersebar di seluruh Indonesia.

AST/ft.AST
Caption Foto:
Lead
Asrama pertama pesantren. Masih kokoh berdiri
Suasana belajar santri. Model bandongan, yakni guru membaca kitab
Gedung pesantren Al-Falah. Menampung ribuan santri

-----------------------------------------------------
Pesantren, Majalah alKisah No 19/IV/2006
-----------------------------------------------------
PP Darul Hadits Al-Faqihiyyah Ahlussunah wal Jamaah, Malang

Mencetak Ahli Hadits yang Mumpuni

Pesantren yang terletak di Kota Malang ini telah menelurkan ribuan alumni yang mumpuni dalam penguasaan ilmu hadits.

Tahun ini genap enampuluh satu tahun sudah usia Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Ahlussunah wal Jamaah, sebuah lembaga pendidikan keislaman yang berada di tengah Kota Malang. Pesantren yang berlokasi di Jl Aris Munandar 8 A-B ini didirikan Maha Guru Al-Ustadz Al-Habr Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih Al-Alawy. Setelah sang pendiri wafat, kepengasuhan dilanjutkan sang putra, yakni Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih.
Di pesantren yang berdiri pada 12 Rabiul Awal 1364 H/12 Februari 1945 ini setiap santri harus melewati empat tahapan pendidikan. Pertama, tingkatan Tamhidiy, atau disebut juga dengan I’dadiy. Tingkatan paling dasar yang dapat ditempuh selama dua tahun ini merupakan persiapan santri sebelum mengenyam pendidikan ibtidaiyah.
Lepas lulus dari ingkat Tamhidiy, santri dapat melanjutkan ke tingkat Ibtidaiyah selama 3 tahun. Pada jenjang Ibtidaiyah, santri diberikan materi pembelajaran dalam berbagai disiplin ilmu. Seperti halnya untuk ilmu alat, dipelajari kitab Jurumiyah dan Al-Wadlih (Nahwu). Untuk bidang fiqh diajarkan kitab Durusul Fiqhiyyah. Adapun untuk kitab Hadits diajarkan At-Targhibu Wa Tat-Tarhib dan kitab-kitab hadits lainnya.
Setelah menempuh tiga tahun di Ibtidaiyah, dilanjutkan ke tingkat Tsanawiyah. Pada jenjang Tsanawiyah ini, jenis pelajaran dan kitab yang diajarkan mulai beragam, diantaranya Jami’ud Durus (Nahwu) dan Alfiyah (Bahasa Arab). Adapun untuk bidang fiqh kitab yang digunakan adalah kitab Fathul Qarib dan Fathul Mu’in. Untuk kajian hadits menggunakan kitab Mustholah Hadits, Riyadhus Shalihin, dan Shahih Bukhari. Dalam program Tsanawiyah, setiap santri juga diwajibkan mempelajari ilmu Mantiq. Program Tsanawiyah ini berlangsung selama 3 tahun.
Program tingkatan tertinggi di Ponpes Darul Hadits ini adalah tingkat Aliyah. Jenjang Aliyah ditempuh selama 3 tahun. Kitab-kitab yang dijadikan sebagai bahan pelajaran, sebagian besar adalah kitab-kitab yang dipergunakan pada tingkat Tsanawiyah, seperti pelajaran Nahwu masih meneruskan kitab Alfiyah yang dikarang Ibnu Malik. Di Program Aliyah ini juga dipelajari kitab-kitab Ibnu Aqil seperti Al-Yaqutun Nafis dan Anwarul Masalik.
Dengan melihat alur tingkatan pndidikan Darul Hadits, dapat disimpulkan untuk menempuh pendidikan dari tingkat Tamhidiy sampai Aliyah dibutuhkan sekitar 11 tahun. Adapun pelaksanaan pendidikan di Darul Hadits ini terbagi dalam beberapa waktu pelajaran. Pelajaran dimulai sehabis shalat berjamaah sampai jam 07.30. Pengajian ini dilaksanakan secara klasikal atau sorogan dan diasuh langsung oleh pengasuh Ma’had, yakni Habib Muhammad bin Abdullah Bilfagih.
