25.1.07

Habib Syekh Al-Musawa Surabaya

 
Guru para Kiai dan Habaib

Ia dikenal sebagai guru para ulama dan habaib. Seperti ulama yang lain, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Meski sudah berusia 85 tahun, ia masih membuka taklim di Surabaya.

Sore itu langit cerah. Suasana di sekitar sebuah gedung di perkampungan Arab Jalan Kalimasudik II Surabaya tampak lengang. Melalui lorong gang sempit di kawasan yang tak jauh dari kompleks Ampel, alKisah sempat berziarah ke rumah Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa, seorang ulama yang kini sudah berusia 85 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai muballigh di berbagai majelis taklim di Jakarta. Bisa dimaklumi jika cukup banyak santrinya yang kini menjadi ulama di Jakarta, seperti K.H. Abdurrahman Nawawi, K.H. Thoyib Izzi, K.H. Zain, dan lain-lain.
Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 1921, Habib Syekh Al-Musawa putra pasangan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Musawa dan Sayidah Sa’diyah. Sejak kecil, putra kedua dari tiga bersaudara ini dididik langsung oleh ayahandanya, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya. Pada 1930, menginjak usia sembilan tahun, ia belajar ke sebuah rubath (pesantren) di Tarim, Hadramaut. Di sana ia berguru kepada Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiry, pengarang kitab Al-Yaqut an-Nafis, dan Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, pengasuh Rubath Tarim. Ia belajar fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, dan tasawuf, selama 10 tahun.
Namun yang paling ia senangi ialah tasawuf. ”Pelajaran tasawuf sangat saya senangi, karena merupakan salah satu jalan manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga menganjurkan orang menjadi bijaksana dan lebih berakhlak,” kata Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Selain itu, menurut dia, tasawuf mudah dipelajari – baik dalam keadaan senang maupun susah. Maka ia pun dengan tekun mempelajari kitab tasawuf karya Imam Ghazali, seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain.
Semangat belajarnya yang tinggi membawanya belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Meski waktu itu Timur Tengah tak lepas dari imbas suasana Perang Dunia I, tekadnya yang besar tak menyurutkan langkahnya menuju Makkah. Di tengah kecamuk perang itulah, dengan mengendarai unta ia berangkat dari Tarim ke Makkah. Di tengah perjalanan Habib Syekh Al-Musawa terpaksa singgah di beberapa desa, bahkan sempat pula mengajar di perkampungan Arab Badui. Bisa dimaklumi jika perjalanan itu makan waktu sekitar dua bulan.
Di Tanah Suci, ia langsung belajar kepada Sayid Alwy bin Muhammad Al-Maliky. Bermukim di Makkah sekitar lima tahun, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa juga berguru kepada Habib Alwy Shahab, Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus, dan Sayid Amin Al-Kutbi. Di Makkah, ia sempat bertemu para santri asal Indonesia, seperti Habib Ali bin Zain Shahab (Pekalongan), Habib Abdullah Alkaf (Tegal), Habib Abdullah Syami Alatas (Jakarta), Habib Husein bin Abdullah Alatas (Bogor).

Islamic Centre
Pada 1947 Habib Syekh Al-Musawa pulang, lalu menikah dengan Sayidah Nur binti Zubaid di Surabaya. Tak lama kemudian ia mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, sambil berguru kepada Habib Muhammad Assegaf di Kapasan, Surabaya. Setelah gurunya itu wafat, ia menggantikan mengajar di majelis taklim almarhum. Tiga tahun kemudian Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa pindah ke Jakarta, mengajar setiap Minggu pagi di majelis taklim Kwitang yang diasuh oleh Habib Muhammad Alhabsyi selama enam tahun. Ia membantu Habib Muhammad membangun Islamic Centre Indonesia (ICI), antara lain berangkat ke beberapa negara Islam di Timur Tengah pada 1967 untuk mencari dana pembangunan ICI.
Setelah pembangunan ICI selesai, Habib Syekh Al-Musawa mengajar majelis taklim asuhan K.H. Muhammad Zein di Kampung Makassar, Kramat Jati, selama setahun. Dan sejak 1971 ia mengajar di Madrasah Az-Ziyadah asuhan K.H. Zayadi Muhajir selama 30 tahun. Setelah Kiai Muhajir wafat, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menggantikan almarhum mengasuh taklim sampai 2003. Selain mengajar di Az-Ziyadah, ia juga mengajar di majelis taklim Habib Muhammad bin Aqil bin Yahya di Jalan Pedati, Jakarta Timur. Bukan hanya itu, ketika itu ia juga mengajar di 30 majelis taklim lain di berbagai tempat di Jakarta.
Pada 2003, Habib Syekh Al-Musawa kembali ke Surabaya, tinggal di rumahnya yang sekarang di Jalan Kalimasudik II. Bapak delapan anak ini (dua putra, enam putri) sekarang lebih banyak beristirahat di rumah. Meski begitu, banyak santri dari sekitar Surabaya yang datang mengaji kepadanya. Ia mengajar fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.
Saat ini fisiknya memang sudah berubah. Dulu gagah dan tampan, kini agak kurus, sementara wajahnya tampak agak cekung. Hanya dua-tiga patah kata yang ia bisa ucapkan, itu pun tentu saja tak lagi lantang seperti dulu ketika masih muda, saat ia masih bergiat sebagai muballigh. Jalannya pun tak lagi gesit.
Meski begitu, semangatnya untuk membangkitkan dakwah masih bergelora. Ia, misalnya, tetap menyampaikan tausiah, meski hanya kepada para tamunya.
Sorot matanya pun masih jernih, pertanda jiwa dan kalbunya bersih pula. Dengan segala keterbatasannya, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menerima tamu dengan hangat. Meski sulit berbicara, ulama yang selalu mengenakan gamis dan serban putih ini justru lebih sering menanyakan kondisi kesehatan tamunya.
Selain mengajar privat para santri yang datang ke rumah, ia masih sempat mengajar tasawuf di Majelis Burdah asuhan Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus di Jalan Ketapang Kecil setiap Kamis sore sampai menjelang maghrib. Salah satu buah karyanya yang mutakhir ialah kitab Muqtathafat fi al-Masail al-Khilafiyyah (Beberapa Petikan Masalah Khilafiah). Dan kini, meski sudah agak uzur, ia masih bersemangat menyelesaikan sebuah kitab tentang pernikahan dalam pandangan empat ulama madzhab.
AST/Ft. AST Posted by Picasa

24.1.07

KH. Maimoen Zubair

 
Ulama Sepuh, Politisi Ampuh

Ulama sepuh ini sangat teguh dalam berpendirian, tapi di sisi lain ia juga sangat menghargai perbedaan.

Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, bahtsul masail diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik.
Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah K.H. Maimoen Zoebair.
Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da subuh dan ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren.
Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi.
Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya.
Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia memang salah seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai berlambang Ka’bah itu.
Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti K.H. Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), dan masih banyak lagi.

Kiai Gaul
K.H. Maimoen adalah putra K.H. Zoebair, ulama besar di kawasan Pantura Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur. Lahir di Dusun Karangmangu, Sarang, pada bulan Oktober 1928, ia anak pertama sulung dari 14 bersaudara. Meski keturunan ulama besar, Maimoen tidak dibesarkan di menara gading yang terpisah dari lingkungannya. Orangtuanya justru mendidiknya agar membaur ke dalam masyarakat.
Dari pergaulan dengan teman-teman sepermainan yang rata-rata santri kampung itulah, ia belajar sebagai kiai yang bergaul luas dan demokratis. “Para santri kan sangat heterogen. Kelebihan seseorang diukur berdasarkan penguasaan ilmu yang pasti tidak berkaitan dengan ras, suku, pangkat, atau nasab. Semua sama. Siapa yang tekun, pasti akan mendapat ilmu. Man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan),” katanya.
Sejak kecil, setiap hari, usai belajar di madrasah ibtidaiyah di kompleks pesantren, ia diwajibkan mengaji kepada ayahanda di masjid. Jangan heran jika, di usianya yang relatif masih muda, Maimoen telah mewarisi pengetahuan agama ayahandanya. Santri yang pernah belajar kepada ayahandanya dan kini menjadi tokoh nasional, antara lain, K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Hasyim Muzadi.
Selain mengajarkan ilmu agama, Kiai Zoebair juga membekali putranya itu dengan pengetahuan umum, seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan ekonomi – sesuatu yang tak lazim di kalangan pesantren yang saat itu tengah gencar-gencarnya melakukan gerakan non-kooperatif terhadap penjajah Belanda.
Sejak berusia tujuh tahun, Maimoen sudah diperkenalkan dengan dunia buku oleh orangtuanya, terutama buku-buku terbitan Balai Pustaka, Jakarta. Sejak itulah ia mencintai dan menghargai ilmu pengetahuan, tanpa membedakan pengetahuan agama atau pengetahuan umum.
Usai menamatkan madrasah (1943), ia melanjutkan pengajiannya ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (1944-1948). Di sana ia sangat terkesan pada metode mengajar salah seorang gurunya, K.H. Abdul Karim. “Beliau sangat tekun dalam mengajar. Sampai sekarang metode mengajar beliau saya tiru dalam mengajarkan kitab kuning kepada para santri,” katanya. Selepas mengaji di Lirboyo, dua tahun berikutnya ia kembali mengaji di rumah.
Pada 1950 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah, sekaligus menimba ilmu agama kepada para Haramain, seperti Sayid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Syaikh Amin Kutbi, Sayid Hasan Masdah, dan Syaikh Yasin Al-Fadani. Pada akhir 1952 ia pulang ke kampung halamannya, lalu mengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, hingga kini.
Selain mengajar dan berdakwah, ia masih sempat menulis kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya, antara lain, Jawharut Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah, Syarah ‘Imriti. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan Pesantren Al-Anwar.
Sebagaimana kebanyakan para kiai Jawa Timur, Mbah Maimoen juga aktif di Nahdlatul Ulama. Berbagai jabatan pernah diembannya, mulai dari ketua ranting NU Desa Karangmangu (1950), sampai anggota Syuriah PBNU pada periode kepemimpinan K.H. Ahmad Siddiq Jember (1984-1989).

Rahim Keragaman
Bukan hanya sebagai kiai, ia juga dikenal sebagai politisi yang teguh dengan pendiriannya. Ketika banyak ulama NU hijrah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia tetap berjuang di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama beberapa ulama NU yang lain, seperti (alm.) K.H. Syafi’i Hadzami (Jakarta), K.H. Alawy Muhammad At-Taroqy (Sampang, Madura), K.H. Muhammad Hasan Syaiful Islam (Genggong, Probolinggo), K.H. Fawa’id As’ad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), dan K.H. Thoyfoer M.C. (Rembang).
Menurut kiai sepuh ini, perbedaan pendapat dalam tubuh NU adalah hal yang biasa, bahkan sudah merupakan ciri khas. “Yang terpenting, bagaimana kita menyikapinya secara arif, dan menyadari bahwa beda pendapat adalah sunatullah. Dalam berpolitik, NU telah memilih Khittah 1926, tapi tidak bisa melarang warganya untuk berpolitik. NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana,” katanya.
Ia lalu memberi contoh: K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Faqih Mas Kumambang adalah dua kiai yang bisa bersatu dalam perbedaan. Ketika Kiai Hasjim, yang saat itu menjabat rais am PBNU, menganjurkan memukul kentongan setiap kali datang waktu shalat, K.H. Faqih Mas Kumambang, yang saat itu wakil rais am PBNU, berpendapat sebaliknya. “Namun, perbedaan itu tidak membuat hubungan mereka menjadi renggang,” tambahnya.
Di lingkungan PPP, Kiai Maimoen juga pernah mengemban berbagai jabatan, mulai dari tingkat ranting hingga tingkat pusat. Jabatan yang hingga kini masih diembannya ialah ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP (MPP PPP), yang bertugas memberikan fatwa kepada Pengurus Harian Pusat PPP (PHP PPP), yang kini masih dipimpin oleh H. Hamzah Haz. Salah satu fatwa yang terkenal ialah agar Hamzah Haz tampil sebagai wakil presiden periode 2001-2004 lalu.
“Kekuasaan tidak bisa baik jika ulama tidak terlibat dalam mewujudkan situasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang kondusif. Kekuasaan tidak bisa baik tanpa ikut sertanya ulama, yang membantu pelaksanaan terwujudnya negara aman dan tenang. Demikian pula sebaliknya,” kata Mbah Maimoen.
Ia meyakini, krisis multidimensi yang kini berkepanjangan di Indonesia bisa diakhiri jika kehidupan beragama dikembangkan terus-menerus, terutama oleh kalangan pesantren. “Pondok pesantren adalah kelompok pendidikan yang meluluskan para santri untuk hidup mandiri, tidak menjadi beban penguasa. Mereka memiliki tanggung jawab untuk melakukan pembinaan umat agar hidup berlandaskan ketaqwaan. Ketaqwaan merupakan sarana untuk mengatasi berbagai kesulitan hidup,” tambahnya.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam berdakwah saat ini ialah mengembalikan umat kepada agama, tanpa membedakan-bedakan golongan atau partai. Dengan nada suara yang sejuk, ia menyampaikan nasihat, “Mayoritas bangsa kita beragama Islam, dan tidak bisa ditekan atau digiring dalam satu partai. Partai boleh berbeda, tapi harus saling menghargai. Dari rahim keragaman inilah akan lahir kekuatan besar untuk mengatasi persoalan bangsa sekarang ini.”

AST/Ft. AST Posted by Picasa

Habib Soleh Alyadrus. Malang

 
Pakar Hadits Kota Malang

Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus rajin menyampaikan tausiah di sejumlah masjelis taklim di Jawa Timur. Dia dikenal sebagai salah satu pengajar ilmu hadits yang mumpuni dari kota Malang.

Reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui kaum muslimin di Jawa Timur. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajah ulama yang shaleh ini selalu tampak bersih, tutur katanya halus dan dengan gaya bertutur yang enak didengar. Dia dikenal sebagai pakar hadits yang mumpuni dari kota Malang. Selain rajin memberi ceramah di berbagai tempat, ia juga berstatus sebagai pengajar tetap Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang, Jawa Timur.
Dialah Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, yang lahir di Malang, 18 Juni 1957. Sejak kecil dia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. Pendidikan dasar Habib Soleh terasah sejak ia masuk Madrasah Ibtidaiyah At-Taroqi, Malang, yang dikelola ayahnya, Habib Ahmad bin Salim Alaydrus. “Ayah adalah orang yang betul-betul mencintai pendidikan. Hampir 30 tahun hidupnya disumbangkan untuk Madrasah At-Taroqi,” kesan Habib Soleh.
Selain cinta pendidikan, Habib Ahmad juga dalam kehidupan sehari-hari sangat sederhana. “Beliau adalah orang yang wara’, dan hanya mau makan dari hasil jerih payahnya sendiri. Ini yang sulit ditiru banyak orang pada zaman sekarang.”
Selepas lulus dari madrasah, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan Tsanawiyah di Ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Pada pondok pesantren ini ia mempelajari dasar-dasar ilmu hadits dari Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Bilfagih. Banyak kesan selama ia menimba ilmu di ponpes yang berdiri sejak 12 Rabiul Awal 1364 H/12 Februari 1945 ini.
Habib Soleh sangat mengagumi sang guru, Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, yang sekaligus mertuanya. Ia memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. “Habib Abdullah, menurut saya, sangat kuat dalam menghafal hadits. Ia hafal jutaan hadits serta sanad-sanadnya dan nama-nama kitab sekaligus halamannya,” ujarnya.
Selepas dari Pondok Pesantren Darul Hadist Al-Faqihiyyah, Habib Soleh kemudian belajar di Ribath Maliki, Makkah. Sejak 1997, dia belajar agama kepada Imam Assayid Muhammad Al-Maliki. Baginya, Sayid Muhanmmad Maliki tidak sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi.
Selama mengaji di Ribath Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, ia sangat menyenangi pelajaran hadits. Terutama kitab Shahih Bukhari. “Shahih Bukhari merupakan dasar hukum-hukum Islam yang ada, karena itu sangat saya gemari,” kata Habib Soleh.
Di dalam tradisi Ribath Maliki, kitab Bukhari dan Muslim bila diajarkan selalu diulang, dan pengulangannya secara mendetail. Selain kedua kitab hadits utama itu, dia juga mempelajari kitab ummahatus sitt (induk kitab hadits yang enam), seperti kitab hadits dari Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi.
Belajar di Ribath Maliki sering dilakukan di Masjidil Haram. Semua murid Sayid Maliki ini duduk sekitar empat sampai lima jam. Padahal santri-santri banyak yang mengeluh sering beser (kencing). Hingga akhirnya beberapa santri memberanikan diri bertanya pada Sayid Muhammad, ”Bagaimana kami sering kencing (beser)?”
Mendengar pertanyaan santri-santrinya, Sayid Muhammad menjawab, “Wahai anak-anakku, air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja. Sekarang doakan agar tidak kencing selama di Masjidil Haram.”
Benarlah apa yang diucapkan oleh sang guru, semua santri kemudian minum air zamzam sambil memohon untuk tidak kencing selama di Masjidil Haram. Padahal tiap 15 menit mereka minum air zamzam itu. Perkataan sang guru ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja, pasti terkabul.”
Selama di Makkah, ia bersama santri-santri Indonesia yang lain, seperti Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Hadad (Al-Hawi), Habib Ahmad bin Husein Assegaf (Bangil), Muhammad bin Idrus Al-Hadad, dan Muhammad bin Husein Alatas (cucu Habib Ali Bungur), Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi (Probolinggo), dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan ulama pesantren, di antaranya K.H. Thoefur Arafat (Purworejo), K.H. Jauhari (Magelang), K.H. Ali Karar (Madura), dan lain-lain.
Banyak pengalaman yang menarik selama dia menimba ilmu di Ribath Maliki. Hampir setiap malam Sayid Muhammad Al-Maliki mengajak santri-santrinya ke Masjidil Haram. “Kalau dia masuk ke masjid, banyak orang yang datang kepadanya. Sayid Maliki sudah menyiapkan sedikit bekal. Dan terkadang dalam tasnya ada uang untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan,” kenang Habib Soleh mengenai sosok gurunya itu.
Tidak jarang, kata Habib Soleh, hampir semua santrinya diajak ke rumah orang-orang jompo untuk membagi-bagikan bantuan. Selepas itu mereka kembali ke Masjidil Haram untuk mengaji. ”Kami didoakan, insya Allah, menjadi ulama yang barakah dan bermanfaat ilmunya.”
Setelah menempuh pendidikan di Ribath Maliki selama sepuluh tahun, Habib Soleh pulang ke Indonesia tahun 1988. Kemudian ia menikah dengan salah satu putri Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih dan sekaligus mengajar di Ponpes Darul Hadits. Ia juga membuka majelis taklim di rumahnya, Jln. Bareng Raya Gg. 1 No. 2, yang bernama Majelis Taklim wa Dakwah lil Habib Soleh Alaydrus. Pengajian dilakukan setiap hari Jumat, Senin, dan malam Rabu.
Sekarang aktivitasnya banyak dicurahkan untuk mengajar, di samping menjadi kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah At-Taroqi. “Pada bulan-bulan tertentu, saya juga menyempatkan diri mengisi tausiah, seperti di Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam,” kata bapak enam anak (empat putra dan dua putri) ini.
Adapun materi yang disampaikan dalam tiap taklimnya, Habib Soleh merujuk kitab-kitab ulama salaf, seperti Minhajuth-Thalibin, karya Imam Nawawi, Al Muhadzdzab, karya Imam Ishaqi As-Sirazi, untuk tasawuf; sedang kitab hadits rujukannya adalah Al Adzkar an-Nawawiyah. Minhajul Qawim, karya Syekh Bafadhal, Sabilul Iftikar, karya Habib Abdullah Al-Hadad, Jauharud Tauhid, karya Al-Jazairi, Ihya Ulumiddin, Bidayatul Hidayah, karya Imam Ghazali, Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari, Jam’u jawawi, karya Imam Subkhi, An-Nasaih ad-Diniyah, karya Habib Abdullah Al-Hadad.
Selain berdakwah lewat taklim, dia juga telah mengarang 11 kitab yang dijadikan acuan dalam mengajar di banyak pondok pesantren. Kitab-kitab itu, di antaranya, Asy-Syafiyah fi Istilahatil Fuqaha’ asy-Syafi’iyyah, Faidhul Allam fi Akhkamis Salam, Annasyrul Fa’ikh fi Tartibil Fawatih, Is’aful Muhtaj fi Syarhi al-Qilat al-Murajahah fil-Minhaj, Nailul Arab fi Muqaddimatil Khuthab, Lawami’un Nurissany fi Manaqibil Imam Muhammad Al-Maliki al-Hasany, Al-Injaz fi Matsali Ahlil Hijaz.

AST/Ft. AST Posted by Picasa

KH Muhammad Subadar

 
Juru Bicara Kiai Khos

Banyak orang yang mengenalnya sebagai salah satu Kyai Khos Nahdhlatul Ulama. Di Forum Ulama yang disepuhkan di kalangan jamiyyah umat Islam terbesar di Indonesia ini, ia sering ditugaskan sebagai menjadi juru bicara

Di Forum Kiai Khos,-poros Kyai Nahdhlatul Ulama yang disepuhkan-, seperti KH. Muchith Muzadi (Jember), KH Kafabihi Mahrus, KH Idris Marzuki, KH Chamim Sujono dan KH Anwar Iskandar (Kediri), KH Noer Mohammad Iskandar SQ (Jakarta), KH Zainuddin Djazuli dan KH Nurul Huda Djazuli (Ploso, Kediri), KH M. Hasan Mutawakkil Alallah (Ponpes Genggong, Probolinggo), KH. Warson Munawwir (Krapyak, Yogyakarta) dan masih banyak ulama-ulama lainnya sering menunjuk KH. Muhammad Subadar, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Besuk, Pasuruan, Jawa Timur itu sebagai juru bicara forum kiai khos NU.
Sikapnya yang teguh dan senantiasa berpegang teguh pada koridor kajian fiqh klasik, itulah yang menyebabkan sosok Kiai yang telah berumur 65 tahun ini, tak aneh, sering dilibatkan dalam bahstul masa’il (pembahasan masalah) yang diselenggarakan oleh Nahdhlatul Ulama itu.
Selain itu, tutur katanya juga halus, argumentatif, dan mampu menyesuaikan diri dengan bahasa masyarakat yang dihadapi, ini membuat masyarakat di kawasan tapal kuda, Jawa Timur sering mendatangi pengajian yang diisinya. Mereka tertegun menyimak orasi Kiai Muhammad Subadar.
Muhammad, demikian nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya, ia lahir pada 1942 di sebuah desa Besuk, Kejayan, Pasuruan dari pasangan KH. Subadar dan Hj. Maimunah. Pada usia 3 bulan (1942), ia telah yatim karena ditinggal wafat sang ayahanda, KH. Subadar. Sehingga ia banyak belajar mandiri dengan diasuh oleh ibundanya yakni Hj Maimunah.
Kecenderungan belajar mandiri pada generasi kelima dari KH Aly Murtadho, pendiri pondok pesantren yang kini diasuhnya, memang sudah nampak dari kecil. Lebih-lebih ketika Subadar mengeluti jenjang pendidikan formal, masuk SR langsung duduk di kelas tiga. Tapi kemudian tak pernah ia menamatkannya. ”Itu tak pantas ditiru. Saya orang yang pembosan,” katanya menerawang masa lalu.
KH. Muhammad Subadar sangat mengidolakan sosok Ibunda, baginya, Hj Maimunah adalah sosok panutan. Sebab melalui sentuhan lembut dan tangan dingin sang Ibunda, ia menjadi pribadi yang mandiri dan tegar dalam menatap tantangan jaman.“Ibu sangat perhatian dengan kondisi mengaji saya. Kalau saya minta apa-apa, ibu sering memberi motivasi semangat saya untuk bisa mengaji. Ini membuat semangat belajar saya lebih berkobar untuk menguasai pelajaran agama. Seperti ketika masih kecil ia minta dibelikan sepeda, namun syaratnya harus hafal sekian surat Al-Qur’an. Dan saya bisa, hingga akhirnya ia bisa dibelikan sepeda,” ujarnya sambil tersenyum.
Pendidikannya masa kecil itu smepat terputus, namun melalui motivasi dan bimbingan sang ibu, Hj Maimunah, itulah yang membuatnya merasa dekat dengan pelajaran agama. Secara kebetulan pula, ia banyak dididik oleh lingkungan keluarga yang sarat religius, termasuk ia belajar pada kakak-kakaknya seperti KH. Ali Murtadlo dan KH Ahmad di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan. Tamat dari Madrasah Ibtidaiyah, ia lalu melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dari 1958-1961.
Di pondok Lirboyo, Kediri itu KH. Muhammad Subadar menemukan tempat belajar yang sesungguhnya. Hari-hari dipondok, dihabiskan untuk mengaji dan belajar ilmu agama, terutama mengenai ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain. Apalagi, di pondok yang terkenal dengan gaya belajar yang ketat namun berkualitas, ia menemukan dua guru yang sangat berkesan dalam hidupnya. “Dua guru saya itu hebat sekali, yakni KH. Makrus Ali dan KH. Idris Marzuki (Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo). Masjid, kitab, dan pesantren adalah seakan-akan menjadi jalan hidupnya dan seluruh waktunya sudah diberikan untuk orang lain,” katanya.
Selain itu, mengenai keduanya, Subadar banyak belajar cara-cara mengelola pondok pesantren. ”Keduanya itu adalah pasangan yang hebat dalam mengelola pesantren,” tambah KH. Muhammad Subadar.
Setelah dirasa cukup memperdalam ilmu agama dari beberapa ulama yang ada di sekitar Pasuruan, ia kemudian mulai memperdalam keilmuannya secara mandiri dengan menelaah kitab-kitab klasik (kuning). Dengan tekun, secara otodidak, sejak tahun 1961 ia menggali khasanah peninggalan ulama abad pertengahan hampir selama 6 tahun. Praktis, pada masa itu ia banyak mengurung diri dalam kamar, tidak ke mana-mana, seluruh waktunya dihabiskan mengkaji kitab-kitab klasik yang ada di perpustakaan Pondok Pesantren Roudhotul Ulum.
Lepas dari masa-masa “mengurung diri”, ia kemudian mulai berkiprah dalam organisasi NU pada tahun 1967. Mula-mula ia di IPNU, dua tahun kemudian namanya langsung mencuat sebagai ketua GP Anshor Pasuruan.
Aktivitasnya di organisasi sempat terhenti setelah menikahi Aisyah pada tahun 1969. Baru pada kisaran 1976 Subadar kembali terjun dalam kegiatan organisasi dan sekaligus mengemudikan kepemimpinan pesantren Raudhotul Ulum. Pada tahun 1980, ia terpilih sebagai Rois Syuri’ah NU Cabang Pasuruan dan sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai Wakil Rois Syuri’ah NU Jawa Timur.

Bicara Dakwah
Selain di tengah kesibukannya mengelola organisasi NU, ia pun tak melupakan tugas utamanya yakni mengajar santri. Pengasuh Pondok Pesantren Raudhotul Ulum ini, setiap pukul 06.00 sampai siang banyak mendampingi sekitar 2000-an santri putra dan putri, terutama mengajar kitab-kitab tasawuf seperti Ihya Ulumiddin, Bidayah An-Nihayah dan lain-lain. Sementara dari sore sampai malam hari, ia selalu memenuhi undangan pengajian. “Kalau pengajian malam hari bisa berpindah-pindah dari satu desa ke desa yang lainnya. Pukul rata sampai enam tempat sehari,” katanya.
Sosok ulama yang gigih membentengi umat Islam, terutama di pedesaan ini mengaku sangat suka berada di tengah-tengah umat. Berbagai rintangan dalam berdakwah, tak dirasakannya, namun dinikmatinya sebagai suatu tantangan.
”Pernah saya berdakwah ke daerah pegunungan di Pasuruan, medan jalanan yang buruk membuat kendaraan tak bisa meneruskan perjalanan. Namun masyarakat tetap memaksanya untuk mengisi pengajian, padahal saya sudah sangat capek. Akhirnya, masyarakat ramai-ramai membawa tandu dan membawa saya ke arena pengajian. Itu sangat berkesan bagi saya,” kata KH. Muhammad Subadar.
Ia disukai para peserta pengajiannya karena kehalusan dalam bertutur. Tak heran, ia harus mengisi banyak majelis taklim yang tersebar di Pasuruan dan daerah-daerah sekitarnya. Yang terjadwal, sekitar lima puluh tiga tempat taklim dalam sebulan harus disambanginya.
Tantangan dakwah sekarang menurut KH Moh Suadar adalah ramainya maksiat yang sedang merajalela. Ancaman bencana moral itu harus disikapi oleh semua pihak. Ia juga menyayangkan di saat umat Islam sedang bahu membahu memperbaiki kondisi moral umat, masih ada segelintir orang yang menentang. “Di sini ada yang memperbaiki, di sana ada yang merusak,” katanya.
Tantangan dakwah sekarang hanya maksiat, selain itu tidak ada. Jadi dalam ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar- ini namanya tantangan.”Yang mana yang cocok saya dukung, namun yang berlawanan dengan kaidah agama, akan lawan,” kata KH. Muhammad Subadar dengan tegas.
AST/Ft.AST Posted by Picasa

KH Mutawakil Alallah

 
Tidak Mengandalkan Rasio Semata

Pada saat-saat yang menggentingkan, ia selalu mendapat tugas penting untuk menyelesaikan masalah. KH Mutawakil demikian ulama ini tidak hanya mengandalkan rasio dalam berfikir namun juga barokah dari ulama sehingga bisa sukses menyelenggarakan berbagai event besar terutama permasalahan kebangsaan

Siapa pun akan terkesima saat memasuki gerbang kompleks Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Jawa Timur. Di situ berdiri kokoh (bangunan permanen) lambang Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup besar berukuran sekitar 5 x 4 meter persegi. Di bawah lambang tersebut tertulis, “Selamat Datang di Kota Santri Pesantren Zainul Hasan Genggong.”
Memasuki komplek pesantren ini sangat menyenangkan hati. Tiap pagi dan sore hari, muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci, hilir mudik silih berganti pulang pergi mengaji. Gambaran penuh nuansa keagamaan yang kental. Pesantren ini sudah berusia 163 tahun, tepatnya didirikan tahun 1839 M/1250 H oleh almarhum KH. Zainul Abidin dari keturunan Maghribi (Maroko) di Desa Karang Bong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur.
Pesantren Zainul Hasan yang kini memiliki sekitar 20.000 santri ini mengalami tiga kali pergantian nama yang bermotifkan kepada sejarah pertumbuhan pesantren dan adanya gagasan untuk menggabadikan para pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan sebelumnya. Perubahan nama ini terjadi pada periode kepemimpinan KH. Hasan Saifourridzal. Nama Pondok Genggong sendiri diabadikan sejak kepemimpinan KH Zainul Abidin sampai kepemimpinan KH. Moh Hasan tahun 1952. Nama pesantren kemudian berganti menjadi “Asrama Pelajar Islam Genggong” dan terakhir “Pesantren Zainul Hasan.”
“Pada tanggal 19 Juli 1959, dalam pertemuan dewan pengurus almukarom KH. Hasan Saifourridzal menetapkan perubahan nama asrama pelajar Islam Genggong menjadi Pesantren Zainul Hasan. Ini hasil perpaduan nama dari tokoh sebelumnya di mana kata Zainul diambil dari nama almarhum KH. Zainul Abidin sebagai pembina pertama dan kata Hasan diambil dari nama almarhum KH. Moh Hasan sebagai pembinan kedua,” kata Pengasuh Pesantren Zainul Hasan, Genggong, KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah.
Pesantren Zainul Hasan kini telah banyak menampakkan perannya sebagai pusat studi Islam di dalam pengembangan misi Islam pada masyarakat luas, sehingga dengan peran serta hanya mengajarkan ilmu agama umum saja. Tetapi dalam kehidupannya para santri banyak mendapatkan kesempatan untuk menghayati dalam kehidupannya sehari-hari, karena kebersatuan Pesantren Zainul Hasan dengan masyarakat itulah maka output pesantren tidak kebingungan meniti hidup dalam mengabdi kepada masyarakat.
Pada periode ketiga mulai tercetus ide-ide dan konsep-konsep baru untuk perkembangan pesantren di segala bidang di dalam ikut serta mengisi kemerdekaan serta ikut menunjang semua program pemerintah dalam perkembangan mental spiritual, ketahanan nasional, persatuan dan kesatuan bangsa lewat media dakwah baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.
Menyadari peranan yang sangat besar dalam menyukseskan pembangunan manusia seutuhnya di samping juga makin meningkatnya kebutuhan hidup seseorang akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, maka Pesantren Zainul Hasan telah melangkah untuk mengadakan pengembangan dan pembaruan dalam segala bidang meliputi perubahan sistem pendidikan, penambahan sarana proses belajar-mengajar, menyempurnakan dan menambah sarana fisik.
Pesantren Zainul Hasan tidak ketinggalan mengikuti pembaruan pendidikan setelah banyak mengkaji dan berhubungan dengan dunia luar. Peranan pondok pesantren sangat besar dalam membangun masyarakat, sehingga para ahli tiada putus-putusnya membicarakan lembaga pendidikan pondok pesantren ini. Untuk mengatasi kekurangan dalam Pesantren Zainul Hasan tumbuh gagasan untuk kesempurnaan dalam pondok pesantren harus ada pendidikan formal, pendidikan keterampilan dan perbaikan struktur kepengurusan dan lain-lain.
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, Pesantren Zainul Hasan berupaya sekuat tenaga terhadap penyempurnaan kebutuhan serta perlengkapan secukupnya, sehingga dapat tercipta adanya peningkatan dan pengembangan pendidikan yang sejajar dengan lembaga-lembaga di luar pokok pesantren melalui perubahan, yakni sistem dan metode yang dipergunakan dalam pendidikan; kurikulum pesantren, Depag dan Diknas dikembangkan 100 persen; administrasi; fasilitas yang cukup dan sarana pendidikan yang memadai.
Menurut KH Mutawakil tipe pesantren di Indonesia ada tiga jenis. Pertama adalah pesantren salaf murni. Ciri-cirinya adalah tidak mau diintervensi oleh dunia luar dalam bentuk apa pun, termasuk kurikulum, intitusi lembaganya, mereka independen. Kedua, setengah-setengah, di satu sisi mencoba mempertahankan budaya dan segala sisi kehidupan salaf tapi di sisi lain juga membuka pintu bagi kebutuhan jaman. Yang ketiga adalah pesantren yang hilang identitasnya, karena ia terlalu membuka diri tanpa filterisasi sehingga kehilangan jati dirinya. Namun pesantren tipe ketiga ini tidak akan happy ending (berakhir baik) dan tidak akan ada kesakralannya.
”Kalau ada pesantren yang fasilitasnya lengkap tetapi tidak ada peminatnya, itu karena identitas dan manfaat ilmu dari pesantren tidak ada. Itu mirip asrama, namun bukan pesantren,” katanya.
Model pesantren model ketiga ini, masih lanjut bapak enam puteri ini hanya akan menjadi lembaga pendidikan yang komersial bukan keikhlasan dari pengelolanya. “Mereka akan mengeluarkan anak-anak pintar, tapi belum tentu benar. Padahal kualitas alumni pesantren menurutnya adalah ahlaknya, hubungannya dengan Allah dalam proses taqarub, ahlaq terhadap guru dan orang tua dan ahlaq sesama dan lingkungan itu khas pesantren salaf,” jelas Kyai Mutawakil.
Sementara di Ponpes Zainul Hasan ini, tujuan pendidikan dan pengajaran diarahkan kepada pembinaan manusia berkarakter Muslim, yaitu manusia Muslim yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan berjiwa ikhlas. Oleh karena itu para santri diharapkan dapat mengembangkan kebebasan berpikir dan ketulusan pengabdiannya, disamping memperoleh pengetahuan yang cukup dalam diri mereka. Out put pendidikan Pesantren Zainul Hasan dititikberatkan kepada pencetakan kader-kader Muslim ahlussunah waljamaah dan menjadi seorang mukmin.


Profil Kyai
Keberhasilan mengembangkan pondok pesantren yang terbilang modern ini tak lepas dari sentuhan profil pengasuh pesantren yakni KH Mohammad Hasan Mutawakil Alallah. Ia adalah seorang kyai yang terbilang dinamis dalam mengembangkan baik sarana fisik pesantren maupun dalam perannya yang dikenal cukup mewarnai dalam dinamika politik kebangsaan.
KH Mutawakil dilahirkan di Genggong, 22 April 1959. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Genggong. Kemudian sempat melanjutkan pesantren di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Namun di pesantren yang diasuh KH Imam itu, tidak lama hanya sembilan bulan saja. Atas saran kedua orang tuanya itu, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah pada Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 1979-1981. Saat di Lirboyo, Kediri, ia sangat terkesan pada KH Marzuki, KH Mahrus Ali dalam prinsip-prinsip perjuangannya. Saat di Lirboyo, ia sudah menyenangi pelajaran Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadits.
Selepas itu, ia sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Syari’ah di Universitas Tribakti, Kediri sampai tingkat III. Lulus dari tingkat III (sarjana muda), KH Mutawakil rupa-rupanya punya keinginan untuk mencari pengalaman, apalagi sejak kecil ia hanya menimba pendidikan pesantren. Sehingga ketika dewasa ia ingin menimba pendidikan kampus. Pilihannya pada waktu itu akhirnya jatuh pada Kota Pelajar yakni Jogjakarta.
Sesampai di Jogja, ia kemudian menempuh ujian masuk persamaan di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan diterima. Namun di UII ia tidak bertahan lama, di tengah kuliahnya ia mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo (Mesir). Setelah menempuh ujian beasiswa ternyata, ia lulus untuk dapat menempuh pendidikan di Universitas terpopuler di belahan negara Timur Tengah itu.
Sebenarnya saat menempuh kuliah di Al Azhar Kairo, ia sudah mulai senang menggemari pelajaran studi. Menurutnya pelajaran yang di Kairo ada beberapa pengembangan aktualisasi,masalah dan pengembangan pandangan yang menurut berbagai persepektif. Selain itu ada kelebihan dari pengajarnya dan adanya praktek langsung di lapangan baik dengan berbahasa Arab maupun Inggris.
Saat menempuh kuliah di Al Azhar, Mesir pada tahun 1983, ia berkesempatan untuk mencari pengalaman study tour ke luar negeri. Misal, ke Frankrut (Jerman), Polandia, Belgia dan Belanda. Saat itu, ia mengambil inisiatif untuk study banding dengan biaya sendiri. Karena pada waktu itu, KH Mutawakil tidak mempunyai biaya yang cukup, ia kemudian mencari tambahan dana dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi pelayan restoran di beberapa negara yang ia kunjungi.
Namun dari studi banding itu, ia mendapat pengalaman berharga. ”Saya melihat hubungan antara hubungan kerja antara buruh dan majikan, ternyata ahlak Islam ternyata ada di Barat, bukan di Saudi. Jadi ahlaq yang ada di Saudi itu tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Walau pun tidak semua, mereka pada kasar. Mereka tidak menghargai, egois dan tidak memberikan hak sepenuhnya pada pekerja. Itu kasusnya banyak, itu saya lihat,” katanya.
Di tengah keasyikannya menuntut ilmu ternyata ia dijemput pulang oleh sang ayahanda, yakni KH. Saifourridzal pada tahun 1985. Setelah dijemput pulang, ia langsung mengajar di Pesantren Zainul Hasan. Tak berapa lama setelah ia pulang, ibunda dan ayandanya pulang ke haribaan Allah SWT.

