tag:blogger.com,1999:blog-228281762024-03-08T04:14:44.668+07:00Aji Setiawan, ST"Afahasibtum annama khalaqnakum 'abatsan wa annakum ilaina la turja'un" (QS Al-Mukminun: 115)
Mobile: 081327187625 atau via email or ad fs ya: aji_setiawan2000@yahoo.com ; http://www.pengrajinkata.blogspot.comAji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.comBlogger108125tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1176362908640930572007-04-12T14:26:00.000+07:002007-04-12T14:28:29.033+07:00Sajak Pelipur Lara<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/163197/Aji1.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/203584/Aji1.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br /><br />Ketika luka-luka akan kehidupan datang. Ketika samudra kehidupan mendatangkan badai, dan ketika engkau terluka. <br />Hanya rasa sedih dan penuh derita menghantui dalam hidup. Alangkah menyesal bila situasi ini dilewatkan. Duhai peri kerinduan, demi waktu, akan datangnya inspirasi. Sejuta ide menggelegak tengah datang menghampiri mu.<br />Cukuplah kala itu, untuk berdiam diri sejenak.Duduk termenung dalam gelap kamar. Tafakur lah sejenak merenungi berbagai kejadian masa silam. Tundukan kepalamu. Pejamkan mata. Biarkan alam pikiranmu mengelana. Berlarian. Menjurai “samudra” yang luas akan kehidupan. Jadikan kesedihanmu sebagai tempat-tempat kesempatan. Ladang-ladang bercocok tanam. Dan semailah “ide-ide” besar itu dalam lautan kesedihan. Berenanglah terus ke tengah lautan ide, jangan pernah menepi ke pantai.<br />Jadikan “derita” sebagai “injeksi” lompatan besar dalam menuai masa depan. Jadikan kesedihan mu itu untuk sekali ini saja dalam hidup. Jangan engkau bersedih! La Tahzan! <br />Kita telah penuh luka. Derita berpuluh-puluh tahun. Darah “-muncrat-muncrat”. Air mata darah dan tangis bergiliran sebagai anak bangsa. Tertindas tak berkesudahan. Kenapa kau masih diam saja! Menyesal dan terpuruk dalam linangan air mata derita tak ada gunanya. Berdoa tanpa berusaha, tak ada maknanya, dan hanya menyerap sedikit hikmah, tak merubah keadaan.<br />Menulislah. Tulislah dengan kata-kata nurani. Bangkitlah dari tempat dudukmu, segeralah ambil pena dan kertas. Isilah pena-penamu dengan tinta. Tulislah, puisi, sajak, artikel, karangan khas atau apa saja yang sanggup kau toreh melalui kata-kata.<br />Mulailah rangkai kata-kata yang indah, menarik dan memikat. Sastra dibentuk dan dipahat dengan halus. Jangan hiraukan suara di luar kamarmu. Engkau harus menulis dengan deras. Berpuluh-puluh kertas, harus engkau tulis. Biarkan jemarimu menari “salsa” mengikuti nurani. Itulah ide yang datang mengalir deras dari “cahaya” kebenaran yang sejati. <br />Engkau kini telah mendapatkan sepercik inspirasi, di tengah lauatan lara dan badai duka cita. Selamat mencoba. Semoga sajak pelipur lara ini menjadi inspirasi dan dorongan bagimu untuk menulis dan menulis. Sebab dengan menulis engkau telah menjadi manusia yang berfikir, manusia yang tercerahkan. Yakni manusia-manusia yang dijanjikan Allah SWT diangkat derajatnya dan dimuliakan di muka bumi.<br />Jadilah engkau bintang, lebih dari bintang-bintang yang terkenal. Kalau pun saat ini engkau tidak disebut di bumi, cukup engkau terkenal di jagad langit. Menjadi bintangnya langit, yang tidak perlu disebut-sebut media atau televisi. Engkau lebih berhak disebut di langit, ya di langit. Dengan damai dan keabadian. (***) <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com17tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1173237995983810592007-03-07T10:17:00.000+07:002007-03-07T10:26:36.256+07:00Penerjemah Handal dari Surakarta<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/935096/Sholeh-Al-Jufri.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/152444/Sholeh-Al-Jufri.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri<br /><br />Habib Sholeh Al-Jufri termasuk generasi pertama santri-santri dari Indonesia yang dididik oleh Habib Umar Al-Hafidz di Darul Musthofa, Tarim, Hadramaut. Ia terkenal sebagai penerjemah yang handal dari Surakarta. <br /><br />Wajah habib yang satu ini kerap muncul di acara maulid atau kegiataan perayaan hari besar Islam. Ia tampil setelah pembicara pertama yang memakai bahasa Arab sangat fasih. Tentu bagi para jemaah yang tidak mengetahui bahasa Arab, akan kesulitan menyimak isi taushiah pertama. Tapi dengan kehadiran Habib yang satu ini, taushiah dari pembicara pertama tadi dapat disimak dan dipetik hikmah mutiara kata-kata. Satu persatu isi taushiah, oleh habib yang berusia 37 tahun ini, diterjemahkan dengan lancar dan gamblang.<br />Itulah Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri, selama ini memang lebih banyak dikenal sebagai penerjemah handal, khususnya bagi tamu dari Timur Tengah. Habib Sholeh Al-Jufri, demikian kerap para muhibbin memanggil habib kelahiran Surakarta, 30 September 1970. Selain dikenal sebagai penerjemah, ia juga mengisi kegiatan sehari-hari sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Darul Musthofa di Desa Salam RT 01/03, Kecamatan Karang Pandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.<br />Masa kecil Habib Sholeh banyak dididik oleh kedua orang tuanya di Surakarta. Selain itu, sang ayah juga mengundang guru mengaji ke rumah. Sehingga pendidikan dari sejak masa kanak-kanak sampai usia remaja, telah nampak sosok pada Habib Sholeh menjadi seorang dai. Selain itu, ia juga mengikuti pengajian di zawiyah Habib Anis Al-Habsyi di Gurawan, Solo, mulai 1985. <br />Saat menginjak kelas dua SMP, ia sudah bergabung dengan ahli-ahli dakwah keliling keluar kota seperti berdakwah ke daerah Tapanuli, Padang, Lampung, bahkan sampai ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Brunai dan lain-lain. Saat itu, ia bergabung dengan para dai yang ada di kota Solo seperti Ustadz Abdulrahiem, H Ikhwan, H Dimyati, H Jamil, dan lain-lain. <br />Pada tahun 1990, ia berkesempatan berkunjung ke India dan Pakistan untuk berziarah sekaligus bertemu dengan para alim ulama yang ada di dua negeri. Ketika di Pakistan itulah ia bertemu dengan salah seorang ustadz dari Yaman. Pada waktu itu Habib Sholeh belum lancar benar berbahasa Arab, dan akhirnya ia memakai pengantar bahasa Inggris dan bercakap-cakap dengan ustadz dari Yaman itu. Ternyata setelah berkenalan, ustadz dari Yaman itu mempunyai sebuah madrasah dan menawari Habib Sholeh untuk sekolah di di Yaman Utara.<br />Akhirnya sepulang dari Pakistan, ia semakin bergiat dengan persiapan-persiapan untuk berangkat ke sana. Pada akhir 1993 ia baru mendapat ijin dari orang tua untuk berangkat seorang diri ke Yaman dengan berbekal sebuah alamat dari seorang ustadz yang dikenalinya di Pakistan. <br />Sampai di Yaman ia langsung menuju alamat yang dipegang dan setelah mencari sebentar, akhirnya ia menemukan alamat tersebut. Di tempat tersebut, Habib Sholeh belajar pada Habib Musa Kadhim Assegaff dan Habib Abdurahman bin Hafizh (keponakan Habib Umar).<br /> Melalui kedua gurunya itulah, Habib Sholeh mengetahui kalau Habib Musa Kadhim dan Habib Abdurrahman adalah murid dari Habib Umar Al-Hafizh, sehingga timbul dalam hatinya untuk belajar pada Habib Umar. Ia akhirnya mendapat ijin belajar pada Habib Umar di Hadramaut. <br /> Ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, tenyata di Yaman sedang terjadi perang saudara antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. “Waktu itu, kita bisa melihat peluru dan bom yang berseliweran di atas kepala. Apalagi saat itu cuaca sedang cerah karena musim panas yang luar biasa. Akibatnya kita tidak bisa tidur di dalam kamar, karena estalase listrik juga mati (habis). Mau tidak mau, kita tidur di atas bangunan (atap rumah). Alhamdulillah saya berada di tempat itu dan dalam keadaan aman. Baru ketika dipastikan keadaan Yaman sudah aman betul, saya baru bisa berangkat ke Hadramaut,” katanya.<br />Ketika situasi perang sudah mulai reda, kontak senjata pun sudah jarang terjadi, ia lalu berangkat menuju Tarim. Kota yang pertama kali dituju adalah kota Syihr, tepatnya Rubath (pesantren) Musthofa. <br />Selepas dari Rubath Musthofa dan singgah menetap selama kurang lebih 1 bulan, ia ke Tarim dengan maksud untuk bertemu dengan Habib Umar untuk meminta ijin mondok di Rubath Darul Musthofa, Tarim. <br />Saat itu Habib Umar memang sedang berada di Syihr dan saat bertemu dengan Habib Sholeh, Habib Umar langsung tertarik untuk mengangkat Habib Sholeh sebagai muridnya. Waktu itu murid-murid dari Indonesia yang sudah datang kira-kira sudah tinggal selama dua bulan. Generasi awal ini seperti Habib Jindan bin Novel Salim Jindan, Habib Munzir Al-Musawa, Habib Shodiq Baharun, Habib Quraisy Baharun, dan lain-lain. ”Jadi, Untuk kedatangan ke Tarim mereka dua bulan lebih dulu. Tapi kalau kedatangan ke Yaman, saya lebih dahulu,” ujarnya.<br /><br />Kesan Tarim<br />Hari-hari di Darul Musthofa, Tarim dilalui dengan indah oleh Habib Sholeh. Setiap hari, waktu dimanfaatkan benar untuk belajar dan mengkaji ilmu agama. Apalagi keinginanannya untuk menguasai bahasa arab secara mendalam, dapat diperoleh di Rubath, yang terkenal telah menghasilkan ratusan ulama dari berbagai belahan dunia itu. <br />“Saya sangat terkesan sekali di Darul Musthofa.Walau dari kecil saya mengembara dakwah dengan para ustadz senior saya di Surakarta, dalam hati saya masih ada celah kekosongan. Itu semuanya saya peroleh di Darul Musthofa. Habib Umar duduk di situ, istilahnya bathin saya sangat terpenuhi dengan ilmu dan kerohanian dari Habib Umar,” katanya. <br />Uniknya, selama belajar di Darul Musthofa, ia banyak sekali mendapatkan keajaiban-keajaiban yang ditemukan baik secara lahir maupun bathin. Setiap kali ia punya permasalahan-permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan di hati, kalau tidak mendapat jawaban dari Habib Umar dengan lisan, akan terjawab lewat mimpi. “Sehingga sembuh kalau ada keraguan atau yang bingung terpenuhi di antaranya lewat mimpi. Ini sungguh luar biasa bagi saya. Seperti tanah yang kering kemarau sangat lama, kemudian terkena hujan,” kata Habib Sholeh.<br />Selama di Darul Mustofa, ia pernah menjadi koordinator rekan-rekan senior, satu angkatan seperti Habib Munzir, Habib Hadi Alaydrus dan lain-lain dengan ijin Habib Umar ia bergabung dengan Jamaah Tabligh. Ia memprakasai kerjasama itu, di mana selama seminggu sekali santri-santri latihan untuk berdakwah. <br />Setelah berjalan beberapa bulan, akhirnya Habib Umar Al-Hafidz memutuskan gerakan dakwah para santri untuk berdikari atau berdiri sendiri. “Sampai sekarang, langkah dakwah para santri Darul Musthofa masih berjalan, mulai dari yang mingguan dan bulanan,” tuturnya.<br />Di mana setiap hari Kamis siang, para santri Darul Musthofa diwajibkan untuk berangkat dakwah ke suatu daerah dan baru boleh pulang pada Jumat sore. Sistemnya adalah santri-santri membuat rombongan, kemudian iktikaf di masjid dan berdakwah, dengan mengisi khutbah Jumat atau ceramah setelah shalat Jum’at.<br />Selama di Tarim, banyak sekali kenangan indah yang selalu menyertainya. Tarim menurut Habib Sholeh, memiliki adat yang luar biasa dan sudah terbentuk oleh salaf ratusan tahun yang lalu. “Saat Ramadhan dimaksimalkan untuk hari ibadah. Di mana di Tarim sudah menjadi tradisi untuk menghidupkan suasana malam yang luar biasa, jarang ditemui di negeri –negeri lain,” kenangnya.<br />Keistimewaan Tarim lainnya, kata Habib Sholeh, kota para wali ini merupakan sebuah madrasah yang besar bagi siapa saja yang datang dan mengambil ilmu. ”Tarim adalah sebuah kota Kecamatan, tapi kecamatan itu menjadi sebuah Madrasah yang besar. Bukan madrasah yang kecil dengan yayasan tertentu. Kecamatan Tarim adalah sekolahan, di situ dibentuk tradisi yang sudah ratusan tahun,” terangnya.<br />Di Tarim, ada majelis–majelis taklim dari pagi sampai malam. Seperti sehabis shalat Subuh di tempat Sayidina Alaydrus. Habis shalat Dhuha di tempat Mufti Bafadhal dan lain-lain. ”Uniknya, majelis taklim yang ada itu umurnya sudah ratusan dan tempat majelis taklimnya tidak berubah. Materi yang diajarkan selalu sama dan kitab-kitabnya selalu relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan jaman sekarang,” katanya.<br />Orang–orang yang masuk atau ikut majelis bisa membayangkan, dahulu orang-orang besar (para waliyullah) pernah duduk di situ, lanjutnya. “Dari Sayidinia Abubakar Syakran, Faqih Muqaddam, dan lainnya, sehingga timbul suasana haru dan khusyuk bila hadir di majelis taklim. Demikian pula yang mengajar, karena yang mengajar harus muasis yang pertama (atau masih keturunan dari pengasuh majelis taklim),” ucapnya.<br />Wajar ada sebuah pepatah orang Tarim yang berbunyi, “Tarim adalah guru bagi orang yang tidak punya guru.” Sehingga orang berjalan di mana-mana tidak akan kebingungan, karena akan bisa ditunjukan oleh posisi kota Tarim sendiri.<br />Selama menimba ilmu di Darul Musthofa, selain belajar langsung dengan Habib Umar Al-Hafidz, ia dan 29 santri asal Indonesia juga belajar dengan para alim ulama dan keturunan orang-orang besar yang ada di sana. Waktu itu, memang sistem pelajaran Darul Musthofa, 50% pelajaran didapat di pondok, dan 50% lainnya belajar dengan di majelis-majelis taklim. Habib Hasan Syatiri, Habib Salim Syatri, Habib Abdullah bin Shahab, Habib Mashur Alaydrus, Syekh Fadl Bafadal, Habib Sa’ad Alaydrus dll.<br />“Habib Umar hanya mendampingi, bahkan karena sayangnya Habib Umar kepada kita, beliau membawa mobil sendiri. Kadang kita jalan kaki sampai 5 kilo, dalam suasana panas, dan menembus gelap malam. Ini merupakan pendidikan mental lahir dan bathin,” kenangnya. <br /><br />Kiprah di Solo<br />Tahun 1998, ia bersama dengan angkatan pertama, pulang ke tanah air langsung diantar oleh Habib Umar. Setelah pulang, ia bergabung dengan majelis taklim Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi (alm). “Habib Anis ini sifatnya suka membantu pemuda yang berdakwah. Istilahnya mengorbitkan. Santri diminta mengisi ceramah di maulidnya Habib Anis, bergiliran dengan penceramah-penceramah yang lain. Kemudian juga kita diberi kesempatan dalam acara-acara yang ada di Zawiyah Riyadh, seperti acara Khataman Bukhari, Rauhah, Khutbah Jumat di masjid Assegaff dan mengisi pengajian di masyarakat setempat,” jelas bapak tujuh anak (4 laki-laki, 3 perempuan). <br />Baru pada tahun 1999, medio Juni, ia bekerja sama dengan teman-teman di Solo mendirikan sebuah pondok pesantren yang direstui oleh Habib Anis dan Darul Mustofa Tarim. ”Semula menyewa tempat (di kota Solo). Alhamdulillah pada tahun 1999 dibuka dan dihadiri oleh para tokoh-tokoh yang ada di Solo seperti Habib Anis Alhabsyi (alm) dan Ustadz Nadjib Asegaf,” katanya.<br />Setelah dakwah berjalan, pada tahun 1999 ada donatur yang menawari untuk membeli tanah wakaf. Ia kemudian meminta saran pada Habib Anis. “Kira-kira, tanah wakaf yang bagus untuk pesantren di bawah Tawangmangu, tapi letaknya di atas Karanganyar,” kata Habib Sholeh menirukan Habib Anis.<br />Akhirnya dipilihlah desa Salam, kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar sebagai tempat pendirian pesantren. Rupanya, pilihan Habib Anis itu memang tepat dan punya maksud baik. Karena daerah Karangpandan itu berhawa sejuk, “Kalau daerah Tawangmangu terlalu dingin, di Karanganyar itu sudah panas. Jadi tidak perlu selimut kalau malam, dan AC kalau siang. Tempatnya bagus, udaranya sejuk dan nyaman untuk belajar, itu semua berkah dari Habib Anis,” terang Habib Sholeh.<br />Tahun 1999 itu juga akhirnya bisa beli tanah dan pembangunan baru dimulai pada tahun 2000, yang meletakan batu pertama adalah Habib Anis Alhabsyi, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf. Setahun berikutnya dibuka oleh Habib Anis dan Habib Umar bin Hafidz.<br />Saat ini jumlah santri yang menetap di Darul Musthofa (Karangpandan), berjumlah 50 santri di dalam dan khoriji (di luar) ada sekitar 300 laki-laki dan perempuan. Kurikulum, pendidikan pesantren 95% mengambil kurikulum Darul Musthofa, Tarim. 5% adalah tambahan penyesuaian dengan keadaan di Indonesia.Walau Darul Musthofa Karangpandan itu terhitung masih baru, tapi kedatangannya mampu memberikan manfaat dan bisa diterima oleh masyarakat.<br />Hal ini tak lepas dari cara pendekatan dakwah yang dibangun, yakni membangun pola kemitraan dengan masyarakat setempat. “Pesantren ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang ada di masyarakat, seperti kegiatan khitanan masal setiap tahun, santunan anak yatim, zakat fitrah, Idul Adha, dan kita menerjunkan murid-murid ke masyarakat. Sehingga masyarakat betul-betul merespon,” katanya.<br />Selain itu, di Darul Musthofa Karangpandan, ia juga mengadakan pengajian rutin mingguan khusus ibu-ibu. Serta pembacaan Ratibul Haddad tiap selapan (tiap Minggu Pon) yang dihadiri oleh masyarakat setempat. <br />Menurut Habib Sholeh, tantangan dalam berdakwah di pesantren justru bukan dari luar, namun secara prinsip tantangan itu pada diri sendiri. “Asal kita punya niat bersungguh-sungguh dan semangat yang istiqamah serta ikhlas. Insyaallah tidak ada tantangan,” katanya.<br /> Dakwah, lanjutnya, haruslah dilandasi dengan prinsip kasih sayang. Bahkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita pun, wajib kita sayangi karena orang-orang yang memusuhi dakwah itu karena belum paham. ”Terhadap orang yang memusuhi, kita datangi dan kasih hadiah. Dengan adanya silaturahim akhirnya mereka dari memusuhi, paling tidak menjadi pasif. Sampai akhirnya bisa jadi simpatik,” katanya. <br /> <br />AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1172457018424208982007-02-26T09:28:00.000+07:002007-02-26T09:30:18.483+07:00Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi Solo<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/748285/Alwi-bin-Ali-Al-Habsyi.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/291753/Alwi-bin-Ali-Al-Habsyi.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Dai Yang Pandai Berkisah<br /><br />Dai alumni dari Darul Musthafa yang satu ini dalam berdakwah banyak menyanmpaikan kisah-kisah teladan dari kaum salafus shalih. Menurutnya metode ceramah demikian lebih banyak menyentuh dan berkesan pada jamaah<br /><br />Dai ini dalam berdakwah lebih banyak berkisah dan menitikberatkan penataan akhlaq dan contoh-contoh tauladan dari kaum salafus salihin. Tak heran dengan cara dakwah yang demikian banyak jemaah yang lebih cepat menyerap kalam dan nasehat yang disampaikannya. <br />Dai yang satu ini bernama lengkap Habib Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali Al-Habsyi adalah putra tertua dari Habib Ali Al-Habsyi. Pria yang sedari kecil mengenyam pendiidkan dasar di Kota Surakarta ini dilahirkan pada 31 Maret 1970. <br />Ketika masih sekolah dasar, teman-teman dan guru-gurunya sampai bingung menyebut nama Habib Alwi dan Ali karena kadang menyebutnya juga sampai terbalik-balik. Akhirnya salah seorang gurunya memanggilnya Habib “Alwi Kuadrat”. <br />Ayah dari Habib Alwi, Habib Ali Al-Habsyi tentu punya alasan tersendiri untuk menamai sang putra sulungnya itu dengan harapan Habib Alwi paling tidak maqam dan kecakapan ilmu pengetahuannya mewarisi seperti kakek buyutnya yakni Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Untuk mencapai makam dan kedukan mulia seperti datuk-datuknya itulah, Habib Alwi sejak usia kanak-kanak telah ditanamkan pendidikan agama secara intensif oleh kedua orang tuanya dan beberapa Habaib dan alim ulama yang ada di kota bengawan itu. <br />Sejak usia muda ia telah belajar pada Habib Abubakar Assegaff yang tidak lain adalah putra tertua dari Habib Muhammad bin Abubakar Assegaf (Gresik). Kebetulan saat itu Habib Abubakar tinggal bersama sang ibundanya berdekatan dengan kediamannya yang terletak di Jl Kaliwidas. <br />Kira-kira sampai umur remaja ia menyerap berbagai ilmu agama, terutama tentang Sirah (riwayat para salafus shalihin). Selain itu ia berguru pada Habib Anis Al-Habsyi yang tidak lain adalah sang paman yang banyak berdakwah. Setelah sang gurunya wafat, ia juga masih berguru secara tabarrukan pada Habib Ahmad bin Ali Alattas (Pekalongan), Husein bin Abubakar Assegaf (Bangil), Habib Anis Al-Habsyi, Ustadz Abubakar Al-Habsyi (Solo), Habib Ali bin Idrus Al-Habsyi, Syeikh Ahmad Salmin Daoman, dan lain-lain.<br />Selepas menempuh pendidikan sampai tingkat Aliyah di Madrasah Aliyah I Ronggowongso, Surakarta. Ia sebenarnya ingin melanjutkan ke Hadramaut, namun nasib belum mentaqdirkannya berangkat. Saat itu Habib Umar Al-Hafidz datang ke Surakarta pada 1993 menjemput para santri dari Indonesia untuk belajar di Darul Musthafa. Ketika pertama kali bertemu dengan Habib Umar Al-Hafidz, ada perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Kau harus jadi murid saya di Hadramaut,” kata Habib Umar Al-Hafidz kala itu. <br />“Saya belum ditakdirkan Allah SWT untuk berangkat ke sana. Padahal saya mendambakan betul. Namun ketidakberangkatan itu justeru membuat semangat berkobar-kobar saat itu untuk belajar lebih giat lagi,” kata Habib Alwi.<br />Ia kemudian melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta pada jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab dan lulus 1997. Selama menempuh kuliah di IAIN, Habib Alwi bergabung dalam organisasi Al-Amin yang mayoritas diikuti oleh mahasiswa dari kalangan habaib yang menempuh pendidikan di kota pelajar, saat itu Jamaah Al-Amin diketuai Habib Syekh Bagir bin Smith.Setelah menggondol gelar sarjana 1997, ia masih sempat bertabarukan dengan beberapa habaib yang ada di Pulau Jawa. <br />Semangatnya belajar ke Darul Musthafa itu ternyata masih berkobar, hingga suatu waktu ia bersama menunaikan umrah ke Mekkah dengan sang Ayah, Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi dan dan misannya yakni Ali bin Idrus Al-Habsyi pada 1998. Mereka selepas umrah, menyempatkan berkunjung ke Pesantren yang terkenal menjadi benteng Ahlussunnah Waljamaah itu. Dan ketika singgah di Darul Musthafa, mengantarkannya diterima sebagai pelajar di Pondok Darul Musthafa, Tarim pimpinan Habib Umar bin Hafidz. <br />Ia beruntung saat di Hadramaut bisa bertemu sekaligus belajar dengan dengan para alim ulama yang ada di hadramaut, seperti Habib Mashur, Syekh Ali Al-Khatib, Syekh Muhammad Ba’audan, Syekh Abdurrahman Bafadal, Habib Hasan As-Syatiry, Habib Salim As-Syatiry dan lain-lain,”Saya bertemu dengan mereka, saya seakan-akan bukan di dunia. Namun di dalam surga Allah SWT. Kok tidak ada orang seperti mereka, yang begitu alim dan tawadhu,”kata Habib Alwi. <br />Pendidikan pesantren Darul Musthafa ia tempuh dalam 2,5 tahun sebab sebagian kitab-kitab yang diajarkan di sana sudah ia pelajari di tanah air. Kebetulan kitab semacam Alfiah (nahwu) dan Minhaj (fikih) sudah ia pelajari di Indonesia. Kitab-kitab yang disenangi saat itu adalah Jurumiah, Mutmamimmah (nahwu) serta Risayatul Jami’ah, Zubat, Aliyah Kutu Nafis (fikih). Ia juga menggemari membaca kitab-kitab kalam dan nasehat dari salafus shalih serta tidak ketinggalan sirah Nabawiyah karangan Ibnu Hisyam. <br />Sekalipun di Hadramaut dalam waktu yang relatif singkat, ia mengaku mepunyai pengalaman yang berkesan saat Habib Umar mengutusnya untuk berdakwah ke Dauan, sebuah kota yang letaknya dekat dengan kuburan Hadun, anak Nabi Hud AS November 1999. Selama 50 hari Habib Alwi hanya ditemani Abdullah Sathuf. Padahal medan dakwah yang mereka hadapi adalah daerah yang tidak mengenal agama sama sekali dan penduduknya berkomunikasi dengan bahasa yang ‘logat’ nya berbeda dengan bahasa arab pada umumya.<br />Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah daerahnya sangat panas, keadaan kering dan tidak ada air. Sekalipun ada sumber air, mereka harus menempuh jarak sampai 5 kilometer jalan kaki. Namun, ia menemukan tantangan dalam berdakwah, ketika itu ia mendekati anak-anak muda.Sampai akhirnya masa dakwahnya itu digantikan oleh Habib Husein bin Nadjib Al-Haddad (Surabaya).<br />Dai yang lebih suka berkisah selama berdakwah ini ternyata mengagumi Habib Munzir Al-Musawa, pengasuh majelis Rasulullah SAW.“Beliau dalam menyampaikan sesuatu itu tidak bertele-tele namun menyentuh pada jamaah. Dari cara berpakaian dan bicara saja sudah mengundang orang untuk berbuat baik,” kata Habib Alwi.<br />Selepas dari Hadramaut, ia kemudian membuka Majelis Taklim Al-Hidayah. Ada dua progam yang telah dibuka, yakni program mukim (menginap) dan khorijin (reguler). Ada pun pelajaran kitab yang diajarkan Risatul Jami’ah, Dhahiratul Musyarofah, Syafinatul Najah, Mukhtasar Shahir. Setiap santri pemula diwajibkan menghafal kitab Jurmiyah (Nahwu) sementara untuk mematangkannya disarankan menghafal kitab Imriti dan Alfiyah.<br />Ia juga masih mengelola sekitar 5 majelis taklim yang rutin di kota Solo. Seperti di Masjid Assegaf pada tiap hari Senin ba’da Maghrib dengan materi hadits dari kitab Nurul Imam karangan Habib Umar bin Hafidz, Majelis An-Nisa setiap hari Sabtu di Darud Da’wah yang berisi fikih wanita, Majelis Habib Syeikh bin Abdul Qadir Assegaf tiap Rabu malam ba’da Isya, Majelis Baitu Syakur tiap dua minggu sekalidengan mauidhah hasanah tentang tasawuf dan di Studio dengan materi kitab hadits Arbain Al-Nawawiyah.<br />Selain berdakwah lewat berbagai taklim Habib Alwi ternyata pernah menulis Kitab Asyabilul Wadih Finugbathin Mina Tartib Al-Khutub Al-Fatih karangan Habib Syekh Abubakar bin Muhammad Assegaf dan sekarnag telah dicetak ulang. Yang kedua ia juga menulis kumpulan dzikir dan wirid-wirid ba’da shalat. Ada keinginan besarnya yang sampai saat ini belum dituntaskan yakni menulis kitab Ihya Ulimiddin dengan tangan nya sendiri dan saat ini baru sampai pada jilid pertama.<br />Untuk menempanya menjadi pendakwah yang mumpuni, ia banyak mendengarkan kaset-kaset dari ulama dan nasehat-nasehat Habib Abdul Qadir bin Abdullah Assegaf, Jeddah. Selain itu ia banyak membaca kitab fikih dan nahwu secara ototidak. Ia juga tak segan-segan bertanya pada orang-orang yang lebih alim. Sementara kitab lain yang sering dibacanya adalah kitab tasawuf seperti Ihya Ulimiddin, Bidayatul Hidayah dan kalamul Habaib.<br />”Kalam (nasehat) habib Ali Al-Habsyi yang berjudul Ankunuzus Sa’adah al Abadiyah fi Anfasil Habsyiah. Biasanya saya baca saat menjelang tidur malam dan tujuannya lebih untuk menasehati diri pribadi, karena sifatnya duduk santai,” kata Habib Alwi.<br />Nesehat yang paling berkesan dari Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi adalah tentang permasalahan qalbu(hati) dan khusnudhan(prasangka baik). “Ini juga mendidik pribadi karena banyak menitikberatkan pada i’tibba Nabi pada khususn, kedua tentang khusnudhan (prasangka baik) dan birrul walidain (berbakti pada orang tua).<br /><br />AST/ft. AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1172455543213068182007-02-26T09:04:00.000+07:002007-02-26T09:05:43.436+07:00Habib Hasan bin Umar Baagil Surabaya<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/497009/ASYIK.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/848791/ASYIK.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Pengasuh Darul Mustafa Jawa Timur<br /><br />Selain sering mengisi taklim di berbagai daerah pinggiran di Jawa Timur, Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda, salah satu cabang Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut.<br /><br />Usianya baru 30 tahun, tapi reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui oleh kaum muslimin di Surabaya. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajar, karena ia adalah salah satu alumnus Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut. Wajah ulama muda yang shaleh ini, selain ganteng, juga bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya yang enak didengar. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, yang dibiarkannya terjurai. Kalau sedang memakai iqamah, ulama muda ini mirip Habib Munzhir Al-Musawa, pengasuh Majelis Taklim Rasulullah di Jakarta. <br />Dialah Habib Hasan bin Umar Baagil, putra Habib Umar Baagil, salah seorang ulama yang terkenal di Surabaya. Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Ponpes Al-Huda, di Jln. K.H. Mas Mansyur 220 Surabaya. Ponpes Al-Huda bisa dikatakan satu-satunya cabang Pondok Darul Mustafa di Jawa Timur.<br />Lahir di Surabaya, pada 28 Desember 1976, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. “Sejak kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di Surabaya. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa kiai dan habib yang termasyhur,” kenang Habib Hasan. <br />Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu juga yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. “Ketika masih kecil, saya pernah dititipkan ke Ponpes Darut Tauhid di Malang untuk belajar agama. Di Malang, sehari-hari saya tekun belajar agama. Pengalaman yang sungguh mengesankan,” ujarnya dengan senyum khasnya.<br />Di Ponpes Darut Tauhid ini ia menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA. Sepulangnya dari Malang, ia memperdalam agama pada Ustadz Ahmad Baraja Surabaya. Selama di majelis taklim Ustadz Ahmad Baraja, ia juga sempat belajar pada ayahanda, sang Ustadz Umar bin Ahmad Baraja. ”Beliau adalah salah seorang ulama di kota ini. Cara mengajarnya mengesankan.” <br />Kemudian, pada 1995 ia berangkat ke Hadramaut dan belajar di Ribath Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar bin Hasan sangat bersyukur bisa belajar di pesantren yang mencetak ribuan santri muda terkemuka di seluruh dunia ini serta menjadi benteng Madzhab Syafi’i di Yaman. Muridnya berdatangan dari mana-mana, termasuk Indonesia. “Alhamdulillah, selama di Hadramaut, kami dididik ilmu zhahir dan batin. Gemblengan ilmu agama, seperti fiqih dan tasawuf, sangat ditekankan,” tuturnya.<br />Selama di Hadramaut, Habib Umar bin Hasan mendapat bimbingan dari Habib Umar bin Hafidz, Habib Abdullah As-Shahab, Habib Salim Asy-Syathiry, dan Habib Hasan Syathiry. Namun guru yang paling berkesan baginya selama di sana adalah Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar, menurutnya, bukan sekadar guru biasa, tapi juga sumber inspirasi. “Kalau beliau sedang memberikan wejangan, sangat menyentuh hati, terutama saat berbicara di majelis Maulid,” kata Habib Hasan.<br />Dan yang paling mengesankan dari sang guru adalah semangatnya dalam berdakwah. “Hampir setiap Senin malam membuat pengajian terbuka yang dinamakan Jalsatul Isnain. Pengajian ini unik, sebab dilaksanakan di jalan raya, yang dihadiri masyarakat kota Tarim,” tambahnya.<br />Santri-santri dari Indonesia yang ada di Ribath Tarim, di antaranya, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Munzhir Al-Musawa, Habib Ahmad bin Novel, Habib Soleh Al-Jufry (Surakarta).<br /><br />Kiblat Pelajaran<br />Selepas lulus dari Darul Mustafa tahun 2003, ia menetap di Surabaya. Ia langsung mengajar di Pesantren Al-Huda, yang saat itu masih diasuh oleh sang ayah. “Dan, karena Ponpes Al-Huda merupakan cabang Ponpes Darul Mustafa Tarim Hadramaut yang ada di Jawa Timur, arah dan kiblat pelajaran Al-Huda sama persis seperti Pondok Darul Mustafa Hadramaut,” ujar bapak satu putra ini.<br />Untuk menjadi santri Al-Huda, ada beberapa syarat utama. Selain punya kemauan kuat untuk belajar menuntut ilmu bidang fiqih, nahwu, dan hadits, calon santri juga harus sudah bisa memahami berbicara dan menulis bahasa Arab dengan baik. “Syarat utama menjadi santri di Pondok Al-Huda ini adalah umur santri di atas empat belas tahun, laki-laki, bisa membaca Al-Quran, dan mendapat izin dari orangtua atau wali santri,” katanya.<br />Di Pesantren Al-Huda, para santri mempelajari kitab secara berjenjang, dari yang yang mudah hingga yang paling puncak. Misalnya, dalam ilmu fiqih, para santri mempelajari kitab Risalatul Jami`ah, Safinatun Naja, Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, Matan Abi Suja’, Az-Zubad, Yaqutun Nafis, `Umdatus Salik, hingga Minhajuth Thalibin, sering disebut salah satu puncak kitab ilmu fiqih Madzhab Syafi’i.<br />Dalam program bahasa Arab, mereka mempelajari kitab Al-Ajurumiyyah, Mutammimatul Ajurumiyyah, dan Alfiyyah Ibni Malik. Sementara untuk tauhid, para santri mengkaji kitab Aqidatul `Awam, Al-Aqidah, karya Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dan, dalam bidang hadis, mereka membedah kitab Mukhtarul Ahadis, karya Habib Umar bin Hafidz, dan Arba`in An-Nawawiyyah (empat puluh hadits himpunan Imam Nawawi). Khusus untuk tasawuf, para santri menelaah kitab Risalatul Mu`awanah dan karya-karya lain Habib Abdullah Al-Haddad, serta Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumiddin, karya Imam Ghazali.<br />Pada perkembangan terakhir, para santri juga mendapat pendidikan keterampilan menggunakan komputer dan latihan pidato. “Ini semua untuk meningkatkan keterampilan santri dalam mengembangkan dakwah,” tambah Habib Hasan. <br />Selain disibukkan sebagai pengajar Pondok Al-Huda, Habib muda ini juga berdakwah ke masyarakat. Ia dikenal sebagai dai yang banyak disukai kalangan muda, karena materi dakwahnya sering menyentuh persoalan remaja, seperti narkoba, kenakalan remaja, dan lain-lain. Pada setiap hari Senin, Habib Hasan pagi membuka taklim di rumahnya yang diikuti masyarakat sekitar kawasan Kapasan (Jln. K.H. Mas Mansyur), dan tentu saja para santri dari Ponpes Al-Huda.<br /> <br />AST/Ft. AST<br /><br />Caption:<br />1. Habib Hasan bin Umar Baagil<br />2. Habib Hasan bersama santri-santrinya. Calon ulama masa depan <br />3. Santri-santri Al-Huda belajar komputer. Membekali diri menjadi dai yang tangguh<br />4. Pondok Pesantren Al-Huda. Cabang Darul Mustafa di Jawa Timur <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1171001816708282932007-02-09T13:15:00.000+07:002007-02-09T13:16:56.956+07:00Wawancara dengan Habib Umar<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/490910/Bersama-Habib-Umar-Al-Hafid%20Cilik.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/94048/Bersama-Habib-Umar-Al-Hafid%20Cilik.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169706474673847322007-01-25T13:22:00.000+07:002007-01-25T13:27:55.106+07:00Habib Syekh Al-Musawa Surabaya<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/436374/Syekh%20Al%20Musawwa.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/471117/Syekh%20Al%20Musawwa.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Guru para Kiai dan Habaib<br /><br />Ia dikenal sebagai guru para ulama dan habaib. Seperti ulama yang lain, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Meski sudah berusia 85 tahun, ia masih membuka taklim di Surabaya.<br /><br />Sore itu langit cerah. Suasana di sekitar sebuah gedung di perkampungan Arab Jalan Kalimasudik II Surabaya tampak lengang. Melalui lorong gang sempit di kawasan yang tak jauh dari kompleks Ampel, alKisah sempat berziarah ke rumah Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa, seorang ulama yang kini sudah berusia 85 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai muballigh di berbagai majelis taklim di Jakarta. Bisa dimaklumi jika cukup banyak santrinya yang kini menjadi ulama di Jakarta, seperti K.H. Abdurrahman Nawawi, K.H. Thoyib Izzi, K.H. Zain, dan lain-lain.<br /> Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 1921, Habib Syekh Al-Musawa putra pasangan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Musawa dan Sayidah Sa’diyah. Sejak kecil, putra kedua dari tiga bersaudara ini dididik langsung oleh ayahandanya, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya. Pada 1930, menginjak usia sembilan tahun, ia belajar ke sebuah rubath (pesantren) di Tarim, Hadramaut. Di sana ia berguru kepada Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiry, pengarang kitab Al-Yaqut an-Nafis, dan Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, pengasuh Rubath Tarim. Ia belajar fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, dan tasawuf, selama 10 tahun. <br /> Namun yang paling ia senangi ialah tasawuf. ”Pelajaran tasawuf sangat saya senangi, karena merupakan salah satu jalan manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga menganjurkan orang menjadi bijaksana dan lebih berakhlak,” kata Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Selain itu, menurut dia, tasawuf mudah dipelajari – baik dalam keadaan senang maupun susah. Maka ia pun dengan tekun mempelajari kitab tasawuf karya Imam Ghazali, seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain. <br /> Semangat belajarnya yang tinggi membawanya belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Meski waktu itu Timur Tengah tak lepas dari imbas suasana Perang Dunia I, tekadnya yang besar tak menyurutkan langkahnya menuju Makkah. Di tengah kecamuk perang itulah, dengan mengendarai unta ia berangkat dari Tarim ke Makkah. Di tengah perjalanan Habib Syekh Al-Musawa terpaksa singgah di beberapa desa, bahkan sempat pula mengajar di perkampungan Arab Badui. Bisa dimaklumi jika perjalanan itu makan waktu sekitar dua bulan.<br /> Di Tanah Suci, ia langsung belajar kepada Sayid Alwy bin Muhammad Al-Maliky. Bermukim di Makkah sekitar lima tahun, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa juga berguru kepada Habib Alwy Shahab, Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus, dan Sayid Amin Al-Kutbi. Di Makkah, ia sempat bertemu para santri asal Indonesia, seperti Habib Ali bin Zain Shahab (Pekalongan), Habib Abdullah Alkaf (Tegal), Habib Abdullah Syami Alatas (Jakarta), Habib Husein bin Abdullah Alatas (Bogor). <br /><br />Islamic Centre<br />Pada 1947 Habib Syekh Al-Musawa pulang, lalu menikah dengan Sayidah Nur binti Zubaid di Surabaya. Tak lama kemudian ia mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, sambil berguru kepada Habib Muhammad Assegaf di Kapasan, Surabaya. Setelah gurunya itu wafat, ia menggantikan mengajar di majelis taklim almarhum. Tiga tahun kemudian Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa pindah ke Jakarta, mengajar setiap Minggu pagi di majelis taklim Kwitang yang diasuh oleh Habib Muhammad Alhabsyi selama enam tahun. Ia membantu Habib Muhammad membangun Islamic Centre Indonesia (ICI), antara lain berangkat ke beberapa negara Islam di Timur Tengah pada 1967 untuk mencari dana pembangunan ICI.<br /> Setelah pembangunan ICI selesai, Habib Syekh Al-Musawa mengajar majelis taklim asuhan K.H. Muhammad Zein di Kampung Makassar, Kramat Jati, selama setahun. Dan sejak 1971 ia mengajar di Madrasah Az-Ziyadah asuhan K.H. Zayadi Muhajir selama 30 tahun. Setelah Kiai Muhajir wafat, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menggantikan almarhum mengasuh taklim sampai 2003. Selain mengajar di Az-Ziyadah, ia juga mengajar di majelis taklim Habib Muhammad bin Aqil bin Yahya di Jalan Pedati, Jakarta Timur. Bukan hanya itu, ketika itu ia juga mengajar di 30 majelis taklim lain di berbagai tempat di Jakarta.<br /> Pada 2003, Habib Syekh Al-Musawa kembali ke Surabaya, tinggal di rumahnya yang sekarang di Jalan Kalimasudik II. Bapak delapan anak ini (dua putra, enam putri) sekarang lebih banyak beristirahat di rumah. Meski begitu, banyak santri dari sekitar Surabaya yang datang mengaji kepadanya. Ia mengajar fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.<br /> Saat ini fisiknya memang sudah berubah. Dulu gagah dan tampan, kini agak kurus, sementara wajahnya tampak agak cekung. Hanya dua-tiga patah kata yang ia bisa ucapkan, itu pun tentu saja tak lagi lantang seperti dulu ketika masih muda, saat ia masih bergiat sebagai muballigh. Jalannya pun tak lagi gesit.<br /> Meski begitu, semangatnya untuk membangkitkan dakwah masih bergelora. Ia, misalnya, tetap menyampaikan tausiah, meski hanya kepada para tamunya. <br /> Sorot matanya pun masih jernih, pertanda jiwa dan kalbunya bersih pula. Dengan segala keterbatasannya, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menerima tamu dengan hangat. Meski sulit berbicara, ulama yang selalu mengenakan gamis dan serban putih ini justru lebih sering menanyakan kondisi kesehatan tamunya. <br /> Selain mengajar privat para santri yang datang ke rumah, ia masih sempat mengajar tasawuf di Majelis Burdah asuhan Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus di Jalan Ketapang Kecil setiap Kamis sore sampai menjelang maghrib. Salah satu buah karyanya yang mutakhir ialah kitab Muqtathafat fi al-Masail al-Khilafiyyah (Beberapa Petikan Masalah Khilafiah). Dan kini, meski sudah agak uzur, ia masih bersemangat menyelesaikan sebuah kitab tentang pernikahan dalam pandangan empat ulama madzhab. <br />AST/Ft. AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169634110344831662007-01-24T17:20:00.000+07:002007-01-24T17:21:50.413+07:00KH. Maimoen Zubair<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/632766/Mbah%20Maimun.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/742576/Mbah%20Maimun.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Ulama Sepuh, Politisi Ampuh<br /><br />Ulama sepuh ini sangat teguh dalam berpendirian, tapi di sisi lain ia juga sangat menghargai perbedaan.<br /><br />Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, bahtsul masail diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik. <br /> Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah K.H. Maimoen Zoebair.<br />Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da subuh dan ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren. <br />Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi.<br />Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya. <br />Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia memang salah seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai berlambang Ka’bah itu.<br />Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti K.H. Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), dan masih banyak lagi. <br /><br />Kiai Gaul<br />K.H. Maimoen adalah putra K.H. Zoebair, ulama besar di kawasan Pantura Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur. Lahir di Dusun Karangmangu, Sarang, pada bulan Oktober 1928, ia anak pertama sulung dari 14 bersaudara. Meski keturunan ulama besar, Maimoen tidak dibesarkan di menara gading yang terpisah dari lingkungannya. Orangtuanya justru mendidiknya agar membaur ke dalam masyarakat. <br />Dari pergaulan dengan teman-teman sepermainan yang rata-rata santri kampung itulah, ia belajar sebagai kiai yang bergaul luas dan demokratis. “Para santri kan sangat heterogen. Kelebihan seseorang diukur berdasarkan penguasaan ilmu yang pasti tidak berkaitan dengan ras, suku, pangkat, atau nasab. Semua sama. Siapa yang tekun, pasti akan mendapat ilmu. Man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan),” katanya.<br />Sejak kecil, setiap hari, usai belajar di madrasah ibtidaiyah di kompleks pesantren, ia diwajibkan mengaji kepada ayahanda di masjid. Jangan heran jika, di usianya yang relatif masih muda, Maimoen telah mewarisi pengetahuan agama ayahandanya. Santri yang pernah belajar kepada ayahandanya dan kini menjadi tokoh nasional, antara lain, K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Hasyim Muzadi. <br />Selain mengajarkan ilmu agama, Kiai Zoebair juga membekali putranya itu dengan pengetahuan umum, seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan ekonomi – sesuatu yang tak lazim di kalangan pesantren yang saat itu tengah gencar-gencarnya melakukan gerakan non-kooperatif terhadap penjajah Belanda.<br />Sejak berusia tujuh tahun, Maimoen sudah diperkenalkan dengan dunia buku oleh orangtuanya, terutama buku-buku terbitan Balai Pustaka, Jakarta. Sejak itulah ia mencintai dan menghargai ilmu pengetahuan, tanpa membedakan pengetahuan agama atau pengetahuan umum. <br />Usai menamatkan madrasah (1943), ia melanjutkan pengajiannya ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (1944-1948). Di sana ia sangat terkesan pada metode mengajar salah seorang gurunya, K.H. Abdul Karim. “Beliau sangat tekun dalam mengajar. Sampai sekarang metode mengajar beliau saya tiru dalam mengajarkan kitab kuning kepada para santri,” katanya. Selepas mengaji di Lirboyo, dua tahun berikutnya ia kembali mengaji di rumah.<br />Pada 1950 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah, sekaligus menimba ilmu agama kepada para Haramain, seperti Sayid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Syaikh Amin Kutbi, Sayid Hasan Masdah, dan Syaikh Yasin Al-Fadani. Pada akhir 1952 ia pulang ke kampung halamannya, lalu mengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, hingga kini.<br />Selain mengajar dan berdakwah, ia masih sempat menulis kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya, antara lain, Jawharut Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah, Syarah ‘Imriti. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan Pesantren Al-Anwar.<br />Sebagaimana kebanyakan para kiai Jawa Timur, Mbah Maimoen juga aktif di Nahdlatul Ulama. Berbagai jabatan pernah diembannya, mulai dari ketua ranting NU Desa Karangmangu (1950), sampai anggota Syuriah PBNU pada periode kepemimpinan K.H. Ahmad Siddiq Jember (1984-1989).<br /><br />Rahim Keragaman <br />Bukan hanya sebagai kiai, ia juga dikenal sebagai politisi yang teguh dengan pendiriannya. Ketika banyak ulama NU hijrah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia tetap berjuang di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama beberapa ulama NU yang lain, seperti (alm.) K.H. Syafi’i Hadzami (Jakarta), K.H. Alawy Muhammad At-Taroqy (Sampang, Madura), K.H. Muhammad Hasan Syaiful Islam (Genggong, Probolinggo), K.H. Fawa’id As’ad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), dan K.H. Thoyfoer M.C. (Rembang). <br />Menurut kiai sepuh ini, perbedaan pendapat dalam tubuh NU adalah hal yang biasa, bahkan sudah merupakan ciri khas. “Yang terpenting, bagaimana kita menyikapinya secara arif, dan menyadari bahwa beda pendapat adalah sunatullah. Dalam berpolitik, NU telah memilih Khittah 1926, tapi tidak bisa melarang warganya untuk berpolitik. NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana,” katanya. <br />Ia lalu memberi contoh: K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Faqih Mas Kumambang adalah dua kiai yang bisa bersatu dalam perbedaan. Ketika Kiai Hasjim, yang saat itu menjabat rais am PBNU, menganjurkan memukul kentongan setiap kali datang waktu shalat, K.H. Faqih Mas Kumambang, yang saat itu wakil rais am PBNU, berpendapat sebaliknya. “Namun, perbedaan itu tidak membuat hubungan mereka menjadi renggang,” tambahnya.<br />Di lingkungan PPP, Kiai Maimoen juga pernah mengemban berbagai jabatan, mulai dari tingkat ranting hingga tingkat pusat. Jabatan yang hingga kini masih diembannya ialah ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP (MPP PPP), yang bertugas memberikan fatwa kepada Pengurus Harian Pusat PPP (PHP PPP), yang kini masih dipimpin oleh H. Hamzah Haz. Salah satu fatwa yang terkenal ialah agar Hamzah Haz tampil sebagai wakil presiden periode 2001-2004 lalu. <br />“Kekuasaan tidak bisa baik jika ulama tidak terlibat dalam mewujudkan situasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang kondusif. Kekuasaan tidak bisa baik tanpa ikut sertanya ulama, yang membantu pelaksanaan terwujudnya negara aman dan tenang. Demikian pula sebaliknya,” kata Mbah Maimoen.<br />Ia meyakini, krisis multidimensi yang kini berkepanjangan di Indonesia bisa diakhiri jika kehidupan beragama dikembangkan terus-menerus, terutama oleh kalangan pesantren. “Pondok pesantren adalah kelompok pendidikan yang meluluskan para santri untuk hidup mandiri, tidak menjadi beban penguasa. Mereka memiliki tanggung jawab untuk melakukan pembinaan umat agar hidup berlandaskan ketaqwaan. Ketaqwaan merupakan sarana untuk mengatasi berbagai kesulitan hidup,” tambahnya.<br />Menurutnya, tantangan terbesar dalam berdakwah saat ini ialah mengembalikan umat kepada agama, tanpa membedakan-bedakan golongan atau partai. Dengan nada suara yang sejuk, ia menyampaikan nasihat, “Mayoritas bangsa kita beragama Islam, dan tidak bisa ditekan atau digiring dalam satu partai. Partai boleh berbeda, tapi harus saling menghargai. Dari rahim keragaman inilah akan lahir kekuatan besar untuk mengatasi persoalan bangsa sekarang ini.” <br /> <br />AST/Ft. AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169633442192650362007-01-24T17:08:00.000+07:002007-01-24T17:10:45.210+07:00Habib Soleh Alyadrus. Malang<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/583964/Fscn1023.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/77718/Fscn1023.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Pakar Hadits Kota Malang<br /><br />Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus rajin menyampaikan tausiah di sejumlah masjelis taklim di Jawa Timur. Dia dikenal sebagai salah satu pengajar ilmu hadits yang mumpuni dari kota Malang. <br /> <br />Reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui kaum muslimin di Jawa Timur. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajah ulama yang shaleh ini selalu tampak bersih, tutur katanya halus dan dengan gaya bertutur yang enak didengar. Dia dikenal sebagai pakar hadits yang mumpuni dari kota Malang. Selain rajin memberi ceramah di berbagai tempat, ia juga berstatus sebagai pengajar tetap Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang, Jawa Timur. <br />Dialah Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, yang lahir di Malang, 18 Juni 1957. Sejak kecil dia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. Pendidikan dasar Habib Soleh terasah sejak ia masuk Madrasah Ibtidaiyah At-Taroqi, Malang, yang dikelola ayahnya, Habib Ahmad bin Salim Alaydrus. “Ayah adalah orang yang betul-betul mencintai pendidikan. Hampir 30 tahun hidupnya disumbangkan untuk Madrasah At-Taroqi,” kesan Habib Soleh. <br />Selain cinta pendidikan, Habib Ahmad juga dalam kehidupan sehari-hari sangat sederhana. “Beliau adalah orang yang wara’, dan hanya mau makan dari hasil jerih payahnya sendiri. Ini yang sulit ditiru banyak orang pada zaman sekarang.”<br />Selepas lulus dari madrasah, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan Tsanawiyah di Ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Pada pondok pesantren ini ia mempelajari dasar-dasar ilmu hadits dari Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Bilfagih. Banyak kesan selama ia menimba ilmu di ponpes yang berdiri sejak 12 Rabiul Awal 1364 H/12 Februari 1945 ini.<br />Habib Soleh sangat mengagumi sang guru, Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, yang sekaligus mertuanya. Ia memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. “Habib Abdullah, menurut saya, sangat kuat dalam menghafal hadits. Ia hafal jutaan hadits serta sanad-sanadnya dan nama-nama kitab sekaligus halamannya,” ujarnya.<br />Selepas dari Pondok Pesantren Darul Hadist Al-Faqihiyyah, Habib Soleh kemudian belajar di Ribath Maliki, Makkah. Sejak 1997, dia belajar agama kepada Imam Assayid Muhammad Al-Maliki. Baginya, Sayid Muhanmmad Maliki tidak sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi.<br />Selama mengaji di Ribath Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, ia sangat menyenangi pelajaran hadits. Terutama kitab Shahih Bukhari. “Shahih Bukhari merupakan dasar hukum-hukum Islam yang ada, karena itu sangat saya gemari,” kata Habib Soleh. <br />Di dalam tradisi Ribath Maliki, kitab Bukhari dan Muslim bila diajarkan selalu diulang, dan pengulangannya secara mendetail. Selain kedua kitab hadits utama itu, dia juga mempelajari kitab ummahatus sitt (induk kitab hadits yang enam), seperti kitab hadits dari Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi. <br />Belajar di Ribath Maliki sering dilakukan di Masjidil Haram. Semua murid Sayid Maliki ini duduk sekitar empat sampai lima jam. Padahal santri-santri banyak yang mengeluh sering beser (kencing). Hingga akhirnya beberapa santri memberanikan diri bertanya pada Sayid Muhammad, ”Bagaimana kami sering kencing (beser)?”<br />Mendengar pertanyaan santri-santrinya, Sayid Muhammad menjawab, “Wahai anak-anakku, air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja. Sekarang doakan agar tidak kencing selama di Masjidil Haram.” <br />Benarlah apa yang diucapkan oleh sang guru, semua santri kemudian minum air zamzam sambil memohon untuk tidak kencing selama di Masjidil Haram. Padahal tiap 15 menit mereka minum air zamzam itu. Perkataan sang guru ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja, pasti terkabul.” <br />Selama di Makkah, ia bersama santri-santri Indonesia yang lain, seperti Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Hadad (Al-Hawi), Habib Ahmad bin Husein Assegaf (Bangil), Muhammad bin Idrus Al-Hadad, dan Muhammad bin Husein Alatas (cucu Habib Ali Bungur), Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi (Probolinggo), dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan ulama pesantren, di antaranya K.H. Thoefur Arafat (Purworejo), K.H. Jauhari (Magelang), K.H. Ali Karar (Madura), dan lain-lain.<br />Banyak pengalaman yang menarik selama dia menimba ilmu di Ribath Maliki. Hampir setiap malam Sayid Muhammad Al-Maliki mengajak santri-santrinya ke Masjidil Haram. “Kalau dia masuk ke masjid, banyak orang yang datang kepadanya. Sayid Maliki sudah menyiapkan sedikit bekal. Dan terkadang dalam tasnya ada uang untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan,” kenang Habib Soleh mengenai sosok gurunya itu.<br />Tidak jarang, kata Habib Soleh, hampir semua santrinya diajak ke rumah orang-orang jompo untuk membagi-bagikan bantuan. Selepas itu mereka kembali ke Masjidil Haram untuk mengaji. ”Kami didoakan, insya Allah, menjadi ulama yang barakah dan bermanfaat ilmunya.” <br />Setelah menempuh pendidikan di Ribath Maliki selama sepuluh tahun, Habib Soleh pulang ke Indonesia tahun 1988. Kemudian ia menikah dengan salah satu putri Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih dan sekaligus mengajar di Ponpes Darul Hadits. Ia juga membuka majelis taklim di rumahnya, Jln. Bareng Raya Gg. 1 No. 2, yang bernama Majelis Taklim wa Dakwah lil Habib Soleh Alaydrus. Pengajian dilakukan setiap hari Jumat, Senin, dan malam Rabu. <br />Sekarang aktivitasnya banyak dicurahkan untuk mengajar, di samping menjadi kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah At-Taroqi. “Pada bulan-bulan tertentu, saya juga menyempatkan diri mengisi tausiah, seperti di Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam,” kata bapak enam anak (empat putra dan dua putri) ini. <br />Adapun materi yang disampaikan dalam tiap taklimnya, Habib Soleh merujuk kitab-kitab ulama salaf, seperti Minhajuth-Thalibin, karya Imam Nawawi, Al Muhadzdzab, karya Imam Ishaqi As-Sirazi, untuk tasawuf; sedang kitab hadits rujukannya adalah Al Adzkar an-Nawawiyah. Minhajul Qawim, karya Syekh Bafadhal, Sabilul Iftikar, karya Habib Abdullah Al-Hadad, Jauharud Tauhid, karya Al-Jazairi, Ihya Ulumiddin, Bidayatul Hidayah, karya Imam Ghazali, Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari, Jam’u jawawi, karya Imam Subkhi, An-Nasaih ad-Diniyah, karya Habib Abdullah Al-Hadad. <br />Selain berdakwah lewat taklim, dia juga telah mengarang 11 kitab yang dijadikan acuan dalam mengajar di banyak pondok pesantren. Kitab-kitab itu, di antaranya, Asy-Syafiyah fi Istilahatil Fuqaha’ asy-Syafi’iyyah, Faidhul Allam fi Akhkamis Salam, Annasyrul Fa’ikh fi Tartibil Fawatih, Is’aful Muhtaj fi Syarhi al-Qilat al-Murajahah fil-Minhaj, Nailul Arab fi Muqaddimatil Khuthab, Lawami’un Nurissany fi Manaqibil Imam Muhammad Al-Maliki al-Hasany, Al-Injaz fi Matsali Ahlil Hijaz.<br /><br /> AST/Ft. AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169632131122360832007-01-24T16:44:00.000+07:002007-01-24T16:48:51.513+07:00KH Muhammad Subadar<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/615398/Kyai%20Besuk.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/284051/Kyai%20Besuk.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Juru Bicara Kiai Khos<br /><br />Banyak orang yang mengenalnya sebagai salah satu Kyai Khos Nahdhlatul Ulama. Di Forum Ulama yang disepuhkan di kalangan jamiyyah umat Islam terbesar di Indonesia ini, ia sering ditugaskan sebagai menjadi juru bicara <br /><br />Di Forum Kiai Khos,-poros Kyai Nahdhlatul Ulama yang disepuhkan-, seperti KH. Muchith Muzadi (Jember), KH Kafabihi Mahrus, KH Idris Marzuki, KH Chamim Sujono dan KH Anwar Iskandar (Kediri), KH Noer Mohammad Iskandar SQ (Jakarta), KH Zainuddin Djazuli dan KH Nurul Huda Djazuli (Ploso, Kediri), KH M. Hasan Mutawakkil Alallah (Ponpes Genggong, Probolinggo), KH. Warson Munawwir (Krapyak, Yogyakarta) dan masih banyak ulama-ulama lainnya sering menunjuk KH. Muhammad Subadar, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Besuk, Pasuruan, Jawa Timur itu sebagai juru bicara forum kiai khos NU. <br />Sikapnya yang teguh dan senantiasa berpegang teguh pada koridor kajian fiqh klasik, itulah yang menyebabkan sosok Kiai yang telah berumur 65 tahun ini, tak aneh, sering dilibatkan dalam bahstul masa’il (pembahasan masalah) yang diselenggarakan oleh Nahdhlatul Ulama itu.<br />Selain itu, tutur katanya juga halus, argumentatif, dan mampu menyesuaikan diri dengan bahasa masyarakat yang dihadapi, ini membuat masyarakat di kawasan tapal kuda, Jawa Timur sering mendatangi pengajian yang diisinya. Mereka tertegun menyimak orasi Kiai Muhammad Subadar. <br />Muhammad, demikian nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya, ia lahir pada 1942 di sebuah desa Besuk, Kejayan, Pasuruan dari pasangan KH. Subadar dan Hj. Maimunah. Pada usia 3 bulan (1942), ia telah yatim karena ditinggal wafat sang ayahanda, KH. Subadar. Sehingga ia banyak belajar mandiri dengan diasuh oleh ibundanya yakni Hj Maimunah. <br />Kecenderungan belajar mandiri pada generasi kelima dari KH Aly Murtadho, pendiri pondok pesantren yang kini diasuhnya, memang sudah nampak dari kecil. Lebih-lebih ketika Subadar mengeluti jenjang pendidikan formal, masuk SR langsung duduk di kelas tiga. Tapi kemudian tak pernah ia menamatkannya. ”Itu tak pantas ditiru. Saya orang yang pembosan,” katanya menerawang masa lalu.<br />KH. Muhammad Subadar sangat mengidolakan sosok Ibunda, baginya, Hj Maimunah adalah sosok panutan. Sebab melalui sentuhan lembut dan tangan dingin sang Ibunda, ia menjadi pribadi yang mandiri dan tegar dalam menatap tantangan jaman.“Ibu sangat perhatian dengan kondisi mengaji saya. Kalau saya minta apa-apa, ibu sering memberi motivasi semangat saya untuk bisa mengaji. Ini membuat semangat belajar saya lebih berkobar untuk menguasai pelajaran agama. Seperti ketika masih kecil ia minta dibelikan sepeda, namun syaratnya harus hafal sekian surat Al-Qur’an. Dan saya bisa, hingga akhirnya ia bisa dibelikan sepeda,” ujarnya sambil tersenyum. <br /> Pendidikannya masa kecil itu smepat terputus, namun melalui motivasi dan bimbingan sang ibu, Hj Maimunah, itulah yang membuatnya merasa dekat dengan pelajaran agama. Secara kebetulan pula, ia banyak dididik oleh lingkungan keluarga yang sarat religius, termasuk ia belajar pada kakak-kakaknya seperti KH. Ali Murtadlo dan KH Ahmad di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan. Tamat dari Madrasah Ibtidaiyah, ia lalu melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dari 1958-1961. <br />Di pondok Lirboyo, Kediri itu KH. Muhammad Subadar menemukan tempat belajar yang sesungguhnya. Hari-hari dipondok, dihabiskan untuk mengaji dan belajar ilmu agama, terutama mengenai ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain. Apalagi, di pondok yang terkenal dengan gaya belajar yang ketat namun berkualitas, ia menemukan dua guru yang sangat berkesan dalam hidupnya. “Dua guru saya itu hebat sekali, yakni KH. Makrus Ali dan KH. Idris Marzuki (Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo). Masjid, kitab, dan pesantren adalah seakan-akan menjadi jalan hidupnya dan seluruh waktunya sudah diberikan untuk orang lain,” katanya.<br />Selain itu, mengenai keduanya, Subadar banyak belajar cara-cara mengelola pondok pesantren. ”Keduanya itu adalah pasangan yang hebat dalam mengelola pesantren,” tambah KH. Muhammad Subadar.<br />Setelah dirasa cukup memperdalam ilmu agama dari beberapa ulama yang ada di sekitar Pasuruan, ia kemudian mulai memperdalam keilmuannya secara mandiri dengan menelaah kitab-kitab klasik (kuning). Dengan tekun, secara otodidak, sejak tahun 1961 ia menggali khasanah peninggalan ulama abad pertengahan hampir selama 6 tahun. Praktis, pada masa itu ia banyak mengurung diri dalam kamar, tidak ke mana-mana, seluruh waktunya dihabiskan mengkaji kitab-kitab klasik yang ada di perpustakaan Pondok Pesantren Roudhotul Ulum.<br />Lepas dari masa-masa “mengurung diri”, ia kemudian mulai berkiprah dalam organisasi NU pada tahun 1967. Mula-mula ia di IPNU, dua tahun kemudian namanya langsung mencuat sebagai ketua GP Anshor Pasuruan. <br />Aktivitasnya di organisasi sempat terhenti setelah menikahi Aisyah pada tahun 1969. Baru pada kisaran 1976 Subadar kembali terjun dalam kegiatan organisasi dan sekaligus mengemudikan kepemimpinan pesantren Raudhotul Ulum. Pada tahun 1980, ia terpilih sebagai Rois Syuri’ah NU Cabang Pasuruan dan sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai Wakil Rois Syuri’ah NU Jawa Timur. <br /><br />Bicara Dakwah<br />Selain di tengah kesibukannya mengelola organisasi NU, ia pun tak melupakan tugas utamanya yakni mengajar santri. Pengasuh Pondok Pesantren Raudhotul Ulum ini, setiap pukul 06.00 sampai siang banyak mendampingi sekitar 2000-an santri putra dan putri, terutama mengajar kitab-kitab tasawuf seperti Ihya Ulumiddin, Bidayah An-Nihayah dan lain-lain. Sementara dari sore sampai malam hari, ia selalu memenuhi undangan pengajian. “Kalau pengajian malam hari bisa berpindah-pindah dari satu desa ke desa yang lainnya. Pukul rata sampai enam tempat sehari,” katanya.<br />Sosok ulama yang gigih membentengi umat Islam, terutama di pedesaan ini mengaku sangat suka berada di tengah-tengah umat. Berbagai rintangan dalam berdakwah, tak dirasakannya, namun dinikmatinya sebagai suatu tantangan. <br />”Pernah saya berdakwah ke daerah pegunungan di Pasuruan, medan jalanan yang buruk membuat kendaraan tak bisa meneruskan perjalanan. Namun masyarakat tetap memaksanya untuk mengisi pengajian, padahal saya sudah sangat capek. Akhirnya, masyarakat ramai-ramai membawa tandu dan membawa saya ke arena pengajian. Itu sangat berkesan bagi saya,” kata KH. Muhammad Subadar. <br />Ia disukai para peserta pengajiannya karena kehalusan dalam bertutur. Tak heran, ia harus mengisi banyak majelis taklim yang tersebar di Pasuruan dan daerah-daerah sekitarnya. Yang terjadwal, sekitar lima puluh tiga tempat taklim dalam sebulan harus disambanginya. <br />Tantangan dakwah sekarang menurut KH Moh Suadar adalah ramainya maksiat yang sedang merajalela. Ancaman bencana moral itu harus disikapi oleh semua pihak. Ia juga menyayangkan di saat umat Islam sedang bahu membahu memperbaiki kondisi moral umat, masih ada segelintir orang yang menentang. “Di sini ada yang memperbaiki, di sana ada yang merusak,” katanya.<br /> Tantangan dakwah sekarang hanya maksiat, selain itu tidak ada. Jadi dalam ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar- ini namanya tantangan.”Yang mana yang cocok saya dukung, namun yang berlawanan dengan kaidah agama, akan lawan,” kata KH. Muhammad Subadar dengan tegas. <br />AST/Ft.AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169622736395154392007-01-24T14:11:00.000+07:002007-01-24T14:12:16.523+07:00KH Mutawakil Alallah<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/16583/Mutawakil.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/65009/Mutawakil.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Tidak Mengandalkan Rasio Semata<br /><br />Pada saat-saat yang menggentingkan, ia selalu mendapat tugas penting untuk menyelesaikan masalah. KH Mutawakil demikian ulama ini tidak hanya mengandalkan rasio dalam berfikir namun juga barokah dari ulama sehingga bisa sukses menyelenggarakan berbagai event besar terutama permasalahan kebangsaan<br /><br />Siapa pun akan terkesima saat memasuki gerbang kompleks Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Jawa Timur. Di situ berdiri kokoh (bangunan permanen) lambang Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup besar berukuran sekitar 5 x 4 meter persegi. Di bawah lambang tersebut tertulis, “Selamat Datang di Kota Santri Pesantren Zainul Hasan Genggong.”<br />Memasuki komplek pesantren ini sangat menyenangkan hati. Tiap pagi dan sore hari, muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci, hilir mudik silih berganti pulang pergi mengaji. Gambaran penuh nuansa keagamaan yang kental. Pesantren ini sudah berusia 163 tahun, tepatnya didirikan tahun 1839 M/1250 H oleh almarhum KH. Zainul Abidin dari keturunan Maghribi (Maroko) di Desa Karang Bong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur.<br />Pesantren Zainul Hasan yang kini memiliki sekitar 20.000 santri ini mengalami tiga kali pergantian nama yang bermotifkan kepada sejarah pertumbuhan pesantren dan adanya gagasan untuk menggabadikan para pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan sebelumnya. Perubahan nama ini terjadi pada periode kepemimpinan KH. Hasan Saifourridzal. Nama Pondok Genggong sendiri diabadikan sejak kepemimpinan KH Zainul Abidin sampai kepemimpinan KH. Moh Hasan tahun 1952. Nama pesantren kemudian berganti menjadi “Asrama Pelajar Islam Genggong” dan terakhir “Pesantren Zainul Hasan.”<br />“Pada tanggal 19 Juli 1959, dalam pertemuan dewan pengurus almukarom KH. Hasan Saifourridzal menetapkan perubahan nama asrama pelajar Islam Genggong menjadi Pesantren Zainul Hasan. Ini hasil perpaduan nama dari tokoh sebelumnya di mana kata Zainul diambil dari nama almarhum KH. Zainul Abidin sebagai pembina pertama dan kata Hasan diambil dari nama almarhum KH. Moh Hasan sebagai pembinan kedua,” kata Pengasuh Pesantren Zainul Hasan, Genggong, KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah.<br />Pesantren Zainul Hasan kini telah banyak menampakkan perannya sebagai pusat studi Islam di dalam pengembangan misi Islam pada masyarakat luas, sehingga dengan peran serta hanya mengajarkan ilmu agama umum saja. Tetapi dalam kehidupannya para santri banyak mendapatkan kesempatan untuk menghayati dalam kehidupannya sehari-hari, karena kebersatuan Pesantren Zainul Hasan dengan masyarakat itulah maka output pesantren tidak kebingungan meniti hidup dalam mengabdi kepada masyarakat.<br />Pada periode ketiga mulai tercetus ide-ide dan konsep-konsep baru untuk perkembangan pesantren di segala bidang di dalam ikut serta mengisi kemerdekaan serta ikut menunjang semua program pemerintah dalam perkembangan mental spiritual, ketahanan nasional, persatuan dan kesatuan bangsa lewat media dakwah baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.<br />Menyadari peranan yang sangat besar dalam menyukseskan pembangunan manusia seutuhnya di samping juga makin meningkatnya kebutuhan hidup seseorang akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, maka Pesantren Zainul Hasan telah melangkah untuk mengadakan pengembangan dan pembaruan dalam segala bidang meliputi perubahan sistem pendidikan, penambahan sarana proses belajar-mengajar, menyempurnakan dan menambah sarana fisik.<br />Pesantren Zainul Hasan tidak ketinggalan mengikuti pembaruan pendidikan setelah banyak mengkaji dan berhubungan dengan dunia luar. Peranan pondok pesantren sangat besar dalam membangun masyarakat, sehingga para ahli tiada putus-putusnya membicarakan lembaga pendidikan pondok pesantren ini. Untuk mengatasi kekurangan dalam Pesantren Zainul Hasan tumbuh gagasan untuk kesempurnaan dalam pondok pesantren harus ada pendidikan formal, pendidikan keterampilan dan perbaikan struktur kepengurusan dan lain-lain.<br />Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, Pesantren Zainul Hasan berupaya sekuat tenaga terhadap penyempurnaan kebutuhan serta perlengkapan secukupnya, sehingga dapat tercipta adanya peningkatan dan pengembangan pendidikan yang sejajar dengan lembaga-lembaga di luar pokok pesantren melalui perubahan, yakni sistem dan metode yang dipergunakan dalam pendidikan; kurikulum pesantren, Depag dan Diknas dikembangkan 100 persen; administrasi; fasilitas yang cukup dan sarana pendidikan yang memadai.<br />Menurut KH Mutawakil tipe pesantren di Indonesia ada tiga jenis. Pertama adalah pesantren salaf murni. Ciri-cirinya adalah tidak mau diintervensi oleh dunia luar dalam bentuk apa pun, termasuk kurikulum, intitusi lembaganya, mereka independen. Kedua, setengah-setengah, di satu sisi mencoba mempertahankan budaya dan segala sisi kehidupan salaf tapi di sisi lain juga membuka pintu bagi kebutuhan jaman. Yang ketiga adalah pesantren yang hilang identitasnya, karena ia terlalu membuka diri tanpa filterisasi sehingga kehilangan jati dirinya. Namun pesantren tipe ketiga ini tidak akan happy ending (berakhir baik) dan tidak akan ada kesakralannya.<br />”Kalau ada pesantren yang fasilitasnya lengkap tetapi tidak ada peminatnya, itu karena identitas dan manfaat ilmu dari pesantren tidak ada. Itu mirip asrama, namun bukan pesantren,” katanya.<br />Model pesantren model ketiga ini, masih lanjut bapak enam puteri ini hanya akan menjadi lembaga pendidikan yang komersial bukan keikhlasan dari pengelolanya. “Mereka akan mengeluarkan anak-anak pintar, tapi belum tentu benar. Padahal kualitas alumni pesantren menurutnya adalah ahlaknya, hubungannya dengan Allah dalam proses taqarub, ahlaq terhadap guru dan orang tua dan ahlaq sesama dan lingkungan itu khas pesantren salaf,” jelas Kyai Mutawakil.<br />Sementara di Ponpes Zainul Hasan ini, tujuan pendidikan dan pengajaran diarahkan kepada pembinaan manusia berkarakter Muslim, yaitu manusia Muslim yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan berjiwa ikhlas. Oleh karena itu para santri diharapkan dapat mengembangkan kebebasan berpikir dan ketulusan pengabdiannya, disamping memperoleh pengetahuan yang cukup dalam diri mereka. Out put pendidikan Pesantren Zainul Hasan dititikberatkan kepada pencetakan kader-kader Muslim ahlussunah waljamaah dan menjadi seorang mukmin. <br /><br /><br />Profil Kyai<br />Keberhasilan mengembangkan pondok pesantren yang terbilang modern ini tak lepas dari sentuhan profil pengasuh pesantren yakni KH Mohammad Hasan Mutawakil Alallah. Ia adalah seorang kyai yang terbilang dinamis dalam mengembangkan baik sarana fisik pesantren maupun dalam perannya yang dikenal cukup mewarnai dalam dinamika politik kebangsaan.<br />KH Mutawakil dilahirkan di Genggong, 22 April 1959. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Genggong. Kemudian sempat melanjutkan pesantren di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Namun di pesantren yang diasuh KH Imam itu, tidak lama hanya sembilan bulan saja. Atas saran kedua orang tuanya itu, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah pada Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 1979-1981. Saat di Lirboyo, Kediri, ia sangat terkesan pada KH Marzuki, KH Mahrus Ali dalam prinsip-prinsip perjuangannya. Saat di Lirboyo, ia sudah menyenangi pelajaran Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadits. <br />Selepas itu, ia sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Syari’ah di Universitas Tribakti, Kediri sampai tingkat III. Lulus dari tingkat III (sarjana muda), KH Mutawakil rupa-rupanya punya keinginan untuk mencari pengalaman, apalagi sejak kecil ia hanya menimba pendidikan pesantren. Sehingga ketika dewasa ia ingin menimba pendidikan kampus. Pilihannya pada waktu itu akhirnya jatuh pada Kota Pelajar yakni Jogjakarta. <br />Sesampai di Jogja, ia kemudian menempuh ujian masuk persamaan di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan diterima. Namun di UII ia tidak bertahan lama, di tengah kuliahnya ia mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo (Mesir). Setelah menempuh ujian beasiswa ternyata, ia lulus untuk dapat menempuh pendidikan di Universitas terpopuler di belahan negara Timur Tengah itu.<br />Sebenarnya saat menempuh kuliah di Al Azhar Kairo, ia sudah mulai senang menggemari pelajaran studi. Menurutnya pelajaran yang di Kairo ada beberapa pengembangan aktualisasi,masalah dan pengembangan pandangan yang menurut berbagai persepektif. Selain itu ada kelebihan dari pengajarnya dan adanya praktek langsung di lapangan baik dengan berbahasa Arab maupun Inggris.<br />Saat menempuh kuliah di Al Azhar, Mesir pada tahun 1983, ia berkesempatan untuk mencari pengalaman study tour ke luar negeri. Misal, ke Frankrut (Jerman), Polandia, Belgia dan Belanda. Saat itu, ia mengambil inisiatif untuk study banding dengan biaya sendiri. Karena pada waktu itu, KH Mutawakil tidak mempunyai biaya yang cukup, ia kemudian mencari tambahan dana dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi pelayan restoran di beberapa negara yang ia kunjungi. <br />Namun dari studi banding itu, ia mendapat pengalaman berharga. ”Saya melihat hubungan antara hubungan kerja antara buruh dan majikan, ternyata ahlak Islam ternyata ada di Barat, bukan di Saudi. Jadi ahlaq yang ada di Saudi itu tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Walau pun tidak semua, mereka pada kasar. Mereka tidak menghargai, egois dan tidak memberikan hak sepenuhnya pada pekerja. Itu kasusnya banyak, itu saya lihat,” katanya.<br />Di tengah keasyikannya menuntut ilmu ternyata ia dijemput pulang oleh sang ayahanda, yakni KH. Saifourridzal pada tahun 1985. Setelah dijemput pulang, ia langsung mengajar di Pesantren Zainul Hasan. Tak berapa lama setelah ia pulang, ibunda dan ayandanya pulang ke haribaan Allah SWT.<br /><br />Salaman Genggong<br />Namanya cukup dikenal dalam sejarah politik nasional bangsa Indonesia, saat ia ditunjuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk menjembatani pertemuan antara penguasa Orde Baru yakni presiden Soeharto dan Gus Dur dalam waktu tiga bulan soal hasil Muktamar Cipasung. Saat itu hubungan antara tentara dan NU memang sedang gawat-gawatnya. Keberhasilannya menjembatani pertemuan pertemuan besar itu berkat hubungannya dengan keluarga Cendana soal bisnis. Sehingga saat itu terkenal peristiwa “Salaman Genggong”, antara Gus Dur dan Pak Harto pada tahun 1996.<br />Keberhasilannya mempertemukan dua tokoh yang saling bersebrangan tentu di luar dugaan, karena setelah itu terjadi rekonsiliasi antara NU dengan pemerintah. Kemudian Gus Dur diterima pemerintah. Menurut Kyai yang telah dikaruniai 6 puteri ini, waktu mempertemukan Gus Dur dan Pak Harto banyak tantangannya. Selain harus menempuh prosedur birokrasi yang sangat tebal, ia juga menghadapi warning (peringatan) dari tentara untuk keamanan.<br />”Bahkan di belakang dan depan rumah saya ada tank. Ternyata setelah acara berlangsung, justeru pak Harto sendiri yang di luar protokoler. Misalnya saat ia transit ke Pondok Genggong menurut protokol tidak lama, ia malah jalan kaki serta berbincang-bincang lama,” katanya.<br />Peristiwa “Salaman Genggong” menurut KH Mutawakil adalah pelajaran yang penting, sehingga sangat mengesankan dirinya saat ini. “Itu sebuah pelajaran pada saya bahwa kita tidak hanya mengandalkan rasio dan strategi (rasional) namun juga kita harus percaya barokah dari para ulama,” katanya mengenang.<br />Tokoh yang pernah menjadi ketua RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) tahun 1999-2004 ini dikenal sangat tawadhu terhadap ulama-ulama. Sehingga tak heran, ia sering menjadi tuan rumah event-event besar dalam dinamika politik dan kebangsaan. Seperti dipasrahi oleh PBNU untuk menyelenggarakan Munas I Pagar Nusa. Selain itu ia juga pernah menghidupkan Jami’atul Qura oleh PBNU dengan menyelenggarakan Munas di Genggong. <br />Dalam ranah politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk wilayah Jawa Timur juga pernah dipasrahkan, sekaligus dideklarasikan di Ponpes Genggong.”Walau selanjutnya saya tidak ikut-ikut,” kata KH Mutawakil dengan senyum khasnya.<br />Aktivitasnya yang lain adalah saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur. Di PWNU ia membidangi lembaga hukum, perekonomian dan tenaga kerja. Selain itu saat ini ia juga menjadi Ketua Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) wilayah Jawa Timur. <br />Khusus di Puskopontren, KH Mutawakil sebenarnya mempunyai keinginan untuk memajukan koperasi pesantren. Namun untuk memajukan kopontren itu tidak mudah, sebagab koperasi pesantren ini selama ini kekurangan SDM yang bisa mengelola ekonomi. “Sebenarnya dengan adanya kopontren yang ada di mana-mana itu sudah merupakan langkah maju untuk menjadikan pesantren sebagai sentral keagamaan, tetapi juga sebagai sentral ekonomi umat. Itu bisa terjadi, maka pesantren akan menjadi benteng paling kuat terhadap ketahanan agama. Memang selama ini Puskopontren ini mengalami stagnasi. Ini karena yang namanya koperasi itu erat kaitannya dengan birokrasi,” kata nya.<br /> <br />AST/Ft. AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169621129902026842007-01-24T13:43:00.000+07:002007-01-24T13:45:29.973+07:00K.H. Dr. Ahsin Muhammad<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/264878/Ahsinjpg.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/650084/Ahsinjpg.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Pakar Ilmu-ilmu Al-Quran<br /><br />Ia pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari sebuah universitas di Madinah dengan cumlaude, ia mengasuh pesantren di Cirebon, untuk mencetak para penghafal Al-Quran. <br /><br />Bagaimana perasaan Anda jika di malam hari yang gelap, dalam perjalanan melewati gurun yang tandus, sepi bahkan kosong, kendaraan Anda tiba-tiba mogok? Takut, tegang, cemas, tentu menyelimuti perasaan Anda. Bagaimana pula jika tak lama kemudian ada orang yang menolong, membawa Anda dan mobil Anda ke bengkel tanpa mengharapkan apa-apa? Tentu, tak terbayangkan perasaan Anda: lega dan gembira. <br />Itu hanya salah satu dari sekian banyak kemudahan yang dialami oleh Dr. Ahsin Muhammad. Dari berbagai pengalaman hidupnya, ia semakin meyakini, pertolongan Allah akan hadir bagi mereka yang senantiasa menjaga hubungan dengan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. “Barang siapa yang selalu mengingat Allah dalam keadaan senang, Allah akan mengingatnya ketika ia dalam keadaan susah,” ujarnya mengutip sebuah hadits. <br />Tamu kita kali ini ialah pendiri dan pengasuh Ma`had Darul Qur’an di Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Setiap Ahad pagi ia menyelenggarakan pengajian qiraat warasy, yang diikuti para guru Al-Quran dari wilayah Cirebon dan sekitarnya, dan telah berlangsung sekitar tiga bulan. Sebelumnya, materi yang diberikan mencakup semua qiraat mutawatir yang dikenal sebagai qiraat sab`ah. Tetapi karena dipandang terlalu berat, dan menyulitkan mereka yang belum memiliki bekal yang memadai, pengajian ini lalu difokuskan pada salah satu qiraat saja. Dan itu adalah qiraat warasy. <br />Di masa sekarang, model pengajian yang memberikan materi pendalaman berbagai macam qiraat seperti ini terbilang langka. Mereka yang berminat mempelajarinya pun tidak banyak. Padahal, materi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga cara membaca Al-Quran yang tepat. Karena itu, para peserta merasakan manfaatnya – yang kemudian mereka kembangkan di tempat masing-masing. <br />Berkembangnya pengajian mengenai qiraat dan pendalaman ilmu-ilmu Al-Quran merupakan salah satu obsesinya yang terus diupayakan secara serius. Menurutnya, menjaga kemurnian Al-Quran merupakan tugas mulia. Segala sesuatu yang dapat merusak atau setidaknya mengganggu kemurnian Al-Quran harus dicegah. Karenanya, peredaran buku-buku Yasin Fadhilah yang cara penulisannya tidak membedakan mana bagian yang merupakan ayat Al-Quran dan mana yang bukan, dikecamnya.<br /><br />Rektor IIQ<br />”Mestinya Yasin Fadhilah seperti itu ditarik dari peredaran, kemudian direvisi. Penerbit selama ini sembrono mencampuradukkan dan menyamakan ayat Al-Quran dan doa. Seharusnya dibedakan penulisannya, agar jelas mana yang Al-Quran dan mana yang bukan,” katanya. <br />Menyinggung metode pengajaran Al-Quran, menurutnya selama ini sudah berjalan baik. Selain itu, banyak pesantren yang membuka program menghafal Al-Quran. Kelemahannya, para santri berhenti hanya pada menghafal Al-Quran, tidak berusaha mengembangkan kemampuannya dengan mendalami ilmu Al-Quran, termasuk berbagai qiraatnya. <br />Dia memang pakar dalam bidang qiraat dan ilmu-ilmu Al-Quran. Itu sebabnya ia lalu diserahi berbagai tugas penting. Sejak 2 November 2005, ia menjabat rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ), Jakarta, perguruan tinggi yang mencetak para ahli Al-Quran. Posisi ini sebelumnya diduduki tokoh-tokoh yang terkenal pakar di bidang ilmu-ilmu Al-Quran, seperti Prof. K.H. Ali Yafie (2001-2005), sementara rektor sejak IIQ berdiri adalah Prof. H. Ibrahim Hosen (1977-2001).<br />Bukan itu saja tugas yang diemban pria yang tenang, santun, dan ramah ini. Kini ia juga dipercaya sebagai ketua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Quran Departemen Agama, yang beranggotakan beberapa pakar ilmu Al-Quran, seperti Prof. Dr. H. Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, Prof. H. Ali Mustafa Ya’qub, Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, dan beberapa pakar lain. Tim ini telah bekerja sejak 2004 dan diperkirakan akan menuntaskan tugas mereka pada 2007. <br />Keahliannya dalam ilmu Al-Quran membawa berkah tersendiri. Selama beberapa tahun belakangan, setiap Ramadhan ia diundang ke Inggris untuk menjadi imam shalat Tarawih di London dan kota-kota lainnya. Meski begitu ia tetap tinggal bersama keluarga di Cirebon. Setiap minggu ia bolak-balik Jakarta-Cirebon. Senin sampai Kamis ia di Jakarta, hari-hari lain ia habiskan di Cirebon untuk mengajar di pesantren.<br />Putra pasangan K.H. Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini dilahirkan di Arjawinangun, Cirebon, pada 21 Februari 1956. Sejak kecil ia telah menunjukkan bakatnya dalam ilmu-ilmu Al-Quran. Ketika masih duduk di kelas IV SD dan belum lagi dikhitan, ia telah hafal tiga juz Al-Quran, yakni juz 28, 29, dan 30. Karena itu kakeknya dari pihak ibu, K.H. Syathori, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, sangat menyayanginya. <br /><br />Lingkungan Religius<br />”Ketika saya dikhitan, beliau yang mengurusi semuanya. Saya juga diberi pakaian yang berbeda dari yang lain. Beliau memang sangat berkeinginan, di antara anak-anak atau cucu-cucunya banyak yang hafal Al-Quran. Karena itu, bila ada cucu yang datang dan mencium tangannya, selalu ditepuk-tepuk dadanya sambil berucap, ‘Nanti, di sini ada Al-Quran, ada hadits, ada Alfiyah (salah satu kitab standar ilmu nahwu)’,” tuturnya mengenang sang kakek. <br />Meskipun tak sempat mengalami masa dewasa sebagian besar cucu-cucunya, apa yang diidam-idamkan oleh sang kakek akhirnya menjadi kenyataan. Ahsin dan ketiga saudara perempuannya, semuanya hafal Al-Quran. Sedang empat saudara laki-lakinya hafal beberapa surah Al-Quran. Ketika kakeknya wafat, Ahsin masih duduk di bangku SMP.<br />Saat sang kakek masih hidup, Ahsin sering menemaninya mengimami shalat berjamaah. Terkadang ia juga ikut mendengarkan apabila kakeknya membacakan kitab di pengajiannya. “Hanya nguping, seperti anak-anak yang lain,” ujarnya. Meski demikian, ia mendapat banyak hal penting dari kehidupan keseharian sang kakek, seorang ulama yang di masa hidupnya sangat disegani dan dihormati. Menurutnya, sang kakek berjasa menciptakan lingkungan yang religius, yang mencintai ilmu dan ulama. Kakeknya seorang penyabar, mempunyai perhatian pada para santri, dan hampir tidak pernah marah. <br />Menurutnya resep menghafal Al-Quran ialah doa orangtua yang benar-benar sangat mengharapkan anaknya dapat menghafal Al-Quran. Orangtua yang demikian niscaya akan selalu bermohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Tentu doa yang demikian kemungkinan diterimanya lebih besar. Karena itu langkah si anak selanjutnya untuk mewujudkan harapan orangtua akan lebih mudah. Selain itu harus ada usaha yang maksimal ketika membimbing anak untuk menghafalkannya.<br />Ayah lima anak ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD dan SMP Arjawinangun. Sedangkan dasar-dasar ilmu agama ia pelajari di pesantren milik keluarganya. Selama tiga tahun sejak 1970 ia melanjutkan pelajaran di Pesantren Lirboyo, Kediri, sambil belajar di SMU. Sejak lama, Pesantren Lirboyo memang didominasi oleh para santri asal Cirebon dan sekitarnya. <br />Di pesantren terkemuka itu ia belajar fiqh dan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan sebagainya. Sementara di saat libur panjang ia menimba ilmu di pesantren lain. Antara lain, ia pernah mengaji tabarruk kepada K.H. Umar Abdul Manan (Solo) dengan menyetorkan hafalan-hafalan Al-Qurannya. Meski tidak lama belajar kepadanya, tidak sampai dua bulan, ia merasa sangat beruntung, karena bisa memperoleh syahadah sanad dari sang guru.<br /><br />Ponpes Krapyak<br />“Tidak semua orang – termasuk para santri yang sudah lama belajar kepada beliau – yang bisa mendapatkannya,” ujarnya. Sertifikat sanad dari Kiai Umar memang sangat didambakan. Dengan sertifikat itu terjaminlah bacaan yang benar, bagus, dan fasih. Juga menunjukkan bobot intelektualitas dan tanggung jawab sebagai seorang hafizh Al-Quran.<br />Keinginanannya yang kuat untuk mendalami Al-Quran membawanya meneruskan belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta (1973- 1976). Ia juga sempat belajar kepada K.H. Arwani (Kudus). Tetapi ketika baru berjalan sekitar dua bulan, ia diminta pulang ke Cirebon untuk menyiapkan keberangkatannya ke Makkah. “Meski demikian, bagi seorang santri, sesingkat apa pun masa belajarnya, ia harus bisa menyerap berbagai ilmu, termasuk akhlak dan keteladanan gurunya,” katanya. <br />Bulan Agustus 1976 menandai era baru dalam hidupnya. Ia berangkat ke Arab Saudi untuk mendalami ilmu-ilmu agama sebagaimana cita-cita orangtuanya. Mula-mula ia belajar di Makkah. Sekitar satu tahun, 1976-1977, ia mengaji Al-Quran di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdullah Al-`Arabi, seorang Mesir yang didatangkan oleh Jamaah Tahfizh Al-Quran. Di Masjidil Haram memang banyak kegiatan, salah satunya dikoordinasikan oleh lembaga tersebut.<br />Ketika itu yang memimpin lembaga tersebut ialah Syekh Shalih Al-Qazzaz, mantan sekjen Rabithah `Alam Islami. Yang juga banyak berperan di lembaga ini ialah Syekh Ibrahim Sa`d, seorang Mesir yang mengatur metode menghafal Al-Quran. Masa itu merupakan kebangkitan Tahfizhul-Qur’an di Arab Saudi. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi para masyaikh qurra’ (guru-guru para pembaca Al-Quran) yang berasal dari Mesir, baik di Makkah, Jeddah, Madinah, maupun yang lainnya.<br />Pengajian di Masjidil Haram ia ikuti pagi hari, sedang sore harinya ia menuntut ilmu di Markaz Ta`lim al-Lughah al-`Arabiyyah. Karena sudah hafal Al-Quran, ketika belajar ia hanya “menyetor” hafalan dan mendalami bacaannya. Di akhir tahun, ia mengikuti ujian dan lulus, mendapat syahadah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dapat membaca Al-Quran secara hafalan dari awal hingga akhir. <br /><br />Menulis Tahqiq<br />Pada 1977 ia berangkat ke Madinah al-Munawarah untuk mengikuti kuliah di Fakultas Kulliyatul-Qur’an wa Dirasah Islamiyyah dari Al-Jami`ah Al-Islamiyah. Di sini ia tak mengalami kesulitan berarti, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Apalagi ia mendapat beasiswa 200 dolar atau 775 riyal per bulan. Pemberian beasiswa itu, selain sebagai penghargaan bagi mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Quran, juga untuk memotivasi para mahasiswa yang kuliah di fakultas tersebut.<br />Selepas menamatkan pendidikan kesarjanaan, ia melanjutkan ke program pascasarjana di universitas yang sama mengambil Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Quran, selesai pada 1987 dengan tesis Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an. Sedang untuk disertasi ia menulis tahqiq (menulis dan meneliti kembali) kitab At-Taqrib wal-Bayan fi Ma`rifati Syawadzil-Qur’an, karya Ash-Shafrawi, ulama asal Iskandariyah, Mesir, kelahiran 636 H/1216 M. <br />Dan akhirnya ia meraih gelar doktor dengan yudisium Mumtaz Syaraful ‘Ula (cumlaude) pada 1989. Praktis selama 12 tahun, sejak 1977, ia menghabiskan masa mudanya di Jam’iyyah Al-Islamiyyah, Madinah. Di antara teman dari tanah air yang belajar di sana tapi beda angkatan adalah Hidayat Nur Wahid (ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Salim Seggaf Al-Jufri (dubes RI di Arab Saudi). Usai belajar di Madinah, ia kembali mengajar di Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, yang diasuh oleh pamannya, K.H. Ibnu Ubaidillah.<br />Penguasaannya yang mendalam tentang ilmu-ilmu Al-Quran menarik perhatian banyak kalangan. Maka pada 1992, ia diajak oleh K.H. Syukron Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk ikut mendirikan Institut Islam Darul Rahman. Pada tahun itu juga ia mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai pengajar tetap di IAIN hingga kini. <br />Di tengah kesibukannya mengajar, baik di Cirebon, Jakarta, maupun di luar negeri, ia masih berusaha untuk merampungkan buku tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sebagai salah satu syarat untuk pengangkatannya sebagai guru besar. ”Sudah selesai saya tulis, tinggal dibukukan,” ujarnya. Kita tunggulah terbitnya buku penting karya pakar Al-Quran ini. <br /><br />AY, AST/Ft. AY, AST<br /><br />Caption:<br />1. Lead Foto<br />2. Di ruang kerjanya. Mengembangkan khazanah ilmu Al-Quran<br />3. Pondok Pesantren Darul Quran, Arjawinangun. Mencetak para penghafal Al-Quran<br />4. Sedang santai menerima alKisah. Bolak-balik Cirebon-Jakarta <br />5. (Untuk insert di COVER) <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169620173318505822007-01-24T13:27:00.000+07:002007-01-24T13:29:33.590+07:00Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/419370/HadiAlkaffpsd.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/367080/HadiAlkaffpsd.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Bertakhaluq Dengan Syeikh<br /><br />Meskipun seorang gurunya (syeikh) telah meninggal, tetapi sang murid tetap mempunyai hubungan bathin. Dengan bertakhaluq(berpegangan) kepada guru-gurunya, Habib Hadi senantiasa dibimbing untuk mensyiarkan dakwah <br /><br />Setiap Ahad, ratusan kyai dan ustadz dari berbagai pelosok daerah Malang mengikuti pengajian rutin di majelis Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) di Jl Kayu Tangan, dekat alun-alun Kota Malang yang diasuh oleh KH Abdullah Iskandar. Pengajian ini di belakang hari banyak dipimpin Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff, karena KH Abdullah Iskandar sudah sepuh. <br />Habib Hadi adalah guru dan ustadz tempat bertanya yang cukup terkenal sebagai mubalig pada berbagai pengajian di Malang dan sekitarnya. Sosoknya hangat, dan enak diajak bicara tentang banyak hal. Bicaranya pelan, tapi teratur. <br />Hari-hari Habib Hadi juga diisi dengan mengisi pengajian dari kampung ke kampung di berbagai pelosok Kota Malang dan sekitarnya. Metode pengajiannya bukan hanya ceramah, tapi juga dialog. Seperti halnya kebanyakan ulama dan mubalig, masa kecil Habib Hadi sangat ketat dalam pendidikan agama. “Saya tidak pernah mengaji di pesantren. Ilmu agama saya peroleh berkat bimbingan langsung dari ayah dan ibu saya,” katanya lagi. <br />Dari dahulu sampai sekarang Habib Hadi dalam berdakwah juga tidak membeda-bedakan madzab dan medan dakwah. Ia berdakwah di berbagai kalangan. Bahkan di tempat Al-Irsyad di Bondowoso juga ia mengajar, karena merasa cocok dengan metode belajar yang disampaikan Habib Hadi. ”Saya mendapat dukungan oleh Ustadz Hasan Baharun (Bondowoso).”<br />Lahir di Malang, pada 29 Juni 1947, ia putra Habib Alwi bin Hasan Al-Kaff ke-16 dari 31 bersaudara. Ibundanya, bernama Syarifah Futum, putri dari Habib Abdurahman bin Ali bin Syekh Abubakar bin Salim. Jadi Habib Hadi masih termasuk cucu dari Habib Abdurahman bin Syekh Abubakar, seorang ulama yang terkenal sebagai ulama yang saleh dan perintis gerakan dakwah ke desa-desa sekitar Malang. Gerakan dakwah Habib Abdurahman ini dilanjutkan oleh menantu cucu beliau, Ustadz Habib Alwi bin Salim Alaydrus.<br />Habib Hadi mengenyam pendidikan Madrasah di Pondok Pesantren Darul Hadits Malang yang diasuh oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih dari tahun 1953 sampai tahun 1967. Habib Hadi sebenarnya punya kesempatan untuk belajar di Madinah (Saudi) namun, karena Pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu melarang pelajar Indonesia untuk berangkat ke Saudi, kecuali yang mempergunakan beasiswa pemerintah. <br />Akhirnya ia mengaji ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) selama kurang lebih dua tahun (1967-1969) secara private kepada Habib Abdurahman bin Muhammad Mauladawilah di rumahnya, di samping masjid Al-Huda, Malang setiap usai shalat Subuh. Kitab yang diajarkan pada waktu itu adalah Jumriyah, Syarh Ibn Dahlan, Kafrowy dan Kawakib.<br />Selain belajar pada Habib Abdurahman, pada tahun itu juga Habib Hadi belajar secara private kepada Habib Alwi bin Salim Alaydrus. Habib Hadi mengaku sangat terkesan dengan metode mengajar dari Habib Alwi, “Beliau adalah seorang guru yang alim, luas, tawadhu’ lagi bijaksana. Pernah beliau mendengar ada yang mengatakan bahwa, ’Hadi Al-Kaff tidak punya Syeikh (guru pembimbing)’. Beliau spontan marah seraya berkata,’Katakan pada mereka bahwa,’saya adalah Syeikh dari Habib Hadi’.<br />Mendengar pengakuan dari Habib Alwi bin Salim Alaydrus, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff sangat gembira atas pernyataan tersebut. Ustadz Alwi juga berpesan kepada Habib Hadi untuk lebih memantapkan hatinya, ”Kalau kamu takhaluq (berpegangan dengan guru, biasanya seorang syekh) ini insya allah, kamu akan dibimbing. Meskipun seorang guru (syeikh) itu telah meninggal. Jadi seorang murid tetap punya hubungan bathin.”<br />Setelah gagal berangkat ke Saudi, Habib Hadi kemudian menyibukan diri bekerja membantu ayandanya ke Lombok (Nusa Tenggara Barat) sampai tahun 1974. Baru pada tahun 1975 ia berangkat ke Saudi dengan diantar langsung oleh Habib Muhammad bin Ahmad Alaydrus di Madinah. Sayang, saat itu tahun ajaran baru sudah dimulai. Ia akhirnya disuruh menunggu beberapa bulan sampai menunggu tahun ajaran baru. Habib Hadi akhirnya belajar bahasa Inggris di American School. Karena kesibukan kerja antara 1976-1979, akhirnya Habib Hadi tidak sampai berfikir lagi untuk menuntut ilmu di Madinah.<br />Pada tahun 1979 ia pindah ke Khobar, di kota yang terletak belahan utara Mekkah itu ia mengumpulkan jama’ah dari pekerja-pekerja yang dari Indonesia untuk belajar agama dan sesekali rutin membaca maulid. “Alhamdulilah, sembari bekerja juga bisa belajar sendiri dan juga mendatangi pengajian,”<br />Selama di Saudi, ia belajar sendiri dengan bertakhaluq kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, Habib Alwi bin Salim Alaydrus dan Habib Abdurrahman bin Muhammad Mauladawilah. Sekalipun belajar sendiri, Habib Hadi juga terkadang menghadiri acara-acara keagamaan yang digelar di Saudi, seperti peringatan maulid, Khataman Bukhari, silaturahmi halal bi halal dan lain-lain. <br />Pada tahun 1992, ia mau pulang ke Indonesia. Saat itu tanggal 27 Ramadhan ada khatam Bukhari di Masjid Nabawiy, datang para Habaib dari sekitar Saudi. Selepas shalat Ashar ada pengajian Habib Soleh Al-Muhdor. Acara ini tergolong acara yang beasr karena banyak dihadiri ulama-ulama besar seperti Syekh Abdul Qadir bin Ahmad, Sayid Maliki, Habib Zein bin Smith dan dari luar Saudi pun banyak yang hadir. <br />Kebetulan saat itu Habib Hadi datang bersama salah satu teman akrabnya yakni Habib Hasan bin Abdullah Som Assegaff. Habib Hasan sudah lama tinggal Saudi, sehingga ia banyak mengenalkan Habib Hadi dengan para Habaib yang hadir selepas shalat Magrib. Salah satu diantaranya adalah berkenalan dengan Habib Alwi Bilfagih (pengarang kitab-kitab sejarah dan nasab). <br />Saat itu Habib Alwi saat itu juga sedang mengajar kepada murid-muridnya dan juga ada seorang tua yang sedang menulis. Habib Hasan Som kemudian mengenalkannya kepada Habib Alwi Bilfagih, ”Ini Hadi Al-Kaff dari Malang.”<br />Kemudian Habib Alwi menyalami Habib Hadi. “Kenal Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih dari Malang?” tanya Habib Alwi kepada Habib Hadi.<br />“Itu adalah guru saya,” kata Habib Hadi.<br />“Syeikhi? (gurumu)?” tanyanya dengan penuh keterkejutan. <br /> “Saya adalah murid dari Syeikh Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih,” kata Habib Hadi kepada Habib Alwi.<br />“Tunggu dulu,” kata Habib Alwi terburu-buru kepada Habib Hadi dan Habib Hasan untuk jangan beranjak dari majelis, karena ia akan menyelesaikan urusan dengan orang tua yang duduk tidak jauh dari mereka bertiga.<br />Tidak berapa lama kemudian, Habib Alwi kembali lagi dan kemudian berkata kalau Habib Abdul Qadir adalah saudara dekatnya. “Itu adalah saudara ayah saya, tapi saya belum jumpa,” katanya.<br />Kemudian Habib Alwi memaksa tangan Habib Hadi, ”Mana tanganmu?”<br />Lalu Habib Hadi karena dipaksa kemudian memberikan tangannya untuk dicium oleh Habib Alwi. Artinya, Habib Alwi sangat menghormati Habib Abdul Qadir sampai sedemikian rupa, sampai-sampai salah satu muridnya yang pernah pernah belajar kepada Habib Abdul Qadir pun diciumnya.<br />Sampai di hotel, Habib Hadi bertanya pada Habib Hasan Som,”Tadi, orang tua yang bertubuh kurus dan duduk di majelis Habib Alwi itu siapa?”<br />“Itu adalah Habib Zein bin Smith (Medinah),” kata Habib Hasan Som.<br />Habib Hadi tentu terkejut, karena Habib Zein bin Smith ternyata sedang belajar kepada Habib Alwi Al-Kaff yang baru ditemuinya. <br />Setelah hari kedua lebaran, para habaib mengadakan silaturahim di hotel Haramain. Setelah acara, Habib Hasan Som mengenalkan lagi Habib Hadi pada yang hadir, termasuk kepada Habib Zein bin Smith. “Ini Habib Hadi Al-Kaff, tholib ilm’,” kata Habib Hasan.<br />“Di mana kamu belajar?” tanya Habib Zein bin Smith kepada Habi Hadi Al-Kaff.<br />“Saya tidak belajar. Saya bekerja di Khobar,” jawab Habib Hadi.<br />Habib Hasan Som berkata lagi, ”Dia belajar sendiri di rumahnya.”<br />“Tidak boleh. Kalau belajar agama tidak bisa belajar sendiri kecuali dengan belajar kepada syeikh (untuk membimbing). Kalau kamu belajar ilmu umum, seperti bumi, sejarah, kamu bisa belajar sendiri,” kata Habib Zein.<br />Habib Hadi terdiam, tapi Habib Hasan Som berkata lagi kepada Habib Zein,”Ya Habib, ia dulu pernah belajar pada Habib Abdul Qadir Bilfagih.”<br />“Benar?” tanya Habib Zein.<br />“Ya Habib,” jawab Habib Hadi.<br />Habib Zein kemudian tertunduk sebentar, tidak langsung jawab. Kemudian ia berkata, ”Karena kamu sudah pernah belajar pada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih. Kamu boleh belajar sendiri,” kata Habib Zein kepada Habib Hadi.<br />Setelah mendapat bisayarah (isyarat kabar gembira) dari seorang alim. Habib Hadi semakin yakin, kalau selama ini dengan belajar sendiri mempelajari kitab-kitab salaf yang ada di sana masih dalam koridor bimbingan dari guru-gurunya, walaupun guru-gurunya itu telah lama wafat. <br />Setelah menetap lama di negeri Saudi, pada tahun 1992 ia pulang ke Indonesia. Saat itu ia tinggal di Jl Lontar Atas, Jakarta, sambil berdagang Habib Hadi juga berdakwah dari masjid ke masjid dan taklim di sekitar rumahnya selama kurang lebih lima tahun. <br />Pada tahun 1997, ia kemudian dipanggil sang mertua, Habib Ali bin Umar Baharun di Bondowoso untuk mengelola majelis taklim. Ia kemudian mengajar sekitar 4 tahun, beliau meninggal. Pada tahun 2002, ia berfikir untuk kembali ke Jakarta. Tapi saat singgah di Malang, Habib Hadi bertemu dengan Habib Muhammad bin Agil Ba’Agil pemimpin majelis taklim Al-Hidayah (Malang). <br />“Kebetulan kamu datang, sekarang saya serahkan majelis taklim ini kepada kamu,” kata Habib Muhammad.<br />“Ya, Habib. Sekarang saya di Bondowoso,” kata Habib Hadi.<br />“Kamu pindah ke Malang,” perintah Habib Muhammad.<br />Karena teman akrab, satu kelas di Darul Hadits akhirnya Habib Hadi mulai tahun 2002 mulai tinggal di Malang pengasuh Majelis Taklim Al-Hidayah. Majelis Taklim Al-Hidayah sendiri diketuai oleh Habib Agil bin Agil Ba’agil, Habib Ali Haidar Al-Hamid. <br />Habib Hadi di Kota Apel itu juga mengasuh Majelis Taklim Al-Mukhlisin tiap malam minggu ba’da Magrib (ibu-ibu) dan selepas Isya (untuk bapak-bapak). Acara berlanjut selepas Subuh. Ia juga masih mengajar tafsir Jalalain dan An-Nashoih Diniyah di Madrasah yang didirikan oleh Ustadz Alwi bin Salim Alaydrus di Bumiayu (Malang) seminggu tiga kali; Sabtu, Senin dan minggu. Selain itu ia mengajar di masjid-masjid di sekitar Malang. <br />Ia sebenarnya sering diminta mengajar di Pesantren Darul Lughah Wa’Da’wah (Bangil, Pasuruan) dan Darut Tauhid, tapi selama ini masih sangat berat. “Soalnya, waktunya pagi. Itu berat sekali, karena kalau malam sudah habis untuk berdakwah sehingga jarang tidur,” kata Habib Hadi.<br />Ia juga sering diminta oleh teman-temannya untuk menterjemahkan Shahih Sifatu Sholatul Rasulullah SAW Mina Takbir Wa Taslim Ka’anaka Tanduru ilaya (sifat shalat Rasulullah SAW sejak takbir hingga salam seolah-olah kamu menyaksikan sendiri) karangan Habib Hasan bin Ali Assegaff (Yordania). Sudah banyak orang meminta untuk menterjemahkan kitab yang sering dibawakannya. ”Insya Allah, kalau ada waktu tepat akan segera diterbitkan,” katanya.<br /> <br />AST/Ft. AST<br />Caption:<br />1. Lead<br />2. Habib Hadi sedang berceramah. Bertakhaluq dengan syeikh<br />3. Dalam perjalanan berdakwah. Tak kenal cuaca dan medan dakwah<br />4. Berfoto bersama dengan jama’ah. Sosoknya hangat dan ramah<br />5. Sedang memimpin doa. Tak membeda-bedakan madzab <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169619387768980532007-01-24T13:14:00.000+07:002007-01-24T13:16:28.060+07:00Habib Taufiq Assegaf<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/855757/Taufiq.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/444283/Taufiq.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />‘Cahaya Nabawiy’ Pasuruan<br /><br />Pasuruan sebagai kota Santri terkenal dengan gudang ulama habaib. Salah satu tokoh dakwah dari kota ini adalah Habib Taufiq bin Abdul Kadir bin Husein Assegaf<br /><br />Bermentalkan semangat baja ia memberanikan diri menerbitkan Majalah Cahaya Nabawiy. Sebuah terobosan dalam berdakwah yang kretaif dan efektif pada umat di berbagai penjuru wilayah tanah air. Majalah ini bentuknya mungil sebagaimana majalah Islam yang ada di tanah air. Namun di balik kemungilan majalah ini, terkandung isi yang menarik dan sarat dengan ajaran agama. Sehingga amat wajar bila majalah ini mempunyai pangsa pasar yang tersebar di tanah air. <br />Di balik kebesaran nama majalah Cahaya Nabawiy, sosok pengelola majalah ini yang tak bisa dilepaskan dari sentuhan tangan dinginnya. Ia adalah seorang dai yang sangat disegani di Pasuruan dan sekitarnya. Sosok habib ini berwajah tampan dan kalau berceramah ia penuh semangat dan berapi-api. Dialah Habib Taufiq bin Abdul Kadir Assegaf, pria kelahiran Pasuruan 1969. Ia tidak pernah menempuh pendidikan formal, namun dari pendidikan taklim ke taklim. Sekali pun demikian, ia adalah sosok seorang dai yang kreatif dalam berdakwah dan dikenal berwawasan luas.<br />Semasa kecil, Habib Taufiq diasuh oleh sang ayahandanya yakni Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf. Dirasa cukup dengan bimbingan sang orang tua, ia kemudian melanjutkan taklim pada ulama dan para habaib yang ada di Pasuruan, salah satunya Habib Ahmad bin Hadi Al-Hamid. <br />Selain itu ia juga belajar pada banyak habaib dan ulama yang ada di kota Pasuruan. Satu per satu rumah para habaib dan ulama yang ternama ia datangi, untuk mengajarkan ilmu kepadanya. “Karena itu minimlah ilmu kita. Karena saya tidak belajar taklim, belajar seadanya, tidak seperti lulusan pesantren luar negeri,” kata Habib Taufiq dengan rendah hati. <br />Menurutnya semua guru yang pernah mengajar taklim kepadanya sangat berkesan. “Semua guru-guru saya adalah orang-orang yang baik dan memberikan contoh dan semangat untuk berkiprah pada masyarakat, berkhidmat pada agama dan Rasulullah SAW,” demikian pandangan Habib Taufiq terhadap guru-gurunya di Pasuruan. <br />Setelah banyak belajar dari ulama dan habaib yang ada di kota Pasuruan, ia kemudian melanjutkan belajar pada seorang Habib ternama kota Surabaya yakni Habib Umar bin Hasyim Ba’agil. Selama menempuh taklim di Surabaya, selama seminggu di Surabaya dan seminggu kemudian ke Pasuruan. Aktivitas itu ia jalani sampai Habib Umar bin Hasyim Ba’agil wafat.<br />Menurutnya Habib Umar adalah seorang guru yang sangat mendalam ilmunya. Dalam sisi yang lain, lanjutnya, Habib Umar adalah seorang guru yang sangat bersemangat dalam mengajar ilmu. “Sekalipun dalam keadaan sakit, Habib Umar masih menyempatkan untuk mengajar. Bahkan kalau pun dia tertidur saat mengajar, minta dibangunkan,” kata Habib Taufiq.<br />Setelah menggali ilmu ke berbagai tempat dan habaib serta ulama. Mulailah ia merintis berdakwah. Pada awalnya ia hanya membuka madrasah di Jl. KH Wahid Hasyim (barat Masjid kota) Pasuruan. Ia kemudian melanjutkan pengelolaan madrasah yang pernah diasuh oleh Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf (kakeknya) dan Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf (ayahnya). <br /><br />Cahaya Nabawiy<br />Aktivitasnya dalam berdakwah tidak hanya membuka taklim di rumahnya. Ia kemudian mulai merintis membuat majalah Islam yang bernama Cahaya Nabawiy bersama kawan-kawannya yang ada di kota Pasuruan. Ternyata sambutan dari rekan-rekan yang di kota itu bersambut dengan baik. “Kita memulai sesuatu dengan serba keterbatasan. Modal kita hanya keberanian saja,” kata Habib Taufiq.<br />Awalnya mereka hanya menerbitkan sekitar 300 ekslempar, namun melihat perkembangan dan permintaan pembaca yang kian meningkat, lambat laun jumlah ekslempar terus ditingkatkan. Jumlah majalah Cahaya Nabawiy sekarang telah di cetak mencapai 7000 ekslemplar setiap bulan. Walau hanya diterbitkan dari kota Pasuruan, majalah ini telah merambah ke berbagai wilayah tanah air. Bahkan pada perkembangan terakhir, pihaknya sampai kewalahan melayani permintaan dari luar Jawa.<br />“Alhamdulillah semua berjalan baik, walau tidak berjalan sekuat yang ada pada majalah Islam pada umumnya. Yang jelas tujuannya untuk dakwah untuk Ilallah,” jelas Habib Taufiq.<br />Selain membagi waktu untuk mengelola majalah, ia juga rajin memberikan taushiah. Di tengah kesibukannya mengelola taklim, majalah, radio dan berceramah di sekitar Pasuruan, ia juga berdakwah ke berbagai wilayah di perbagai penjuru tanah air. Bahkan jangkauan dakwah Habib Taufiq merambah pada wilayah-wilayah yang terpencil. <br />Sampai sekarang ia secara rutin membina umat di daerah-daerah yang minoritas muslim, seperti daerah Tengger, Sampit, Bali, dan lain lain. Habib Taufiq tak segan-segan mengirim santri-santrinya dan mendampingi masyarakat yang awam pengetahuan agama.<br />Untuk mematangkan konsep dan langkah berdakwah, sejak tahun 2003 yang lalu, ia mendirikan Pondok Pesantren di Jl Sidogiri, Pasuruan. Sistem pesantren ini menggunakan halaqah yang menggunakan kitab-kitab salaf. “Sebenarnya saya membuat pesantren tidak direncanakan, karena saya hanya ingin membuat madrasah saja. Cuma takdirnya Allah, akhirnya menjadi pesantren,” kata Habib Taufiq menceritakan awal berdirinya pesantren yang ia pimpin sekarang.<br />Pesantrennya ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Walau baru berumur tiga tahun, sekarang sudah berdiri sekitar 30 cabang madrasah dan 13 pondok pesantren yang tersebar di Jawa, Bali, Kalimantan. Memang letak pesantren yang berdiri di bawah naungan Pondok Pesantren As-Sunny As-Salafiyah tidak ada satu tempat, namun beberapa cabang. Sehingga setelah lulus dari cabang-cabang pendidikan yang ia kelola, baru masuk ke pesantren yang ada di Jl Sidogiri. <br />Setiap alumni pesantren As-Sunny As-Salafiyah, kemudian ia dorong untuk berdakwah. “Setiap alumni, kita tempatkan di daerah-daerah yang minoritas untuk berdakwah seperti di Tengger. Bahkan untuk daerah pegunungan Tengger, sekarang telah didirikan 14 Madrasah dan beberapa madrasah di daerah-daerah minoritas muslim”.<br />Pondok As-Sunny As-Salafiyah menggunakan sistem pendidikan pesantren model halaqah dengan menggunakan kitab-kitab salaf. “Insya Allah akan kita kembangkan dengan ilmu-ilmu yang banyak di butuhkan masyakarat seperti ilmu komputer dan bahasa inggris, sekarang masih dalam tahap perencanaan.”<br />Di Pondok ini ada tiga penjurusan yakni pertama, Tahasus Al- Qur’an, dengan program hafal qur’an dan tafsirnya. Kedua, Tahasus Syari’ah, dimana setiap santri ditekankan untuk menghadalkan Zubath. Setiap santri wajib mempelajari kitab Minhaj, Ushul Fiqh, Qawaidh Fiqhiyah. Ketiga, Bismul Lughah, tentang masalah bahasa yakni penekanan pelajaran yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah. <br />Jumlah santri yang ia kelola di Jl Sidogiri saat ini ada sekitar 300-350 santri. Sedangkan jumlah total dari seluruh santri ada sekitar lebih dari 2000 santri. Mengenai kriteria alumni pesantren yang dia pimpin, ia mengharapkan setiap ilmu selain berhasil juga menghasilkan. ”Bukan berarti murid selama di pesantren saja berhasil menunut ilmu. Namun sampai pulang ke rumah pun, ia berhasil memanfaatkan ilmunya dengan berdakwah ke masyarakat,” jelas Habib Taufiq.<br />Di tengah kesibukan nya berdakwah langsung ke masyarakat, ia juga juga mempunyai jadwal tetap yakni mengajar taklim di rumahnya di Jl KH Wahid Hasyim atau tepatnya di barat Masjid Kota Pasuruan tiap hari jam enam pagi dan teruskan dengan pembacaan kalam salaf. Majelis Taklim yang sudah berlangsung turun-temurun dari sang kakek, Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dan sang ayahanda, Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf yakni membacakan Kitab Ihya Ulumiddin karya Hujjatul Islam, Imam Ghazali yang diikuti oleh masyarakat Pasuruan dan sekitarnya.<br />Uniknya dari setiap acara pengajian baik di rumahnya maupun di pesantren Sunny As Salafiyah dipancarkan langsung melalui Radio Suara Nabawiy baik melalui frekuensi 107 FM dan 747 AM. Dakwah melalui stasiun radio Suara Nabawiy ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan dakwah. Sebab pancaran radio ini ternyata juga sampai ke seluruh pelosok sekitar Pasuruan bahkan sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian timur.<br />Dengan berbagai ragam aktivitas dakwah yang ia emban, Habib Taufiq mengaku bukannya tidak ada hambatan namun penuh tantangan. ”Tantangannya, memang adalah modal kita yang terbatas tidak hanya sumber daya manusia (SDM) dan modal (finansial). Dan Kita harus bagi dengan dakwah yang lainnya seperti untuk madrasah, anak yatim. Saya bukan orang yang banyak uang. Alhamdulillah, kita sudah buktikan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan seluruh potensi dakwah,” katanya.<br />AST/Ft. AST<br />Caption:<br />1. Lead<br />2. Sedang memberikan taushiah. Penuh semangat dan berapi-api<br />3. Di tengah santri-santri. Memulai dengan serba keterbatasan<br />4. Siaran di Radio Suara Nabawiy. Memperluas jangkauan dakwah <br />5. Habib Taufiq. Merambah daerah terpencil<br />6. Sedang memberikan taklim. Sudah berjalan rutin <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169540577384712752007-01-23T15:21:00.000+07:002007-01-23T15:22:57.653+07:00KH Achmad Djazuli<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/502945/Jazuli.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/352801/Jazuli.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Sang Blawong Pewaris Keluhuran <br /><br />Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. <br /><br />Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.<br />“Co, endang ning pondok!”<br />“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”<br />“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”<br />Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.<br />Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. <br />Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.<br />Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). <br />“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.<br />“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.<br />“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf. <br />Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri. <br />Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.<br />Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. <br />KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).<br />Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.<br />Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. <br />Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. <br />H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.<br />Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.<br />Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri. <br />Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. <br />Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat. <br />Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.<br />Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.<br />Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.<br />Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.<br />Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.<br />Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.<br />Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.<br />Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu. <br /> <br />AST/ft.AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169536202757479572007-01-23T14:08:00.000+07:002007-01-23T14:10:03.006+07:00KH. Mukhtar Syafaat<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/9645/KH%20Mukhtar%20Syafaat.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/516956/KH%20Mukhtar%20Syafaat.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Ulama Panutan Umat<br /><br />Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi <br /><br /> Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung. <br /> Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.<br />Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).<br /> Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.<br /> Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. <br />Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan. <br /> Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali. <br />Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.<br /> Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.<br /> Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”<br /> Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at. <br /> Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.<br /> Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad. <br />Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat. <br /> Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.<br /> KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya. <br />Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.<br /> Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan). <br />Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.<br /> Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.<br /> KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.<br />AST/Ft AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169455991041974002007-01-22T15:51:00.000+07:002007-01-22T15:53:11.160+07:00Ziarah<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/621756/Makam.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/228812/Makam.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br /><br />Syekh Jambukarang<br /><br />Pembuka Dakwah Islam di Purbalingga<br /><br />Berziarah ke makam Syekh Jambukarang sambil menikmati panorama puncak perbukitan Cahya di belahan utara Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.<br /><br />Matahari baru saja menyeruak di ufuk timur, ketika sinar kemerah-merahan memancar ke seluruh penjuru. Penduduk desa melangkah beriringan menuju ladang, menelusuri jalan setapak berbatu dan berundak yang di kanan-kirinya curam.<br />Embun pagi, udara dingin, dan sepoi angin khas perbukitan mewarnai perjalanan ke Makam Syekh Jambukarang. Ia adalah ulama penyebar Islam di Purbalingga dan sekitarnya pada abad ke-12. Makam yang dikeramatkan oleh penduduk itu terletak di Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 20 kilometer sebelah utara Purbalingga.<br />Untuk berziarah ke sana dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan mikrobus jurusan Bobotsari-Rembang ke arah Monumen Jenderal Sudirman. Sampai di Desa Rajawana, perjalanan dilanjutkan dengan pick up bak terbuka jurusan Rajawana-Panusupan sekitar empat kilometer. <br />Dari Desa Panusupan, peziarah masih harus melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini dengan berjalan kaki sejauh satu kilometer, melalui jalan setapak berlapis semen yang membelah desa sampai ke gerbang makam. Di sini, setiap peziarah harus membayar retribusi (untuk pembangunan desa) sebesar Rp 3.000, lalu mengisi buku tamu.<br />Dari situ kita menelusuri jalan selebar satu meter, naik-turun di lembah perbukitan hijau di belahan timur kaki Gunung Slamet. Sejauh mata memandang yang tampak hanya rerimbunan ilalang dan perbukitan yang menghijau.<br />Sepanjang perjalanan, sepoi angin pegunungan dan kicau burung hutan menemani para peziarah. Sesekali berpapasan dengan serombongan kecil peziarah yang pulang dari makam. Untuk menempuh jarak sepanjang empat kilometer itu dibutuhkan waktu sekitar dua jam, lantaran kondisi jalan yang naik-turun.<br />Sebagian peziarah mengeramatkan makam Syekh Jambukarang sehingga mereka menjadikannya sebagai sarana untuk bertawasul, menyampaikan doa kepada Allah SWT dengan perantara para wali. “Saya datang ke sini agar dagangan saya semakin laris,” kata Mbok Sutini asal Cirebon yang datang beserta tiga anggota keluarganya. <br />Pada umumnya, peziarah bertandang ke makam pada malam Minggu Pon atau Rabu Pon. Namun, jumlah peziarah membeludak pada pergantian tahun. Banyak anak muda menghabiskan malam panjang di sana. Umumnya mereka membaca ayat Kursi, sebab diyakini ayat Kursi mengandung bermacam-macam fadilah.<br /><br />Tiga Cahaya<br />Siapa sebenarnya Syekh Jambukarang? Ia adalah putra Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman, raja pertama Kerajaan Pajajaran. Ketika masih muda ia bernama Raden Mundingwangi, bergelar Adipati Mendang. Sejak muda ia senang menggeluti ilmu kanuragan. Meski berhak menjadi raja, ia lebih tertarik menjadi pendeta. