17.10.06

Aku Kembali Menulis



--------------------------
AK24_Mutiara Rasul
--------------------------

Ridha Ibu adalah Ridha Allah

Ibadah fardhu dan sunah seseorang yang durhaka kepada orangtua, terutama kepada ibu, tidak diterima oleh Allah SWT.

Di Madinah, beberapa waktu usai hijrah, hiduplah seorang sahabat bernama Alqamah yang rajin beribadah dan bersedekah. Suatu hari, tiba-tiba ia menderita sakit berat. Isterinya mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa suaminya sudah mendekati sakaratul maut.
Mendengar itu, Rasulullah SAW mengutus Bilal, Ali, Salman dan Ammar untuk menjenguknya. Sampai di rumah Alqamah, mereka segera menuntunnya membaca kalimat tauhid La ilaha illallah. Tapi, lidah Alqamah seakan terkunci tidak mampu mengucapkannya. Para sahabat pun lalu mengutus Bilal untuk memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW.
”Apakah ia masih punya orangtua?” tanya Rasulullah kepada Bilal.
“Ayahnya sudah meninggal, sedangkan ibunya masih hidup tapi sudah tua renta,” jawab Bilal.
“Temuilah ibunda Alqamah dan sampaikan salamku kepadanya, lalu katakan, jika dapat berjalan ia diminta menemuiku, tapi jika tidak dapat berjalan aku akan menemuinya.” Bilal pun segera menemui perempuan tua renta itu dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW.
“Saya lebih layak menghadap Rasulullah,” jawab ibunda Alqamah, lalu berjalan dengan tongkatnya, tertatih-tatih dibantu oleh Bilal, menemui Rasulullah SAW. Maka Rasulullah pun bersabda, “Bagaimana sebenarnya keadaan Alqamah? Katakanlah sejujurnya. Jika engkau berdusta, akan turun wahyu memberitahuku.”
“Alqamah adalah anak yang rajin shalat, puasa dan bersedekah. Tapi, saya marah karena ia lebih mengutamakan isterinya dari padaku, lebih menurut kepada isteri dari padaku, bahkan berani menentangku,” jawab perempuan tua itu.
Sejenak para sahabat yang hadir terdiam, sementara wajah Rasulullah SAW tertunduk kemudian menarik nafas dalam-dalam. Kemudian beliau bersabda, “Murka ibunya, itulah yang mengunci lidahnya untuk membaca kalimat tauhid.” Kemudian Rasulullah menyuruh Bilal mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Alqamah.

Buah Hati
Tiba-tiba ibu Alqamah berteriak, ”Ya Rasulullah, dia adalah putraku, buah hatiku. Apakah Tuan akan membakarnya di depanku? Bagaimana aku dapat menerima anakku Tuan perlakukan seperti itu?”
Rasulullah pun segera menukas, “Sesungguhnya siksa Allah lebih berat dan lebih kekal. Jika engkau ingin Allah mengampuni dosa anakmu, maka engkau harus ridha kepadanya. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak berguna shalat dan sedekah anakmu selama engkau masih murka kepadanya.”
Seketika itu juga sang ibu yang penuh kasih sayang itu mengangkat kedua belah tangannya sembari berkata, ”Ya Rasulullah, aku bersaksi kepada Allah, kepadamu, dan kepada yang hadir di sini, bahwa aku telah ridha kepada Alqamah.”
Mendengar itu, Rasulullah SAW sangat gembira. Alu beliau pun menyuruh Bilal menjenguk Alqamah, apakah ia sudah bisa membaca kalimat tauhid. Beliau khawatir kalau-kalau ibunya mengaku ridha hanya karena segan kepada Rasulullah, bukan dari lubuk hatinya.
Ketika Bilal sampai di depan pintu kamar Alqamah, terdengarlah suara pelan tapi mantap, “La ilaha illallah” – beberapa kali. Lalu Bilal pun berkata kepada para sahabat yang hadir, “Sesungguhnya murka ibu Alqamah telah mengunci lidah anaknya untuk mengucapkan kalimat tauhid. Kini, berkat ridha ibundanya, Alqamah mampu mengucapkannya”.
Setelah jasad Alqamah dimakamkan, Rasulullah SAW berdiri di samping makam, lalu bersabda, ”Wahai para sahabat Muhajir dan Anshar, barang siapa mengutamakan isterinya dari pada ibunya, ia akan mendapat laknat Allah, sedangkan ibadah fardhu dan sunahnya tidak diterima. Sesungguhnyalah ridha Allah adalah ridha orangtua.”

AST
--------------------------------------------------------------
AK23.FigurPinUp.HbAlibinAlwiAlHabsyi.AST
-------------------------------------------------------------

Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi
Berdakwah ke Kawasan Timur Indonesia

Ulama yang satu ini dikenal banyak berdakwah ke kawasan Timur Indonesia. Dialah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi, pembina Majelis Taklim Simthud Durar, Gurawan, Surakarta

Saat akan berdakwah ke Bali pada bulan Maulid yang lalu, badan Habib yang telah berusia 67 tahun ini mendadak badannya sakit. Kepalanya tiap hari terasa pusing dan badan cepat capek. Padahal Habib Alwi Fahmi bin Abdurrohman Chaneman, sobatnya yang juga adalah Pembina Majlis Taklim Simthud Durar Pulau Bali mengabarinya untuk segera ikut ke Bali. Di Pulau Dewata itu, rencananya Habib Ali bersama salah satu putranya, Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi akan mengisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di berbagai wilayah yang ada di sana. Selain itu, Habib Ali dalam tiga tahun terakhir ini diminta secara rutin oleh komunitas masyarakat muslim Bali untuk membimbing mereka cara membaca kitab Maulid Simthud Durar secara lebih baik.
Dalam membaca maulid Simthud Durar, menurut Habib Ali ada kaidah yang semestinya diikuti, tidak asal potong ketika membaca. Kalau pun mau dipotong (meloncat) dalam membaca, itu bila ada keperluan yang lebih penting dan tidak bisa ditinggalkan. ”Bagusnya dibaca secara keseluruhan. Kalau pun mau dipersingkat, baca semua dari awal sampai mahalul qiyam. Lepas itu, fase (pasal) pertama dari mahalul qiyam dibaca sampai habis. Baru diakhiri dengan paragrap paling akhir dan ditutup doa. Jadi, tidak asal potong,“ kata Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi yang juga dikenal sebagai pembina Majelis Taklim Simthud Durar, Gurawan, Solo, kepada alKisah mengawali perbincangannya.
Menurut Habib Ali yang juga masih terhitung cucu dari pengarang kitab maulid Simthud Durar yakni Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, membaca maulid Simthud Durar maqam dan duduk dari Rasulullah SAW itu hadir selepas Mahalul Qiyam (berdiri). Jadi, fase pertama setelah mahalul qiyam pun harus dibaca sampai habis. “Demikian pula dengan pembacaan yang memulai membacanya, baiknya juga yang memimpin doa sekaligus. Itu menjadi kaifiyah,” tambahnya.
Berpijak pada panggilan dakwah dan panggilan Illahi, yang harus ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan penuh semangat. Anehnya, sampai jelang keberangkatan hari H ke Pulau Dewata badannya terasa sehat dan segala penyakitnya hilang. Bahkan selama di Bali dan sepulangnya dari berdakwah badannya hingga kini tidak sakit, tidak mudah capek. ”Berdakwah itu ada pengaruh ke jiwa. Sekali pun sakit, kalau untuk berdakwah jadi tidak sakit. Saya sering kena penyakit pusing dan badan cepat lemah.Tapi kalau sudah untuk berdakwah penyakit itu hilang semacam jadi obat dan tidak terasa,” demikian kata Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi.
Habib Ali sedari kecil menempuh sekolah agama di Rabithah Alawiyah di Solo. Ia lahir pada tahun 1939 M dan sekarang telah mempunyai 6 putra (3 putra, 3 putri). Sejak tahun 1945 ia belajar di madrasah Rabithah Alawiyah di Gurawan, Solo sampai tahun 1952. Teman satu angkatan, seperti Hb Habib Alwi bin Ahmad Assegaf (Alm), Muhammad bin Abdurahman Qadhi (Alm), Ustadz Nadjib (YAPPI), Ustadz Zein Al-Hamid (Solo) dan masih banyak lagi, namun sudah banyak yang wafat.
Ia menyatakan guru yang paling berkesan dan menjadi favoritnya selama di Rabithah Alawiyah adalah Habib Abdurrahman bin Shahab. “Karena beliau paling alim dan cara mengajarnya pun paling enak. Seperti mengajar Bahasa Arab. Beliau juga menjadi tempat bertanya pada waktu itu oleh banyak orang, terutama masalah Fiqih dan Nahwu.”
Guru yang lain yang berkesan, seperti Ustadz Abu Bakar Al-Habsyi dan Ustadz Abdul Qadir Al-Jufry. Lepas dari madrasah Rabithah Alawiyah Gurawan, ia kemudian mengikuti kursus Bahasa Inggris, Arab selama hampir 10 tahun. “Saya kursus-kursus bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, baik lembaga-lembaga kursus maupun private. Karena kita pada waktu itu sekolah di mana? Pada waktu itu sekolah masih jarang dan yang cocok dengan saya hanya kursus-kursus. Saya kursus ini, lalu pindah-pindah.”
Lepas dari kursus-kursus berbagai bahasa, ia kemudian mengaji tabarukan ke berbagai ulama yang ada di pulau Jawa ini seperti berguru pada oang yang Habib Ahmad bin Ali Alattas (Pekalongan), Habib Syekh Al-Musawa di Pesantren Az-Ziyadah Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur (sekarang tinggal di Jl Kalimas Udik II, Ampel, Surabaya). ” Saya belajar lagi tentang pelajaran Nahwu, Fiqih dan lain-lain. Supaya saya bisa membaca kitab dan maknanya.”
Sejak dari madrasah sudah menyenangi ilmu nahwu dan lughah. “Pokok orang bisa membaca kitab adalah ilmu Nahwu. Kalau orang tidak mengetahui Nahwu tidak bisa membaca kitab. Nahwu adalah grammar (ilmu bahasa) untuk membuka khasanah kitab kuning yang dikarang oleh ulama-ulama,” katanya.
Selain menekuni ilmu tata bahasa Arab, ia juga sering membaca kitab-kitab kuning. Habib Ali mengaku cita-citanya sejak kecil ingin menjadi orang yang shaleh dan berguna bagi umat Islam. Karena itulah, ia bergiat mempelajari kitab-kitab kuning dari para ulama agar pengetahuannya tentang khazanah keislaman semakin bertambah dan menjadi bekal berdakwah di kemudian hari. Ia mengaku kagum dengan kitab Ihya Ulumiddin karangan Imam Al-Ghazali dan beberapa kalam (kata-kata) ulama salaf terdahulu, seperti kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jedah). “Karena kalam-kalam itu berisi dakwah yang menyentuh hati dan mudah berkesan di kehidupan sehari-hari,” katanya.
Kini keseibukannya selain mengajar taklim di sekitar kediamannya sendiri yang terletak di kawasan Gurawan, Habib Ali juga banyak diundang keliling dakwah di wilayah Karsidenan Surakarta dan sekitarnya, bahkan tak jarang sampai pelosok desa-desa. Terutama untuk mendampingi sang putra sulung yakni Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi yang saat ini dikenal sebagai “Dai yang pandai berkisah” (Figur Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, alKisah No. 12/IV/2006). Di banyak majelis taklim, Habib Ali banyak memegang pimpinan majelis dan sang putra, Habib Alwi yang berceramah.
Sementara itu, untuk daerah-daerah yang sering memintanya untuk berdakwah, antara lain Bali, Kudus, Demak, Solo, Gresik, Sragen, Surabaya, Pasuruan dan sekitarnya. Kalau dilihat dari wilayah dakwah dari Habib Ali, sekilas tampak adalah kawasan timur pulau Jawa. Namun, di kalangan keluarga Habsyi (Solo), menurut Habib Ali, tidak ada pembagian wilayah dakwah. ”Memang kalau ada acara di berbagai daerah, mereka kebanyakan yang mengundang dari kawasan Timur. Bahkan ada yang menyusul ke rumah (Solo) untuk mengisi berdakwah,” kata Habib Ali.
Di tengah kesibukannya berdakwah, Habib Ali juga masih menyempatkan diri menyusun buku yang digunakan terbatas untuk kalangan sendiri. Bukunya itu berupa wirid harian dan tata cara berziarah kubur, dan hanya beredar di kalangan sendiri. ”Mengenai permintaan untuk menerbitkan karya tulis dalam bentuk buku, namun saya belum berani untuk mempublikasikannya. Naskahnya masih saya koreksi lagi (edit),” katanya.
Pengalaman yang berkesan, ”Saya berkesan sekali bila melihat ulama-ulama besar yang ada di Hadrahmaut dan Saudi Arabia. Mereka-mereka Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi dan lain-lain. Sampai jadi ulama seperti itu, saya ingin seperti mereka,” kenang Habib Ali.

AST/ft. AST
Caption Foto:
Lead
Di Pulau Nusa Penida, Bali. Berdakwah ke kawasan terpencil
Foto bersama jamaah. Menjalin silaturahiem
Dalam sebuah acara maulid. Dihormati dan dicintai para muhibin

----------------------------------------------------------------------
Ak24.PinUp.HabibHudbinMuhammadAlbagirAlattas.AST
----------------------------------------------------------------------
Habib Hud bin Muhammad Albagir Alattas
Luwes Dalam Berdakwah

Ia sangat dikenal di kalangan ulama cukup luwes dalam berdakwah. Wajarlah kalau ia bisa disebut sebagai mubalig yang sukses dan populis di berbagai kalangan masyarakat

Sosok lelaki berbaju dan berpeci putih dengan berbalut sorban ini tentu sangat dikenal oleh kalangan muhibbin yang ada di tanah air. Dengan kumis dan janggut agak memutih dan sorot mata tajam berkaca mata, wajahnya tampak teduh tapi berwibawa. Di berbagai acara keagamaan yang digelar oleh majelis-majelis taklim yang ada di Jakarta dan sekitarnya, Habib ini biasanya banyak didaulat untuk memimpin tahlil, talkin dan Surah Yasin. Kemampuan Habib yang satu ini, telah jauh-jauh hari diramal oleh salah satu gurunya yakni Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus, salah satu ulama terkenal di Jeddah.
Dialah Habib Hud bin Muhammad Albagir Alattas, yang cukup terkenal sebagai mubalig di antara para jemaah di beberapa majelis taklim seluruh Jabodetabek. “Orang menyangka saya hanya jadi tukang tahlil saja, tidak bisa berdakwah. Padahal, itu tergantung permintaan dari pengundang,” katanya.
Asal muasal ia ditunjuk jadi pemimpin tahlil, talkin dan khutbah nikah, justru bermula dari perintah seorang gurunya. Kebetulan, bapak dari Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus yakni Habib Ahmad di Mekkah meninggal dunia. Habib Yahya justru memerintahkan Habib Hud untuk mentalkinkan orang tua dari Habib Yahya, Habib Ahmad saat dimakamkan di pekuburan Ma’la (Mekkah). Selepas acara penguburan, Habib Yahya berpesan,“Nanti kamu di Indonesia jadi orang yang biasa mentalkin mayat dan mengawinkan orang. Sekarang pelajari lagi cara memandikan mayat dan bab nikah dengan lebih bagus,” kata Habib Hud menirukan gurunya.
Tentu, permintaan untuk mengurus mayat dari mulai memandikan, mengkafani sampai talkin adalah orang-orang besar. Di Indonesia sendiri, Habib Hud pernah mengurus prosesi pemakaman Habib Abubakar (Khalifah Bogor), Habib Ali Lubi, Habib Abdullah Sami’ Alattas, Habib Muhammad Ambon (Benhil) dan lain-lain.
Hari-hari Habib Hud tak pernah sepi dari kegiatan berdakwah, dua majelis Taklim tiap pagi dan sore selalu disambanginya untuk menyampaikan taushiah. Belum lagi acara yang mingguan, dwi minggu sampai yang bulanan mulai pengajian rutin, khutbah jumat dan lain-lain.
Habib Hud lahir di Kebon Nanas, Jakarta Timur, 20 Maret 1959. Mula-mula, sejak usia enam ia belajar agama kepada kakeknya, Habib Abdullah bin Salim Alatas sampai umur 19 tahun. Sang kakek memang masih terhitung salah seorang ulama besar di jaman Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Habib Salim bin Jindan, Habib Ali bin Husein Alattas. Berguru kepada kakeknya itu, Habib Hud merasakan pendidikan dasar yang sangat berharga. ”Dengan ikut tinggal bersama sang kakek, saya merasakan didikan, arahan, pengajian dan ikut di bawa kemana-mana. Saya merasa mendapat pendidikan lebih dari yang diajarkan di sekolah-sekolah,” kata Habib Hud.
Namun, di masa remaja ia sengaja disekolahkan oleh ayahandanya ke sekolah Katolik. “Ayah ingin saya belajar ilmu pengetahuan umum, tapi kakek menginginkan saya belajar ilmu agama. Saya pun belajar di dua sekolah, sekolah Katolik (SD Strada di Polonia) dan Madrasah Ruhul ‘Ulum di Gg. Pedati, Otista masih dekat rumah,” tuturnya. Beberapa guru yang menjadi inspirasi dalam berdakwah, antara lain, adalah Habib Muhsin bin Jindan, KH. Damanhuri, KH. Abdullah Ma’in, KH. Thayib Izzi, dan Ustaz Hadi Jawas.
Selepas menempuh pendidikan dasar, Habib Hud kemudian melanjutkan ke SMP Antonius, masih terhitung sekolah menengah pertama teladan. Dimana siswa yang masuk ke sekolah tersebut adalah siswa-siswa yang mendapat ranking di sekolah dasar. Apalagi kedua orang tuanya, bercita-cita agar Habib Hud bisa menjadi dokter atau insinyur.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, Habib Hud kemudian disekolahkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM) Pelita jurusan listrik di Kenari, Jakarta Pusat. Selepas menamatkan sekolah menengah, ia sempat kuliah di Institut Sains Teknologi Nasional (ISTN) di Cikini selama dua tahun.
Namun, panggilan dakwah dan kecintaan terhadap ilmu agama, tampaknya sudah tak terbendung lagi. Habib Hud kemudian memutuskan berhenti kuliah dan mencari beasiswa untuk bisa berangkat ke luar negeri. Ia sempat mengurus beasiswa ke Kuwait dan Mesir, namun gagal karena tidak cukup dana. Akhirnya, ia dan adiknya, Habib Ali bisa berangkat ke Mekah untuk melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Ummul Qura dengan beasiswa pemerintah Arab Saudi.
Selama dua tahun pertama, Habib Hud banyak menghadiri pengajian kepada beberapa ulama Mekkah seperti Syekh Alwi al-Maliki dan Syekh Ismail Al-Yamani, Syekh Hasan Fad’aq. Sekali pun hanya dua tahun, Habib Hud sangat beruntung, sebab ia bisa menghadiri khataman kitab-kitab langka pada majelis-majelis yang digelar oleh ulama-ulama besar di jamannya. Ia bisa hadir pada acara-acara khataman Kitab Shahih Bukhari dan Muslim serta kitab “Ummahatus Sitt” seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Muwatha’ karya Imam Malik, An-Naawadirul Ushul karangan Imam Hakim At Turmudzy, Al-Ma’ajim Ats-Tsalats karangan Abul Qasim At-Thabrany dan lain-lain.
Kegembiraan itu tak berlangsung lama, sebab Pemerintah Saudi melarang bagi para pendatang yang tidak punya ijin tinggal. “Saya tidak betah, karena sepertinya pemerintah Saudi memaksakan paham Wahabi. Karena itu, sejak 1980 saya memutuskan menjadi santri bebas. Selain itu, saya dan adik belum punya ijin tinggal, takut ada pemeriksaan,” tuturnya lagi.
Setelah itu ia pindah ke Madinah dan mengaji kepada beberapa ulama yang ada di sana selama dua tahun kepada Habib Zen bin Smith dan Habib Salim Syathiri. Ia kemudian pindah lagi ke Jedah, untuk bekerja kepada salah satu keluarganya yang ada di sana. Hingga akhirnya, ia pindah kerja dan mendapat ijin tinggal setelah bekerja di toko kelontong dan busana pada salah pamannya, yakni Habib Umar Alattas.
Sembari bekerja ia mengaji tiap sehabis shalat Subuh kepada beberapa ulama Jedah seperti Habib Ahmad al-Masyhur, Habib Alwi al-Khirrit, dan Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus. “Jam sembilan sudah harus buka toko dan mengaji selepas shalat ashar. Sekali pun letih, beruntung Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus selalu membuka pintu rumahnya dengan terbuka untuk saya,” katanya.
Ia belajar kepada Habib Yahya bin Ahmad Alaydrus selama tujuh tahun. “Beliaulah yang mendidik saya hingga seperti sekarang ini,” katanya. “Habib Yahya sangat mencintai santri-santrinya. Saya sangat merasakannya. Bagaimana cara berdakwah, saya banyak belajar dari beliau. Apa yang terjadi dan saya lakukan sekarang ini antara lain berkat doa beliau,” katanya.
Selama di Jedah, itulah ia juga mempersunting salah putri Habib Umar Alattas dan mempunyai empat putra (3 laki-laki, 1 putri). Saat itu, Habib Hud sudah betah tinggal di Jedah dan tak berniat pulang ke Indonesia. Namun nasib mentakdirkan lain, sang ayahanda tercinta wafat pada 1 Januari 1994. Ia diminta pulang dan melanjutkan jejak dakwah sang ayahanda yang bernaung di bawah Yayasan Assalafi, berupa lembaga pendidikan, panti asuhan dan majelis taklim.
Tepat 4 Januari 1994, ia pulang ke Indonesia dan langsung mengajar di berbagai majelis taklim hingga sekarang. Hari-hari Habib Hud tak pernah sepi dari dakwah dan pengajian. Di rumah dan di majelis-majelis taklim, baik di Jakarta maupun di sekitar Jabotabek. Tidak saja mencintai para santrinya, ia juga sangat memperhatikan jemaahnya dan selalu dekat dengan umat.
Ketua Yayasan Assalafy ini selalu menekankan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam. “Keadaan umat Islam sekarang ini tak lepas dari fenomena munculnya berbagai paham yang saling bertentangan. Yang dipertentangkan sebenarnya bukan masalah tauhid, bukan hal-hal yang prinsipil melainkan hal-hal kecil (furu’ atau cabang) yang pernah terjadi juga sejak dahulu. Pertentangan ini mungkin memang disengaja untuk mengadu domba kita. Perbedaan pendapat itu tidak menjadi masalah. Perbedaan pendapat itu bagus, asal saling menghormati pendapat-pendapat yang ada. Tidak saling memaksakan,” kata Habib Hud.
Perbedaan-perbedaan yang ada di umat Islam bisa disatukan, lanjut bapak empat putra ini, jangan sampai kita berpecah belah. ”Tentu, kita harus mendalami ilmu-ilmu pokoknya (ushul). Hingga kita tidak sulit untuk memecahkan persoalan. Itu tantangan yang harus dikembangkan secara terus menerus, supaya kita luwes dalam berdakwah, tidak sempit. Karenanya perlu dikembangkan pada para kader mubaligh sikap tawasut, tasamuh, tawazzun, untuk menghadapi tantangan dakwah sekarang ini” katanya.
“Kita musti sering duduk bersama, saling mendukung, merangkul, menghormati, berjabat tangan, senyum yang cerah. Jangan seorang muslim dengan muslim karena berbeda pendapat menjadi perputusan silaturahmi. Tidak mau berjabat tangan, duduk bersama, ini salah. Begitu juga dakwah di kalangan wanita-wanita, kita jangan memaksakan sesuatu yang belum bisa mereka kerjakan; seperti hijab, jilbab dan lain-lain,” lanjutnya.
Dampak dari dakwah yang santun dan lembut dari Habib Hud, sangat dirasakan oleh jamaah. Dengan mengikuti pengajian yang rutin, perlahan-lahan sebagian jamaah perempuan banyak yang sudah berjilbab, hormat pada suami, mau duduk teratur, memakai pakaian islami. “Walaupun kita berat berdakwah dengan menerapkan syari’at. Dengan menerapkan sedikit demi sedikit, pasti ada perubahan. Begitu juga dengan perdagangan, jual beli. Mudah-mudahan ada perubahan dan kesan yang bagus,” katanya.
Di lain pihak, ia menekankan perlunya para ulama merakyat, akrab dengan masyarakat kecil. “Dulu, para salafus shalihin, yaitu para ulama saleh di masa lalu, selalu hidup berdampingan dengan rakyat. Karena itu mereka sangat paham dan mengetahui denyut nadi keresahan umat. Mereka tak segan-segan menghadiri pengajian di kampung-kampung tanpa pamrih. Sikap ini yang seharusnya dimiliki oleh para kader mubalig yang memahami taktik dakwah. Untuk itu diperlukan perubahan, baik perubahan di kalangan ulama maupun umat,” tambahnya.
Bagaimana caranya? Tiada lain, menurut Habib Hud, dengan meneladani perikehidupan dan akhlak Rasulullah SAW, selalu mengingat Allah, dan menjalankan perintah maupun larangan-Nya. “Dan jangan lupa, selalu menjaga sepak terjangnya dalam berdakwah dan selalu melakukan sunah-sunah Rasulullah SAW seperti memperbanyak wirid, salat sunah, dan sebagainya,” katanya lagi.
Dalam berdakwah, ada satu hal yang sangat ditekankan oleh Habib Hud, yaitu itba’ (mengikuti jejak) Rasulullah SAW dan berkesinambungan. “Medianya bisa macam-macam, bisa melalui majelis taklim, media massa, kaset, dan sebagainya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Habib Hud juga merekam suara emasnya itu dalam bentuk album Maulid Adzabi. “Kendalanya dana. Sebab master aslinya bukan milik saya. Ke depan, saya akan mengeluarkan album kaset berupa kasidah-kasidah yang biasa dibacakan pada saat shalat tarawih di bulan Ramadan beserta panduan buku shalat dan do’a tarawihnya, insyaallah,” katanya.

AST/ Ft. AST
1. lead
2.Fscn2338.Memimpin acara tahlil. Telah diramal jauh-jauh hari
3.Dscn2463.Sedang menyampaikan khutbah. Pentingnya persatuan umat Islam
4.Dscn1971.Menghadiri acara taklim. Akrab di berbagai kalangan
5.Dscn4552.Mengisi acara majelis taklim. Perlu dakwah yang santun dan lembut

----------------------------
Ak24.Manakib.AST
--------------------------
Habib Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad

Penulis Hebat, Sejarawan dan Mufti Johor


Sayid Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad, seorang penulis yang hebat dan sejarawan yang suka meneliti. Ia pernah menjabat sebagai mufti Johor

Nama lengkapnya ialah Habib Alwi bin Thahir al-Haddad bin Abdullah bin Thaha Abdullah bin Umar bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakar Abu Thahir al-Alawi asy-Syarif al-Huseini. Sampai nasabnya kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib yang kawin dengan Sayidatina Fatimah binti Nabi Muhammad SAW. Habib Alwi bin Thahir al-Haddad lahir di Bandar Qaidun, Hadhramaut, Yaman pada 14 Syawal 1301 H/ 7 Agustus 1884 M.
Jika berbicara tentang suatu persoalan, beliau memaparkan segala seginya dan menguatkannya dengan dalil-dalil aqli dan naqli. Beliau seorang yang memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap Islam dan menjadi pembelanya. Di samping itu, beliau juga pembela keluarga Rasulullah SAW. aktif berhubungan dengan para ahli ilmu di berbagai tempat di seluruh dunia Islam, dan selalu menghindari pertentangan-pertentangan mazhab.
Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad sedari kecil telah bercita-cita menjadi ulama. Ini didukung oleh kecerdasan dan keteguhannya dalam menuntut ilmu, dan selalu menyertai ulama-ulama besar sehingga dapat mencapai puncak keilmuannya dan menghimpunkan berbagai ilmu naqli dan aqli yang membuatnya melebihi rekan-rekan seangkatannya. Bahkan, Sayid Alwi mampu melakukan istinbat dan ijtihad yang cermat dan tidak dapat dicapai oleh sebagian orang.
Guru-gurunya di Hadhramaut ialah Habib Ahmad bin al-Hasan al-Attas al-Alawi, Habib Thahir bin Umar al-Haddad, dan Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad. Banyak bidang ilmu tradisi yang beliau peroleh daripada keluarganya sendiri yang berketurunan Nabi Muhammad SAW.
Sayid Alwi sangat menggemari pelajaran Hadits. Berkali-kali Sayid Alwi al-Haddad menamatkan kitab As-Sittah, Riyadh ash-Shalihin, Bulugh al-Maram, Jami’ ash-Shaghir. Untuk memperdalam ilmu hadits Sayid Alwi al-Haddad mempelajari kitab-kitab mengenai sanad hadits seperti ad-Dhawabidh al-Jaliyah fi al-Asanid al-‘Aliyah karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Syamsuddin Abdullah bin Fathi al-Farghali al-Hamisyi. Demikian juga kitab ats-tsabat yang berjudul as-Samth al-Majid karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Shafiyuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasyasy al-Madani. Sayid Alwi al-Haddad telah berhasil memperoleh ilmu dan ijazah daripada para gurunya serta dengan sanad-sanad yang bersambung.
Selain guru tersebut, Sayid Alwi al-Haddad juga memperoleh ilmu daripada ayah saudaranya Imam Habib Abdullah bin Thaha al-Haddad, juga dengan Habib Thahir bin Abi Bakri al-Haddad. Guru-guru beliau yang lain adalah al-Mu’ammar Sirajuddin Umar bin Utsman bin Muhammad Ba Utsman al-Amudi ash-Shiddiqi al-Bakari. Sayid Alwi al-Haddad juga sempat mendengar riwayat hadits dari Sayid ‘Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal yang wafat tahun 1250 H/1834 M.
Diriwayatkan bahawa Sayid Alwi al-Haddad ialah seorang yang sangat cergas. Sedikit saja belajar namun penguasaan akan ilmu pengetahuannya langsung meningkat. Pada umur 12 tahun, Sayid Alwi al-Haddad menghatamkan Ihya ‘Ulumidin karya Imam al-Ghazali. Dalam usia 17 tahun ia telah mengajar dan mengajar kitab yang besar-besar dan ilmu yang berat-berat seperti ilmu tafsir, hadits, fiqh, usul fiqh, tarikh, falak, nahwu, shorof, balaghah, filsafat dan tasawuf.
Beliau juga memiliki karangan-karangan yang banyak dan kajian-kajian di berbagai surat kabar dalam bermacam-macam persoalan kemasyarakatan, politik, aqidah, sejarah dan fatwa yang mencapai 13000 masalah.
Sebagai ulama dan mufti, ia kerap diminta untuk berpidato dan memberikan ceramah pada pertemuan-pertemuan umum. Ceramah yang disampaikannya di depan Jong Islamieten Bond (Perkumpulan Pemuda Muslimin) telah diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Arab. Pemimpin Sarekat Islam yang terkenal, Haji Oemar Said Cokroaminoto sering berhubunngan dengannya. Ketika dia sedang mengarang buku tentang sejarah Nabi dalam bahasa Indonesia , dia menunjukkan kepada Sayid Alwi yang kemudian memeriksanya dan memberikan kata pengantar untuk buku itu. Pertama kali buku itu dapat diterbitkan atas biaya seorang dermawan dan kemudian buku itu dapat diterbitkan untuk yang kedua kalinya.
Sayid Alwi memiliki karangan-karangan yang banyak yang akan kami sebutkan berikut ini agar dapat diketahui betapa luas pengetahuannya. Beberapa diantara karangannya adalah: Al-Qaul al-Fashl fi Maa li Bani Hashim wa Quraisy wal-Arab Min al-Fadhl (dua jilid), Kumpulan Fatwa (berisi sekitar 12000 fatwa), masalah Durus as-Sirah an-Nabawiyah dalam dua jilid kecil, Kitab tentang hukum-hukum nikah dan qadha dalam bahasa Melayu (diterbitkan dalam dua jilid), Mukhtashar Aqd al-Aali karangan Sayid Idrus bin Umar al-Habsyi, I’anah an-Nahidh fi Ilm al-Faraidh, Majmuah min Ulum al-Falak (jilid besar), Ath-Thabaqat al-Alawiyyah dan lain-lain.
Sayid Alwi al-Haddad mengembara ke pelbagai negara untuk berdakwah dan mengajar, di antaranya Somalia, Kenya, Mekah, Indonesia, Malaysia dan lain-lain. Di Jakarta, Sayid Alwi al-Haddad pernah mengajar di Madrasah Jam’iyah al-Khair yang didirikan oleh keturunan Sayid di Indonesia. Madrasah Jam’iyah al-Khair ialah sekolah Islam yang mengikut sistem pendidikan moden yang pertama di Indonesia, Sayid Alwi al-Haddad pula termasuk salah seorang guru yang pertama sekolah. Jabatan pertama Sayid Alwi adalah Wakil Mudir sekolah. Sementara itu, Mudirnya ialah Sayid Umar bin Saqaf as-Saqaf.
Para guru didatangkan dari pelbagai negara. Antara mereka ialah Ustadz Hasyimi yang berasal dari Tunis, Syeikh Ahmad bin Muhammad as-Surkati yang berasal dari Sudan (mengajar di Madrasah Jam’iyah al-Khair tahun 1911 - 1914), Syeikh Muhammad Thaiyib al-Maghribi yang berasal dari Maghribi, Syeikh Muhammad Abdul Hamid yang berasal dari Mekah.
Sayid Alwi bin Thahir termasuk salah seorang pendiri ar-Rabithah al-Alawiyyah di Indonesia. Selain mengajar di Jakarta beliau juga pernah mengajar di Bogor dan tempat-tempat lain di Jawa. Beberapa muridnya dikenal menjadi ulama besar yang pernah menjadi murid Sayid Alwi al-Haddad, diantaranya: Habib Alwi bin Syeikh Bilfaqih al-Alawi, Habib Alwi bin Abbas al-Maliki, Habib Salim Aali Jindan, Habib Abu Bakar al-Habsyi, Habib Muhammad bin Ahmad al-Haddad, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, Habib Husein bin Abdullah bin Husein al-Attas, Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath al-Makki, KH Abdullah bin Nuh dan lain-lain.
Belakangan Kesultanan Johor di Malaysia memilihnya untuk menjabat sebagai mufti di sana. Beliau menjabat sebagai mufti Kerajaan Johor dari tahun 1934 hingga tahun 1961. Sayid Alwi menjadi mufti Johor menggantikan Allahyarham Dato’ Sayid Abdul Qader bin Mohsen Al-Attas. Beliau wafat pada 14 November 1962 (1382 H) dan dikebumikan di Tanah Perkuburan Mahmoodiah Johor Bahru. Beliau mempunyai keturunan yang kemudian pindah ke Jazirah Arab bagian selatan, di antaranya adalah putranya Sayid Thahir dan Sayid Hamid.
AST
Caption:
lead (Foto Scan)
Gedung Jami’at Kheir, Tanah Abang. Guru banyak ulama dan habaib (perlu dicari)
Kesultanan Johor Bahru, Malaysia. Sebagai Mufti dan rujukan umat

------------------------------------------------------------------------
AK25.Manakib.HabibHusainbinMuhammadAlHaddad.AST
------------------------------------------------------------------------
Habib Husain bin Muhammad Al-Haddad

Maula dari Jombang
Ia dikenal sebagai orang yang memperhatikan kepentingan kaum muslimin.

Jombang dikenal sebagai tempat belajar santri-santri dari berbagai pelosok Indonesia. Di kabupaten ini paling tidak ada dua pondok pesantren yang dijadikan rujukan oleh pesantren-pesantren salaf di Indonesia, yakni Pondok Pesantren Darul Ulum (didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah) dan Pesantren Tebuireng (didirikan oleh KH.Hasjim Asy’ari.). Tak heran jika kota Jombang, menjadi rujukan kunjungan tamu-tamu baik ulama’ maupun auliya’ dari berbagai belahan dunia. Mereka berkunjung untuk bertukar ilmu dan sambil menyebarkan dakwah.
Salah satunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Haddad. Ia dilahirkan di kota Geydoon, Hadramaut, Yaman Selatan pada 1302 H. Sedari kecil ia telah dididik oleh aayah dan kakeknya, dalam lingkungan yang sarat religius, penuh ketakwaan dan kebajikan.
Kegemarannya menuntut ilmu berlanjut hingga usia remaja, di mana ia selalu menghadiri majelis-majelis ta’lim ulama-ulama. Tentu saja ulama-ulama yang ia datangi untuk menimba ilmu, terutama dari ulama-ulama yang suka beramal dan para wali yang saleh. Termasuk saat menunaikan haji dan berziarah ke makam datuknya, Nabi Muhammad SAW di Madinah, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu muka dengan ulama-ulama terkenal dan ia banyak mengambil manfaat dan keutamaan dari mereka.
Pada tahun 1329 H, ia pergi ke Indonesia untuk bertemu dengan sang ayahanda tercinta yakni Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad (Tegal). Selain itu, ia juga berguru dengan banyak ulama yang ada di tanah Jawa ini, diantaranya Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad (kakak kandungnya), Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Alattas (Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muchdor (Bondowoso), Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad (Bangil), Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) dan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas (Pekalongan).
Ia selalu mengikuti majelis taklim dan mendengarkan fatwa-fatwa mereka, sehingga mereka pun sangat senang melihat, memperhatikan bahkan mencintainya.Guru yang banyak berperan membentuk karakter dan kepribadian Habib Husain adalah Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Hubungan diantara Husain dan kakaknya memang tergolong sangat istemewa. Mereka berdua dikenal memiliki hubungan yang sangat erat, masing-masing dari mereka menampakan sifat tawadhu’ dan saling menghormati. Puncak dari ahlak dari Habib Husain adalah apabila pulang dari majelis taklim yang diasuh oleh kakaknya, ia berjalan mundur tidak membelakangi punggungnya.
Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) pernah berkata,”Saya belum pernah melihat dua bersaudara seperti Alwi dan Husain. Sesungguhnya salah satu dari mereka memperhatikan lebih banyak urusan saudaranya dari pada dirinya sendiri, sehingga bila salah satu dari mereka meminta doa dari orang lain, maka dimintakan untuk saudaranya dan tidak menyebut dirinya sendiri.”
Pernah suatu hari Habib Husain berada di kota Bogor dan bermalam di rumah Habib Alwi. Saat akan tidur, ia memilih tidur di lantai bawah dan menolak tidur di atas, takut kalau-kalau kakaknya bangun dan menunaikan shalat tahajjud, di mana ia berada di atas sedangkan kakaknya sedang sujud di lantai bawah. Inilah batasan tertinggi dari adab kesopanan dan pengormatan Habib Husain terhadap kakaknya.
Habib Husain pertama kali berkunjung ke Indonesia di kota Tuban. Namun di kota Tuban, tidak lama, ia kemudian pindah lagi dan banyak menetap di kota Jombang. Kedua kota ini menjadi saksi sebagai tempat tujuan para tamu dari seluruh pelosok negeri. Ia dikenal ramah dan suka menolong pada orang lain, terutama kaum fakir miskin. Bahkan tamu yang keluar masuk, siang dan malam selalu diterima dengan senyuman muka, sambutan penuh cinta dan kasih. Ia pun selalu memberi nasehat kepada mereka, oleh karenanya para tamu yang hadir ke rumahnya sangat gembira dengan penghormatan dan nasehat yang bermanfaat.
Dalam menghadapi tamu, khususnya kaum muda dan remaja, ia selalu menasehatkan agar selalu berbakti pada kedua orang tua (birul walidaian). Ia selalu menceritakan akan kedudukan dan kebesaran yang tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Ridha Allah itu tergantung dari ridha orang tua dan murka Allah juga tergantung keduanya.”
Habib Husain menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW juga memberikan ancaman kepada anak-anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya, seperti hadits.”Tiga macam dosa yang surga diharamkan oleh Allah SWT untuk dimasukinya yaitu orang yang selalu minumm khamer, orang yang durhaka kepada kedua orang tua, dan dayyuth (orang yang sengaja memelihara pelacur atau orang yang membiarkan isterinya melacur).
Daya pikir nya sangat luas. Ini terpancar dari kata-kata yang senantiasa terpancar penuh hikmah dan ilmu.
Habib Husain sangat menghormati tamu-tamunya. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat melayani dan menghormati tamu, menimba air untuk mengisi kamar mandi di tengah malam sebelum shalat malam, semuanya ia lakukan sendiri bahkan melarang orang lain untuk melakukan hal itu.
Ia juga sangat memperhatikan keadaan kaum muslimin dengan sungguh-sungguh. Apabila ia mendengar kabar yang menyenangkan dari mereka, ia sangat gembira. Tetapi sebaliknya, jika mendengar berita yang tidak baik dan menyusahkan, ia sangat sedih namun ia langsung mendoakanya semoga kaum muslimin dijauhkan dari bala dan bencana.
Selain itu, ia dikenal sangat memperhatikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan kemauannya untuk membantu sekolah-sekolah Islam….Perasaan gembira dan senang akan timbul bila mendengar berita akan kemajuan pendidikan agama mereka, tetapi ia akan marah dan menyesal bila mereka tidak mengindahkan dan menomorsatukan pendidikan umum(duniawiyah), yang mana nantinya mereka akan menangis darah dan menyesal selamanya jika menyaksikan putra-putri mereka jauh dari agama Islam dan bahasa Arab.
Puncak ketekunan dalam beribadah adalah istiqamah dan ikhlas. Kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan yaitu bangun tengah malam untuk bertahajud dan munajat kehadhirat Allah SWT.
Kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah, atau karamah dan yang menherankan serta mengejutkan ini juga terjadi pada Habib Husain. Walaupun ia tidak suka mengatakan dan menyebutkannya. Ia memiliki sifat kasyaf(mejyingkap hati seseorang) atas izin Allah.
Pernah terjadi pada orang yang sangat dekat dengannnya. Ketika itu sahabatnya sedang menunaikan ibadah haji dan saat melaksanakan thawaf ia terjatuh. Saat terjatuh itulah, pertolongan Allah datang, dan ia mendapati dirinya didekat Habib Husain. Setelah sadar, orang tersebut mendapati Habib Husain berada disampignya dan mengatakan bahwa dialah yang telah membantu kecelakaan itu.
Amaliyah ibadahnya, diantaranya bertafakur (merenungkan segala ciptaanAllah dengan memperhatikan segala rahasia dan keajaiban yang terkandung di dalamnya). Berdzikir, dimana lisannya tidak pernah bosan dan kering akan menyebut asma Allah. Setiap detik waktunya, selalu dimanfaatkan untuk mendekatkan diri dengan ketaatan dan ibadah. Praktis, setiap orang yang dating ke Jombang akan mendapatkan banyak faedah dari majelis taklimnya.
Habib Husain sangat disukauii oleh segenap lapisan masyarakat yang umum maupun yang khusus dengan penghormatan yang sempurna. Ia sering menasehati orang-orang kaya agar membantu kaum fakir miskin dan mengingatkan akan ancaman kepada yang bakhil dan kikir. Bagi mereka yang menuruti nasehat nya, maka majulah perdagangannya, tapi sebaliknya, bagi yang bakhil dan kikir, harta benda mereka tertimpa kemusnahan, kehancuran dan kepailitan.
Habib Husain banyak mempunyai andil dalam pembangunan masjid-masjid dan madrasah diniyah diantaranya seperti masjid Araudhoh di kota Jombang dan Madrasah Islamiyah di Gresik.
Sesungguhnya bila diamati, pada hakekatnya Habib Husain terkenal dengan akhlaq, amal perbuatan serta sifat-sifat baik beliau mengisi kehidupannya antara ibadah kepada Allah dan memberi faedah kepada hamba-hamba-Nya. Memanfaatkan waktu dan umurnya serta membelanjakan harta di jalan Allah sampai akhir hayatnya.
Habib Husain wafat pada malam ahad tanggal 21 Jumadil Tsani 1376 H di kota Jombang. Masyarakayt dari seluruh pelosok dalam dan luar kota berduyun-duyun bertakziyah, mereka dalam keadaan sedih dan kerugian yang amat besar karena harus berpisah dengan seorang wali Allah.
Jenazahnya kemudian dishalatkan dan bertindak sebagai imam adalah Habib Ahmad bin Gholib Al-Hamid dan sesuai wasiatnya, jasadnya kemudian dibawa ke kota Tegal,pada hari kedua untuk dimakamkan di dekat ayahnya. Bertindak sebagai imam shalat jenazah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi.

AST/Ft AST

Lead
Habib Husain bin Thahir Al-Hadad. Seorang auliya’ yang tinggal di Jombang
Makam Habib Husain di kota Tegal. Berdampingan dengan sang ayahanda

----------------
Manakib
----------------
Habib Hasan bin Ahmad Baharun (Manakib)

Ahli Bahasa Arab dari Raci, Pasuruan

Dia dikenal sebagai seorang ahli bahasa Arab, dan pendiri Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Raci, Pasuruan. Dialah Habib Hasan bin Ahmad Baharun

Setiap bulan Ramadhan tiba, Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Raci, Pasuruan selalu mengadakan program belajar kilat Bahasa Arab. Kesempatan untuk mempelajari bahasa Arab ini mengundang ratusan peminat tidak saja dari kalangan santri, namun juga diikuti oleh mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai universitas yang ada di Jawa Timur, seperti dari Surabaya, Malang, Madura dan lain-lain.
Memang Bahasa Arab di Indonesia sampai sekarang dianggap sebagai bahasa yang sulit, dan walaupun mayoritas orang Indonesia tidak bisa berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan mengikuti program belajar kilat, setiap santri mempelajari bahasa Arab dengan metode khusus dari awal bulan sampai akhir Ramadhan. Dalam waktu yang singkat setiap santri mampu berkomunikasi bahasa arab yang benar (fushah).
Yang mengajar program ini adalah Habib Hasan bin Ahmad Baharun, pria kelahiran Kepulauan Kecil, Sumenep, Madura 11 Juni 1934. Ia dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah yang terletak di Desa Raci, Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Dia dikenal sebagai seorang ahli bahasa Arab. Ustadz Hasan bin Ahmad Baharun dari masa mudanya telah diilhami oleh rasa cinta untuk menyebarluaskan bahasa Arab. Niat beliau tiada lain adalah kecintaan dan menjalankan perintah baginda Nabi Muhammad saw sebagaimana sabdanya, ”Belajarlah kalian bahasa Arab dan ajarkanlah kepada umat manusia.”
Sumbangsih Habib Hasan terhadap dunia Bahasa Arab bisa kita lihat dalam karya–karya tulisnya, antara lain Kamus Al-‘Ashriyah (Kamus Modern), Kitab Muhawarah I, Kitab Muhawarah II, Al-Af’al Al-Yaumiyyah dan Al-Asma Ál-Yaumiyyah. Kitab-kitab yang dikarangnya itu merupakan kitab-kitab yang cukup populer di dunia pesantren dan perguruan tinggi Islam.
Ia selalu menasehati kepada santri-santrinya untuk selalu berbicara bahasa arab dengan niat mengikuti (ittiba’) dan meneruskan bahasa yang keluar dari mulut Nabi Muhammad SAW. Karena bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an yang suci dan bahasa ahli surga. Semangatnya dalam mensyiarkan bahasa Arab tertanam sejak berusia muda. Ia selalu berpindah-pindah dari pesantren ke pesantren lain, dari madrasah ke madrasah lain. Beliau selalu memperkenalkan kepada para pelajar cara belajar bahasa arab dengan mudah dan gampang di mengerti serta di pahami terutama bagi para pemula.
Dalam pengajaran nya beliau selalu memperkenalkan yang pertama kali adalah: isim, fiil dan huruf. Beliau selalu berkata,” Bahwa bahasa arab tidak keluar dari tiga unsur diatas, itu semua dilakukan agar orang-orang gemar dan tidak merasa sulit dalam belajar bahasa Arab.”
Habib Hasan bin Ahmad Baharun merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari pasangan Habib Ahmad bin Husein bin Thohir bin Umar Baharun dengan Fathmah binti Bakhabazi. Sejak masih kecil, ia sudah ditanamkan kedisplinan dan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya hingga mengantarkan Habib Hasan menjadi sosok yang berakhlaq tinggi dan pribadinya dipenuhi sifat-sifat terpuji.
Selain mendapat didikan langsung dari kedua orangtuanya, Habib Hasan juga menempuh pendidikan dasar di Madrasah Makarimal Akhlaq, Sumenep. Ia juga berguru pada sang kakek, yakni Ustadz Ahmad bin Muhammad Bakhabazi. Habib Hasan juga menimba ilmu dari paman-pamannya sendiri seperti, Ustadz Ustman bin Ahmad Bakhabazi dan Umar bin Ahmad Bakhabazi.
Selepas menamatkan Madrasah, Habib Hasan melanjutkan pendidikan ke PGA di Sumenep, namun cuma sampai kelas 4. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengah (SMEA) di Surabaya. Di kota pahlawan itu, ia juga berguru pada Habib Umar Ba’agil. Selain belajar ilmu agama, Habib Hasan sejak usia remaja telah menjadi seorang aktivis gerakan keislaman. Ia aktif di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan Pandu Fatah Al-Islam di Sumenep.
Setamat dari SMEA, ia mengikuti ayahnya berdakwah dan sembari berdagang ke Pulau Masalembu. Keluarga ustadz Hasan Baharun dikenal sebagai keluarga yang ramah dan suka membantu siapa saja. Apabila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya, maka disuruh membayar semampunya, bahkan tak jarang dibebaskan dari seluruh hutang-hutangnya.
Tahun 1966, ia merantau ke Pontianak dan mulai berdakwah dari satu desa ke desa yang lainnya. Uniknya, selama berdakwah ia selalu membawa seperangkat pengeras suara agar tidak merepotkan masyarakat dan kebetulan saat itu alat pengeras suara masih sangat langka. Ia juga membawa tabir (kain pemisah) untuk menghindari terjadinya ikhtilat (pencampuran) antara laki-laki dan perempuan dalam setiap pertemuan yang ia selenggarakan.
Selain berdakwah, Habib Hasan aktif di partai Nahdlatul Ulama. Ia dikenal sebagai juru kampanye (jurkam) yang berani dan tegas dalam menyampaikan kebenaran. Sehingga, ia sempat diperiksa dan ditahan oleh aparat keamanan. Pada saat itu, masyarakat akan melakukan demostrasi besar-besaran apabila tidak dikeluarkan. Atas jaminan dan bantuan salah satu pamannya, akhirnya Habib Hasan dibebaskan.
Sekitar tahun 1970, atas permintaan dan perintah dari ibunya ia pulang ke Madura. Namun, ia masih sempat berdakwah ke Pontianak dan mengajar bahasa arab di Pesantren Gondanglegi (Malang). Selain itu, ia juga mengajar di pondok pesantren Sidogiri (Pasuruan), Salafiyah Asy-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Langitan (Tuban) dan lain-lain.
Dari hubungan dengan yang harmonis dengan berbagai pondok pesantren yang ada di Jawa Timur di atas, ini yang memudahkan Habib Hasan bin Ahmad Baharun mendirikan pesantren tepatnya tahun 1982. Awalnya ada 6 orang santri yang belajar di rumah sewa di Kota Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana para santri tersebut dibina langsung olehnya dan Habib Ahmad As-Saqqaf. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1983 membuka atau menerima santri putri yang berjumlah 16 orang yang bertempat di daerah yang sama. Keadaan (tempat pondok pesantren) terus berpindah-pindah tempat dan sampai 11 kali kontrak rumah hingga tahun 1984.
Dengan jumlah santri yang terus berkembang serta tempat (rumah sewa) tidak dapat menampung jumlah santri, maka pada tahun 1985 Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah pindah ke sebuah desa yang masih jarang penduduknya dan belum ada sarana listrik, tepatnya di Desa Raci, Kecamatan Bangil. Jumlah santri pada waktu itu sebanyak 186 orang santri yang terdiri dari 142 orang santri putra dan 48 orang santri putri.
Setelah Ustad Hasan bin Ahmad Baharun wafat pada 8 Shafar 1420 H atau 23 Mei 1999, pondok ini kemudian disasuh oleh salah satu anaknya, yakni Habib Zain bin Hasan bin Ahmad Baharun yang merupakan murid asuhan Almarhum Buya Habib Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki.
Hingga saat ini lahan yang ada telah mencapai kurang lebih 4 Ha dan telah hampir terisi penuh oleh bangunan sarana pendidikan dan asrama santri dengan jumlah santri sekitar 1500 yang berasal dari 30 propinsi di Indonesia, negara-negara Asia Tenggara dan Saudi Arabia. Santri-santri dibina oleh tidak kurang 100 orang guru dengan lulusan/alumni dalam dan luar negeri. Ditambah dengan pembantu yang diikutkan belajar sebanyak sekitar 95 orang.

AST, Ibnu Zain Alkaf
Caption:
Lead
Habib Hasan Baharun menyampaikan taushiah. Pakar Bahasa Arab dari Bangil
Suasana Haflah Akhirussanah. Memasuki tahun ajaran baru
Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah. Rujukan belajar Bahasa Arab (Ft Ada di Kalender Pondok Darullughah).
Makam Habib Hasan Baharun. Selalu dikunjungi penziarah (Ft. Ada di Kalender Pondok Darullughah).

--------------------------------
AK23.Mutiara Rasul.AST
--------------------------------
Takluknya Raja Habib bin Malik

Sekalipun Rasulullah SAW telah membelah bulan menjadi dua bagian, dan masing-masing bagian dimasukan ke lengan bajunya, Raja Habib bin Malik belum mengakui kerasulan beliau. Bagaimana kisahnya sehingga ia bisa takluk?

Pada jaman jahiliyah hiduplah seorang raja bernama Habib bin Malik yang berkuasa di negeri Syam. Namanya sangat terkenal hingga ke kota Mekkah dan orang-orang kafir sangat menghormatinya. Mereka mengaguminya karena Raja Habib bin Malik itu termasuk penyembah berhala yang sangat fanatik sehingga ia sangat menentang dan membenci setiap agama-agama baru yang didakwahkan ke muka bumi.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Abu Jahal untuk mengadu domba Raja Habib bin Malik dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika Abu Jahal mengirim surat kepada Raja Habib bin Malik yang isinya menceritakan tentang Rasulullah dan agama baru yang dibawanya. Isinya tentu saja dibuat sedemikian rupa oleh Abu Jahal sehingga membuat Raja Habib bin Malik penasaran dan ingin bertemu langsung dengan Rasulullah SAW.
Ternyata dugaan Abu Jahal tidak meleset, karena begitu Habib bin Malik mendapat suratnya, ia segera mengirim surat balasan melalui seorang utusan bahwa dalam waktu dekat akan berkunjung ke Mekkah untuk bertemu langsung dengan Muhammad SAW dan mengujinya.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Habib bin Malik menuju kota Mekkah dengan iring-iringan sepuluh ribu pengawal. Ketika rombongan Raja Habib sampai di daerah yang bernama Abthah, ia mengirim seorang utusan untuk memberitahukan kepada Abu Jahal bahwa dirinya telah sampai perbatasan kita Mekkah. Maka Abu Jahal mendengar berita tersebut, bersama pemuka-pemuka kafir Quraisy lainnya menyambut dengan ramainya dan memberi beraneka smacam hadiah.
Pada pertemuan sambutan tersebut, Habib bin Malik bertanya,”Seperti apa kepribadian Muhammad?”
“Sebaiknya itu tuan tanyakan saja kepada keluarga dari Bani Hasyim,” jawab Abu Jahal.
Kemudian Habib bin Malik bertanya kepada kaum kerabat Muhammad dari Bani Hasyim. Apa jawabannya?
“Kami mengetahui masa kecil Muhammad. Ia adalah seorang anak yang bisa dipercaya, jujur serta baik budi pekertinya. Tetapi, sejak usianya menginjak 40 tahun, ia mulai menyiarkan agama baru, dengan menghina dan menyepelekan tuhan-tuhan yang kami sembah. Ia menyiarkan agama selain dari agama warisan nenek moyang kami,” kata salah seorang keluarga bani Hasyim.
Setelah mendengar penjelasan dari Bani Hasyim, Habib bin Malik lalu menyuruh utusan untuk memanggil Muhammad.
“Bila ia tidak mau dipanggil dengan cara yang sopan, maka paksalah ia supaya datang kemari!”
Rasulullah SAW yang mendapat panggilan tersebut, langsung menuju ke tempat Raja Habib bin Malik berada dengan ditemani sahabat Abu Bakar dan Khadijah, isteri beliau. Sepanjang perjalanan, Khadijah tidak henti-hentinya meneteskan air mata karena khawatir atas keselamatan suaminya di hadapan raja zalim itu.
Perasaan yang serupa juga tampak dari raut muka sahabat Abu Bakar yang penuh kecemasan, hanya ia diam saja mendampingi langkah-langkah Rasulullah SAW yang berjalan cepat di depannya. Khadijah yang semakin cemas itu, dari belakang kemudian berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sangat mengkhawatirkan keadaan dan keselamatanmu dari murka orang-orang kafir.”
“Kalian jangan takut, kita serahkan saja semuanya kepada Allah SWT,” kata Rasulullah SAW yang saat itu memakai jubah warna merah dan sorban hitam pemberian Abu Bakar.
Sampai di tempat Raja Habib bin Malik, Rasulullah disambut dengan cukup ramah dan dipersilahkan duduk di kursi emas yang telah dipersiapkan sebelumnya. Khadijah yang hatinya masih diliputi kekhawatiran, berdoa kepada Allah,”Ya Allah. Tolonglah Muhammad dan kuatkan hatinya.”
Ketika Rasulullah telah duduk di kursi yang disediakan Habib bin Malik, terpancarlah sinar kemilau dari wajahnya yang penuh kewibawaan sehingga membuat yang melihatnya tertegun keheranan.
Kemudian, Habib bin Malik mengawali pembicaraannya dengan bertanya,”Wahai Muhammad, tentu engkau telah mengetahui bahwa setiap nabi pasti memiliki mukjizat. Bila engkau mengaku sebagai nabi, mukjizat apakah yang telah engkau miliki?”
Mendapat pertanyaan seperti itu beliau tidak langsung menjawabnya, tetapi beliau balik bertanya kepada Habib bin Malik,”Mukjizat apakah yang tuan kehendaki?”
“Aku menginginkan matahari yang sedang bersinar itu engkau tenggelamkan, kemudian munculkanlah bulan. Setelah bulan muncul, lalu turunkanlah dengan tanganmu sendiri. Setelah bulan berada di tanganmu, lalu belahkan bulan itu menjadi dua bagian, dan masukkanlah masing-masing ke lengan baju mu sebelah kiri dan kanan. Kemudian keluarkan lagi bulan itu dari kedua lengan bajumu, lalu satukanlah lagi. Dan suruhlah bulan itu mengakui bahwa kamu adalah seorang rasul. Setelah itu, kembalikanlah bulan itu ke tempatnya semula. Jika kamu dapat melakukan semua itu, aku akan beriman kepadamu dan mengakui kenabianmu,” kata Raja Habib bin Malik.
Permintaan Habib bin Malik tersebut aneh sekali kedengarannya dan terlalu mengada-ada. Mendengar permintaan itu, Abu Jahal sangat gembira sebab ia sudah yakin Muhammad pasti tidak dapat melakukannya. Akan tetapi, ia menjadi waswas ketika dengan tegas dan penuh keyakinan, beliau menjawab tantangan itu dengan berkata,”Aku penuhi permintaan tuan.”
Bagi Rasulullah, tidak ada sesuatu yang mustahil, selama beliau meminta pertolongan Allah SWT, pasti akan dikabulkan. Kemudian, beliau berjalan ke arah Gunung Abi Qubaisy dan melakukan shalat dua rakaat. Selesai shalat, beliau menengadahkan tangannya tinggi-tinggi berdoa memohon kepada Allah agar apa yang menjadi permintaan Habib bin Malik dapat dipenuhi dengan baik dan sempurna. Kemudian, datanglah pasukan malaikat yang berjumlah 12.000 dan tidak seorang pun yang mengetahui kedatangan malaikat-malaikat tersebut kecuali Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyampaikan salam kepadamu. Allah berfirman,’Wahai kekasihku, janganlah engkau takut dan ragu. Sesungguhnya Aku senantiasa bersamamu di mana pun kamu berada. Aku telah menetapkan keputusan-Ku sejak jaman azali, tentang apa yang menjadi permintaan Habib bin Malik pada hari ini. Sekarang pergilah engkau ke hadapan mereka untuk menunjukan hujjah tentang kerasulanmu. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang memperjalankan matahari dan bulan serta yang mengganti siang dengan malam. Selain itu, Habib bin Malik mempunyai seorang putri yang cacat, tidak mempunyai kaki dan tangan serta buta. Allah telah menyembuhkan anak perempuan Habib bin Malik menjadi seorang yang sempurna bentuknya, bisa berjalan, meraba dan melihat,’” kata malaikat itu menyampaikan firman Allah.
Maka bergegaslah Rasulullah turun dari Gunung Abi Qubaisy dan menjumpai orang-orang kafir yang sedang menantinya. Bias cahaya yang memantul dari wajah Rasulullah semakin bersinar. Sedangkan di atasnya para malaikat pimpinan Jibril berbaris mengikuti langkah-langkah Rasulullah.
Waktu itu hari telah beranjak senja, matahari hampir saja tenggelam ke peraduannya sehingga suasana menjadi remang-remang. Kemudian, beliau berdoa agar bulan segera keluar maka keluarlah bulan dengan sinarnya yang benderang. Dengan kedua jarinya, Rasulullah mengisyaratkan agar bulan segera turun kepadanya.
Tiba-tiba suasana menjadi amat menegangkan karena suara gemuruh yang sangat menyeramkan. Awan berjalan mengiringi turunnya bulan ke tangan Rasulullah SAW, kemudian setelah bulan berada dalam tangan beliau, dibelahnya bulan itu menjadi dua bagian, yang masing-masing bagian dimasukan ke lengan bajunya. Satu di sebelah kanan dan satunya lagi di sebelah kiri.
Tidak lama kemudian, beliau mengeluarkan bulan tersebut dan menyatukannya kembali maka jadilah terlihat oleh semua orang bahwa Rasulullah tengah menggenggam bulan yang sedang bersinar cemerlang. Hal tersebut membuat orang-orang yang menyaksikan semakin takjub dan terbengong-bengong.
Lebih terkejut lagi karena kemudian mereka mendengar suara yang sangat keras bergema, ”Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-hamba-Nya dan utusan-Nya.” Itulah suara bulan yang bersaksi akan kerasulan beliau, seperti permintaan Raja Habib bin Malik.
Kejadian tersebut telah menggoncangkan perasaan yang hadir di tempat tersebut. Kalau itu dibilang mimpi, tetapi ini adalah kenyataan. Mukjizat yang demikian luar biasa hebatnya disaksikan sendiri oleh Raja Habib bin Malik. Ia menyadari bahwa kejadian aneh ini tidak mungkin terjadi pada manusia biasa, walaupun ia mempunyai sihir yang sangat hebat.
Akan tetapi hatinya belum terbuka juga untuk menerima kebenaran Islam. Ia masih hendak mencoba kembali Rasulullah dengan suatu cobaan yang sebenarnya telah terjawab melalui pemberitahuan Jibril.
“Aku masih mempunyai syarat lagi untuk mengujimu.” Belum lagi Habib bin Malik melanjutkan ucapannya, Rasulullah telah terlebih dahulu memotong pembicaraan,”Engkau mempunyai seorang putri yang cacat bukan? Sekarang, Allah telah menyembuhkannya dan menjadikannya menjadi seorang putrid yang sempurna bentuknya.”
Mendengar ucapan Rasulullah, sangatlah girang hati Habib bin Malik. Seketika itu juga ia berdiri dan berseru di hadapan orang-orang kafir Quraisy yang belum habis keheranan mereka. Habib berseru,”Hai penduduk Mekkah, kalian yang telah beriman. Janganlah kembali kafir, karena tidak ada lagi yang perlu diragukan dengan peristiwa ini. Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan-Nya dan hamba-Nya!”
Peristiwa itu diakhiri dengan masuk Islamnya Habib bin Malik serta seluruh bala tentaranya. Tiada orang yang paling jengkel dan marah melihat peristiwa selain Abu Jahal. Ia terperangkap oleh permainan yang ia buat sendiri. Dengan emosi, ia langsung mendekati Habib bin Malik dan berkata,”Wahai junjungan orang Quraisy, apakah engkau beriman kepada tukang sihir ini, hanya melihat kehebatan sihirnya?”
Raja Habib bin Malik tidak menghiraukan ejekan Abu Jahal. Ia segera berkemas untuk pulang ke negeri asalnya karena tidak sabar lagi ingin segera melihat keadaan puterinya.
Setiba di istana, baginda raja disambut dengan sangat meriah oleh rakyatnya. Di depan pintu gerbang ia disambut oleh puterinya yang kini mempunyai anggota tubuh yang lengkap dan berucap,”Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”
Alangkah terkejutnya Habib mendengar kata-kata putrinya tadi. Kemudian ia bertanya,”Wahai putriku, darimana kamu mengetahui ucapan seperti ini? Siapa yang mengajarimu?”
“Aku bermimpi. Dalam tidurku aku didatangi oleh seorang laki-laki rupawan. Ia berkata bahwa ayahanda telah masuk Islam. Jika aku mau menjadi muslimah, anggota tubuhku akan menjadi lengkap. Tentu saja aku mau dan kemudian aku mengucapkan dua kalimah syahadat, seperti yang barusan ayahanda dengar.”
Seketika itu Habib bin Malik bersujud ke hadirat Allah SWT dikarenakan rasa syukurnya yang tiada terhingga. Sebagai tanda syukurnya kepada Allah SWT, Habib bin Malik mengirimkan berbagai hadiah kepada Rasulullah sebagai tanda terima kasih, atas pertolongan yang telah diberikan kepadanya.

AST

------------
Manakib
------------
Habib Husein bin Bin Abdurrahman Assaqqaf

Sesepuh Keluarga Bahsin dan Musawa Assaqqaf

Habib Husein adalah salah satu wali agung yang tinggal di kota Tarim. Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal dengan keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf

Habib Husein dilahirkan dan dibesarkan di kota Tarim. Ia menghafal Al-Qur’an sejak kecil, itu semua berkat bimbingan sang ayah, Habib Habib Abdurrahman bin Muhammad Ass-Saqqaf, seorang wali besar yang berjuluk Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Habib Husein juga berguru pada kakak-kakaknya, seperti Habib Muhammad, Ahmad Abubakar dan Umar Muhdhor.
Generasi ke-23 dari Rasulullah SAW ini dikenal rajin menuntut ilmu syariat dan lebih mengutamakan ilmu tasawuf. Ia sangat taat dan gemar melakukan amal-amal kebajikan sampai mendapat derajat kewalian yang tinggi. Hidupnya lebih banyak menutup diri, ia tidak ingin mengeluarkan dirinya dan kelebihannya kepada orang lain. Selain itu, ia dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut, bahkan lebih lembut dari angin yang berhembus.
Ia lebih senang bergaul erat dengan para fakir miskin dan kaum ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya. Ia tidak senang bergaul erat dengan kaum penguasa dan orang-orang besar, meskipun demikian syafaat ia selalu diterima baik di kalangan awam maupun kalangan khusus.
Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal dengan keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf. Perlu diketahui bahwa panggilan atau julukan keluarga Al-Musawa digunakan untuk menyebut sejumlah keluarga yang tersebar di seluruh pelosok bumi. Sedangkan keluarga Musawa tanpa diawali huruf Alif dan Lam termasuk dari anak cucu Shahib Mirbath, mereka ada dua keluarga yakni keluarga Musawa dan Musawa Assaqqaf.
Keluarga Musawa Assaqqaf adalah keluarga Abubakar As-Sakran, kakek penghimpun mereka adalah Sayid Ahmad Al-Musawa ibnu Muhammad ibnu Ahmad Abubakar As-Sakran. Adapun keluarga Musawa yang ada di Hiridz, Wa’lan, Ribath dan Dzaihan bermukim di sekitar Tihamah Yaman dan Zubaid. Mereka adalah anak cucu Nabi dari keturunan Hasan dan Husain. Ada pun kakek penghimpun mereka adalah Sayid Al-Musawa ibnu Thohir ibnu Al-‘Athifah ibnu Al-Musawa ibnu Yahya ibnu Zakariah ibnu Hasan ibnu Dzarwah ibnu Yahya ibnu Daud Abdurrahman ibnu Abdillah ibnu Sulaiman ibnu Ubaidillah ibnu Musa Al-Juun ibnu Abdillah Al-Mahedz ibnu Hasan ibnu Mutsanna ibnu Al-Hasan As-Sibth Al-Imam Ali ibnu Abi Thalib.
Dari mereka bercabang keluarga Al-Anbari, diantaranya adalah Sayid Thohir ibnu Ahmad Al-Musawa ibnu Yahya ibnu Al-Qadhi Abdullah ibnu Al-Anbari ibnu Yahya Al-Musawa dan seterusnya sampai nasab Husein bin Abdurrahman Assaqqaf. Di Kota Madinah ada juga dari keluarga Al-Musawa, yang mereka pindahan dari Yanbu’ ke Madinah lebih dari 50 tahun yang lalu. Kakek mereka adalah Muhammad ibnu ‘Iwadhillah ibnu Abdul Mu’thi ibnu Faris Al-Musawa, diantara mereka adalah seorang pemuda Ahmad Al-Musawa. Guru mereka adalah Rajaallah ibnu Faris Al-Musawa.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, keluarga Assaqqaf merupakan keluarga terbesar dalam jajaran Ba’alwi. Tidak sedikit anak cucu Assaqqaf. Tidak sedikit anak cucu Assaqaf yang menyandang gelar lain sebagai ganti dari keluarga Assaqqaf, misalnya kleuarga Alaidrus, Syihabuddin, Asy Syeikh Abubakar ibnu Salim, Alatas, Al-Hadi, Al-Baiti, Al-Zahir, Ba’aqil dan keluarga-keluarga lain yang kesemuanya itu menurun dari keluarga Assaqqaf.
Sebagaimana ayahnya, yakni Habib Abdurrahman bin Muhammad Ass-Saqqaf, Habib Husein bin Abdurrahman Ass-Saqqaf juga memakmurkan dua majelis dzikir di Masjid Assaqqaf dalam setiap minggunya, yakni pada malam Senin dan malam Kamis selepas shalat Isya’. Kedua majelis dzikir itu memang biasa mengumandangkan bait-bait puisi kaum sufi dengan iringan terbang dan seruling. Bahkan sepeninggalnya, tradisi itu dipimpin oleh salah satu putra Habib Husein, yakni Habib Ahmad bin Husein Alaydrus. Habib Ahmad ibnu Husein bahkan sering mendatangkan para pembaca puisi dari Mesir dan dari belahan negeri mana pun untuk menyemarakan suasana majelis dzikir.
Setiap diadakan majelis dzikir selalu diikuti oleh suara seruling, jumlah peniup seruling ada tujuh orang. Para pembaca puisi dan peniup seruling dari Mesir itu kemudian menetap di kota Tarim. Mereka menurunkan anak cucu yang juga meneruskan tradisi (pekerjaan) dari kakek-kakek mereka secara turun temurun, yakni tampil di majelis dzikir dua kali dalam seminggu dan sudah berlangsung hampir 600 tahun lebih.Habib Husein selalu mengamalkan amal-amal kebajikan dan ketaqwaan sampai akhir hayatnya. Ia wafat di kota Tarim pada tahun 892 H dan dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim.

AST
Caption:
Lead
Suasana Tarim

-----------
Manakib
-----------
Sayid Muhammad Maulad Dawilah (Manakib)

Banyak Menerima Karunia Allah SWT

Setiap namanya disebut, maka setiap orang yang mendengar akan senang hatinya. Ia adalah sosok auliya yang paling banyak menerima karunia-karunia Allah SWT

Ia dikenal hafal separuh al-Qur’an, tetapi anehnya jika ada yang keliru dalam bacaannya pada separuh bagian kedua, maka ia dapat mengingatkan bacaan yang keliru itu, sehingga pembacanya akan mengulangi bacaan yang keliru itu.
Ulama itu adalah Sayid Muhammad Maulad Dawilah, nama lengkapnya adalah Sayid Muhammad Maulad Dawilah bin Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW.
Muhammad Maulad Dawilah lahir dan dibesarkan di kota Tarim. Sejak kecil, ia telah ditinggal mati sang ayahnya. Sehingga ia diasuh dan dibesarkan oleh sang paman, Sayid Abdullah. Selama dalam asuhan sang paman itulah ia benar-benar mendapatkan pendidikan dan asuhan yang terbaik. Maka wajarlah bila dalam usia remaja ia telah mempunyai ilmu yang tinggi, manis budi pekerti dan ketakwaan yang tinggi.
Sebagaimana para ulama dan auliya’ dari Hadramaut. Ia juga suka berkelana ke berbagai negeri untuk beribadah dan menimba ilmu. Sewaktu menunaikan ibadah haji dan umrah, ia menyempatkan diri untuk mukim di Madinah sembari belajar agama, khususnya bidang fiqh. Tidak banyak disebutkan, ia belajar tentang dunia tulis menulis, tetapi setiap ilmu syariat yang ia pelajari maka ia selalu mengamalkannya. Karena itu, tidak heran bila ia mendapat kemuliaan seperti yang didapat para ulama kenamaan.
Ia adalah sosok ulama yang tawadhu’, banyak melatih diri dan membebaninya dengan berbagai amal kebajikan dan ibadah. Kebanyakan amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berhubungan dengan hati, bahkan ia selalu menyembunyikan amal-amal ibadahnya dari manusia yang lain, lebih-lebih dari keluarganya sendiri.
Pada umumnya ia suka mengasingkan diri di tengah padang pasir atau di dusun yang tidak berpenghuni. Karena itu, ia banyak mendapatkan keistimewaan atau yang lebih dikenal dengan karamah dari Allah SWT. Diantara karamah yang ia miliki yakni ia dapat menuturkan berbagai masalah dalam hukum-hukum syariat dan hakekat sampai kepada akar-akarnya yang paling bawah.
Alkisah, ketika salah seorang puteranya bertanya tentang kebolehan yang ia katakan, maka ia berkata,”Kami tidak menuturkan suatu masalah kecuali kami telah melampui batas-batas alam dunia dan akhirat, pada mulanya kami lampui batas-batas alam dunia dan akhirat, kemudian alam akhirat sampai wujud keduanya terasa tidak ada di hati kami selain hanya wujud Allah, maka di saat itulah timbul rasa rindu.”
Selanjutnya, ia menuturkan bait-bait puisi, ”Ketika kami tiba di majelis untuk bersenang-senang maka terpancarlah cahaya bagi kami dari alam gaib.” Sampai di akhir bait puisinya.
Selanjutnya ia memilih sebuah tempat terpencil di dekat pekuburan Nabi Hud As, nama tempat itu adalah Yabhar. Ia memilih tempat tersebut karena ada sebuah telaga air. Ia kemudian membangun tempat tinggal di sekitar tempat itu. Langkah ini dikuti oleh pengikut-pengikutnya, sehingga tempat yang sebelumnya di kenal sebagai tempat terpencil lambat laun kemudian berkembang menjadi ramai. Pemukiman kecil yang semula hanya terdiri dari beberapa keluarga kecil saja, makin lama berkembang menjadi sebuah desa yang maju, tempat itu dinamakan Yabhar Dawilah.
Sayid Muhammad Maulad Dawilah ini adakalanya melakukan hal-hal yang aneh. Sesekali ia mengenakan pakaian-pakaian yang mewah, seperti pakaian-pakaian yang dipakai kaum penguasa, tetapi adakalanya ia mengenakan pakaian compang-camping seperti yang dikenakan oleh kaum fakir miskin. Adakalanya ia berusaha mendekatkan diri dengan kaum penguasa, tetapi adakalanya ia menjauh dari penguasa dan mendekati orang-orang lemah yang tidak mampu.
Adakalanya ia membebani hidupnya dengan berbagai amal kebajikan dan ibadah. Diantaranya ia bangun malam dan puasa. Dikisahkan, ia melakukan shalat Subuh dengan wudhu untuk Isya’. Kebiasaan ini berjalan selama dua puluh tahun. Ia juga membiasakan berpuasa empat puluh hari berturut-turut di musim panas. Karena besarnya peningkatan ibadah-ibadahnya, maka ia mendapatkan berbagai macam karamah dan keistimewaan yang luar biasa dari Allah SWT.
Terhadap karamah dan karunia yang diterimanya itu, ia pernah berkata,”Biasa kami menyebut Allah dengan lisan dan hati. Kemudian, bentuk-bentuk huruf yang terucap dengan lisan itu lenyap, yang tersisa hanyalah cahaya yang memancar di dalam hati hingga sampai ke hadirat Allah.”
Nasehat-nasehat yang sangat bermakna diantaranya,”Sesungguhnya aku tidak takut menjadi miskin, sebab aku yakin bahwa karunia yang ada di sisi Allah lebih dekat dari apa yang ada di tanganku. Sesungguhnya aku tidak membenci kematian, sebab seseorang yang membenci kematian maka ia membenci untuk bertemu dengan Allah. Aku tidak pernah membenci tamu meskipun aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikan.”
Disebutkan suatu saat ketika ia hendak tampil menjadi imam shalat di masjid Ba’alawi, sebagian orang mencegahnya dan salah seorang dari mereka berkata dengan ketus kepadanya, ”Engkau seorang Arab dusun, engkau tidak pantas menjadi imam!”
Setelah selesai mengimami shalat, maka beliau dengan sangat tenang dan santun kemudian menerangkan sebuah surat di Al-Qur’an dengan keterangan yang mempesonakan para pendengarnya. Cara penyampaian yang penuh kelembutan dan penerangan yang gamblang membuat mereka sadar, bahwa ia adalah sosok seorang ulama yang berilmu.
Beberapa hari menjelang kematiannya, ia pernah mengucapkan bait-bait puisi tanda kecintaan kepada baginda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya setiap rumah yang engkau (Rasul) tempati, tidak butuh adanya lampu penerangan. Wajahmu yang bersinar adalah hujjah kami, pada hari ketika manusia mendatangkan berbagai macam hujjah.”
Dari hari ke hari ia semakin meningkatkan ketaatannya kepada Allah, sampai saatnya tiba berpulang ke rahmatullah pada hari Senin tanggal 10 bulan Sya’ban 965 H. Ia dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim dan makam nya banyak dikenal dan diziarahi orang. Ia meninggalkan empat orang putera yakni Abdullah, Ali, Alwi dan Abdurahman Assegaf.

(Disarikan AST dari buku Alawiyyin, Asal-Usul dan Peranannya karya Alwi ibnu Muhammad ibnu Ahmad Balfaqih, PT LENTERA BASRITAMA, 1999)

Caption:
1. Lead
2. Pekuburan Zanbal, Tarim. Menjadi pusat ziarah
3. Suasana kota Tarim. Banyak menghasilkan ulama

--------------------
Manakib Tarim
-------------------
Abdurrahman bin Muhammad Assaqqaf

Wali Yang Bertabur Karamah

Salah seorang wali dan ulama dari Ahlil Bait Ba’alawi yang bertabur karamah adalah Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf. Beliau mendapat julukan As-Saqqaf, yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya

Ulama dari Tarim, Hadramaut ini dikenal sebagai wali yang bertabur karamah. Salah satunya adalah sering dilihat banyak orang sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ulama ini juga dikenal sebagai ulama yang kuat bermujahadah. Beliau pernah tidak tidur selama 33 tahun. Dikabarkan, dia sering bertemu dengan Nabi SAW dan sahabatnya dalam keadaan terjaga setiap malam Jum’at, Senin dan Kamis, terus-menerus.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf adalah seorang ulama besar, wali yang agung, imam panutan dan guru besar bagi para auliya al-‘arifin. Ia dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut pada 739 H. Ibunya bernama Aisyah binti Abi Bakar ibnu Ahmad Al-Faqih Al-Muqaddam.
Pada suatu hari, salah seorang santri yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail saat di masjid merasa sangat lapar sekali. Waktu itu, sang santri malu untuk mengatakan tentang keadaan perutnya yang makin keroncongan. Rupanya sang guru itu tahu akan keadaan santrinya. Ia kemudian memanggil sang santri untuk naik ke atas loteng masjid. Anehnya, di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lezat.
“Dari manakah mendapatkan makanan itu?” tanya Muhammad bin Hassan Jamalullail.
“Hidangan ini kudapati dari seorang wanita,” jawabnya dengan enteng. Padahal, sepengetahuan sang santri, tidak seorangpun yang masuk dalam masjid.
Bila malam telah tiba, orang yang melihatnya seperti habis melakukan perjalanan panjang di malam hari, dikarenakan panjangnya shalat malam yang beliau lakukan. Bersama sahabatnya, Fadhl, pernah melakukan ibadah di dekat makam Nabiyallah Hud AS berbulan-bulan. Dia dan sahabatnya itu terjalin persahabatan yang erat. Mereka berdua bersama-sama belajar dan saling membahas ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Banyak auliyaillah dan para sholihin mengagungkan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Ia tidaklah memutuskan suatu perkara terhadap seseorang, kecuali setelah mendengar isyarat dari Yang Maha Benar untuk melakukan sesuatu. Berkata As-Sayyid Al-Jalil Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Ba’alawy, “Ketika Habib Abdurrahman telah memutuskan suatu perkara bagiku, maka hilanglah seketika dariku rasa cinta dunia dan sifat-sifat yang tercela, berganti dengan sifat-sifat yang terpuji.”
Sebagaimana para auliya di Hadramaut, ia juga suka mengasingkan diri untuk beribadah di lorong bukit An-Nu’air dan juga sekaligus berziarah ke makam Nabi Hud AS. Seorang muridnya yang lain bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib menyatakan,“Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Habib Abdurrahman, beliau berkata, “Kami tidak akan shalat Maghrib kecuali di Fartir Rabi’. Kami sangat heran sekali dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah SWT. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi’, matahari mulai terbenam. Sehingga kami yakin bahwa dengan karamahnya sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya.”
Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: “Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang diucapkan oleh beliau itu terjadi seperti yang dikatakan.
Suatu waktu Habib Abdurrahman As-Saqqaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, mengatakan pada isterinya yang sedang hamil, ”Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini.”
Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf kemudian memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya.
Pernah suatu ketika, ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dengan menyebut nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Orang yang menyebutkan nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Habib Abdurraman As-Saqqaf.
Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Habib Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan menyebut Habib Abdurrahman As-Saqqaf, yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah SWT dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Belum selesaimenyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya.
Karamah yang lain dari Habib Abdurrahman As-Saqqaf, juga dibuktikan oleh salah seorang pelayan rumahnya. Salah seorang pelayan itu suatu ketika di tengah perjalanan dihadang oleh perampok. Kendaraannya dan perbekalannya kemudian dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Habib Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kendaraan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kendaraan dan perbekalannya.
“Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi,” kata sang perampok.
Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf, beliau berkata, “Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, karena kami juga mendengar suara perlahan.”
Itulah beberapa karamah yang ditujukan kepada ulama yang bernama lengkap Habib Abdurrahman As-Saqqaf Al-Muqaddam Ats-Tsani bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahibud Dark bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW.
Julukan As-Saqqaf berasal dari kata as-saqfu (atap), yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Itu menandakan akan ketinggian ilmu dan maqam yang tinggi, bahkan melampaui ulama-ulama besar di jamannya. Dia juga mendapat julukan Syeikh Wadi Al-Ahqaf dan Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Sejak itu, gelar Assaqqaf diberikan pada beliau dan seluruh keturunannya.
Sejak kecil ia telah mendalami berbagai macam ilmu dan menyelami berbagai macam pengetahuan, baik yang berorientasi aql (akal) ataupun naql (referensi agama). Ia menghafal Al-Qur’an dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Khatib, sekaligus mempelajari ilmu Tajwid dan Qira’at. Ia juga berguru kepada Asy-Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Basyakil, Syeikh Muhammad ibnu Abi Bakar Ba’ibad, Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Ka’ban, Syeikh Ali Ibnu Salim Ar-Rakhilah, Syeikh Abu Bakar Ibnu Isa Bayazid, Syeikh Umar ibnu Sa’id ibnu Kaban, Syeikh Imam Abdullah ibnu Thohir Addu’ani dan lain-lain.
Dia mempelajari kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq. Ia juga menggemari kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Al ’Awarif karya As-Samhudi. Tak ketinggalan ia juga mempelajari kitab-kitab karangan Imam Al-Ghazali seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh dan Ihya Ulumiddin. Serta kitab karangan Imam Ar-Rofi’iy seperti Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz dan Al-Muharror.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf selalu membaca Al-Qur’an setiap siang dan malamnya dengan 8 kali khataman, 4 di waktu malam dan 4 di waktu siang. Yang di waktu siang beliau membacanya 2 kali khatam dari antara setelah Subuh sampai Dhuhur, 1 kali khatam dari antara Dhuhur sampai Ashar (itu dibacanya dalam 2 rakaat shalat), dan 1 kali khataman lagi setelah shalat Ashar.
Setiap kali menanam pohon kurma, beliau membacakan surat Yasin untuk setiap pohonnya. Setelah itu dibacakan lagi 1 khataman Al-Qur’an untuk setiap pohonnya. Setelah itu baru diberikan pohon-pohon kurma itu kepada putra-putrinya.
Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H (1416 M). Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di pekuburan Zanbal,Tarim. Beliau meninggalkan 13 putra dan 7 putri.

Disarikan AST dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy
Caption:
Lead
Sebuah Gua di Bukit Nu’air, Tarim. Menjadi tempat khalwat para auliya
Makam Nabi Hud AS. Tempat berziarah bersejarah
Komplek pemakaman Zanbal, Tarim. Makam para auliya

-----------------
Mutiara Rasul
-----------------
Syahidnya Orang Yang Berjihad

Suatu waktu, Rasulullah SAW kedatangan seorang pemuda yang berkulit hitam legam yang mengadukan masalahnya. Beliau kemudian memerintahkan untuk menikahi seorang gadis, sayang, pemuda itu akhirnya gugur di medan pertempuran

Seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW dan berkata,”Ya Rasulullah, apakah saya akan terhalang untuk masuk surga karena hitamku dan jelek mukaku?”
“Tidak, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya selama kau yakin dengan Tuhanmu dan percaya pada ajaran Rasul-Nya,” jawab Rasulullah.
“Demi Allah yang telah memuliakan engkau dengan kenabian. Saya telah bersyahadat Saya percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sekitar 8 bulan yang lalu, sebelum engkau datang kemari. Dan saya telah meminang kepada orang-orang yang ada di sekitarmu ini dan semuanya menolak aku karena hitamku dan jelek wajahku. Padahal, aku sebenarnya keturunan yang baik dari suku bani Sulaim. Tetapi jelekku ini didapat dari keturunan ibuku,” kata pemuda berkulit hitam itu.
Rasulullah SAW lalu bertanya kepada para sahabat yang hadir di majelis,”Apakah yang hadir pada hari ini ada yang bernama Amr bin Wahb dari suku Tsaqief yang belum lama masuk Islam? “
“Tidak” jawab para sahabat.
Nabi SAW kemudian bertanya pada orang itu,”Apakah kamu mengetahui rumahnya?
“Ya” jawab pemuda hitam itu.
Nabi SAW lalu bersabda,”Pergilah dan ketoklah pintunya perlahan-lahan. Kemudian berilah salam kepadanya, dan bila telah masuk, katakan padanya,’Rasulullah SAW telah mengawinkan aku dengan puterimu. Orang itu mempunyai puteri cantik yang bernama Atiqah.”
Pemuda itu segera berlalu dari hadapan Rasulullah SAW dan menuju rumah Amr bin Wahb. Pada mulanya, sang tuan rumah menyambutnya dengan baik, tetapi karena hitam dan mukanya jelek, maka mereka lama-lama tidak senang melihat kondisi pemuda itu. Bahkan setelah pemuda itu menyampaikan pesan Rasulullah SAW bahwa ia telah dikawinkan oleh Nabi SAW dengan salah satu puteri tuan rumah. Kontan, mereka menolak dengan cara yang kasar dan sangat rendah sekali, penuh umpatan kata-kata yang kotor.
Tentu saja, mendapat sambutan yang tak sopan dari tuan rumah, membuat muka sang pemuda itu merah padam. Ia merasa terhina, ia pun segera kembali ke hadapan Rasulullah SAW.
Sementara itu, sepulangnya pemuda itu, sang puteri itu mendadak berkata pada sang ayah,”Hai Ayah, carilah selamat. Carilah selamat. Sebelum turun wahyu yang membuka kedokmu. Jika ia benar mengawinkan aku dengannya, maka aku rela pada apa yang telah direlakan oleh Allah dan Rasulullah untukku.”
Amr bin Wahb kemudian menghadap Rasulullah. Ketika sampai di majelis Rasulullah, ia langsung ditegur oleh beliau,”Kamu yang telah menolak pinangan Rasulullah?”
“Benar. Tetapi saya minta ampun kepada Allah, sebab saya sangka ia dusta. Apabila ia benar maka saya terima dan saya kawinkan ia. Dan kami berlindung jangan sampai terkena murka Allah dan Rasulullah SAW. ”
“Maka kawinkan dengan mahar empat ratus dirham.”
Mendengar jawaban Amr bin Wahb, Rasulullah SAW kemudian menyuruh calon suami, pemuda berkulit hitam tadi, yang bernama Sa’ad Assulami,”Pergilah kepada isteri dan masuk kepadanya.” Sabda Nabi SAW.
“Saya tidak punya apa-apa, sehingga saya akan minta pada saudara-saudaraku,” jawab pemuda itu.
“Mahar untuk isterimu ditanggung oleh oleh tiga orang dari kaum mu’minin. Pergilah pada Usman bin Affan RA terima darinya duaratus dirham,” perintah Nabi SAW.
Maka pergilah pemuda hitam itu menuruti perintah Rasulullah SAW menuju kediaman Utsman bin Affan. Dari Utsman ia menerima lebih dari duaratus dirham. Selanjutnya ia pergi ke kepada Abdurrahman bin Auf dan Ali bin Abi Thalib. Dari mereka, ia memperoleh lebih dari duaratus dirham.
Setelah mendapat uang yang banyak, ia kemudian pergi ke pasar untuk membeli oleh-oleh isterinya.
Namun sesampainya di pasar, ia mendengar seruan,”Ya Khailallah irkabi (Hai kuda Allah, berkendaraanlah),”
Tampak juga Rasulullah SAW tengah berseru kepada kaum msulimin,”Keluarlah untuk berjihad! Keluarlah untuk jihad!” di atas kudanya.
Sa’ad Assulami mendengar seruan Rasulullah SAW ia menjadi berubah pikiran. Ia tertunduk sebentar, kemudian mukanya menengadah ke langit seraya berdoa,”Ya Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi, Tuhannya Muhammad SAW. Saya akan mempergunakan uang ini pada sesuatu yang lebih disuka oleh Allah dan Rasulullah dan kepentingan kaum muslimin.”
Tekadnya telah bulat, ia kemudian membelanjakan seluruh uangnya itu untuk kepentingan jihad. Ia membeli kuda, pedang, tombak dan perisai besi. Tak lupa ia juga membeli seperangkat pakaian perang. Setelah ia mempererat ikat sorbannya dan ikat pinggangnya serta memakai topi baja, hanpir-hampir tidak terlihat postur aslinya, kecuali kedua matanya yang bulat.
Ia lalu berdiri tegak di tengah-tengah Muhajirin, sehingga mereka bertanya-tanya siapakah penunggang kuda yang tidak dikenal itu?
Sahabat Ali sendiri sampai berkata,”Biarkan. Kemungkinan ia dari Bahrain atau dari Syam. Ia datang untuk menanyakan ajaran-ajaran agama. Karena itu ia kini ingin mengorbankan diri untuk keselamatan kaum muslimin.”

Kemudian orang hitam itu maju ke barisan musuh dengan menggunkan pedang dan tombaknya untuk memukul dan memenggal orang-orang kafir, hingga kudanya pun tak kuat untuk mengimbangi kecepatan dari serangan pemuda itu. Akhirnya, ia turun dari kudanya sambil menyingsingkan lengan baju perang, sehingga Rasulullah SAW yang kebetulan berpapasan dengan orang berpakaian asing itu melihat tanda hitam di seluruh lengan dan beliau langsung mengenalnya. Maka dipanggilah orang asing itu,”Apakah kamu Sa’ad?”
“Ya, benar.”
“Untung nasibmu,”

Selanjutnya Sa’ad dengan penuh semangat, kembali merangsek ke barisan terdepan pertempuran. Dengan penuh semangat ia menikam dengan tombak dan membunuh dengan pedangnya. Hingga akhirnya, ia pun gugur sebagai syahid di medan tempur itu.
Rasulullah SAW begitu mendegar Sa’ad gugur, beliau langsung menuju kepadanya. Dengan perlahan-lahan kepala Sa’ad, beliau angkat dan diletakan di pangkuan Nabi SAW. Sambil mengusap-usap tanah yang melekat di mukanya, beliau bersabda,”Alangkah harum baumu. Alangkah kasihnya Allah dan Rasulullah kepadamu,” sabda Nabi sambil menangis.
Tak berapa lama kemudian Rasulullah SAW tertawa, lalu beliau memalingkan muka Sa’ad dan bersabda,”Kini ia telah sampai di Haudh (telaga). Demi Tuhan yang mempunyai Ka’bah.”
Abu Lababah bertanya,”Ya Rasulullah. Apakah telaga Haudh?”
“Telaga yang diberikan oleh Allah kepadaku. Lebarnya antara Shan’aa Yaman hingga Bushra. Tepinya berhias dengan permata dan mutiara. Airnya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Siapa yang minum satu kali dari telaga Haud, tidak aka haus untuk selamanya.”
“Ya, Rasulullah. Mengapa engkau tadi menangis? Lalu tertawa, kemudian berpaling muka dari Sa’ad?” tanya Lababah
“Tangisku karena rindu kepada Sa’ad. Ada pun tertawaku karena gembira melihat kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya. Adapun aku berpaling muka, karena melihat calon isteri-isteri Sa’ad (bidadari) yang berebut mendekatinya hingga terbuka betis mereka. Maka segera aku berpaling muka karena malu, ” Jawab Nabi.
Beliau kemudian menyuruh mengumpulkan pedang, tombak dan kuda dari SA’ad untuk diserahkan kepada calon isterinya yang sudah di aqad nikah, sambil beliau memberitahu Amr bin Wahb, ”Allah SWT telah mengawinkan Sa’ad pada bidadari yang lebih cantik dari puterimu.”

AST
------------------------------------
Ak22.MutiaraRasul.AST
-------------------------------------
Kapak untuk Sang Pengemis

Seorang pengemis yang mendatangi Rasulullah SAW, tidak berapa lama kemudian berhenti mengemis. Dengan bermodalkan sebuah kapak, nasibnya berubah menjadi pencari kayu bakar di gurun

Suatu hari ada seorang laki-laki dari kaum Anshar mendatangi kediaman baginda Rasulullah SAW. Ia datang dengan pakaian compang-camping dan wajah yang pucat, langsung menghadap di depan Rasulullah SAW untuk mengemis. Seusai mengucap salam, pengemis itu meminta sesuatu pada baginda Rasulullah SAW.
“Ya. Ada sehelai kain. Kami pakai sebagiannya dan kami bentangkan sebagiannya untuk duduk dan lain sebagainya. Saya juga punya satu bejana untuk minum air,” Jawab Rasulullah SAW.
Beliau kemudian menyuruh para sahabat yang hadir saat itu untuk membawakan kain dan bejana kepunyaan beliau.”Bawalah keduanya kepadaku!”
Dengan bergegas, salah satu sahabat yang ada di majelis beranjak dari tempat duduknya dan segera mengambil barang-barang yang dimaksud. Lalu sahabat itu membawanya ke hadapan beliau. Rasulullah SAW lalu mengambil keduanya dengan kedua tangannya dan memperlihatkannnya di hadapan para sahabat, beliau kemudian bercerita,”Aku beli kain dan bejana ini satu dirham.”
Rasulullah SAW menawarkan barang-barang kepunyaan beliau kepada para sahabat, ”Aku akan menjualnya. Adakah saudara-saudara akan membelinya? Adakah yang sanggup menambah satu dirham?”
Beliau berulang-ulang menawarkan kepada para sahabat. Akhirnya salah seorang sahabat mengambilnya. “Aku ambil dengan dua dirham, seperti tawaran mu, Ya Rasulullah,” jawab salah seorang sahabat yang hadir.
Rasulullah SAW kemudian memberikan kedua barang itu kepada salah seorang sahabat yang telah sepakat membeli kedua barang itu tadi sembari menerima uang dua dirham. Beliau kemudian mendekati sang pengemis dari kaum Anshar itu dan langsung beliau serahkan uang dua dirham itu seraya memberikan nasehat untuk sang pengemis,”Belilah dengan satu dirham makanan dan serahkan kepada keluargamu. Dan belilah dengan satu dirham lagi sebuah kapak di pasar terdekat dan kemudian bawalah kapak yang kamu beli itu kepadaku!”
Setelah menerima uang dua dirham, sang pengemis itu kemudian pamit pulang. Ia kemudian mampir ke pasar untuk melaksanakan apa yang sudah diperintahkan oleh Rasulullah SAW yakni membeli makanan dan sebuah kapak besi. Selepas mengantar makanan untuk keluarganya di rumah yang tengah kelaparan, ia kemudian membungkus kapak itu dengan sebuah kantong kulit dan ia langsung kembali menuju ke kediaman Rasulullah.
Saat itu Rasulullah SAW masih dalam satu majelis dengan dikelilingi oleh para sahabat yang menyimak penjelasan tentang masalah agama.
“Hai fulan, sudahkah engkau laksakan perintahku?” tanya Rasulullah SAW pada sang pengemis yang tampak malu-malu berdiri di depan pintu rumah.
“Sudah, tuan,”jawab sang pengemis itu.
“Kemarilah! Bawa kemari kapak yang telah engkau beli itu!” perintah beliau.
Lalu sang pengemis itu dengan berjalan perlahan mendekati baginda Rasulullah SAW dan duduk di depan beliau. Pengemis itu kemudian mengeluarkan kapak itu dari kantong kulit dan diserahkan pada Rasululah SAW.
Rasulullah SAW hari itu tampak bergembira melihat perangai dari sang pengemis yang telah taat menerima perintah beliau. Baginda Rasulullah SAW lalu mengambil kapak besi dan ia beranjak ke pojok ruangan. Beliau kemudian berjongkok dan mengambil sepotong kayu yang tergeletak di pojok majelis itu. Tangan beliau yang terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, dengan sangat cekatan segera memasang tangkai kayu pada lobang kapak besi. Tak berapa lama kemudian kapak besi itu telah siap untuk digunakan.
Selesai memasang tangkai kapak besi itu, Rasulullah SAW kemudian kembali ke tempat semula, di majelis yang sedari tadi para sahabat biasa menyimak penjelasan dan mengambil hikmah ilmu dari beliau. “Pergilah ke gurun dan tebanglah kayu! Kemudian jual kayu bakar yang kau peroleh ke pasar dan kemarilah lima belas hari lagi!” sabda Rasulullah SAW kepada pengemis dari kaum Anshar itu.
Sang pengemis itu lalu pamit pada Rasulullah SAW. Ia kemudian pulang ke rumah dan mengambil perbekalan makanan dan minuman secukupnya untuk dibawa ke gurun. Dengan penuh semangat, sang pengemis itu lalu berangkat ke gurun yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Satu per satu ranting pohon yang telah kering dipotong dengan kapak. Setelah terkumpul banyak kayu bakar, ia kemudian membawanya pulang ke rumah. Selama lima belas hari sang pengemis itu melakukan pekerjaan mencari kayu bakar dan seluruh kayu bakar yang dikumpulkan dijual ke pasar.
Genap pada hari kelima belas, pengemis itu menghadap ke Rasulullah SAW dengan membawa sepuluh dirham dari hasil penjualan kayu bakar. Beliau kemudian memberikan nasihat kepadanya. “Belilah sebahagian dengan uangmu itu makanan dan sebahagian lagi pakaian. Ini adalah lebih baik bagi kamu daripada meminta-minta. Sebab, mengemis itu merupakan satu tanda di muka mu di hari Kiamat nanti. Sesungguhnya mengemis itu tidaklah layak melainkan bagi orang yang sangat miskin/papa dina atau orang yang berhutang berat atau harus membayar diyat (denda karena membunuh orang).”
AST, hadits Ibnu Majah

----------------------------------------------
Kata Mutiara:

Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT cinta kepada hamba yang mempunyai kerja. Dan barang siapa bersusah payah untuk mencari rezeki untuk mereka yang menjadi tanggung jawabnya adalah ia itu umpama seorang mujahid ke jalan Allah Yang Maha Mulia.” (HR Ahmad)


----------------------------------------------------------------------Posted by Picasa

7.10.06

Tamu Rasulullah SAW

  Posted by Picasa

Cahaya yang Terang Benderang

Bismillahirahmanirrahim
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad, habibikasy sayfi’il musyaffa’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad a’lal wara rutbatan warfa’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad asmal baraya jahan wa awsa’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad wa-asluk bina rabbi khayra mahya’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad wa ‘afina wasyfi kulla muwja’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad wa ashlihil qalba wa’fu wanfa’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad wakfil mu’adi wa-asrifhu warda’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad tahullu fi hishnikal mumanna’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad rabbi ardla ‘anna ridlakal arfa’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad waj’al lana fil jinani majma’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad rafiq bina khayra khalqika ajma’
Ya rabbi shalli ‘ala Muhammad ya rabbi shalli ‘alayhi wa sallim.

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi

A’dzubillahi manisy-syaythanirrajim
Bismillahirrahmanirrahim. Inna fatahna laka fathan mubinan. Liyaghfiralakallahu ma taqaddama min dzanbika wama ta-akh-khara wa yutimma ni;matahu ‘alayka wa yahdiyaka shirathan mustaqima. Wayanshurakallahu nashran ‘aziza. Laqad ja-akum rasulun min anfusikum ‘azizun ‘alayhi ma ‘anittum harishun ‘alaykum bil-mukminina raufun rahim. Fain tawallaw faqul hasbiyallahu la ilaha illa huwa ‘alayhi tawakkaltu wa huwa rabbul ‘arsyil ‘adhim. Innallaha wa malaikatahu yushalluna ‘alann nabi, ya ayyuhalladzina amanu shallu ‘alayhi wa sallimu taslima.

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi

Alhamdulillahilladzi hadana, bi;abdihil mukhtari man da’ana
Ilayhi bil idzni waqad nadana, labbayka ya man dallana wa hadana.
Shalla ‘alaykallahu bariukalladzi, bika ya musyaffa’u khash-shana wa habana
Ma’a alikal athhari ma’dini sirrika, al-asma fahum sufunun najati himana.
Wa a’ala shahabatikal kirami humatidi, nika ash-bahu liwalaihi ‘unwana
Wattabi’ina lahum bishidqin ma hada,hadil mawaddatai hayyajal asyjana.
Wallahi ma dzukiral habibu ladal muhib, illa wa adlha walihan nasywana.
Aynal muhibunalladzina ‘alayhimu, badzlun nufusi ma’an nafaisi hana.
La yasma’una bidzikri thahal musthafa, illa bihi anta’asyu wa adzhaba rana.
Fa-ahtajatil arwahu tasytaqul laqa, wa tuhinnu tas-alu rabbahar ridlwana.
Hakul muhibbina kadza fasma’ ila, siyaril musyaffa’I wa arhifil adzana.
Wa-anshit ila awshafi thahal mujtaba, wa ahdlir liqalbika yamtali-u wijdana.
(Ya rabbana shalli wa sallim daiman, ‘ala habibika man ilayka da’ana).

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi

Nabba-anallahu faqala: ja-akum nurun fasubhanalladzi anbana.
Wannuru thaha ‘abduhu man bihi, fi dzikrihi a’dzim bihi mannana.
Huwa rahmatul mawla ta-ammal qawlahu, ‘falyafrahu’ waghdu bihi farhana.
Mustamsikan bil’urwatil wutsqa wamu’, tashiman bihablillahi man ansyana.
Wastasy’iran anwara man qila; mata, kuntu nabiyyyan, qala: Adamu kana.
Baynat turabi wa bayna ma-in fastafiq, min ghaflatin ‘an dza wa kun yaqdhana.
Wa’bur ila asrari rabbi lam yazal, yanquluni baynal khiyari mushana.
Lam taftariq min syu’batayni illa ana, fi khayriha hatta buruziya ana.
Fa-ana khiyarun min khiyarin qad kharajat, min nikahin li ilahi shana.
Thahharahullahu hamahu akhtarahu, wa ma bara kamitslihi insane.
Wabihubbihi wabiszikrihi wan-nashri wat, tawqirirabbul ‘arsyi qad awshana.
(Ya rabana shalli wa sallim daiman, ‘ala habibika man ilayka da’ana).

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi.

Hadza waqad nasyaral ilahau nu’utahu, fil kutbi baynaha lana tibyana.
Akhadza mitsaqan nabiyyina lama, ataytukum min hikmatin ihsana.
Wa ja-akum rasuluna latukminunna, watanshuruna wa tushbihuna a’wana.
Wad basy-syaru aqwamahum bil musthafa, a’dzim bidzalika rutbatan wa makana.
Fahuwa wain ja-al alhirumuqaddamun, yamsyuna tahta liwai man nadana.
Ya ummatal islami awwalu syafi’in, wa musyaffa’in ana qath-thun la atwana.
Hatta unada arfa’ wa sal tu’tha wa qul, yusma’ liqawlikanajmu fakhrika bana.
Wa liwa-u hamdillahi jalla biyadi, wa la-awla ati anal jibana.
Wa akramul khalqi ‘alallahi ana, falaqad habakallahu minhu hanana.
Walasawfa yu’thika fatardla jalla min mu’thin taqashara ‘an athahu nahana.
Billahikarrir dzikra washfi Muhammadin, kayma tuziha ‘anil qulubir rana.
(Ya rabbana shalli wa sallim daiman, ‘ala habibika man ilayka da’ana).

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi

Lamma dana waqtul buruzi liahmadin, ‘an idzni man sya-ahu qad kana.
Hamalat bihil ummul aminatu bintu Wah, bin man laha a’lal ilahu makana.
Min waladil mukhtari ‘abdillahi bin, ‘Abdin lilmuth-thalibi ra-al burhana.
Qad kana yaghmuru nuru thaha wajhuhu, wasara ilal ibnil mashuni ‘ayana.
Wahuwabnu Hasyimil karimisy-syahmi bin, ‘abdimanafin ibni qushay kana.
Waliduhu yud’a hakiman syaknuhu, qad I’tala a’ziz bidzalika syana.
Wahfadh ushulal musthafa hatta tara, fisilsilati ushulihi ‘adnana.
Fahunaka qif wa’lam biraf’ihi ila is, mai’ila kana lil-abi mi’wana.
Wa hinama hamalat bihi aminatun, lam tasyku syay-an yak-khudzun niswana.
Wabiha ahathal-luthfu min rabbis sama, aqshal adza wal hamma wal ahzana.
War a-at kama qad ja-a ma ‘alimta bih, annal muhaymina syarrafal akwana.
Bith-thuhri man fi bathniha fastabsyarat, wadanal makhadlu fa-utri’at ridl-wana.
(subhanallahi wal hamdulillahi wala ilaha illallahu wallahu akbar. 4x. Wala hawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim fi kulli lah-dhatin abadan ‘adada khalqihi wa ridlanafsihi wa zinata ‘arsyihi wa midada kalimatihi).
Wa tajallatil anwaru min kullil jiha, ti fawaqtu miladil musyaffa’I hana.
Wa qubayla fajrin abrazat syamsul huda, dhaharal habibu mukarraman wamushana.

Shallallahu ‘ala Muhammad, shallalahu ‘alayhi wa sallam.

Ya nabi salam ‘alayka, ya rasul salam ‘alayka.
Ya habiub salam ‘alayka, shalawatullahi ‘alayka.
Abrazallahul musyaffa’, shahibal qadril muraffa’.
Famalannurun nawahi, ‘amma kullil kawni ajma’.
Nukisat ashnamu syirkin, wa binasy-syirku tashadda’.
Wadanal waqtul hidayah, wahimal kufri taza’za’.
Marhaban ahlan wa sahlan, bika ya dzal qadril arfa’.
Ya imamahlir risalah, man bihi afatu tudfa’.
Anta fil hasyri miladun, laka kullul khalqi tafza’.
Wayunaduna tara ma, qad daha min hawlin aqtha’.

Thala’al badru ‘alayna. Min tsaniyyatil wada’i.
Wajabasy-syukru ‘alayna. Ma da’a lillahi da’i.
Falaha anta fatasjud, watunada asyfa’ tusyaffa’.
Fa’alaykallahu shalla, ma badan nuru wa sya’sya’.
Wa bikarrahmanu nas-al, wa ilahul ‘arsyi yasma’.
Ya adhiman manni ya rabb, syamlana bilmusthafajma’.
Wa bhihi fandhur ilayna, wa’thina bih kulla math-ma’.
Wakfina kullal balaya, wadfa’il afati warfa’.
Rabbi fahgfir li dzunubi, bibarkatil hadil musyaffa’.
Wasyqina ya rabb aghitsna. Bihaya hath-thali bahma’.
Wakhtimil ‘umra bihusna, wa ahsinil’uqba wa marja’.
Wa shalatullahi taghsya, man lahul husnu tajamma’.
Ahmadath-thuhri wa alih, wash-shahabah mas-sanasya’.

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi.

Wulidal habibu fakharra sajidan, lillahi man ansyana wa barana.
Wa ri’ayatulmawla tuhithu biahmadin, fi kulli hinin bathinan wa ‘ayana.
Qad ardla’athul ummu tsumma tsuwaybatun, wa halimatun man sa’duha qad bana.
Qad basy-syarat tsuwaybatun sayyidaha, aba lahabin a’taqaha farhana.
Lam yansa khaliquna lahu farhatahu, bil mush-thafa wa bidzal haditsu atana.
Annal ‘adzaba mukhaffafun fi kulli its, nayni lifarhatihi biman wafana.
Hadza ma’al kufri fakayfa bfarhatin, min dzi fu-adin imtala iymana.
Wa ra-at halimatun ma ra-at min baraka, ti Muhammadin ma khayral adz-hana.
Darra lahuts-tsdyu waqad kana abnuha, yabitu yabki musghaban jay’ana.
Lakinnahu laylata an ja-al habi, bu bata mawfurar ridla syab’ana.
Da darratin nnaqatul bana wa qad, samunat duwaybatuha fakana syana.
Ankarahu rifqatuha wasallamat, asy-jarun ahjarun ‘ala mawlana.
Subhana man anthaqa asy-jara wa ah, jaran tuhayyil musthafa subhana.
(Ya rabbana shalli wa sallim daiman, ‘ala habbika man ilayka da’ana.)

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi.

Hadza waqad nasya-al habibu bisiratin, mardliyatin wama ata ‘ishyana.
Tar’ahu ‘aynullahi man addabahu, ahsana takdiban nabiyy ihsana.
Fanasya shaduqan muhsinan dza ‘iffatin, wa futuwwatin wa amanatin mi’wana.
Dza himmatin wa syaja’atin wa tawaqqurin, wa makarimin la tahtashi husbana.
Du’iyal aminu wahuwa fi ahlis sama, ni’mail aminu lahul muhayminu shana.
Dzahabat bihil ummu tazuru abahu fi, thaybata idz fihal himamu kana.
Wal mush-thafa fi bath-niha wa qad ata, ‘alayhi sittun min sinihil ana.
Wa qad atahal mawtu hina ruju’iha, fahabahu ‘abdul muth-thalibi hanana.
Sanatayni wafahul himamu fadlammahu, ‘ammun malal ‘athfu ‘alayhi janana.
Khatabathu bintu Khuwaylidin fil khamsi wal, ‘isyrina hazat bil musyaffa’I syana.
Qad haqqaqal mawla laha amalaha, nalat salaman ‘aliyan wa makana.
Wa halla mujsykilatan liwadl’il hararil, aswadi fil ka’bati hay-tsu abana.
‘An si’atil ‘aqli wawaqqadil hija, subhanaman ‘allamahu wa a’ana.
(Ya rabbana shali wa sallim daiman, ‘ala habibika man ilayka da’ana).

Allahumma shali wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi.

Wa atahu Jibrilu biwahyillahi fi, ghari hirain ya’budurrahmana.

Wa dlammahuts-tsalatsa tsumma arsalahu, iqrak wa rabbuka ‘allamal insana.
Fada’a tsalatsan fi khafa faatahu an, ish-da’ bima tukmar bihi i’lana.
Katsural adza wa huwash-shaburu lirabbihi, wahuwasy-syakuru wa kana la yatawana.
Matat khadijatu wa Abu Thgalibin fil, khamsina fasytaddal adza fununa.
Wa ata tsaqifan da’iyan faramawhu bila, hari bal aghraw bihish-shibyana.
Malakul jibali ata faqala ath-biquha, faqala la bal artajil ‘uqbana.
Asra bihil mawla wa shalla khalfahurrus, lu wa syahada barzakhan wa jinana.
‘Arajal habibu ilas-samawatil ‘ula, wal ‘arsyi wal kursi ra-a mawlana.
Wal idznu bilhijrati ja-a liyatsriba, fabihiz-dahal baladul karimu wazana.
Fa-aqama asyran da’iyan wa mujahidan, wa shihabuhu kanu lahu a’wana.
La yarfa’una idza ata ashwatahum, bal ya yuhiddunal bashara im’ana.
Qadran wa ta’dhiman lisyakni Muhammadin, idz qad talaw fi fadl-lihi qurana.
Walaqad ra-aw min khulqihi ‘ajaban wa kam, qad syahadu ma khayyaral adz-hana.
Karaman wa ‘afwan was-sakha wa tawadlu’an, wal jidz’a hanna mahabbatan wa hanana.
Wal ma-amin baynil ashabi’I nabi’an, wal jaysya adl-ha syariban rayyana.
Wallahi qad adhumat ma’ajizu ahmadin, rafa’al muhayminu linnabiyyi makana.
Walaqad ghaza sab’an wa ‘isyrina ma’ash-,shahbi rijalan qad masyaw rukbana.
Akrim bihi wabishuhbihi wa bitabi’in, ya rabbi alhiqna bihim ihsana.
(Ya rabbana shali wa sallim daiman, ‘ala habibika man ilayka da’ana).

Allahumma shali wa sallim wa barik ‘alayhi wa ‘ala alihi.

Doa
Wa laqad asyartu lina’ti man awshafuhu, tuhyil quluba tuhayyijul asyjana.
Wallahu qad atsna ‘alayhi fama yusa, wil qawlu minni aw yakunu tsanana.
Lakinna hubban fis sarairi qad da’a, limadihi shafwati rabbina wahdana.
Waidzimtazajna bilmawaddati hahuna, narfa’u aydi faqrina wa rajana.
Lilwahidil ahadil ‘aliyyi ilahina, mutawassilina biman ilayhi da’ana.
Mukhtarihi wa habibihi wa shafiyyihi, zaynil wujudi bihil ilahu habana.
Ya rabbana ya rabbana ya rabbbana, bilmush-thafa aqbalna ajib da’wana.
Anta lana anta lana ya dukhrana, fi hadzihid dunya wafi ukhrana.
Ash-lih lanal ahwala waghfir dzanbana, wala tuakhidz rabbi in akhthana.
Wasluk bina fi nahji thahal mush-thafa, tsabbit ‘ala qadamil habibi khuthana.
Arina bifadl-lin minka thal’ata ahmadin, fi bahjatin ‘aynur ridla tar’ana.
Warbuth bihi fi kulli halin hablana, wa hibala man wadda waman walana.
Wal muhsinina waman ajaba nida-ana, wadzawil huquqi wa thaliban awshana.
Wal hadlirina wa sa’iyan fi jam’ina, ha nahnu bayna yadayka antara tarana.
Walaqad rajawnaka fahaqqiq suklana, wasma’ bifadl-lika ya sami’u du’ana.
Wan-shur binasunnata thaha fi biqa, il ardli waqma’ kulla man da’ana.
Wandhur ilayna wasqina kaksal hana, wasyfi wa ‘afi ‘ajilan mardlana.
Waqdli lanal hajati wahsin khatmana, ‘indal mamati wa ash-lihan ‘uqbana.
Ya rabbi wajma’na wa ahbaban lana, fi darikal firdawsi ya rajwana.
Bils-mush-thafa shalli ‘alayhi wa alihi, ma harrakat rihush-shaba agh-shana.
Subhana rabbika rabbil ‘izzati ‘amma yashifun, wa salamun ‘alal mursalin wal hamdulillahi rabbil’alamin.

Ash-shalatu wassalamu ‘alayka ya sayyidal mursalin.
Ash-shalatu wassalamu ‘alayka ya khatiman nabiyyin.
Ash-shalatu wassalamu ‘alayka ya man arsalahullahu rahmatan lil’alamin. Wa radliyallahu ta’ala ‘an ash-habi rasulillahi ajma’in. Amin.


Adl-Dliyaul Lami’ (Cahaya yang Terang Benderang) adalah karya sastra Arab yang ditulis oleh Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Syekh Abubakar bin Salim....................

Dengan Nama Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad, kekasih-Mu, pemilik syafaat limpahan syafaat-Mu.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad, semulia-mulianya ciptaan, dalam keagungan dan derajatnya.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad, makhluk yang termulia kedudukannya, melebihi segenap ciptaan yang ada.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Jalankanlah kami, wahai Tuhan, ke jalan yang benar (jalan nabi-Mu).
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Sembuhkanlah kami dari segala keluhan dan penyakit.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Perbaikilah hati dan ampunilah kami, dan berilah kami segala yang bermanfaat.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Bentengilah kami dari orang-orang yang memusuhi kami dan hindarkanlah kami dari musuh-musuh yang akan datang kepada kami.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Kami berlindung di dalam benteng-Mu, yang melindungi (kami) dari segala gangguan.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Ya Allah, ridailah kami dengan keridaan-Mu yang agung.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Kumpulkan kami dengan nabi-Mu di surga.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Jadikanlah kami orang yang dekat dan selalu berdampingan dengan sebaik-baiknya ciptaan-Mu.
Ya Allah, limpahkanlah selawat atas Muhammad. Ya Allah, limpahkanlah selawat serta selamat sejahtera atasnya.

Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu (wahai Muhammad) kemenangan yang gemilang. Agar Dia (Allah) mengampunimu atas dosa-dosamu yang terdahulu dan yang akan datang. Dan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu (Muhammad), dan Dia (Allah) memberimu petunjuk ke jalan yang lurus. Dan agar Dia (Allah) memberikan pertolongan dengan pertolongan yang mulia.
Sesungguhnya telah datang kepadamu rasul dari golonganmu, dan ia (rasul) sangat berat memikirkan penderitaanmu, dan sangat menginginkan keselamatan dan keimananmu. Dan ia sangat penyantun dan penyayang atas orang-orang mukmin. Maka jika mereka berpaling, katakanlah, “Cukuplah pertolongan Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia, dan kepada-Nya aku berserah diri dan Dia adalah pemilik arasy yang agung.”
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat atas Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah atasnya, dan berilah salam kepadanya dengan sebaik-baiknya salam sejahtera.
Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya

Segala puji bagi Allah, yang telah memberi kita petunjuk, melalui hamba-Nya yang terpilih, yang telah menyeru kami.
Dengan izin dan rida-Nya, dan sungguh-sungguh ia telah menyeru kami.
Kami datang kepadamu, wahai manusia, yang telah menunjukkan kami jalan yang benar, dan yang telah menyeru kami dengan lemah lembut dan bahasa yang indah.
Limpahan selawat atasmu dari Allah, yang telah menciptakanmu, yang denganmu, wahai pembawa syafaat, telah membuat kami terpilih dan terkasihi. Juga atas keluargamu yang suci, yang mereka itu sumber-sumber rahasia-Mu yang tinggi. Merekalah bahtera penyelamat yang membentengi kami.
Dan atas para sahabatmu yang mulia, sebagai dinding penyelamat bagi ajaranmu, dan sebagai figur panutan bagi pencintanya.
Juga terhadap para tabiin setelah mereka, yang mengikuti mereka dengan jujur dan bersungguh-sungguh, segala pujian kerinduan yang merobohkan kesedihan.
Demi Allah, tidaklah diperdengarkan nama sang kekasih (Muhammad) kepada orang yang mencintainya, kecuali ia menjadi tersentak gembira dan hilanglah segala kesusahan.
Di manakah para pencinta yang rela berkorban dengan harta dan jiwanya, dan sangat meremehkan hal-hal duniawi yang berharga?
Tidaklah mereka mendengar nama Thaha Al-Musthafa, maka bangkitlah semangat di hati mereka dan hilanglah segala kegundahan hati.
Maka bergetarlah roh merindukan perjumpaan, dan merintih memohon keridaan Tuhannya.
Begitulah keadaan para pencinta Rasul, maka dengarlah perjalanan hidup sang pembawa syafaat dan tajamkanlah pendengaranmu!
Maka simaklah sifat-sifat Thaha, imam yang terpilih, dan hadirkanlah hatimu, niscaya terpenuhilah hatimu dengan kerinduan kepadanya.
Wahai Tuhan kami, limpahkanlah selawat dan salam selalu atas kekasihmu yang telah menyeru kami kepada-Mu.

Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Telah datang kabar kepada kita dari Allah, “Bahwa telah datang kepadamu cahaya.” (Al-Maidah: 15). Sungguh Mahasuci Allah, yang telah memberitakannya kepada kami.
Dan sesungguhnya cahaya Thaha, hamba-Nya, akan didapatkan dengan mengingatnya. Maka agungkanlah Sang Pemberi Anugerah.
Dia (Muhammad) adalah rahmat dari Sang Pencipta, maka renungkanlah firman-Nya yang berbunyi, “Maka bergembiralah kamu.” Maka segeralah kamu bergembira dengan kelahirannya.
Dengan berpegang teguh pada tali syariat-Nya dan berusahalah senantiasa di jalan Allah, yang telah menciptakan kita.
Renungkanlah cahaya Rasul, yang ketika ditanyakan kepadanya, “Sejak kapankah kenabianmu?”, sabdanya, “Kenabianku sejak Adam AS. Masih berupa air dan tanah.” Maka sadarlah kamu dari kelalaianmu itu dan bangkitlah sadar.
Maka pahamilah rahasia-rahasia Tuhanku, yang selalu memindahkanmu (SAW) dari sulbi (tulang rusak) yang mulia ke sulbi orang yang mulia dan terpilih.
Tidaklah terpisah dari dua kelompok terkecuali aku berada pada yang terbaik, begitulah hingga aku dilahirkan.
Maka aku adalah yang terbaik dari yang terpilih, dan aku terlahir dari pernikahan yang Tuhanku telah menjaganya.
Ketahuilah, Allah telah menyucikan zatnya, serta menjaga dan memilihnya, maka tidaklah pernah Allah memunculkan manusia seagung dirinya.
Dan dengan mencintai dan mengingatnya serta membantu syariatnya dan penghormatan serta pengagungan terhadap-Nya, Allah, Pencipta Arasy, yang telah mewasiatkan kita.
Wahai Tuhan kami, limpahkanlah selawat dan salam selalu atas kekasih-Mu yang telah menyeru kami kepada-Mu.

Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Telah Allah sebarkan sifat-sifat kenabian dalam kitab-kitab terdahulu dengan jelas dan terang.
Dia (Allah) telah mengambil perjanjian dari para nabi ketika Aku datangkan kepada kalian hikmah dan kebaikan.
Dan telah datang kepada kalian utusan Kami, agar kamu beriman dan ikut serta dalam membantu ajarannya, dan jadikanlah kamu orang yang dekat kepadanya.
Dan bahwasannya nabi-nabi terdahulu telah mengabarkan kepada umat mereka akan kedatangan nabi yang terpilih.
Maka agungkanlah martabat dan kedudukannya. Dan, apabila telah datang hari kiamat, para nabi terdahulu akan berjalan di bawah naungan panji-panji sang Nabi SAW yang telah menyeru kita.
Wahai umat Islam, ketahuilah, aku adalah yang pertama sebagai pemberi syafaat dan yang pertama pula menyebarkannya. Dan tidaklah aku ragu dan memperlambat.
Hingga diserukan kepadaku (ketika bersujud memohon syafaat), “Angkatlah kepalamu, wahai Muhammad, dan katakanlah permintaanmu, niscaya Aku kabulkan permohonanmu, dan bicaralah, niscaya Aku dengar pembicaraanmu. Sungguh bintang kemulianmu, wahai nabi kami, jelas dan terang.
Dan panji-panji pujian kepada Allah, yang Mahaperkasa, berada di tanganku (SAW), dan aku (SAW) adalah manusia pertama yang mendatangi surga-Nya.
“Dan aku (SAW) telah menjadi ciptaan yang paling mulia di sisi Allah.” Dan sungguh engkau wahai nabi telah terpelihara oleh Allah dengan kasih sayang-Nya.
Dan akan Kami limpahkan kepadamu (SAW) anugerah Kami hingga engkau (SAW) rida. Dan ayat ini merupakan tanda kebesaran dari Yang Maha Pemberi, dan pemberian itu merupakan hal yang sulit diterima akal (seperti banyaknya mukjizat).
Demi Allah, ulang-ulanglah peringatan sifat-sifat kenabian Muhammad yang mulia, agar menjadi penawar dan pengikis kotoran-kotoran hati.
Wahai Tuhan kami, limpahkanlah selawat dan salam selalu atas kekasih-Mu yang telah menyeru kami kepada-Mu.
Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Ketika telah dekat waktu kelahiran Ahmad (SAW) dengan izin dan keridaan-Nya, yang apabila menghendaki sesuatu tidaklah akan terhalang...
Ia berada di dalam kandungan ibunya, Aminah binti Wahab, yang telah Allah muliakan martabatnya sebagai ibu bagi sebaik-baiknya ciptaan.
Dan ayah makhluk pilihan Allah, Abdullah bin Abdul Muthallib, yang melihat tanda-tanda kenabian. Ayahnya telah diterangi cahaya Thaha (SAW) yang kemudin berpindah kepada sang anak yang terjaga dan terlihat dengan jelas.
Dia keturunan Hasyim, putra Abdumanaf, putra Qushay.
Ayahnya digelari hakim yang adil dan kepribadiannya telah termasyhur, maka berbanggalah dengan kepribadian itu.
Dan hafalkanlah silsilah keturunan Nabi yang terpilih hingga kakeknya, Adnan.
Apabila telah sampai kepada Adnan, berhentilah. Dan ketahuilah, nasabnya besambung hingga Ismail AS, yang telah banyak membantu ayahnya (Ibrahim AS).
Dan ketika Aminah (RA) mengandung Nabi, tidaklah ia pernah merasa sakit sebagaimana keluhan wanita hamil.
Maka diselimutilah ia dengan kelembutan dari Allah, Pemelihara Langit, yang dengannya hilanglah segala gangguan, kegelisahan, dan kesedihan.
Kemudian Aminah menyaksikan apa yang telah diketahuinya bahwa Yang Maha Pemelihara telah memuliakan alam semesta.
Dengan kesucian bayi di dalam kandungannya, ia pun bergembira ketika telah dekat saat kelahiran. Maka berluapanlah limpahan keridaan-Nya.
(Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar. 4 x.
Dan tiada daya dan kekuatan selain dari Allah, yang Mahatinggi dan Mahaagung, setiap detik dan selamanya. Sebanyak bilangan makhluk-Nya, serta sebanyak keridaan diri-Nya dan keindahan arasy-Nya, dan sebanyak bilangan kalimat-kalimat-Nya.)
Maka muncullah cahaya dari segala penjuru dan detik kelahiran pun tiba.
Beberapa saat sebelum terbit fajar, muncullah matahari hidayah. Lahirlah sang kekasih yang termuliakan dan terjaga.

Jemaah Berdiri
Allah berselawat kepada Muhammad. Allah memberi selawat dan salam kepadanya (3x).
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu. Wahai Rasul, salam sejahtera bagimu. Wahai kekasih, salam sejahtera bagimu. Selawat Allah bagimu.
Telah tiba dengan kehendak Allah sang pemberi syafaat, pemilik derajat yang dimuliakan. Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru. Meliputi seluruh alam semesta.
Maka berjatuhanlah patung-patung berhala di Ka’bah. Dan tumbanglah sendi-sendi kemusyrikan.
Maka dekatlah saat-saat hidayah. Dan benteng kekafiran pun berguncang.
Salam sejahteralah atas kedatanganmu, wahai sang pemilik derajat yang mulia. Wahai imam dan pemimpin para rasul, yang dengannya bencana-bencana tertolakkan.
Engkaulah satu-satunya tempat berlindung di hari kiamat. Kepadamulah seluruh ciptaan ketakutan (risau tak mendapatkan syafaat). Kemudian mereka datang memanggil namamu ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan.

Telah muncul purnama dari Lembah Wada’. Wajiblah kami bersyukur, selama penyeru masih berseru kepada Allah.
Maka karena itulah engkau (SAW) bersujud ke hadirat Tuhanmu. Maka diserukan kepadamu, “Berikanlah syafaat, karena engkau diizinkan memberi syafaat.”
Maka atasmu limpahan selawat dari Allah. Selama cahaya masih bersinar terang benderang. Dan denganmu (SAW) kami memohon kepada Allah, yang Rahman, maka Pencipta Arasy mendengar doa kami.
Wahai Maha Pemberi Anugerah yang Mulia, wahai Rabb, kumpulkanlah kami dengan Al-Musthafa (SAW). Dan, demi dia (SAW), pandanglah kami dengan kasih sayang-Mu, dan berilah kami segala yang kami inginkan.
Hindarkanlah kami dari segala bencana, jauhkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh-jauhnya.

Doa Saat Berdiri
Dan siramilah kami, wahai Rabb, dengan rahmat-Mu. Tolonglah kami dengan lebatnya curahan rahmat-Mu.
Akhirilah usia kami dengan husnul khatimah, dan perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada-Mu.
Dan terlimpah selawat dari Allah bagi yang terkumpul padanya segala kebaikan, Ahmad, yang tersuci, serta keluarganya, dan sahabatnya, sebanyak pijaran cahaya.

Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Ketika telah lahir sang kekasih (SAW), ia pun tunduk dan bersujud kepada Allah, yang telah menghidupkan seta menciptakan kita.
Dan pemeliharaan Sang Pencipta selalu menaungi Nabi Ahmad (SAW), setiap waktu, baik lahir maupun batin.
Ia (SAW) disusui oleh ibunya, dan diteruskan oleh Tsuwaibah (RA), kemudian Halimah (RA), yang mendapatkan kabar gembira bahwa ia akan masuk surga.
Dan ketika Tsuwaibah menyampaikan berita kepada tuannya tentang kelahiran Muhammad SAW, Abu Lahab memerdekannya, sebagai tanda suka citanya.
Tidaklah Tuhan yang Maha Pencipta lupa atas kegembirannya (Abu Lahab) dengan kelahiran Musthafa (SAW), sebagaimana tercantum dalam hadis (riwayat Abbas bin Abdulmuttalib RA, di hadis sahih Muslim) bahwa siksaan Abu Lahab diringankan pada setiap hari Senin atas kegembiraannya kepada (Nabi SAW) yang telah menepati janji-janji sucinya kepada kami.
Demikianlah rahmat Allah terhadap seorang kafir yang gembira dengan kelahiran Nabi (SAW), maka bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi mukmin yang hatinya dipenuhi dengan iman?
Sungguh nyata keberkahan Nabi Muhammad (SAW) yang disaksikan oleh Halimah (RA) dengan bentuk yang sangat menakjubkan.
Di antaranya mengalir air susunya, yang sebelumnya anaknya tak pernah berhenti menangis (karena lapar) sebab air susunya tak pernah mengalir sama sekali.
Akan tetapi malam itu, sejak kedatangan sang kekasih (SAW), anaknya tidur dengan pulas dan kenyang (karena air susunya mengalir dengan derasnya).
Dan mengalir pulalah air susu untanya, lalu menjadi kuat dan sehat, ini merupakan hal-hal yang menakjubkan.
Ini membingungkan teman-temannya, dan ia (Halimah RA) mendengar pula ucapan salam sejahtera dari pohon-pohon dan batu-batu kepada pemimpin kita (SAW).
Mahasuci Allah, yang telah membuat pohon-pohon dan batu-batu berbicara, menyambut Nabi SAW yang terpilih, Mahasucilah Dia.
Wahai Tuhan kami, limpahkanlah selawat dan salam selalu atas kekasih-Mu yang telah menyeru kami kepada-Mu.
Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Maka tumbuh besarlah sang kekasih SAW dengan sejarah kehidupan yang selalu dalam keridaan dan tidaklah terdapat dalam jalan hidupnya perbuatan maksiat.
Terbimbing dalam pandangan kelembutan Allah yang mendidik dengan sebaik-baiknya budi pekerti kenabian.
Dan ketika ia (SAW) dewasa, hari demi hari tumbuh pulalah sifat kejujuran, budi pekerti, kasih sayang, ksatria, amanah, keberanian, bersahabat, dan gemar membantu.
Ia (SAW) di bumi digelari Al-Amin (yang tidak pernah berbohong) yang kemudian di langit digelari pula Ni’mal Amin (sebaik-baiknya yang tidak pernah berbohong), dan ia (SAW) senantiasa dinaungi oleh Yang Maha Memelihara.
Kemudian ia (SAW) berangkat dengan ibunya untuk menziarahi pusara (kuburan) ayahnya di Medinah, yang telah wafat ketika nabi pilihan masih berada di kandungan ibunya dahulu, dan kejadian ini ketika usianya enam tahun.
Dan wafatlah ibunya dalam perjalanan pulang dari ziarah itu, maka dipeliharalah ia (SAW) oleh Abdul Muthalib dengan penuh kasih sayang.
Dua tahun kemudian wafatlah pengasuhnya (Abdul Muthalib), maka ia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
Ketika usianya genap dua puluh tahun, ia (SAW) dilamar oleh Khadijah binti Khuwailid, yang telah mengetahui keajaiban-keajaiban pada diri pemberi syafaat.
Maka Allah mengabulkan cita-citanya, lalu ia (Khadijah RA) mendapatkan kesejahteraan yang abadi dan kehormatan di sisi Allah.
Kemudian ia (SAW) menyelesaikan kesalahpahaman peletakan Hajar Aswad setelah diperbaharui di Ka’bah.
Dari keluasan akal geniusnya dan daya pikir kenabiannya (SAW) yang cerdas dan teliti, Mahasuci Allah, yang telah mengajarinya dan memeliharanya (SAW).
Wahai Tuhan kami, limpahkanlah selawat dan salam selalu atas kekasih-Mu yang telah menyeru kami kepada-Mu.
Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Maka datanglah Jibril dengan wahyu-Nya di Gua Hira ketika ia (SAW) beribadah kepada Ar-Rahman. Jibril memeluknya dengan kuat dan melepaskannya, demikian diulanginya hingga tiga kali berturut-turut, dan berkata, “Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang mengajari manusia.”
Lalu ia (SAW) berdakwah dengan sembunyi-sembunyi selama tiga tahun hingga datang perintah untuk berdakwah secara terang-terangan.
Maka bertubi-tubilah gangguan, sedangkan ia (SAW) sangat sabar terhadap segala cobaan dari Tuhannya, dan ia (SAW) sangat bersyukur dan tidak pernah ragu dalam menjalankan dakwahnya.
Kemudian wafatlah istrinya, Khadijah, yang diikuti pula oleh wafatnya sang paman, Abu Thalib, ketika usianya genap 50 tahun. Maka semakin dahsyatlah gangguan yang beraneka ragam.
Dan ketika berkunjung ke Bani Tsaqifah (Tha’if) untuk berdakwah, ia dilempari dengan batu, bahkan dikejar dan dicemooh oleh anak-anak.
Maka datanglah malaikat penguasa gunung, dan berkata, “Apakah kutimpakan gunung ini ke atas mereka?” Nabi menolak dan bahkan berharap akan keislaman mereka di kemudian hari.
Dan ia (SAW) dimuliakan dengan perjalanan (Isra) ke Masjidil Aqsha, lalu mengimami para rasul, yang kemudian menyaksikan alam arwah dan surga.
Kemudian naiklah Nabi (SAW), sang kekasih, menembus tujuh lapis langit dan arasy serta Al-Kursiy, lalu berjumpa dengan Pencipta kita.
Kemudian datanglah izin dan rida dari Allah untuk hijrah ke kota Yatsrib (Medinah), yang kemudian dihiasi Allah dengan hari-hari kenabian.
Maka ia pun (SAW) bermukim di Medinah selama sepuluh tahun sebagai dai dan mujahid yang selalu dibantu para sahabatnya.
Tidaklah mereka meninggikan suara mereka ketika di hadapan beliau terkecuali berbicara dengan suara lemah lembut, dan tidaklah mereka mengangkat kepala di hadapan beliau dan tak berani memandang beliau.
Dan berjalan kaki sebagai penghargaan terhadap kemuliaan Muhammad yang telah disebutkan oleh Al-Quran.
Dan mereka telah melihat dari akhlak dan budi pekerti yang luhur serta hal-hal yang tidak terjangkau oleh logika (mukjizat).
Mulia, dermawan, pemaaf, rendah hati, dan bahkan sebuah batang kurma di mimbarnya terdengar isak tangisnya karena kerinduan dan cintanya terhadap Nabi Saw.
Juga memancar air dari sela-sela jarinya dengan deras, yang kemudian minumlah dari air tersebut para sahabatnya yang kehausan hingga hilanglah dahaga mereka.
Demi Allah, yang telah memuliakan mukjizat-mukjizat Nabi Ahmad SAW, dan ia telah dimuliakah oleh Yang Maha Memelihara ke derajat yang setinggi-tingginya.
Ia (SAW) telah berjihad selama hidupnya, sebanyak 27 peperangan, bersama para sahabatnya yang setia dengan berjalan kaki.
Alangkah mulianya beliau (SAW) dan para sahabatnya serta para pengikutnya. Maka, wahai Tuhan kami, susulkanlah (kami) kepada perbuatan dan amal mereka.
Wahai Tuhan kami, limpahkanlah selawat dan salam selalu atas kekasih-Mu yang telah menyeru kami kepada-Mu.
Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam serta keberkahan atasnya dan atas keluarganya.

Doa Penutup
Maka telah Allah isyaratkan untuk menyifatkan budi pekertinya yang menghidupkan dan mengguncang-luruhkan kegundahan. Dan Allah telah memujinya, maka apalah artinya pujian kita dan bagaimana pujian itu dinamakan pujian....
Akan tetapi, cinta kasih dalam sanubari tetap menuntut untuk memuji hamba pilihan Sang Pencipta yang telah menyeru kita dengan kelembutan.
Maka, setelah kita berpadu dengan cinta dan kasih sayang terhadap Nabi, sekarang kita mengangkat kedua tangan kita yang hina dina untuk berdoa dengan penuh pengharapan.
Kepada Tuhan, yang Mahatunggal dalam keesaan-Nya, serta Mahamulia, dengan mengambil perantara kepada orang yang telah menyeru kita (Muhammad SAW) kepada-Nya.
Hamba-Nya yang terpilih, kekasih-Nya, serta hamba-Nya yang terkemuka dan sebaik-baiknya ciptaan di alam semesta yang dengannya Allah telah menciptakan kita.
Wahai Tuhan kami, wahai Tuhan kami, wahai Tuhan kami, demi Nabi yang terpilih, terimalah dan kabulkanlah doa kami.
Hanya Engkaulah harapan kami, hanya Engkaulah harapan kami, wahai satu-satunya tempat memohon dan harapan di dunia dan di akhirat.
Perbaikilah keadaan kami dan ampunilah kami atas dosa-dosa kami, dan janganlah Engkau murkai kami apabila kami berbuat kesalahan.
Dan jadikanlah kami selalu berjalan pada ajaran Nabi Thaha, yang terpilih, dan kuatkanlah serta tetapkanlah langkah-langkah kami pada jalan yang telah dilalui oleh sang kekasih (SAW).
Dan perlihatkanlah kami demi anugerah dari-Mu wajah Nabi dalam gemilangnya kegembiraan dan pandangan kasih sayang serta keridaan yang selalu menaungi kami.
Dan ikatlah kami selalu dengan beliau dalam segala gerak-gerik kami, dan juga orang-orang yang mengikuti dan mencintai kami.
Demikianlah pula orang-orang yang beramal saleh dan juga orang-orang yang mendengar dakwah kami, orang-orang yang kami berutang budi kepada mereka, dan memohon nasihat dari kami.
Juga, atas hadirin dan penyelenggara. Maka, ya Allah, inilah kami di hadapan-Mu dan Engkau melihat kami.
Dan bahwasannya kami benar-benar mengharapkan-Mu, maka kabulkanlah permohonan kami, wahai Yang Maha Mendengar.
Dan pilihlah kami sebagai penolong sunah Thaha (SAW) di seluruh pelosok bumi, dan hancurkanlah semua yang memusuhi kami.
Dan pandanglah kami dengan kasih sayang-Mu, beri minumlah kami dari cangkir mahabah, dan sembuhkanlah penyakit yang ada pada kami dengan segera.
Kabulkanlah segala hajat kami, akhirilah hidup kami dengan kebaikan, dan jadikanlah kebaikan pula di hari kemudian.
Wahai Allah, kumpulkanlah kami bersama kekasih-kekasih kami di surga Firdaus-Mu, wahai Yang Hanya kepada-Nya-lah harapan kami tersandar.
Demi hamba yang terpilih, yang limpahan selawat selalu atasnya dan atas keluarga serta keturunannya, sebanyak embusan angin di pagi hari.
Mahasuci Tuhanmu, Pencipta, yang Maha Memiliki Kekuasaan dari apa yang mereka sifatkan. Salam sejahtera atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah, Pencipta seluruh alam.