Salaman Genggong
Namanya cukup dikenal dalam sejarah politik nasional bangsa Indonesia, saat ia ditunjuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk menjembatani pertemuan antara penguasa Orde Baru yakni presiden Soeharto dan Gus Dur dalam waktu tiga bulan soal hasil Muktamar Cipasung. Saat itu hubungan antara tentara dan NU memang sedang gawat-gawatnya. Keberhasilannya menjembatani pertemuan pertemuan besar itu berkat hubungannya dengan keluarga Cendana soal bisnis. Sehingga saat itu terkenal peristiwa “Salaman Genggong”, antara Gus Dur dan Pak Harto pada tahun 1996.
Keberhasilannya mempertemukan dua tokoh yang saling bersebrangan tentu di luar dugaan, karena setelah itu terjadi rekonsiliasi antara NU dengan pemerintah. Kemudian Gus Dur diterima pemerintah. Menurut Kyai yang telah dikaruniai 6 puteri ini, waktu mempertemukan Gus Dur dan Pak Harto banyak tantangannya. Selain harus menempuh prosedur birokrasi yang sangat tebal, ia juga menghadapi warning (peringatan) dari tentara untuk keamanan.
”Bahkan di belakang dan depan rumah saya ada tank. Ternyata setelah acara berlangsung, justeru pak Harto sendiri yang di luar protokoler. Misalnya saat ia transit ke Pondok Genggong menurut protokol tidak lama, ia malah jalan kaki serta berbincang-bincang lama,” katanya.
Peristiwa “Salaman Genggong” menurut KH Mutawakil adalah pelajaran yang penting, sehingga sangat mengesankan dirinya saat ini. “Itu sebuah pelajaran pada saya bahwa kita tidak hanya mengandalkan rasio dan strategi (rasional) namun juga kita harus percaya barokah dari para ulama,” katanya mengenang.
Tokoh yang pernah menjadi ketua RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) tahun 1999-2004 ini dikenal sangat tawadhu terhadap ulama-ulama. Sehingga tak heran, ia sering menjadi tuan rumah event-event besar dalam dinamika politik dan kebangsaan. Seperti dipasrahi oleh PBNU untuk menyelenggarakan Munas I Pagar Nusa. Selain itu ia juga pernah menghidupkan Jami’atul Qura oleh PBNU dengan menyelenggarakan Munas di Genggong.
Dalam ranah politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk wilayah Jawa Timur juga pernah dipasrahkan, sekaligus dideklarasikan di Ponpes Genggong.”Walau selanjutnya saya tidak ikut-ikut,” kata KH Mutawakil dengan senyum khasnya.
Aktivitasnya yang lain adalah saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur. Di PWNU ia membidangi lembaga hukum, perekonomian dan tenaga kerja. Selain itu saat ini ia juga menjadi Ketua Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) wilayah Jawa Timur.
Khusus di Puskopontren, KH Mutawakil sebenarnya mempunyai keinginan untuk memajukan koperasi pesantren. Namun untuk memajukan kopontren itu tidak mudah, sebagab koperasi pesantren ini selama ini kekurangan SDM yang bisa mengelola ekonomi. “Sebenarnya dengan adanya kopontren yang ada di mana-mana itu sudah merupakan langkah maju untuk menjadikan pesantren sebagai sentral keagamaan, tetapi juga sebagai sentral ekonomi umat. Itu bisa terjadi, maka pesantren akan menjadi benteng paling kuat terhadap ketahanan agama. Memang selama ini Puskopontren ini mengalami stagnasi. Ini karena yang namanya koperasi itu erat kaitannya dengan birokrasi,” kata nya.

AST/Ft. AST Posted by Picasa

K.H. Dr. Ahsin Muhammad

 
Pakar Ilmu-ilmu Al-Quran

Ia pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari sebuah universitas di Madinah dengan cumlaude, ia mengasuh pesantren di Cirebon, untuk mencetak para penghafal Al-Quran.

Bagaimana perasaan Anda jika di malam hari yang gelap, dalam perjalanan melewati gurun yang tandus, sepi bahkan kosong, kendaraan Anda tiba-tiba mogok? Takut, tegang, cemas, tentu menyelimuti perasaan Anda. Bagaimana pula jika tak lama kemudian ada orang yang menolong, membawa Anda dan mobil Anda ke bengkel tanpa mengharapkan apa-apa? Tentu, tak terbayangkan perasaan Anda: lega dan gembira.
Itu hanya salah satu dari sekian banyak kemudahan yang dialami oleh Dr. Ahsin Muhammad. Dari berbagai pengalaman hidupnya, ia semakin meyakini, pertolongan Allah akan hadir bagi mereka yang senantiasa menjaga hubungan dengan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. “Barang siapa yang selalu mengingat Allah dalam keadaan senang, Allah akan mengingatnya ketika ia dalam keadaan susah,” ujarnya mengutip sebuah hadits.
Tamu kita kali ini ialah pendiri dan pengasuh Ma`had Darul Qur’an di Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Setiap Ahad pagi ia menyelenggarakan pengajian qiraat warasy, yang diikuti para guru Al-Quran dari wilayah Cirebon dan sekitarnya, dan telah berlangsung sekitar tiga bulan. Sebelumnya, materi yang diberikan mencakup semua qiraat mutawatir yang dikenal sebagai qiraat sab`ah. Tetapi karena dipandang terlalu berat, dan menyulitkan mereka yang belum memiliki bekal yang memadai, pengajian ini lalu difokuskan pada salah satu qiraat saja. Dan itu adalah qiraat warasy.
Di masa sekarang, model pengajian yang memberikan materi pendalaman berbagai macam qiraat seperti ini terbilang langka. Mereka yang berminat mempelajarinya pun tidak banyak. Padahal, materi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga cara membaca Al-Quran yang tepat. Karena itu, para peserta merasakan manfaatnya – yang kemudian mereka kembangkan di tempat masing-masing.
Berkembangnya pengajian mengenai qiraat dan pendalaman ilmu-ilmu Al-Quran merupakan salah satu obsesinya yang terus diupayakan secara serius. Menurutnya, menjaga kemurnian Al-Quran merupakan tugas mulia. Segala sesuatu yang dapat merusak atau setidaknya mengganggu kemurnian Al-Quran harus dicegah. Karenanya, peredaran buku-buku Yasin Fadhilah yang cara penulisannya tidak membedakan mana bagian yang merupakan ayat Al-Quran dan mana yang bukan, dikecamnya.

Rektor IIQ
”Mestinya Yasin Fadhilah seperti itu ditarik dari peredaran, kemudian direvisi. Penerbit selama ini sembrono mencampuradukkan dan menyamakan ayat Al-Quran dan doa. Seharusnya dibedakan penulisannya, agar jelas mana yang Al-Quran dan mana yang bukan,” katanya.
Menyinggung metode pengajaran Al-Quran, menurutnya selama ini sudah berjalan baik. Selain itu, banyak pesantren yang membuka program menghafal Al-Quran. Kelemahannya, para santri berhenti hanya pada menghafal Al-Quran, tidak berusaha mengembangkan kemampuannya dengan mendalami ilmu Al-Quran, termasuk berbagai qiraatnya.
Dia memang pakar dalam bidang qiraat dan ilmu-ilmu Al-Quran. Itu sebabnya ia lalu diserahi berbagai tugas penting. Sejak 2 November 2005, ia menjabat rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ), Jakarta, perguruan tinggi yang mencetak para ahli Al-Quran. Posisi ini sebelumnya diduduki tokoh-tokoh yang terkenal pakar di bidang ilmu-ilmu Al-Quran, seperti Prof. K.H. Ali Yafie (2001-2005), sementara rektor sejak IIQ berdiri adalah Prof. H. Ibrahim Hosen (1977-2001).
Bukan itu saja tugas yang diemban pria yang tenang, santun, dan ramah ini. Kini ia juga dipercaya sebagai ketua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Quran Departemen Agama, yang beranggotakan beberapa pakar ilmu Al-Quran, seperti Prof. Dr. H. Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, Prof. H. Ali Mustafa Ya’qub, Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, dan beberapa pakar lain. Tim ini telah bekerja sejak 2004 dan diperkirakan akan menuntaskan tugas mereka pada 2007.
Keahliannya dalam ilmu Al-Quran membawa berkah tersendiri. Selama beberapa tahun belakangan, setiap Ramadhan ia diundang ke Inggris untuk menjadi imam shalat Tarawih di London dan kota-kota lainnya. Meski begitu ia tetap tinggal bersama keluarga di Cirebon. Setiap minggu ia bolak-balik Jakarta-Cirebon. Senin sampai Kamis ia di Jakarta, hari-hari lain ia habiskan di Cirebon untuk mengajar di pesantren.
Putra pasangan K.H. Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini dilahirkan di Arjawinangun, Cirebon, pada 21 Februari 1956. Sejak kecil ia telah menunjukkan bakatnya dalam ilmu-ilmu Al-Quran. Ketika masih duduk di kelas IV SD dan belum lagi dikhitan, ia telah hafal tiga juz Al-Quran, yakni juz 28, 29, dan 30. Karena itu kakeknya dari pihak ibu, K.H. Syathori, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, sangat menyayanginya.

Lingkungan Religius
”Ketika saya dikhitan, beliau yang mengurusi semuanya. Saya juga diberi pakaian yang berbeda dari yang lain. Beliau memang sangat berkeinginan, di antara anak-anak atau cucu-cucunya banyak yang hafal Al-Quran. Karena itu, bila ada cucu yang datang dan mencium tangannya, selalu ditepuk-tepuk dadanya sambil berucap, ‘Nanti, di sini ada Al-Quran, ada hadits, ada Alfiyah (salah satu kitab standar ilmu nahwu)’,” tuturnya mengenang sang kakek.
Meskipun tak sempat mengalami masa dewasa sebagian besar cucu-cucunya, apa yang diidam-idamkan oleh sang kakek akhirnya menjadi kenyataan. Ahsin dan ketiga saudara perempuannya, semuanya hafal Al-Quran. Sedang empat saudara laki-lakinya hafal beberapa surah Al-Quran. Ketika kakeknya wafat, Ahsin masih duduk di bangku SMP.
Saat sang kakek masih hidup, Ahsin sering menemaninya mengimami shalat berjamaah. Terkadang ia juga ikut mendengarkan apabila kakeknya membacakan kitab di pengajiannya. “Hanya nguping, seperti anak-anak yang lain,” ujarnya. Meski demikian, ia mendapat banyak hal penting dari kehidupan keseharian sang kakek, seorang ulama yang di masa hidupnya sangat disegani dan dihormati. Menurutnya, sang kakek berjasa menciptakan lingkungan yang religius, yang mencintai ilmu dan ulama. Kakeknya seorang penyabar, mempunyai perhatian pada para santri, dan hampir tidak pernah marah.
Menurutnya resep menghafal Al-Quran ialah doa orangtua yang benar-benar sangat mengharapkan anaknya dapat menghafal Al-Quran. Orangtua yang demikian niscaya akan selalu bermohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Tentu doa yang demikian kemungkinan diterimanya lebih besar. Karena itu langkah si anak selanjutnya untuk mewujudkan harapan orangtua akan lebih mudah. Selain itu harus ada usaha yang maksimal ketika membimbing anak untuk menghafalkannya.
Ayah lima anak ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD dan SMP Arjawinangun. Sedangkan dasar-dasar ilmu agama ia pelajari di pesantren milik keluarganya. Selama tiga tahun sejak 1970 ia melanjutkan pelajaran di Pesantren Lirboyo, Kediri, sambil belajar di SMU. Sejak lama, Pesantren Lirboyo memang didominasi oleh para santri asal Cirebon dan sekitarnya.
Di pesantren terkemuka itu ia belajar fiqh dan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan sebagainya. Sementara di saat libur panjang ia menimba ilmu di pesantren lain. Antara lain, ia pernah mengaji tabarruk kepada K.H. Umar Abdul Manan (Solo) dengan menyetorkan hafalan-hafalan Al-Qurannya. Meski tidak lama belajar kepadanya, tidak sampai dua bulan, ia merasa sangat beruntung, karena bisa memperoleh syahadah sanad dari sang guru.

Ponpes Krapyak
“Tidak semua orang – termasuk para santri yang sudah lama belajar kepada beliau – yang bisa mendapatkannya,” ujarnya. Sertifikat sanad dari Kiai Umar memang sangat didambakan. Dengan sertifikat itu terjaminlah bacaan yang benar, bagus, dan fasih. Juga menunjukkan bobot intelektualitas dan tanggung jawab sebagai seorang hafizh Al-Quran.
Keinginanannya yang kuat untuk mendalami Al-Quran membawanya meneruskan belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta (1973- 1976). Ia juga sempat belajar kepada K.H. Arwani (Kudus). Tetapi ketika baru berjalan sekitar dua bulan, ia diminta pulang ke Cirebon untuk menyiapkan keberangkatannya ke Makkah. “Meski demikian, bagi seorang santri, sesingkat apa pun masa belajarnya, ia harus bisa menyerap berbagai ilmu, termasuk akhlak dan keteladanan gurunya,” katanya.
Bulan Agustus 1976 menandai era baru dalam hidupnya. Ia berangkat ke Arab Saudi untuk mendalami ilmu-ilmu agama sebagaimana cita-cita orangtuanya. Mula-mula ia belajar di Makkah. Sekitar satu tahun, 1976-1977, ia mengaji Al-Quran di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdullah Al-`Arabi, seorang Mesir yang didatangkan oleh Jamaah Tahfizh Al-Quran. Di Masjidil Haram memang banyak kegiatan, salah satunya dikoordinasikan oleh lembaga tersebut.
Ketika itu yang memimpin lembaga tersebut ialah Syekh Shalih Al-Qazzaz, mantan sekjen Rabithah `Alam Islami. Yang juga banyak berperan di lembaga ini ialah Syekh Ibrahim Sa`d, seorang Mesir yang mengatur metode menghafal Al-Quran. Masa itu merupakan kebangkitan Tahfizhul-Qur’an di Arab Saudi. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi para masyaikh qurra’ (guru-guru para pembaca Al-Quran) yang berasal dari Mesir, baik di Makkah, Jeddah, Madinah, maupun yang lainnya.
Pengajian di Masjidil Haram ia ikuti pagi hari, sedang sore harinya ia menuntut ilmu di Markaz Ta`lim al-Lughah al-`Arabiyyah. Karena sudah hafal Al-Quran, ketika belajar ia hanya “menyetor” hafalan dan mendalami bacaannya. Di akhir tahun, ia mengikuti ujian dan lulus, mendapat syahadah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dapat membaca Al-Quran secara hafalan dari awal hingga akhir.

Menulis Tahqiq
Pada 1977 ia berangkat ke Madinah al-Munawarah untuk mengikuti kuliah di Fakultas Kulliyatul-Qur’an wa Dirasah Islamiyyah dari Al-Jami`ah Al-Islamiyah. Di sini ia tak mengalami kesulitan berarti, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Apalagi ia mendapat beasiswa 200 dolar atau 775 riyal per bulan. Pemberian beasiswa itu, selain sebagai penghargaan bagi mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Quran, juga untuk memotivasi para mahasiswa yang kuliah di fakultas tersebut.
Selepas menamatkan pendidikan kesarjanaan, ia melanjutkan ke program pascasarjana di universitas yang sama mengambil Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Quran, selesai pada 1987 dengan tesis Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an. Sedang untuk disertasi ia menulis tahqiq (menulis dan meneliti kembali) kitab At-Taqrib wal-Bayan fi Ma`rifati Syawadzil-Qur’an, karya Ash-Shafrawi, ulama asal Iskandariyah, Mesir, kelahiran 636 H/1216 M.
Dan akhirnya ia meraih gelar doktor dengan yudisium Mumtaz Syaraful ‘Ula (cumlaude) pada 1989. Praktis selama 12 tahun, sejak 1977, ia menghabiskan masa mudanya di Jam’iyyah Al-Islamiyyah, Madinah. Di antara teman dari tanah air yang belajar di sana tapi beda angkatan adalah Hidayat Nur Wahid (ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Salim Seggaf Al-Jufri (dubes RI di Arab Saudi). Usai belajar di Madinah, ia kembali mengajar di Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, yang diasuh oleh pamannya, K.H. Ibnu Ubaidillah.
Penguasaannya yang mendalam tentang ilmu-ilmu Al-Quran menarik perhatian banyak kalangan. Maka pada 1992, ia diajak oleh K.H. Syukron Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk ikut mendirikan Institut Islam Darul Rahman. Pada tahun itu juga ia mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai pengajar tetap di IAIN hingga kini.
Di tengah kesibukannya mengajar, baik di Cirebon, Jakarta, maupun di luar negeri, ia masih berusaha untuk merampungkan buku tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sebagai salah satu syarat untuk pengangkatannya sebagai guru besar. ”Sudah selesai saya tulis, tinggal dibukukan,” ujarnya. Kita tunggulah terbitnya buku penting karya pakar Al-Quran ini.

AY, AST/Ft. AY, AST

Caption:
1. Lead Foto
2. Di ruang kerjanya. Mengembangkan khazanah ilmu Al-Quran
3. Pondok Pesantren Darul Quran, Arjawinangun. Mencetak para penghafal Al-Quran
4. Sedang santai menerima alKisah. Bolak-balik Cirebon-Jakarta
5. (Untuk insert di COVER) Posted by Picasa

Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff

 
Bertakhaluq Dengan Syeikh

Meskipun seorang gurunya (syeikh) telah meninggal, tetapi sang murid tetap mempunyai hubungan bathin. Dengan bertakhaluq(berpegangan) kepada guru-gurunya, Habib Hadi senantiasa dibimbing untuk mensyiarkan dakwah

Setiap Ahad, ratusan kyai dan ustadz dari berbagai pelosok daerah Malang mengikuti pengajian rutin di majelis Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) di Jl Kayu Tangan, dekat alun-alun Kota Malang yang diasuh oleh KH Abdullah Iskandar. Pengajian ini di belakang hari banyak dipimpin Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff, karena KH Abdullah Iskandar sudah sepuh.
Habib Hadi adalah guru dan ustadz tempat bertanya yang cukup terkenal sebagai mubalig pada berbagai pengajian di Malang dan sekitarnya. Sosoknya hangat, dan enak diajak bicara tentang banyak hal. Bicaranya pelan, tapi teratur.
Hari-hari Habib Hadi juga diisi dengan mengisi pengajian dari kampung ke kampung di berbagai pelosok Kota Malang dan sekitarnya. Metode pengajiannya bukan hanya ceramah, tapi juga dialog. Seperti halnya kebanyakan ulama dan mubalig, masa kecil Habib Hadi sangat ketat dalam pendidikan agama. “Saya tidak pernah mengaji di pesantren. Ilmu agama saya peroleh berkat bimbingan langsung dari ayah dan ibu saya,” katanya lagi.
Dari dahulu sampai sekarang Habib Hadi dalam berdakwah juga tidak membeda-bedakan madzab dan medan dakwah. Ia berdakwah di berbagai kalangan. Bahkan di tempat Al-Irsyad di Bondowoso juga ia mengajar, karena merasa cocok dengan metode belajar yang disampaikan Habib Hadi. ”Saya mendapat dukungan oleh Ustadz Hasan Baharun (Bondowoso).”
Lahir di Malang, pada 29 Juni 1947, ia putra Habib Alwi bin Hasan Al-Kaff ke-16 dari 31 bersaudara. Ibundanya, bernama Syarifah Futum, putri dari Habib Abdurahman bin Ali bin Syekh Abubakar bin Salim. Jadi Habib Hadi masih termasuk cucu dari Habib Abdurahman bin Syekh Abubakar, seorang ulama yang terkenal sebagai ulama yang saleh dan perintis gerakan dakwah ke desa-desa sekitar Malang. Gerakan dakwah Habib Abdurahman ini dilanjutkan oleh menantu cucu beliau, Ustadz Habib Alwi bin Salim Alaydrus.
Habib Hadi mengenyam pendidikan Madrasah di Pondok Pesantren Darul Hadits Malang yang diasuh oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih dari tahun 1953 sampai tahun 1967. Habib Hadi sebenarnya punya kesempatan untuk belajar di Madinah (Saudi) namun, karena Pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu melarang pelajar Indonesia untuk berangkat ke Saudi, kecuali yang mempergunakan beasiswa pemerintah.
Akhirnya ia mengaji ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) selama kurang lebih dua tahun (1967-1969) secara private kepada Habib Abdurahman bin Muhammad Mauladawilah di rumahnya, di samping masjid Al-Huda, Malang setiap usai shalat Subuh. Kitab yang diajarkan pada waktu itu adalah Jumriyah, Syarh Ibn Dahlan, Kafrowy dan Kawakib.
Selain belajar pada Habib Abdurahman, pada tahun itu juga Habib Hadi belajar secara private kepada Habib Alwi bin Salim Alaydrus. Habib Hadi mengaku sangat terkesan dengan metode mengajar dari Habib Alwi, “Beliau adalah seorang guru yang alim, luas, tawadhu’ lagi bijaksana. Pernah beliau mendengar ada yang mengatakan bahwa, ’Hadi Al-Kaff tidak punya Syeikh (guru pembimbing)’. Beliau spontan marah seraya berkata,’Katakan pada mereka bahwa,’saya adalah Syeikh dari Habib Hadi’.
Mendengar pengakuan dari Habib Alwi bin Salim Alaydrus, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff sangat gembira atas pernyataan tersebut. Ustadz Alwi juga berpesan kepada Habib Hadi untuk lebih memantapkan hatinya, ”Kalau kamu takhaluq (berpegangan dengan guru, biasanya seorang syekh) ini insya allah, kamu akan dibimbing. Meskipun seorang guru (syeikh) itu telah meninggal. Jadi seorang murid tetap punya hubungan bathin.”
Setelah gagal berangkat ke Saudi, Habib Hadi kemudian menyibukan diri bekerja membantu ayandanya ke Lombok (Nusa Tenggara Barat) sampai tahun 1974. Baru pada tahun 1975 ia berangkat ke Saudi dengan diantar langsung oleh Habib Muhammad bin Ahmad Alaydrus di Madinah. Sayang, saat itu tahun ajaran baru sudah dimulai. Ia akhirnya disuruh menunggu beberapa bulan sampai menunggu tahun ajaran baru. Habib Hadi akhirnya belajar bahasa Inggris di American School. Karena kesibukan kerja antara 1976-1979, akhirnya Habib Hadi tidak sampai berfikir lagi untuk menuntut ilmu di Madinah.
Pada tahun 1979 ia pindah ke Khobar, di kota yang terletak belahan utara Mekkah itu ia mengumpulkan jama’ah dari pekerja-pekerja yang dari Indonesia untuk belajar agama dan sesekali rutin membaca maulid. “Alhamdulilah, sembari bekerja juga bisa belajar sendiri dan juga mendatangi pengajian,”
Selama di Saudi, ia belajar sendiri dengan bertakhaluq kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, Habib Alwi bin Salim Alaydrus dan Habib Abdurrahman bin Muhammad Mauladawilah. Sekalipun belajar sendiri, Habib Hadi juga terkadang menghadiri acara-acara keagamaan yang digelar di Saudi, seperti peringatan maulid, Khataman Bukhari, silaturahmi halal bi halal dan lain-lain.
Pada tahun 1992, ia mau pulang ke Indonesia. Saat itu tanggal 27 Ramadhan ada khatam Bukhari di Masjid Nabawiy, datang para Habaib dari sekitar Saudi. Selepas shalat Ashar ada pengajian Habib Soleh Al-Muhdor. Acara ini tergolong acara yang beasr karena banyak dihadiri ulama-ulama besar seperti Syekh Abdul Qadir bin Ahmad, Sayid Maliki, Habib Zein bin Smith dan dari luar Saudi pun banyak yang hadir.
Kebetulan saat itu Habib Hadi datang bersama salah satu teman akrabnya yakni Habib Hasan bin Abdullah Som Assegaff. Habib Hasan sudah lama tinggal Saudi, sehingga ia banyak mengenalkan Habib Hadi dengan para Habaib yang hadir selepas shalat Magrib. Salah satu diantaranya adalah berkenalan dengan Habib Alwi Bilfagih (pengarang kitab-kitab sejarah dan nasab).
Saat itu Habib Alwi saat itu juga sedang mengajar kepada murid-muridnya dan juga ada seorang tua yang sedang menulis. Habib Hasan Som kemudian mengenalkannya kepada Habib Alwi Bilfagih, ”Ini Hadi Al-Kaff dari Malang.”
Kemudian Habib Alwi menyalami Habib Hadi. “Kenal Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih dari Malang?” tanya Habib Alwi kepada Habib Hadi.
“Itu adalah guru saya,” kata Habib Hadi.
“Syeikhi? (gurumu)?” tanyanya dengan penuh keterkejutan.
“Saya adalah murid dari Syeikh Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih,” kata Habib Hadi kepada Habib Alwi.
“Tunggu dulu,” kata Habib Alwi terburu-buru kepada Habib Hadi dan Habib Hasan untuk jangan beranjak dari majelis, karena ia akan menyelesaikan urusan dengan orang tua yang duduk tidak jauh dari mereka bertiga.
Tidak berapa lama kemudian, Habib Alwi kembali lagi dan kemudian berkata kalau Habib Abdul Qadir adalah saudara dekatnya. “Itu adalah saudara ayah saya, tapi saya belum jumpa,” katanya.
Kemudian Habib Alwi memaksa tangan Habib Hadi, ”Mana tanganmu?”
Lalu Habib Hadi karena dipaksa kemudian memberikan tangannya untuk dicium oleh Habib Alwi. Artinya, Habib Alwi sangat menghormati Habib Abdul Qadir sampai sedemikian rupa, sampai-sampai salah satu muridnya yang pernah pernah belajar kepada Habib Abdul Qadir pun diciumnya.
Sampai di hotel, Habib Hadi bertanya pada Habib Hasan Som,”Tadi, orang tua yang bertubuh kurus dan duduk di majelis Habib Alwi itu siapa?”
“Itu adalah Habib Zein bin Smith (Medinah),” kata Habib Hasan Som.
Habib Hadi tentu terkejut, karena Habib Zein bin Smith ternyata sedang belajar kepada Habib Alwi Al-Kaff yang baru ditemuinya.
Setelah hari kedua lebaran, para habaib mengadakan silaturahim di hotel Haramain. Setelah acara, Habib Hasan Som mengenalkan lagi Habib Hadi pada yang hadir, termasuk kepada Habib Zein bin Smith. “Ini Habib Hadi Al-Kaff, tholib ilm’,” kata Habib Hasan.
“Di mana kamu belajar?” tanya Habib Zein bin Smith kepada Habi Hadi Al-Kaff.
“Saya tidak belajar. Saya bekerja di Khobar,” jawab Habib Hadi.
Habib Hasan Som berkata lagi, ”Dia belajar sendiri di rumahnya.”
“Tidak boleh. Kalau belajar agama tidak bisa belajar sendiri kecuali dengan belajar kepada syeikh (untuk membimbing). Kalau kamu belajar ilmu umum, seperti bumi, sejarah, kamu bisa belajar sendiri,” kata Habib Zein.
Habib Hadi terdiam, tapi Habib Hasan Som berkata lagi kepada Habib Zein,”Ya Habib, ia dulu pernah belajar pada Habib Abdul Qadir Bilfagih.”
“Benar?” tanya Habib Zein.
“Ya Habib,” jawab Habib Hadi.
Habib Zein kemudian tertunduk sebentar, tidak langsung jawab. Kemudian ia berkata, ”Karena kamu sudah pernah belajar pada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih. Kamu boleh belajar sendiri,” kata Habib Zein kepada Habib Hadi.
Setelah mendapat bisayarah (isyarat kabar gembira) dari seorang alim. Habib Hadi semakin yakin, kalau selama ini dengan belajar sendiri mempelajari kitab-kitab salaf yang ada di sana masih dalam koridor bimbingan dari guru-gurunya, walaupun guru-gurunya itu telah lama wafat.
Setelah menetap lama di negeri Saudi, pada tahun 1992 ia pulang ke Indonesia. Saat itu ia tinggal di Jl Lontar Atas, Jakarta, sambil berdagang Habib Hadi juga berdakwah dari masjid ke masjid dan taklim di sekitar rumahnya selama kurang lebih lima tahun.
Pada tahun 1997, ia kemudian dipanggil sang mertua, Habib Ali bin Umar Baharun di Bondowoso untuk mengelola majelis taklim. Ia kemudian mengajar sekitar 4 tahun, beliau meninggal. Pada tahun 2002, ia berfikir untuk kembali ke Jakarta. Tapi saat singgah di Malang, Habib Hadi bertemu dengan Habib Muhammad bin Agil Ba’Agil pemimpin majelis taklim Al-Hidayah (Malang).
“Kebetulan kamu datang, sekarang saya serahkan majelis taklim ini kepada kamu,” kata Habib Muhammad.
“Ya, Habib. Sekarang saya di Bondowoso,” kata Habib Hadi.
“Kamu pindah ke Malang,” perintah Habib Muhammad.
Karena teman akrab, satu kelas di Darul Hadits akhirnya Habib Hadi mulai tahun 2002 mulai tinggal di Malang pengasuh Majelis Taklim Al-Hidayah. Majelis Taklim Al-Hidayah sendiri diketuai oleh Habib Agil bin Agil Ba’agil, Habib Ali Haidar Al-Hamid.
Habib Hadi di Kota Apel itu juga mengasuh Majelis Taklim Al-Mukhlisin tiap malam minggu ba’da Magrib (ibu-ibu) dan selepas Isya (untuk bapak-bapak). Acara berlanjut selepas Subuh. Ia juga masih mengajar tafsir Jalalain dan An-Nashoih Diniyah di Madrasah yang didirikan oleh Ustadz Alwi bin Salim Alaydrus di Bumiayu (Malang) seminggu tiga kali; Sabtu, Senin dan minggu. Selain itu ia mengajar di masjid-masjid di sekitar Malang.
Ia sebenarnya sering diminta mengajar di Pesantren Darul Lughah Wa’Da’wah (Bangil, Pasuruan) dan Darut Tauhid, tapi selama ini masih sangat berat. “Soalnya, waktunya pagi. Itu berat sekali, karena kalau malam sudah habis untuk berdakwah sehingga jarang tidur,” kata Habib Hadi.
Ia juga sering diminta oleh teman-temannya untuk menterjemahkan Shahih Sifatu Sholatul Rasulullah SAW Mina Takbir Wa Taslim Ka’anaka Tanduru ilaya (sifat shalat Rasulullah SAW sejak takbir hingga salam seolah-olah kamu menyaksikan sendiri) karangan Habib Hasan bin Ali Assegaff (Yordania). Sudah banyak orang meminta untuk menterjemahkan kitab yang sering dibawakannya. ”Insya Allah, kalau ada waktu tepat akan segera diterbitkan,” katanya.

AST/Ft. AST
Caption:
1. Lead
2. Habib Hadi sedang berceramah. Bertakhaluq dengan syeikh
3. Dalam perjalanan berdakwah. Tak kenal cuaca dan medan dakwah
4. Berfoto bersama dengan jama’ah. Sosoknya hangat dan ramah
5. Sedang memimpin doa. Tak membeda-bedakan madzab Posted by Picasa

Habib Taufiq Assegaf

 
‘Cahaya Nabawiy’ Pasuruan

Pasuruan sebagai kota Santri terkenal dengan gudang ulama habaib. Salah satu tokoh dakwah dari kota ini adalah Habib Taufiq bin Abdul Kadir bin Husein Assegaf

Bermentalkan semangat baja ia memberanikan diri menerbitkan Majalah Cahaya Nabawiy. Sebuah terobosan dalam berdakwah yang kretaif dan efektif pada umat di berbagai penjuru wilayah tanah air. Majalah ini bentuknya mungil sebagaimana majalah Islam yang ada di tanah air. Namun di balik kemungilan majalah ini, terkandung isi yang menarik dan sarat dengan ajaran agama. Sehingga amat wajar bila majalah ini mempunyai pangsa pasar yang tersebar di tanah air.
Di balik kebesaran nama majalah Cahaya Nabawiy, sosok pengelola majalah ini yang tak bisa dilepaskan dari sentuhan tangan dinginnya. Ia adalah seorang dai yang sangat disegani di Pasuruan dan sekitarnya. Sosok habib ini berwajah tampan dan kalau berceramah ia penuh semangat dan berapi-api. Dialah Habib Taufiq bin Abdul Kadir Assegaf, pria kelahiran Pasuruan 1969. Ia tidak pernah menempuh pendidikan formal, namun dari pendidikan taklim ke taklim. Sekali pun demikian, ia adalah sosok seorang dai yang kreatif dalam berdakwah dan dikenal berwawasan luas.
Semasa kecil, Habib Taufiq diasuh oleh sang ayahandanya yakni Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf. Dirasa cukup dengan bimbingan sang orang tua, ia kemudian melanjutkan taklim pada ulama dan para habaib yang ada di Pasuruan, salah satunya Habib Ahmad bin Hadi Al-Hamid.
Selain itu ia juga belajar pada banyak habaib dan ulama yang ada di kota Pasuruan. Satu per satu rumah para habaib dan ulama yang ternama ia datangi, untuk mengajarkan ilmu kepadanya. “Karena itu minimlah ilmu kita. Karena saya tidak belajar taklim, belajar seadanya, tidak seperti lulusan pesantren luar negeri,” kata Habib Taufiq dengan rendah hati.
Menurutnya semua guru yang pernah mengajar taklim kepadanya sangat berkesan. “Semua guru-guru saya adalah orang-orang yang baik dan memberikan contoh dan semangat untuk berkiprah pada masyarakat, berkhidmat pada agama dan Rasulullah SAW,” demikian pandangan Habib Taufiq terhadap guru-gurunya di Pasuruan.
Setelah banyak belajar dari ulama dan habaib yang ada di kota Pasuruan, ia kemudian melanjutkan belajar pada seorang Habib ternama kota Surabaya yakni Habib Umar bin Hasyim Ba’agil. Selama menempuh taklim di Surabaya, selama seminggu di Surabaya dan seminggu kemudian ke Pasuruan. Aktivitas itu ia jalani sampai Habib Umar bin Hasyim Ba’agil wafat.
Menurutnya Habib Umar adalah seorang guru yang sangat mendalam ilmunya. Dalam sisi yang lain, lanjutnya, Habib Umar adalah seorang guru yang sangat bersemangat dalam mengajar ilmu. “Sekalipun dalam keadaan sakit, Habib Umar masih menyempatkan untuk mengajar. Bahkan kalau pun dia tertidur saat mengajar, minta dibangunkan,” kata Habib Taufiq.
Setelah menggali ilmu ke berbagai tempat dan habaib serta ulama. Mulailah ia merintis berdakwah. Pada awalnya ia hanya membuka madrasah di Jl. KH Wahid Hasyim (barat Masjid kota) Pasuruan. Ia kemudian melanjutkan pengelolaan madrasah yang pernah diasuh oleh Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf (kakeknya) dan Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf (ayahnya).

Cahaya Nabawiy
Aktivitasnya dalam berdakwah tidak hanya membuka taklim di rumahnya. Ia kemudian mulai merintis membuat majalah Islam yang bernama Cahaya Nabawiy bersama kawan-kawannya yang ada di kota Pasuruan. Ternyata sambutan dari rekan-rekan yang di kota itu bersambut dengan baik. “Kita memulai sesuatu dengan serba keterbatasan. Modal kita hanya keberanian saja,” kata Habib Taufiq.
Awalnya mereka hanya menerbitkan sekitar 300 ekslempar, namun melihat perkembangan dan permintaan pembaca yang kian meningkat, lambat laun jumlah ekslempar terus ditingkatkan. Jumlah majalah Cahaya Nabawiy sekarang telah di cetak mencapai 7000 ekslemplar setiap bulan. Walau hanya diterbitkan dari kota Pasuruan, majalah ini telah merambah ke berbagai wilayah tanah air. Bahkan pada perkembangan terakhir, pihaknya sampai kewalahan melayani permintaan dari luar Jawa.
“Alhamdulillah semua berjalan baik, walau tidak berjalan sekuat yang ada pada majalah Islam pada umumnya. Yang jelas tujuannya untuk dakwah untuk Ilallah,” jelas Habib Taufiq.
Selain membagi waktu untuk mengelola majalah, ia juga rajin memberikan taushiah. Di tengah kesibukannya mengelola taklim, majalah, radio dan berceramah di sekitar Pasuruan, ia juga berdakwah ke berbagai wilayah di perbagai penjuru tanah air. Bahkan jangkauan dakwah Habib Taufiq merambah pada wilayah-wilayah yang terpencil.
Sampai sekarang ia secara rutin membina umat di daerah-daerah yang minoritas muslim, seperti daerah Tengger, Sampit, Bali, dan lain lain. Habib Taufiq tak segan-segan mengirim santri-santrinya dan mendampingi masyarakat yang awam pengetahuan agama.
Untuk mematangkan konsep dan langkah berdakwah, sejak tahun 2003 yang lalu, ia mendirikan Pondok Pesantren di Jl Sidogiri, Pasuruan. Sistem pesantren ini menggunakan halaqah yang menggunakan kitab-kitab salaf. “Sebenarnya saya membuat pesantren tidak direncanakan, karena saya hanya ingin membuat madrasah saja. Cuma takdirnya Allah, akhirnya menjadi pesantren,” kata Habib Taufiq menceritakan awal berdirinya pesantren yang ia pimpin sekarang.
Pesantrennya ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Walau baru berumur tiga tahun, sekarang sudah berdiri sekitar 30 cabang madrasah dan 13 pondok pesantren yang tersebar di Jawa, Bali, Kalimantan. Memang letak pesantren yang berdiri di bawah naungan Pondok Pesantren As-Sunny As-Salafiyah tidak ada satu tempat, namun beberapa cabang. Sehingga setelah lulus dari cabang-cabang pendidikan yang ia kelola, baru masuk ke pesantren yang ada di Jl Sidogiri.
Setiap alumni pesantren As-Sunny As-Salafiyah, kemudian ia dorong untuk berdakwah. “Setiap alumni, kita tempatkan di daerah-daerah yang minoritas untuk berdakwah seperti di Tengger. Bahkan untuk daerah pegunungan Tengger, sekarang telah didirikan 14 Madrasah dan beberapa madrasah di daerah-daerah minoritas muslim”.
Pondok As-Sunny As-Salafiyah menggunakan sistem pendidikan pesantren model halaqah dengan menggunakan kitab-kitab salaf. “Insya Allah akan kita kembangkan dengan ilmu-ilmu yang banyak di butuhkan masyakarat seperti ilmu komputer dan bahasa inggris, sekarang masih dalam tahap perencanaan.”
Di Pondok ini ada tiga penjurusan yakni pertama, Tahasus Al- Qur’an, dengan program hafal qur’an dan tafsirnya. Kedua, Tahasus Syari’ah, dimana setiap santri ditekankan untuk menghadalkan Zubath. Setiap santri wajib mempelajari kitab Minhaj, Ushul Fiqh, Qawaidh Fiqhiyah. Ketiga, Bismul Lughah, tentang masalah bahasa yakni penekanan pelajaran yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah.
Jumlah santri yang ia kelola di Jl Sidogiri saat ini ada sekitar 300-350 santri. Sedangkan jumlah total dari seluruh santri ada sekitar lebih dari 2000 santri. Mengenai kriteria alumni pesantren yang dia pimpin, ia mengharapkan setiap ilmu selain berhasil juga menghasilkan. ”Bukan berarti murid selama di pesantren saja berhasil menunut ilmu. Namun sampai pulang ke rumah pun, ia berhasil memanfaatkan ilmunya dengan berdakwah ke masyarakat,” jelas Habib Taufiq.
Di tengah kesibukan nya berdakwah langsung ke masyarakat, ia juga juga mempunyai jadwal tetap yakni mengajar taklim di rumahnya di Jl KH Wahid Hasyim atau tepatnya di barat Masjid Kota Pasuruan tiap hari jam enam pagi dan teruskan dengan pembacaan kalam salaf. Majelis Taklim yang sudah berlangsung turun-temurun dari sang kakek, Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dan sang ayahanda, Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf yakni membacakan Kitab Ihya Ulumiddin karya Hujjatul Islam, Imam Ghazali yang diikuti oleh masyarakat Pasuruan dan sekitarnya.
Uniknya dari setiap acara pengajian baik di rumahnya maupun di pesantren Sunny As Salafiyah dipancarkan langsung melalui Radio Suara Nabawiy baik melalui frekuensi 107 FM dan 747 AM. Dakwah melalui stasiun radio Suara Nabawiy ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan dakwah. Sebab pancaran radio ini ternyata juga sampai ke seluruh pelosok sekitar Pasuruan bahkan sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian timur.
Dengan berbagai ragam aktivitas dakwah yang ia emban, Habib Taufiq mengaku bukannya tidak ada hambatan namun penuh tantangan. ”Tantangannya, memang adalah modal kita yang terbatas tidak hanya sumber daya manusia (SDM) dan modal (finansial). Dan Kita harus bagi dengan dakwah yang lainnya seperti untuk madrasah, anak yatim. Saya bukan orang yang banyak uang. Alhamdulillah, kita sudah buktikan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan seluruh potensi dakwah,” katanya.
AST/Ft. AST
Caption:
1. Lead
2. Sedang memberikan taushiah. Penuh semangat dan berapi-api
3. Di tengah santri-santri. Memulai dengan serba keterbatasan
4. Siaran di Radio Suara Nabawiy. Memperluas jangkauan dakwah
5. Habib Taufiq. Merambah daerah terpencil
6. Sedang memberikan taklim. Sudah berjalan rutin Posted by Picasa

23.1.07

KH Achmad Djazuli

 
Sang Blawong Pewaris Keluhuran

Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

AST/ft.AST Posted by Picasa

KH. Mukhtar Syafaat

 
Ulama Panutan Umat

Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi

Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
AST/Ft AST Posted by Picasa