Lepas sarapan pagi, tepat pukul 08.00 setiap santri kembali ke kelas masing-masing untuk menerima pelajaran hingga waktu shalat dhuhur. Lepas makan siang, pendidikan dilanjutkan sampai waktu Ashar. Dalam lingkungan pesantren ini, setiap santri diwajibkan memakai bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi sehari-hari baik dalam pelajaran di ruang kelas mau pun dalam pergaulan antar santri.
Di Pondok ini juga terdapat Majelis Taklim yang terbuka untuk masyarakat luas pada minggu pertama dan minggu ketiga. Dulunya majelis ini khusus mengajarkan khusus Thoriqoh Alawiyyah. Saat ini dibuka untuk umum dan kitab yang diajarkan adalah kitab Shohih Bukhori dan An-Nashaih ad-Dinniyah.
Darul Hadits memang mencetak alumni-alumni ahli hadits yang mumpuni, tak heran bila dalam menerima santri-santri pun ekstra ketat dan materi pelajarannya pun memuat kurikulum mata pelajaran hadits. “Santri-santri dari pondok pesantren ini diharapkan menjadi alumni pondok yang ahli hadits yang mumpuni. Kenapa yang dipelajari kebanyakan hadits, karena hadits merupakan cerminan dari syari’at Rasulullah SAW dan Islam,” kata Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, salah satu pengajar Darul Hadits.
Saat ini jumlah santri Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang, sebanyak 200 orang yang berasal dari Jakarta, Bandung, Jepara, Madura, dan kota-kota sekitar Jawa Timur. Sedangkan jumlah asatidz yang mengajar di pondok ini ada sekitar 20 ustadz. Ponpes Darul Hadits ini telah mencetak ribuan alumni yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Para alumni yang mengikuti jejak pengasuh pesantren ini diantaranya adalah Ustadz Ahmad Al-Habsyi (PP Ar-Riyadh, Palembang), Ustadz Muhammad Ba’abud (PP Darul Nasyi’in (Lawang, Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (MT Al-Khairat, Jakarta Timur), KH Alawy Muhammad (PP At-Taroqy, Sampang, Madura) dan lain-lain.
Sebagai Pondok Pesantren yang menerapkan system salafy, PP Darul Hadits menerapkan seleksi yang cukup ketat kepada setiap santri. Seperti halnya dalam masalah narkoba, setiap santri harus melampirkan surat keterangan sehat dari dokter. Bagi yang pernh terjerumus dalam narkoba, wajib melampirkan surat keterangan dokter atau laboratorium bebas dari narkoba. Bagi calon santri yang bertato harus menghilangkan tatonya terlebih dahulu.
Pondok Darul Hadits ini sekarang diasuh oleh tiga putra Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih yakni Ustadz Sayyid Abdul Qadir Bilfagih, Ustadz Sayyid Muhammad Bilfagih dan Ustadz Sayyid Abdurrahman Bilfagih. Sekretaris Ma’had dipegang Ustadz Dimyati Ardawi. Sebagai bendahara yakni Ustadz Sukri Zaini dan H. Slamet.
Dalam struktur pondok terdapat lima bidang (seksi) kegiatan pesantren. Seksi majelis taklim diasuh Ustadz Sayyid Muhammad bin Abdul Qadir Bilfagih. Seksi pendidikan dan pengajaran oleh Ustadz Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, Ustadz Mohammad Santoso, Ustadz Abdul Muid. Seksi Humas dipegang Ustadz Ahmad Alaydrus dan Ir Kukuh Abdul Aziz. Seksi dana dan pembangunan Pondok Pesantren oleh KH Masyhuri Abdullah dan H. Zainullah. Sedangkan untuk bidang kesehatan ditangani oleh Bapak Sya’roni.
Di tengah roda kemajuan jaman yang terus berputar, kini pondok pesantren Darul Hadits terus berpacu dengan waktu untuk terus mengembangkan mutu pendidikan dan sarana pesantren. Gedung yang terletak di Jl. Aris Munandar, kini terus dibangun sebanyak 3 lantai sehingga dapat menampung lebih banyak santri dan diharapkan para santri yang keluar itu menjadi ahli hadits yang mumpuni serta berkiprah secara positip di tengah masyarakat.

AST/Ft. AST

Caption Foto:
1. Lead
2. Dua pendiri Darul Hadits. Pakar hadits dari kota Malang
3. Suasana mengaji di Darul Hadits. Menjadi ahli hadits yang mumpuni
4. Maket Plan pengembangan Pondok. Diharapkan banyak menampung santri



-------------------------------------------------------
Pesantren, Majalah alKisah Edisi No 18/IV/2006
-------------------------------------------------------
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang

Pesantren Berbasis Perpaduan Ilmu dan Islam
Pesantren mahasiswa ini menjadi tempat perpaduan antara pengembangan keilmuan dan keislaman. Diharapkan para alumni menjadi kader umat dan asset bangsa
Bermula dari taklim, berubah jadi pesantren. Itulah gambaran dari pesantren mahasiswa Al-Hikam yang didirikan oleh KH Hasyim Muzadi. Sosok Pesantren Al-Hikam tidak lepas dari peran dan kiprah KH Hasyim Muzadi di masyarakat, dimana ia menjadi tempat bertanya masyarakat. Awalnya ia mengampu sebuah majelis taklim kecil di sebuah musala At-Taubah, kampong Jati, Malang. Lambat laun, jamaahnya terus bertambah banyak terutama juga dikuti oleh kalangan mahasiswa di Malang. Langkah dan peran dakwah dari KH Hasyim itu rupanya diperhatikan sekali oleh salah satu gurunya, yakni KH Anwar (PP An-Nur, Bululawang, Malang).
Hingga suatu waktu, KH Anwar berkunjung ke tempat mengajar KH Hasyim Muzadi dan berkata,”Syim (demikian panggilan KH Hasyim Muzadi), anak-anak itu bakale dadi wong pinter. Sangunono bismillah. Bagianmu nglumpukke sampah.Syukur-syukur dadi rabukke masyarakat.”
Mendengar perintah dari gurunya itu, KH Hasyim Muzadi lalu mulailah merintis pembangunan pesantren. Rupanya nasehat pak KH Anwar itu cocok dengan latar belakang santri KH Hasyim Muzadi, dimana ia juga aktif di pergerakan mahasiswa. Sehingga ia sudah biasa bergerak dan mengelola pendidikan pesantren yang mayoritas diikuti oleh kalangan mahasiswa.
Pembangunan pesantren pun kemudian dimulai dan seluruh aktivitas pesantren yang terletak di Jl. Cengger Ayam No 25, Malang itu akhirnya diresmikan dan mulai beraktivitas pada 17 Ramadhan 1413 H (21 Maret 1992 M). Pesantren Al-Hikam ini memang mengkhususkan diri pada kalangan mahasiswa, sehingga pesantren ini di kemudian hari dinamakan pesantren mahasiswa Al-Hikam.
Pilihan mendirikan pesantren mahasiswa bukan tanpa alasan, sebab di kota Malang yang berhawa dingin itu terdapat beberapa kampus perguruan tinggi seperti Universitas Merdeka, Brawijaya, Akademi Bisnis dan Manajemen (ABS), Muhammadiyah dan lain-lain.
“Selain itu, mahasiswa mempunyai peran yang strategis dalam kontek perubahan masyarakat dan dalam kontek perguruan tinggi, mereka kelak akan berada di tengah masyarakat,” kata Drs. H. Muhammad Nafi’, kepala pesantren mahasiswa Al-Hikam.
Pendidikan pesantren mahasiswa ini menggabungkan tradisi keilmuan dan keislaman. Prinsipnya, lanjut Drs. Muhammad Nafi’, Al-Hikam sebagai lembaga pendidikan Islam berikhtiar untuk menggabungkan dimensi positif perguruan tinggi dan pesantren. Sebuah perpaduan antara pengembangan keilmuan dan keislaman. Dua kepentingan ini mencoba digapai, yakni mewujudkan generasi yang mempunyai penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki kepribadian dan moralitas yang baik.
Untuk mewujudkan visi tersebut, KH Hasyim Muzadi kemudian menetapkan misi pesantren yakni mengembangkan pesantren sebagai tempat keilmuan maupun kelembagaan dan melakukan pencerahan kepada masyarakat. Usaha ini sebagai tindak lanjut dari pengembangan potensi intelektualitas mahasiswa sebagai kader umat dan asset bangsa dan menanamkan kepribadian.
Upaya ini dilakukan melalui kegiatan taklim, tarbiyah, ta’dib dan irsyad. “Memang core bisnis (kegiatan utama) itu masih pada pesantren mahasiswa. Pesantren tidak bisa tidak, harus mengikuti kebutuhan masyarakat. Makanya sekarang yang ada di pesantren tidak hanya pesantren mahasiswa saja, ada TPQ, majelis-majelis taklim mingguan dan bulanan, dan Ma’had Aly,” kata Drs. H. Muhammad Nafi’ lebih lanjut.
Bahkan dari program manasik haji yang diselenggarakan oleh Al-Hikam, kini para alumni nya setelah menunaikan ibadah haji menghimpun diri dalam sebuah majelis taklim dan mengembangkan dakwah ditengah masyaraat.

Sistem pendidikan
Saat ini jumlah santri Al-Hikam berjumlah sekitar 200 santri. Jumlah santri yang masuk dibatasi hanya sekitar 40 santri, ini terkait dengan kapasitas asrama santri yang ada di pondok ini.Untuk menjadi santri di Al-Hikam, persyaratan umum yang harus dipenuhi adalah calon santri berasal dari mahasiswa S1 (non ekstensi) yang terdaftar di perguruan tinggi umum (fakultas non agama). Dengan ketentuan bagi program non eksak maksimal duduk di semester 3, program eksak maksimal di semester 5, dan D-3 semester 1. Pendaftaran santri baru dilaksanakan satu tahun sekali (Juni-Oktober) melalui proses seleksi administrasi, IQ, Interview, Bahasa Inggris dan kemampuan agama dasar.
Pesantren mahasiswa dalam menerapkan pendidikan bagi santri melalui tiga pendekatan, yakni: pengasuhan (meliputi displin ibadah, pembentukan akhlak dan semangat pengabdian pada masyarakat); pengajaran(meliputi kemampuan keahlian); pelatihan (meliputi pengembangan kemandirian hidup dan tata operasional pengabdian masyarakat).
“Kita ingin bagaimana menyambungkan nilai-nilai agama itu mendapatkan pengaruh secara objektif dalam alur disiplin ilmu. Sebaliknya ilmu pengetahuan yang objektif itu mendapatkan kembali seignifikasi dan justifikasi dalam metafisika dan spiritual kembali. Jadi tidak sekuler itu,” lanjut Ustadz Nafi’.
Ini tantangan bagi umat Islam untuk mengembangankan khasanah keilmuan dan keislaman, lanjutnya. “Al-Hikam mencoba memilih jalan melakukan rintisan sekecil apa pun dan tidak banyak bicara. Karena membicarakan pendidikan tidak pernah sempurna. Apa yang kita lakukan itu long term (jangka panjang). Jadi masih perlu ikhtiar terus menerus,” katanya.
Sebagaimana kegiatan pesantren lainnya, di pesantren ini kegiatan dirosah dilakukan secara klasikal mulai pagi hari (selepas shalat subuh) jam 05.00-06.00 dan malam (selepas shalat magrib) dari jam 18.30-19.30. Sedangkan kegiatan mingguan santri diantaranya, muhadhoroh(khitobah), diskusi ilmiah, pembacaan tahlil (istighotsah), olahraga dan lain-lain. Kegiatan bulanan santri diantaranya melakukan studi komparasi dalam bahasa Inggris, seminar tentang masalah-masalah aktual, pengajian umum tiap Ahad pertama tiap bulan. Sementara kegiatan tahunan pesantren adalah seminar nasional dalam dua bahasa (Inggris-Indonesia), studi komparasi (Rihlah Ilmiah), Latihan kepemimpinan dan Manajemen serta Praktek Kewirausahaan.
Untuk menunjang pendidikan, pesantren Al-Hikam telah mempunyai fasilitas yang memadai. Di dalam komplek pesantren tersedia minimarket, lapangan olah raga, lab bahasa, perpustakaan, auditorium, masjid dan asrama mahasiswa.

AST/Ft. AST
Caption:
1. Lead
2. Auditorium Pesantren Mahasiswa. Pusat kegiatan santri
3. Salah satu kegiatan santri Al-Hikam. Siap berkiprah di masyarakat
4. Asrama mahasiswa. Fasilitas pesantren

--------------------------------------------
Santri, Majalah alkisah No. 8/I/2003
---------------------------------------------
Ponpes Edi Mancoro
Pluralisme dari Tuntang

Di pondok ini tak hanya diajarkan agama Islam, pelajaran agama lain juga diajarkan. Pluralitas agama dijunjung tinggi, membekali santri sebagai pendamping masyarakat.

PONDOK Pesantren Edi Mancoro terletak 15 km arah selatan dari Kota Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dari Ambarawa bisa ditempuh dengan bus selama 30 menit. Dari Ambarawa menuju Salatiga, turun di Pasar Jetis Salatiga, dilanjutkan naik angkutan 01 jurusan Jetis-Banyuurip. Setelah menempuh jarak empat kilometer, sampailah kita di Pondok Pesantren Edi Mancoro.
Pesantren ini terletak di Dusun Bandungan, Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Hawa sejuk pedesaan menyentuh kulit, menyapa lewat sepoi angin. Beberapa santri terlihat membersihkan lingkungan pondok, menyapu halaman, dan membersihkan kaca jendela. Sebagian yang lain bermain bola di halaman pondok.
Senyap, tenang. Itulah kesan yang dapat ditangkap di sana. Sebagian besar santri terdiri dari mahasiswa yang tengah menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri, Salatiga.
Azan magrib berkumandang. Semua santri bergegas menuju masjid yang terletak di dalam pondok pesantren, berjarak 200 meter dari wisma santri. Sehabis salat Magrib, beberapa santri kelas satu dan dua mengaji kitab kuning di aula. Di pesantren ini ada lima kelas.
“Bagi santri baru, walaupun di luar sudah kuliah di perguruan tinggi, dia tetap harus mengikuti pelajaran di kelas satu, karena materi pelajaran agamanya belum ia peroleh,” kata M. Nurrokhim, salah seorang ustaz Pesantren Edi Mancoro. Selain itu, juga ada kegiatan belajar bersama seminggu sekali yang diikuti semua santri. Mereka berkumpul menurut kelompok usia. Beberapa pelajaran, di antaranya, membaca selawat, berlatih khotbah, musyawarah dan diskusi, serta belajar qiraah.

Tidak Mahal
Sebagain besar santri di Ponpes Edi Mancoro berasal dari kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa, seperti Demak, Kudus, Jepara, Rembang, Kendal. Namun, ada beberapa di antaranya yang berasal dari luar Jawa. Hampir 85% di antaranya berstatus mahasiswa, sisanya para siswa sekolah menengah, baik SMA, STM, maupun sanawiah.
Sebagian besar memilih belajar di pesantren ini karena memang ingin mendapat pendidikan agama. Tetapi, untuk mendukung pendidikan umum dari sekolah formal di luar ponpes, Pondok Edi Mancoro mempersilakan para santri mengikuti pendidikan formal di luar pondok.
Iuran para santri tidak mahal, hanya Rp 9.500 per bulan. Sementara biaya makan, minum, dan pemeliharaan kesehatan, harus ditanggung sendiri. Para santri putri kebanyakan memilih memasak sendiri, sementara para santri putra makan di warung.
Sebagai kegiatan penunjang, pesantren memiliki Koperasi Pesantren, penyewaan komputer, Taman Pendidikan Al-Quran, dan perpustakaan. Anggota koperasi bisa memilih kelompok usaha di unit-unit koperasi, seperti unit simpan-pinjam, pertanian, peternakan, dan perdagangan. “Setiap santri bebas memilih unit kegiatan koperasi sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan, tidak aktif pun tidak apa-apa,” ujar Ustaz Nurrokhim.

Berbagai Agama
Sebagian besar santri mengisi waktu luang dengan membaca buku, terutama buku-buku tentang remaja, di perpustakaan, termasuk majalah dan koran. “Kecuali menjelang ujian atau tugas sekolah, mereka banyak yang pinjam buku-buku pelajaran,” kata Ali Masykur, ketua unit perpustakaan.
Dalam bulan Ramadan, pesantren selalu menyelenggarakan diskusi lintas agama. Pihak ponpes membentuk panitia kecil yang bertugas mengundang narasumber yang terdiri dari para pemimpin agama untuk berdiskusi dengan para santri, juga para tamu undangan dari berbagai agama. “Berkumpul dengan pemeluk agama lain kan sangat jarang. Saya kira, pondok lain yang salaf juga jarang. Kegiatan ini bertujuan agar santri siap menerima perbedaan, bisa saling berbagi, berdiskusi, dan, itu tadi, bisa saling menerima perbedaan,” ujar Nurrokhim. “Ini merupakan kegiatan langka, jarang dilakukan pondok pesantren lain di Indonesia. Apalagi kalau sistem pengajarannya masih salaf,” tambahnya.
Pondok Pesantren Edi Mancoro berdiri pada 1989, menempati tanah seluas 3.000 m2. Saat diresmikan, pesantren ini memilki enam bangunan yang dikelilingi ribuan pohon salak pondoh yang rimbun. Karena sering ada program pelatihan yang digelar Yayasan Desaku Maju pada kurun 1979-1984, pada 1987-1988 dibangunlah pondok, sebagai tempat pendidikan dan pelatihan. Kalau tidak ada kegiatan, para santri belajar mengaji di sana. Awalnya hanya 10 orang. Tetapi setelah itu jumlahnya terus bertambah, sehingga lama-kelamaan berkembang seperti sekarang.

Box
Komentar Santri

Turich Himawati

Menjadi Pendamping Masyarakat

BILA memondok di sini, jangan pernah berharap bisa jadi ustaz, ustazah, kiai, nyai, atau sejenisnya. Karena pesantren ini lebih banyak menekankan cara hidup bermasyarakat, bahu-membahu bersama masyarakat, membangun dan mengembangkan lingkungan, serta menjadi pendamping masyarakat. Selain itu, kami juga belajar hidup mandiri, masak dan mencuci sendiri.
Pelajaran bermasyarakat dan berkumpul dengan masyarakat banyak diajarkan. Misalnya, bertakziah jika ada warga yang meninggal, mengikuti acara Yasinan atau tahlilan bersama para pemuda-pemudi dan ibu-ibu di sekitar pondok. Kami hidup seperti keluarga sendiri, layaknya ayah, ibu, dan anak-anak, dalam satu keluarga. Jadi, seperti di rumah sendiri. Terlebih kalau ada kegiatan, Ibu Nyailah yang mengurus, dibantu para santri putri yang tidak punya kegiatan, secara bergiliran.


Chadlirotul Masyhuda
Mendidik Santri Mandiri

SAYA masuk ke pondok ini karena merasa butuh. Pondok merupakan basis latar belakang hidup saya. Waktu masih di Demak, saya selalu mengikuti banyak pelajaran agama di pesantren, yang kemudian sangat saya butuhkan dan menjadi latar belakang hidup saya di sini.
Di sini saya tidak cuma memondok, tetapi juga belajar di STAIN Salatiga. Bermukim di pondok ini membuat kehidupan saya lebih tenang, karena kehidupannya sesuai dengan kebutuhan siswa atau mahasiswa, kegiatan diskusi atau seminar dengan pesantren lain atau antar-organisasi.
Kegiatan tersebut bisa menambah wawasan, sehingga apa yang kita dapatkan bukan hanya kajian ke-Islam-an. Lebih jelasnya, tujuan pesantren adalah mendidik santri agar menjadi pendamping masyarakat. Bukan berarti menggurui atau jadi kiainya di mana kita selalu di atas, atau selalu benar.
Lingkungan di sini sangat humanis, berbeda dengan pesantren lain, yang biasanya hidup terkekang. Yang lebih mengesankan, kegiatannya tidak monoton. Di samping mengaji kitab kuning, kami juga belajar pengetahuan lain, untuk menambah wawasan.


Box Wawancara

K.H. Mahfudz Ridwan

Pesantren untuk Semua Agama

SEJAK pulang dari Baghdad, Irak, pada 1970, K.H. Mahfudz Ridwan banyak menghabiskan waktu di Yayasan Desaku Maju (YDM). Berbagai kegiatan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan masyarakat, dia jalani dengan tekun. Pria beranak empat yang lahir di Semarang pada 10 Oktober 1941 itu terpanggil mendirikan pondok pesantren setelah ternyata banyak santri yang mengaji di tempat pelatihan tersebut. Lambat laun ia mengembangkan pesantren, menanamkan cita-cita secara perlahan. Apa dan bagaimana Pondok Pesantren Edi Mancoro, berikut wawancara dengan K.H. Mahfudz Ridwan.

Bagaimana asal nama Pondok Pesantren Edi Mancoro ini?
Nama Edi Mancoro sesungguhnya pemberian seseorang bernama Sumotioso atau Mbah Sumo, yang usianya mencapai 150 tahun. Beliau berpesan, kalau suatu hari nanti saya punya anak, dia minta salah satu anak saya itu dinamakan Edi Mancoro. Tetapi saya keberatan dengan nama itu. Karena sudah tak punya anak lagi, nama itu saya pakai untuk nama pondok pesantren. Biarlah Ponpes Edi Mancoro menjadi anak bungsu saya.

Bagaimana gagasan semula ketika mendirikan pesantren ini?
Sejak awal saya berniat, pesantren ini harus menjadi pesantren transformatif. Para santri bisa mentransfer ilmu yang diajarkan, dan menerapkannya di masyarakat. Untuk itu, sebenarnya kami sudah memiliki rancangannya, baik tingkatan, kurikulum, maupun silabusnya. Cuma, untuk melaksanakan niatan itu, kami belum memiliki cukup dana. Rancangan besar pesantren transformatif meliputi materi pelajaran setingkat program pascasarjana.

Ada kriteria khusus untuk menjadi santri di sini?
Santri yang kami terima adalah lulusan S-1 dan pasca-lulus pesantren, asal lulus tes masuk. Tidak harus beragama Islam. Pemeluk agama Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu, pun diperbolehkan. Jadi, seperti fakultas perbandingan agama. Pengajarnya dari luar, semacam dosen terbang, dan sebagian alumnus. Mereka juga memiliki latar belakang agama yang berbeda. Barangkali lebih tepat dikatakan sebagai pesantren pluralis.

Seperti apa santri paripurna diidam-idamkan?
Kemandirian santri, dan kemampuan mereka memandirikan masyarakat, begitulah tepatnya visi dan misi pesantren ini dirancang. Saya mengetahui persis kondisi kawan-kawan mahasiswa. Saya pernah mengajar di STAIN sejak 1972. Saya tahu persis kualitas mahasiswa yang masuk STAIN. Harapan saya, mereka belajar lebih dini, memiliki nilai tambah dalam belajar, daripada mereka yang ada di pondok pesantren. Setelah lulus dari perguruan tinggi, karena sebagai santri sering mengadakan latihan, dia langsung memiliki keterampilan dan bisa mendampingi masyarakat. Tugasnya memandirikan masyarakat, dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitarnya.

Aji Setiawan, Yogya