13.12.06

Ak02.MutiaraRasul.AST

 
Saling Membantu Terhadap Sesama

Rasulullah SAW suatu waktu mendapati seorang tawanan wanita yang tidak punya pelindung. Akhirnya oleh beliau, wanita tersebut mendapat bekal dan makanan. Berkat dakwah yang baik dan sikap saling membantu, anaknya pun akhirnya memeluk Islam

Suatu ketika datang sekelompok pasukan yang dikirim Rasulullah SAW untuk mengambil beberapa orang dari bani Ady bin Hatim. Sementara itu Ady bin Hatim sedang berada di luar kota, tepatnya di Aqrib. Akhirnya pasukan Rasulullah SAW itu membawa beberapa orang bani Ady bin Hatim ke hadapan Rasulullah. Melihat banyaknya orang yang dibawa, Rasulullah SAW kemudian menyuruh salah seorang pasukannya untuk memimpin para tawanan itu berbaris. ”Suruhlah mereka berbaris,” perintah beliau.
“Siap baginda,” jawab salah seorang prajuritnya.
Rasulullah SAW kemudian berjalan mengitari barisan tawanan itu dengan langkah yang berwibawa. Badannya yang tegap dan ditopang wajah yang putih bersih, tampak wajah keteduhan bagi siapa saja yang memandangnya. Tibalah beliau di hadapan seorang wanita tua, ibu dari Ady bin Hatim. Wanita itu langsung menyapa pada beliau.
“Wahai Rasulullah, penolongku entah kemana dan anakku pun tidak ada. Sementara aku, seorang wanita lanjut usia, dan tidak seorang pun yang mengurusi aku. Maka bermurah hatilah kepadaku sebagaimana Allah telah bermurah hati kepadamu.”
“Siapa penolongmu?” Tanya beliau dengan tutur kata beliau santun dan penuh kelembutan.
“Ady bin Hatim,” jawab wanita itu.
“Orang yang lari dari Allah dan Rasul-Nya,” sabda beliau kepada ibu Ady bin Hatim. Tampak wajah beliau berubah memerah, tanda beliau mulai bersikap tegas terhadap siapa pun.
“Bermurah hatilah kepadaku,” rengek wanita itu sambil memegang jubah beliau. Tak lama kemudian wanita melepaskan pegangan pada jubah beliau, sebab beliau kembali berjalan mengelilingi barisan tawanan itu.
Setelah berkeliling, sekarang beliau beserta Ali bin Abi Thalib mendatangi wanita itu. Lantas beliau bersabda,”MIntalah bekal pada sahabatku ini.”
Maka ibu dari Ady bin Hatim kemudian meminta bekal pada Ali bin Abi Thalib. Setelah mendapat bekal berupa uang dan makanan, ibu Ady bin Hatim kemudian diantar pulang ke rumahnya.
Sampai di rumah, tampak anaknya Ady bin Hatim telah berada di dalam rumah. Ibu Ady Hatim kemudian berkata,”Aku telah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan ayahmu. Temuilah beliau, baik dalam keadaan suka maupun terpaksa, karena Fulan bin Fulan pernah menemui beliau dan dia mendapatkan keuntungan dari beliau, begitu pula yang dilakukan orang lain, termasuk aku.”
“Baiklah, kalau itu maumu,” kata Ady bin Hatim pada ibundanya.
Lantas, Ady bin Hatim sebagaimana perintah ibundanya, ia menemui baginda Rasulullah SAW. Saat itu beliau sedang duduk bersama seorang wanita dan beberapa anaknya yang masih kecil. Demikianlah gambaran kehidupan Rasulullah SAW yang begitu merakyat, sekalipun telah menjadi pemimpin umat, beliau bergaul dengan rakyat biasa bahkan dengan anak-anak. Kedekatan antara pemimpin dan rakyat itulah yang membedakan kedudukan beliau tidak sama sebagaimana kedudukan para raja pada jamannya.
Rasulullah SAW melihat kehadiran Ady bin Hatim kemudian bertanya,”Wahai Ady bi Hatim, apakah yang membuat engkau lari jika dikatakan la ilaha illallah. Padahal, memang tidak ada illah (tuhan) selain dari Allah SWT? Apakah yang membuatmu lari, jika dikatakan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) ? Adakah sesuatu yang lebih besar dari Allah”
Mendapat pertanyaan yang lumayan berat membuat kerongkongannya kelu, pikirannya buntu dan berat untuk menjawab. Ady bin Hatim diam seribu bahasa. Ia kemudian berkata,”Ya Muhammad, memang benar apa yang engkau katakana. Maka mulai detik ini juga, aku masuk Islam.”
Saat itu juga, wajah beliau berubah berseri-seri. Beliau kemudian bersabda, ”Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat ialah orang-orang Nasrani.”
Beliau kemudian menyampaikan pujian pada Allah dan melanjutkan sabdanya ,”Amma ba’d. Kalian wahai orang-orang muslim. Hendaklah memberikan bekal pada orang-orang ini.”
Begitulah perintah beliau kepada kaum muslimin dianjurkan untuk membantu terhadap sesamanya, apalagi terhadap mualaf, orang yang baru masuk Islam. Maka kaum muslimin sesuai perintahnya, kemudian memberi bekal pada Ady bin Hatim. Ada yang memberi satu sha’ ada yang satu genggam makanan. Beliau kemudian bersabda, ”Sesungguhnya seseorang diantara kalian akan bertemu dengan Allah SWT, lalu ada penyeru, ’Yang dapat Kukatakan, bukankah Aku telah menjadikanmu mendengar dan melihat? Bukankah Aku sudah menjadikan bagimu harta dan anak? Lalu apa yang kamu bawa? Dia melihat ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan, dan dia tidak mendapatkan sesuatu apa pun.’ Tidak ada yang selamat dari api neraka kecuali wajahnya. Maka takutlah kalian terhadap api neraka meski hanya dengan separoh korma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka dengan kata-kata yang lembut. Sesungguhnya aku tidak takut kemiskinan yang menimpa kalian. Sesungguhnya Allah benar-benar akan menolong kalian, akan memberikan dan akan menaklukan berbagai negeri kepada kalian, hingga ada sekedup wanita yang mengadakan perjalanan Hairah dan Yatsrib atau lebih jauh lagi, tanpa merasa takut terhadap tindak pencurian terhadap dirinya.”

AST, riwayat Ahmad dan Ath-Thabrany, Majma’ Az-Zawa’id
--------------------------
Kata Mutiara:

“Siapa yang meminta perlindungan atas nama Allah, maka berilah perlindungan. Siapa yang meminta atas nama Allah, maka berilah, siapa yang meminta pertolongan atas nama Allah, maka berilah pertologan, siapa yang memberikan hal yang ma’ruf kepada kalian, maka balaslah. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka berdoalah baginya, hingga kalian tahu bahwa kalian telah memberikan balasan kepadanya.” (HR Abu Daud dan An-Nasa’i). Posted by Picasa

Manakib

 
Habib Abubakar bin Ali Shahab

Salah Satu Pendiri Jamiat Kheir

Ia merupakan salah satu pendiri Jamiat Kheir. Kegiatan organisasi ini menaruh perhatian dalam bidang pendidikan dan sosial

Tahun 1900 merupakan awal abad 20 yang sering dikatakan awal abad keemasan. Batavia, sebutan kota Jakarta saat itu, sedang memasuki periode kota kolonial modern. Berkat revolusi industri berbagai teknologi dperkenalkan. Sistem transportasi dan komunikasi mulai berkembang. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa setelah dibukanya terusan Suez di Mesir.
Tapi sayangnya, yang menikmati kemajuan itu hanyalah kelompok minoritas Belanda dan orang-orang Eropa. Tidak demikain halnya dengan orang-orang pribumi, termasuk orang-orang keturunan arab. Khusus terhadap orang-orang keturunan arab, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti Islam. Apalagi semangat Pan-Islamisme yang dikobarkan di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung di Indonesia. Prof. Snouck Hurgronye terang-terangan menuduh kaum Alawiyyin yang menyebarkan paham Pan-Islamisme di Indonesia.
Begitu bencinya Belanda terhadap Islam dan orang-orang keturunan Arab, sehingga di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah waktu itu, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Hingga tidak heran, menurut Mr. Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda mengakibatkan mereka tidak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda. Bukan hanya orang-orang keturunan Arab, tapi juga kelompok ulama dan santri menganggap sekolah Belanda sebagai sekolah kafir.
Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras itulah, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab tampil untuk mendirikan sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. Pada tahun 1901, berbarengan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air, berdirilah perguruan organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan arab.
Selain Abubakar bin Ali shahab, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin yangn mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda-propaganda jahat Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.
Begitu suksesnya Jamiat Kheir hingga diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam sekarang ini sebagai organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Budi Utomo), H. Agus Salim (tokoh KMB), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.
Habib Abubakar bin Ali Shahab, sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KHM. Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama-sama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.

Aktif Sejak Muda
Habib Abubakar dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Rajab 1287 H/ 24 Oktober 1870 M, dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahabuddin al-Alawy, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum. Said Naum adalah salah seorang keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya yang luas di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman.
Di zaman Gubernur Ali Sadikim di tahun 70-an pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia, berikut sebuah masjid lengkap dengan madrasahnya yang memakai nama Said Naum untuk mengabadikan wakafnya. Masjid ini pernah mendapat anugerah Agha Khan karena arsitekturnya yang orisinil dan menawan selaras dengan lingkungannya.
Dalam usia 10 tahun, pada tahun 1297 H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. di Hadramaut, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal di sana, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas dengan hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka.
Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura, dan tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, ia yang masih muda itu mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.
Setelah Jamiat Kheir berkembang dan semakin banyak muridnya, dalam usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926 beliau kembali berangkat ke Hadramaut untuk kedua kalinya. Kali ini disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H.
Di tempat-tempat yang dikunjunginya, beliau bersama dengan dua putranya yang masih berusia 20-an tahun selalu membahas upaya untuk meningkatkan syiar dan pendidikan Islam sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, “Belajarlah kamu dari sejak buaian sampai ke liang lahat”. Habib Abubakar di tempat-tempat yang disinggahi selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ini, beliau memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan beliau membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya.
Almarhum tidak pernah jemu dan lelah berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin, bahkan juga tidak segan-segan untuk mencari dan mengumpulkan biaya selama di Jawa, Palembang dan Singapura untuk membangun madarasah di Damun, Hadramaut. Sampai sekarang madrasah ini masih berdiri dengan baik. Beliau juga mendirikan yayasan Iqbal di Damun.
Pada 27 Syawwal 1354 H beliau sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan para tokoh ulama.
Pada awal Muharram 1355 H beliau kembali ke Damun, Tarim. Pada 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M beliau berangkat pulang ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, beliau disambut oleh shahabat karibnya, Habib Ali Kwitang di sekolah Unwanul Fallah yang dibangun Habib Ali. Keesokan harinya beliau disambut di sekolah Jamiat Kheir, sekolah yang didirikannya. Baik di Kwitang maupun di Tanah Abang, sejumlah tokoh habaib yang ada memberikan kata-kata sambutan dan pujian kepadanya. Ketika diterima di Jamiat Kheir, sekolah ini dipimpin oleh Muhammad bin Ahmad bin Sumaith.
Berbagai kegiatan di bidang sosial dan pendidikan tidak pernah henti-hentinya dilakukannya selama berada di Indonesia, karena bidang ini tidak lepas dari perhatiannya. Bahkan pada 14 November 1940 beliau menghadiri pembukaan madrasah/ma’had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab. Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, Surabaya dan masih banyak lagi.
Berjuang untuk Islam dan masyarakat, Habib Abubakar tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga tidak segan-segan untuk mendermakan harta bendanya. Demikianlah, beliau sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas.
Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, tokoh yang juga ikut dalam mendirikan Malja Al Shahab di tahun 1913 bersama sejumlah pemuda. Al Shahab ini, menghadap hadirat Allah SWT pada hari Sabtu 18 Maret 1944 M yang bertepatan dengan 23 Rabiul Awwal 1363 H. Beliau wafat di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan wakaf Tanah Abang, tanah wakaf kakeknya. Yang memandikan dan mengkafani almarhum adalah Habib Ali bin Husein bin Muhammad Al-Aththas dan Syeikh Ahmad bin Umar Al-Azab.
Ketika pemakaman dipindahkan ke Jeruk Purut, tidak ada yang mengetahui dimana jasad beliau dipindahkan. Beliau meninggalkan tujuh orang putra-putri. Putra tertua Abdurrahman, disusul Abdullah, Hamid, Idrus, Zahrah, Muznah dan Ali. Putra terkecilnya, Ir. Ali A. Shahab, pernah menjabat Kepala Divisi Komunikasi dan Elektronika Direktorat PKK Pertamina. Seperti juga almarhum ayahnya, Ali Abubakar Shahab kini aktif di bidang sosial. Patah tumbuh hilang berganti.

AST, disarikan dari Rihlatul Asfar: sebuah otobiografi Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin, yang diterjemahkan oleh Drs Ali Yahya, Spsi, tahun 2000
Caption:
1. Lead
2. Madrasah Jami’at Kheir, Tanah Abang. Pernah menjadi pusat pergerakan
3. Suasana kongres I Rabithah Alawiyah. Ditugaskan mencari dana untuk kepentingan masyarakat
4. Gedung Darul Aitam, Tanah Abang.Mendirikan yayasan untuk anak yatim piatu Posted by Picasa

Ak26.Mutiara Rasul.AST

 
Kesaksian Seekor Unta

Setelah raja Jahiliyah Habib bin Malik melihat mukjizat yang dimiliki Rasululah SAW, ia kemudian memeluk Islam. Sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dan tanda terimakasihnya kepada Rasulullah SAW, Raja Habib mengirim hadiah melalui beberapa utusan, berupa emas, perak, unta dan lain sebagainya kepada beliau.
Mengetahui akan datangnya rombongan membawa hadiah untuk Rasulullah SAW, Abu Jahal segera menghadang perjalanan utusan-utusan yang membawa hadiah itu di luar perbatasan kota Mekkah.
Ketika rombongan utusan Raja Habib bin Malik muncul, Abu Jahal dan komplotannya pun langsung melancarkan aksi. Mereka berpura-pura tidak tahu siapa dan maksud kedatangan rombongan tersebut. “Siapakah kalian ini?”
“Kami adalah utusan Raja Habib bin Malik untuk menyampaikan hadiah ini kepada Rasulullah SAW,” jawab para utusan dengan polos.
Abu Jahal kemudian memperkenalkan dirinya dan mengatakan kalau hadiah-hadiah yang dibawa itu adalah dirinya bukan untuk Muhammad. Mendengar pengakuan dari Abu Jahal, para utusan itu bersikeras bahwa mereka diutus untuk menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Para utusan Raja Habib bin Malik itu kemudian pamit dan memacu kendaraannya ke arah kota Mekkah.
Ketika rombongan itu akan berlalu dari hadapan Abu Jahal. Tanpa membuang banyak waktu lagi, komplotan Abu Jahal pun mendekati para utusan Raja Habib bin Malik dan hendak merampas barang bawaan yang mereka bawa.
Tentu saja, aksi itu mendapat perlawanan keras dari para pengawal utusan Raja Habib bin Malik, hingga terjadilah pertempuran anatar kubu utusan Raja Habib dan kawanan Abu Jahal.
Pedang-pedang terhunus, saling beradu menimbulkan denting suara yang memekakkan telinga, diselingi teriakan dan umpatan dari kedua belah pihak. Suara kegaduhan dari adu kekuatan antara kedua kelompok itu sampai terdengar di pinggiran pemukiman kota Mekkah. Maka, mereka pun kemudian ramai-ramai mendatangi ajang pertemuran dan bermaksud melerai pertikaian itu. Pertempuran itu kemudian terhenti sejenak karena ditonton oleh banyak penduduk Mekkah.
Salah seorang pemuka Quraisy maju ke depan dan menanyakan kepada salah satu utusan Raja Habib bin Malik,”Apa maksud kedatangan kalian ke kota Mekkah?”
“Kami datang ke kemari untuk menyampaikan hadiah ini kepada Rasulullah sedang Abu Jahal mengatakan bahwa hadiah-hadiah ini untuknya,” kata salah satu utusan Raja Habib bin Malik.
Rasulullah SAW yang turut hadir di antara mereka kemudian bersabda,”Wahai masyarakat Mekkah, apakah kalian rela dan mau mendengarkan apa yang hendak kukatakan ini?”
“Baiklah, ya Muhammad, kami akan mendengar perkataanmu,” jawab sebagian yang hadir.
Kemudian Rasul SAW meneruskan ucapannya,”Aku ingin bertanya kepada unta yang membawa hadiah ini.”
Alangkah terkejutnya Abu Jahal mendengar perkataan Rasulullah. Tentu saja Rasulullah SAW akan bisa berbuat apa saja, pikirnya. Oleh sebab itu, Abu Jahal meminta kepada yang hadir untuk menunda beberapa hari apa yang akan dilakukan oleh Muhammad, yakni menanyai unta pembawa hadiah. Karena ia juga merasa yakin dapat menanyai unta pembawa hadiah itu, setelah meminta tolong pada patung sesembahannya. Dan usul dari Abu Jahal pun kemudian disepakati oleh semua yang hadir.
Selama tiga hari berturut-turut, Abu Jahal tidak pernah keluar dari ruang sesembahan berhala. Siang dan malam, ia tak lepas dari bersujud dari berhala, demi kemenangan menandingi Muhammad. Menginjak hari ketiga, Abu Jahal melangkahkan kakinya keluar rumah dan mendatangi orang-orang Mekkah dengan satu keyakinan bisa menandingi Muhammad.
Sampai di tempat yang telah ditentukan, Abu Jahal pun langsung berhadapan dengan Rasulullah SAW. Di hadapan beliau, ia langsung mengatakan kalau hadiah dari Raja Habib bin Malik itu dihadiahkan kepadanya. Namun Rasulullah SAW tak mau kalah, beliau menentang alasan Abu Jahal, dengan mengatakan bahwa hadiah tersebut diperuntukan baginya dan itulah yang sebenarnya terjadi.
Perdebatan Rasulullah SAW dan Abu Jahal berlangsung cukup lama, sampai kemudian Rasulullah mengingatkan akan perjanjian yang telah mereka buat beberapa hari yang lalu untuk bertanya pada unta pembawa hadiah. Beliau kemudian mempersilahkan Abu Jahal untuk memulai terlebih dahulu kepada unta pembawa hadiah itu.
Setelah mempersilahkan Abu Jahal untuk maju ke muka, maka Abu Jahal secara perlahan mendekati unta itu. Dengan suara serak dan parau, ia berteriak, ”Wahai unta! Demi Latta dan Uzza; katakanlah!”
Kata-kata seperti itu berulangkali keluar dari mulut Abu Jahal, sampai matahari tenggelam ke peraduannya. Namun, nasib malang bagi Abu Jahal karena unta tersebut tidak mau menjawab sepatah kata pun. Unta itu tetap diam seribu bahasa, sampai-sampai masyarakat Mekkah yang menyaksikan merasa bosan dengan ocehan-ocehan Abu Jahal.
“Wahai Abu Jahal! Hentikan saja ocehan kosongmu itu. Engkau tidak akan mampu mengajaknya berbicara. Mundurlah, beri kesempatan pada Muhammad untuk memulainya, guna mengetahui, siapakah yang sebenarnya yang berhak menerima hadiah itu,” kata sebagian mereka.
Maka sadarlah Abu Jahal, bahwa dirinya tidak mungkin dapat mengajak unta itu berkomunikasi. Buktinya dari siang sampai sore hari, unta itu belum menjawab pertanyaannya juga, padahal dirinya telah lelah untuk berkata-kata. Kini, giliran Rasulullah SAW yang maju untuk bertanya kepada unta itu. Maka mulailah beliau mengajukan pertanyaan,”Wahai unta, wahai mahluk yang diciptakan Allah. Katakan yang sebenarnya di hadapan masyarakat Mekkah itu, tentang status dirimu.”
Keajaiban pun terjadi. Tiba-tiba unta yang tadinya mendekam, kini mendadak bangun setelah mendengar pertanyaan Rasulullah SAW. Masyarakat bertambah tercengang manakala telinga mereka mendengar suara yang amat jelas keluar dari mulut unta yang berada di hadapan mereka,”Wahai masyarakat Mekkah! Kami ini adalah hadiah dari Raja Habib bin Malik yang akan dipersembahkan kepada Nabi Muhammad SAW.”
Setelah masyarakat mengetahui untuk siapakah hadiah tersebut, mereka pun mengutuk Abu Jahal yang mengaku-aku hadiah tersebut. Akhirnya, Rasulullah mengambil semua hadiah tadi dan membawanya ke arah gunung Abi Qubaisy. Sedangkan Abu Jahal segera pergi dari tempat tersebut dengan hati yang diliputi rasa malu yang tiada terhingga. Namun begitu, ia bukannya bertambah jera, melainkan semakin bertambah dendam kepada Muhammad. Abu Jahal tetap menganggap Muhammad sebagai musuh besrnya dengan perasaan iri, dengki bercampur hasud dan semuanya bercampur menjadi satu dalam hatinya yang hitam, jauh dari kebenaran dan cahaya Islam.

AST Posted by Picasa

Liputan Khusus

 
Pengajian Keliling Majelis Dzikir Ratib Haddad Denpasar

Dalam rangka memperingati Haul Sahiburratib Haddad ke-295 Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Majelis Dzikir Ratib Haddad, Bali yang dibina oleh ustadz Nurkholis Basyaiban ini juga mengadakan pengajian keliling ke berbagai pelosok kampung di Bali. Berikut liputan khusus Aji Setiawan yang mengikuti rihlah (perjalanan) dakwah Majelis Dzikir Ratib Haddad selama lima hari langsung dari Denpasar, Bali

Sabtu
Hari pertama, Sabtu (2/12) ba’da shalat Ashar, bertempat di kediaman Ustadz Nurkholis Basyaiban diadakan acara rauhah (pembuka) dengan pembacaan Maulid Simthud Durar oleh kelompok Hadrah Al-Hikmah (Denpasar) pimpinan ustadz Puryanto. Dalam acara tersebut juga diadakan aqiqah putri keempat Bapak Misbah Haji, yakni Salsabila Nur Sabrina. Selepas diadakan pemotongan rambut oleh para Habaib dan jamaah, acara berlanjut dengan taushiah Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff yang memberikan wawasan tentang pentingnya mendidik anak.
”Adalah tugas orang tua ketika anaknya lahir adalah mendidik mereka dengan memasukan ke madrasah-madrasah, pesantren atau lembaga pendidikan lainnya. Sehingga anak tersebut menjadi anak yang saleh dan salehah,” pesan Habib Hadi kepada sekitar 100 jama’ah yang memadati acara pengajian di Jl Gunung Slamet No 32, Perumnas Monang-maning, Denpasar. Acara ditutup dengan pembacaan doa secara bergantian oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad dan Habib Hasan Al-Jufri.
Malam harinya, selepas shalat Isya, para Habaib kembali diundang oleh Rukun Warga Muslim (RWM) Perumnas Monang-maning Blok IX, Denpasar, dengan mengambil tempat di Mushala Silaturahmi. Acara dibuka dengan pembacaan kalam ilahi oleh ustadz Fathuri dan sambutan ketua RWM yakni Drs Ramli Effendi. Taushiah pertama disampaikan oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff yang membahas tentang pentingnya birrul walidain (berbakti pada orang tua).”Kalau ingin selamat dunia akhirat, maka berbaktilah kepada kedua orang tua.”
Dalam kesempatan itu, Habib Hadi juga menjelaskan cara berbakti pada orang tua yang telah meninggal, yakni dengan mendoakan mereka, selalu memohon ampun dosa-dosa mereka, melaksanakan segala keinginan-keinginan (amanah) yang belum terlaksana, berusaha menjalin tali kekeluargaan dengan keluarga mereka dan memuliakan sahabat-sahabat dari kedua orang tua kita.
Habib Hadi juga mengingatkan pada jamaah tiga sebab amal seseorang tidak diterima oleh Allah SWT, yakni menyekutukan Allah (syirik), durhaka kepada kedua orang tua, dan ghirar (mendoakan kejelekan pada orang lain).
Acara pengajian yang dihadiri sekitar 200 jamaah ini kemudian ditutup dengan taushiah oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad dan doa oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad.

Minggu
Minggu (3/12), sekitar seribu jemaah dari berbagai pelosok Bali mendatangi Masjid Al-Muhajirin (IKMS) yang terletak di Jl Gunung Sari, Perumnas Monang-Maning, Denpasar untuk menghadiri acara peringatan Haul ke-295 Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Peringatan haul Sahiburratib Haddad ini telah sepuluh kali digelar oleh Majlis Dzikir Ratib Haddad, Bali yang dibina oleh ustadz Nurkholis Basyaiban.
Tepat pukul 08.00 WITA, acara dibuka dengan pembacaan Maulid Habsyi dan diselingi lantunan kasidah dari kelompok hadrah Al-Hikmah (Perumnas Monang-maning, Denpasar) yang dipimpin Ustadz Puryanto. Peringatan haul ini juga dihadiri habaib dan ulama diantaranya Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad, Habib Habib Hasan Al-Jufri, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff (Malang), Habib Umar bin Zein Al-Haddad (Jember), KH Hasan Abdillah (Glenmoore, Banyuwangi), KH. Suyuti Toha (Delimo, Banyuwangi), KH Hasan Toha (Srono, Banyuwangi), KH Halimi (Besuki, Banyuwangi), habaib serta para ulama Bali dan sekitarnya.
Setelah pembacaan Surah Yasin oleh KH.Hasan Abdillah (Glenmoore, Banyuwangi) dan pembacan Ratib Haddad oleh Habib Abdullah bin Muhammad bin Ali Al-Haddad (Malang). Lepas pembacaan Al-Qur’an dan sambutan panitia, dilanjutkan dengan acara taushiah tiga Habaib dari kota Malang, Jawa Timur yakni Habib Hasan Al-Jufri, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff dan Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad. Selepas pembicara terakhir, Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad menceritakan sekelumit manakib dan nasehat-nasehat Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, acara kemudian ditutup dengan doa oleh KH Hasan Abdillah. (Baca: Haul Pengibar Bendera Alawiyin, alKisah No.26/IV/2006).
Ba’da ashar, pengajian diadakan di dealer Motor An-Nur, kediaman Hj.Insiyah Yusuf, Jl Pulau Buru, Denpasar. Acara dibuka dengan tahlil dan Yasin oleh KH Suyuti Toha (Delimo, Banyuwangi) dan berlanjut dengan taushiah oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff (Malang) yang menyampaikan tentang pentingnya berdzikir kepada Allah SWT dan bakti kepada orang tua.
Dalam kesempatan itu, Habib Hadi juga menjelaskan tentang keutamaan membaca Al-Qur’an. “Pembacaan Al-Qur’an itu pahala sangat besar sekali. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ’Surah Fatihah dibaca dengan tujuan apa pun, insyaallah akan dikabulkan Allah SWT’. Begitu pula dengan Yasin, bahkan secara keseluruhan dari ayat apa pun yang kita baca, dengan tujuan apa pun, itu diterima oleh Allah SWT.”
Habib Hadi dalam pengajian itu juga menjelaskan tentang keutamaan menghadiri majelis-majelis dzikir dan ilmu.“Di dalam majelis-majelis dzikir pasti akan diberi empat hal; turun kepadanya ketentraman jiwa (sakinah), menebarkan kasih sayang (rahmah), didoakan oleh para malaikat, akan dibanggakan oleh Allah SWT di hadapan para malaikat,” kata Habib Hadi.
Acara pengajian ini juga sekaligus pelepasan Hj. Insiyah Yusuf (sahibul bait, tuan rumah) yang berangkat haji pada tahun ini, lantas ditutup dengan doa oleh KH. Aslam Raharjo (Parangharjo, Banyuwangi) dan KH. Hasan Toha (Srono, Banyuwangi).
Malam hari selepas shalat Isya, kembali para habaib mengisi pengajian di Masjid Al-Ikhlas, kampung Monang-maning, Denpasar. Acara yang digelar oleh Ikatan Remaja Masjid Al-Ikhlas (IRMA) dibuka dengan pembacaan kalam ilahi oleh ustadz Abdullah dan sambutan ketua Yayasan Al-Muhtadin, H. Nur Zainuddin.
Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff dalam taushiahnya menyampaikan tentang taubat, ”Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi selain syirik Allah akan mengampuni. Jadi, dosa apa pun yang kita lakukan, insyaallah akan diampuni bila meminta ampun kepada-Nya (taubat), rasa menyesal atas dosa-dosanya dan berjanji untuk tidak mengulanginya.” Selepas diberikan taushiah oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad acara ditutup dengan dengan doa oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad.

Senin
Senin pagi (4/12) lepas shalat subuh berjama’ah di Masjid Baiturahman, Jl Mawar, Kampung Jawa, Denpasar kembali Habib Hadi Al-Kaff mengisi taushiah tentang pentingnya tholibil ‘ilm (mencari ilmu) sebagaimana perintah Allah SWT dalam QS Al-Mujadillah :11, ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Habib Hadi juga mengingatkan jamaah tentang perintah menuntut ilmu dari hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Selain Allah mengangkat derajat orang-orang mukmin karena ilmunya, lanjut Habib Hadi, Allah SWT juga menjadikan mereka dalam kebaikan sebagai pemimpin dan pemberi petunjuk yang diikuti, petunjuk yang dalam kebaikan. “Jejak para ahli ilmu akan diikuti dan perbuatan-perbuatannya pun diamalkan,”katanya.
Selepas acara, rombongan kemudian bersilaturahmi dengan tokoh Islam Kampung Jawa yakni H. Kholid yang terletak persis di samping masjid Baiturrahman.
Lepas shalat dhuhur, rombongan kemudian berziarah ke makam salah satu dari Wali Pitu di Bali, yakni makam Habib Idrus Al-Hamid yang terletak di komplek makam Karangasem, Kabupaten Klungkung. Jama’ah membaca Yasin dan Tahlil dipimpin oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad. Acara kemudian berlanjut dengan berkunjung ke komplek Pondok Pesantren Nurul Musthofa, yang diasuh oleh Habib Thalib Assegaff dan ustadz Khoeron. Pondok pesantren ini terletak kampung Gelgel dan dalam pembinaan langsung dari Habib Taufik bin Abdulkadir bin Husein Assegaff (Pasuruan). Saat di halaman pondok, Habib Abdullah Al-Haddad kembali didaulat untuk memimpin doa di halaman pondok, semoga semakin makmur dan berkembang.
Malam lepas shalat Isya diadakan pengajian di kediaman H. Mansyuri yang terletak di Jl Imam Bonjol No 28, Perumahan Mutiara, Denpasar. Selepas pembacaan Yasin dan Tahlil yang dipimpin oleh Habib Hadi Al-Kaff, acara berlanjut dengan taushiah dari Habib Hasan Al-Jufri yang menyampaikan tentang pentingnya mengingat Allah SWT. Materi ceramah dikemas dengan selingan humor-humor segar, logat bahasa Madura, membuat jemaah betah di tempatnya sampai acara berakhir.
Habib Hasan Al-Jufri mengisahkan sahabat Tsalabah yang tidak punya harta kemudian menjadi kaya raya berkat doa Rasulullah SAW. Namun setelah kaya raya, Tsalabah menjadi jauh beribadah kepada Allah SWT, akhirnya Rasulullah kembali berdoa dan Tsalabah jatuh miskin. “Dari kisah Tsalabah kita harus belajar, harta itu merupakan cobaan. Ketika Tsalabah diperintahkan shalat, tidak mau, Rasulullah SAW cinta Tsalabah agar ia kembali beribadah kepada Allah SWT.”
Pengajian yang banyak diikuti oleh masyarakat Madura ini kemudian ditutup dengan doa oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad dan acara berlanjut dengan santap makan malam bersama.

Selasa
Selasa, tepat jam 10.00 pagi, kembali rombongan Majelis Dzikir Ratib Haddad menyambangi kediaman H. Idris bin H Weru yang terletak di Jl Tangkuban Perahu, Kuta, Badung. Acara dibuka dengan pembacaan Yasin dan Tahlil dipimpin oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff. Jamaah kemudian dihibur dengan lantunan kasidah yang dinyanyikan oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad.
Acara berlanjut dengan pembacaan Syarah Ratib Haddad karya Habib Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah Al-Haddad (cicit Sahiburratib Haddad), yang bacakan oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad dan diterjemahkan langsung oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff.
Habib Hasan Al-Jufri dalam pengajian itu menyampaikan taushiah tentang keutamaan dan adab berdoa.“Yang paling utama bacaan wirid atau doa adalah; berdoa setelah shalat, membaca al-Qur’an, shalawat atau dzikir, diusahakan menghadap kiblat dan tidak pernah putus (istiqomah).” Setelah ditutup dengan do’a oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad dan berlanjut dengan acara makan bersama dan shalat dzuhur berjamaah.
Lepas shalat Ashar, rombongan Habaib dan Majelis Dzikir Ratib Haddad menggelar pengajian di kediaman Muhammad Ba Humaid (Umbu), Perumahan Padang Graha Indah, Grobokan, Badung. Acara dibuka dengan pembacaan Yasin dan Tahlil oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff dan berlanjut dengan pembacaan Maulid Adzabi. Selepas itu acara berlanjut dengan shalat maghrib berjama’ah dan pembacaan Syarah Ratib Haddad karya Habib Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah Al-Haddad (cicit Sahiburratib Haddad), yang bacakan oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad dan diterjemahkan langsung oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff.
Ba’da Isya, rombongan menutup acara pengajian di Masjid Nurul Islam yang terletak di Kampung Islam Pekalongan, Kampung Kepaon, Pemogan, Denpasar Selatan. Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff memberikan taushiah tentang niat.”Amal-amal yang didapat dari niat adalah sesuai dengan yang diniatkan. Jadi perbaikilah niat, karena niat merupakan bagian yang penting dari amal-amal ibadah yang kita lakukan.”
Acara berlanjut dengan tanya jawab antara pembicara dengan jamaah,masih berkaitan seputar niat. Selepas acara, jamaah Masjid Nurul Islam, Kampung Islam Pekalongan masih sempat minta berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.

AST/Ft. AST

Caption:
1. Lead
2. Pengajian di kediaman ustadz Nurkholis Basyaiban. Pentingnya mendidik anak
3. Pengajian di Masjid Silaturahmi, Monang-maning. Cara berbakti pada orang tua
4. Suasana haul sahiburratib Haddad. Meneladani orang-orang shalih
5. Pengajian di dealer motor An-Nur. Keutamaan membaca Al-Qur’an
6. Taklim di Masjid Al-Ikhlas. Meminta ampun kepada Allah SWT
7. Subuh berjamaah di kampung Jawa. Keutamaan menuntut ilmu
8. Ziarah ke Klungkung. Salah satu Wali Pitu di Pulau Dewata
9. Pengajian di tempat H Mansyuri. Belajar dari kisah Tsalabah
10. Suasana taklim di rumah H Idris. Keutamaan dan adab berdoa
11. Jama’ah pengajian di tempat Muhammad Ba Chumaid. Khusyuk mendengarkan taushiah dari para habib
12. Foto bersama di Masjid Pekalongan. Sebagai kenang-kenangan terakhir Posted by Picasa

12.12.06

Manakib

 
Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff

Penulis Sejarah dan Sastrawan Hebat
Salah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff. Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.

Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad bin Abdullah Assagaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.
Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin. Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan tasawuf.
Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad bin Salim As-Siri dan lain-lain.
Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu.
Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.
Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, berjumpa dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para cendekiawan. Mereka sering terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan keturunan Arab dan kaum muslimin di masa mendatang.
Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur yang pertama dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang kebanyakan diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan mulai saat itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Di kota Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.
Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat mencari ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi dan manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta. Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.
Berbagai perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia rintis, di antaranya dengan membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar, menyusun tata tertib bagi pelajar, mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu untuk sekolah.
Buku-buku pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari buku-buku agama, sastra dan akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan menciptakan sistem pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati masalah pendidikan baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan Kesultanan Gaiti di Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin pengajaran sekolah di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan halus, karena ia tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.
Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang.
Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.
Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.
Habib Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo pada Rabiul Awal 1365 H.
Dari sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten). Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20 oleh penerbit Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin Yahya. Karya sastra ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak mengandung budaya bangsa dan syair-syair.
Karya-karyanya yang lain banyak disebarluaskan di madrasah-madrasah sebagai buku wajib pelajaran sekolah baik dalam mau pun di luar negeri. Diantaranya adalah cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan seperti Dhahaya at-Tasahul, dan Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara hidup yang baik di dalam masyarakat untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat), buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa, Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan lain-lain.
Keahlian Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari banyak ahli syair di negara Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di bidang kerajinan tangan dan elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik yang dinamakan Alarangan.
Saat tentara Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menyerbu Hindia Belanda serta menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia menyebabkan Habib Ahmad pindah ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad kembali ke Jakarta dan mengajar di Kalibata.
Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat meninggalkan Indonesia menuju ke Hadramaut. Tepat pada hari Jumat, 22 Jumadil Awwal 1369 H ia berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari pelabuhan Batavia. Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya.
Setelah diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal, pada hari Kamis, 28 Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut lepas, sebelum memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya Habib Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu.

AST

Caption:
1. Lead
2. Novel Fatat Garut. Roman kehidupan multietnik Indonesia
3. Habib Ahmad bin Abdullah Muhasin Assegaff. Penulis sejarah dan sastrawan hebat
4. Kitab Khidmatul Asyirah. Ahli di bidang ilmu nasab Posted by Picasa

11.12.06

Ak26.Haul ke-295 Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.AST

 

Haul Sahiburratib Haddad di Bali

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah seorang pengarang Ratib Haddad. Peringatan haul di Pulau Dewata yang digelar oleh Majelis Dzikir Ratib Haddad ini berlangsung semarak dan penuh mengharap berkah haul

Minggu pagi yang cerah, 3 Desember 2006, sekitar seribu jemaah dari berbagai pelosok Bali mendatangi Masjid Al-Muhajirin (IKMS) yang terletak di Jl Gunung Sari, Perumnas Monang-Maning, Denpasar untuk menghadiri acara peringatan Haul ke-295 Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Peringatan haul Sahiburratib Haddad ini telah sepuluh kali digelar oleh Majlis Dzikir Ratib Haddad, Bali yang dibina oleh ustadz Nurkholis Basyaiban.
Habib Abdullah Alwi Al-Haddad adalah seorang wali besar, Syaikhul Islam (Rujukan Utama Keislaman), Fardul A’lam (Orang Teralim), Al-Quthbul Ghauts (Wali Tertinggi yang Bisa Menjadi Wasilah Pertolongan), Al-Quthbud Da’wah wal-Irsyad (Wali Tertinggi yang Memimpin Dakwah), dan semacamnya. Ia lahir pada Rabu malam, 5 Safar 1044 H/1624 M, di pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Di kota yang masyhur sebagai gudang ulama itu, ia dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan yang mencintai ilmu agama.
Sejak kanak-kanak, sudah tampak kelebihan-kelebihannya. Ia mampu menghafalkan Al-Quran ketika usianya belum lagi menginjak dewasa. Meskipun Allah SWT kemudian menakdirkannya buta karena penyakit cacar, semangat belajarnya justru semakin tinggi. Ia juga giat menuntut ilmu kepada sejumlah ulama.
“Janganlah mengira semua ini aku dapatkan dengan mudah tanpa kerja keras. Tahukah kalian, dulu aku berkeliling ke sejumlah shalihin di seluruh Hadramaut untuk menuntut ilmu, sekaligus melakukan tabarrukan, mengambil berkah mereka?” kata Hbaib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Di antara sejumlah gurunya, yang paling istimewa di hatinya ialah Habib Umar Alatas. Selain sama-sama tunanetra, mereka juga banyak mengembara untuk menuntut ilmu, beribadah, dan berdakwah.
Setiap tengah malam, ia berkeliling kota Tarim, berkunjung dari masjid satu ke masjid lain untuk menunaikan salat Tahajud. Lumrah jika kelak Habib Abdullah Al-Haddad menjadi magnet bagi kota Tarim. Suatu hari ia berkata, “Dahulu aku menuntut ilmu kepada banyak orang. Kini, banyak orang menuntut ilmu kemari.” Ia memang muncul sebagai salah seorang ulama besar di abad ke-11 sampai 14 H, atau abad ke-17 hingga 20 M. Bahkan Ibnu Ziyad, ulama dan mufti besar yang disejajarkan dengan ulama fikih seperti Ibnu Hajar dan Imam Ramli, berkeyakinan, dia adalah tokoh mujaddid (pembaharu) abad ke-11 H.
Belakangan ia dikenal sebagai pengibar bendera Tarekat Alawiyin, amaliah yang diperoleh turun-temurun dari para pendahulunya, para alawiyin, alias keturunan Rasulullah SAW. Dan kelak, ia menjadi ulama besar yang sangat produktif. Selain menulis ratib, ia juga menulis kumpulan wirid, Al-Wirdul Lathif, yang seakan menjadi pasangan bagi Ratib Hadad. Para ulama mengajarkan dan mengamalkan Ratib Hadad menjelang atau selepas salat Magrib, dan mengamalkan Al-Wirdul Lathif usai subuh.
Namanya maupun karyanya telah melegenda. Ada keyakinan di kalangan sebagian kaum muslimin, membaca karya Habib Abdullah bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu keselamatan, bukan hanya bagi pembacanya, melainkan juga masyarakat sekitarnya. Tertib pembacaannya, ia jelaskan pula dalam An-Nashaihud Diniyah. Menurutnya, wirid dan zikir itu bukanlah susunan dia sendiri, melainkan semata-mata mengacu pada doa yang diajarkan Rasulullah SAW. Menurutnya, semua zikir, doa, dan wirid, memiliki manfaat besar dan fadilah yang banyak, sementara tujuannya satu: kemantapan hati akan kebesaran Allah SWT, dekat dengan-Nya, sehingga selamat dari segala godaan.
“Rasulullah SAW telah menyusunnya dengan tertib, agar kita mengamalkannya, demi mendapatkan kebaikan dan keselamatan dari marabahaya. Maka, barang siapa mengamalkannya secara rutin akan selamat. Sebaliknya, barang siapa meremehkan atau melalaikannya, akan menyesal,” tulisnya.
Hari Selasa, 7 Zulkaidah 1132 H/1712 M, awan hitam bergelayut, seakan hendak menutup kota Tarim. Sebelum matahari terbenam, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad telah berpulang ke rahmatullah. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Tidak hanya warga Tarim yang kehilangan, kaum muslimin di seluruh dunia pun berkabung. Meski secara fisik telah tiada, secara batin Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad tetap hadir di tengah-tengah kita – setiap kali nama dan karya-karyanya kita baca.

Suasana Haul
Tepat pukul 08.00 WITA, acara dibuka dengan pembacaan Maulid Habsyi, atau lebih populer disebut Maulid Simthud Durar dan diselingi lantunan kasidah dari kelompok hadrah Al-Hikmah (Perumnas Monang-maning, Denpasar) yang dipimpin Ustadz Puryanto. Peringatan haul ini juga dihadiri habaib dan ulama diantaranya Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad, Habib Habib Hasan Al-Jufri, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff (Malang), Habib Umar bin Zein Al-Haddad (Jember), KH Hasan Abdillah (Glenmoore, Banyuwangi), KH. Suyuti Toha (Delimo, Banyuwangi), KH Hasan Toha (Srono, Banyuwangi), KH Halimi (Besuki, Banyuwangi), habaib serta para ulama Bali dan sekitarnya.
Acara berlanjut dengan pembacaan Surah Yasin oleh KH. Hasan Abdillah (Glenmoore, Banyuwangi) dan pembacan Ratib Haddad oleh Habib Abdullah bin Muhammad bin Ali Al-Haddad (Malang). Lepas pembacaan Al-Qur’an dan sambutan panitia, dilanjutkan dengan acara taushiah tiga Habaib dari kota Malang, Jawa Timur yakni Habib Hasan Al-Jufri, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff dan Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad.
Tepat pukul sepuluh, Habib Hasan Al-Jufri memberikan taushiah pertama dengan tentang kecintaan Rasulullah SAW kepada umatnya. “Diantara sekian banyak Nabi dan Rasul, yang paling banyak mendoakan umatnya sampai akhir hayat. Beliau tidak pernah mendoakan umatnya yang bukan-bukan, itulah akhlak Nabi Besar Muhammad SAW.”
Dalam taushiahnya selain mengisahkan tentang kecintaan sahabat-sahabat pada Rasulullah, Habib Hasan juga menceritakan saat-saat terakhir dari Rasulullah SAW, malaikat Izrail menyamar dalam rupa rupa lelaki Arab tengah mencabut nyawa beliau.“Di saat-saat akhir, mulut Nabi bergerak, menyebut satu kata yang diulang-ulang. ‘Umati, umati, umati, umatku, umatku, umatku....’,” kata Habib Hasan.
“Dalam peringatan haul ini, Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah penerus dari kakeknya, Rasulullah SAW. Allah SWT cinta pada Rasulullah SAW dan Habib Abdullah Al-Haddad. Tapi, Habib Abdullah Al-Haddad begitu luarbiasa cintanya pada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kalau kita cinta kepada Habib Abdullah bin Alwi Haddad, insyaallah kita akan dipertemukan pada hari kiamat nanti dengan mereka,” tutup Habib Hasan Al-Jufri.
Pembicara kedua, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff menguraikan tentang keutamaan mencintai salafus salahin (orang-orang yang shalih) yakni sahabat, ulama, dzuriyaturrasul (keturunannya). “Imam Syafi’i yang ilmunya sedemikian tinggi, ia sendiri mengaku mencintai orang-orang shalih dengan tujuan bisa mendapatkan syafa’at mereka. Tentu bagi kita, yang sudah bergelimang dosa, sudah selayaknya kita mencintai para shalafus shalihin agar mendapatkan syafa’at mereka,” katanya.
Selepas pembicara terakhir, Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad menceritakan sekelumit manakib dan nasehat-nasehat Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, acara kemudian ditutup dengan doa oleh KH Hasan Abdillah.

AST/ Ft. AST
Caption:
1. Lead
2. KH Hasan Abdillah memimpin pembacaan Yasin. Mengharap berkah haul
3. Maulid Simthud Durar iringan rebana Al-Hikmah. Menghormati kehadiran Rasulullah SAW
4. Taushiah Habib Hasan Al-Jufri. Kecintaan Rasul pada umatnya
5. Tashiah Habib Hadi bin Alwi Al-Jufri. Cintailah orang-orang shalih
6. Jamaah Majelis Dikir Ratib Haddad, Bali. Menyimak taushiah dari para habaib Posted by Picasa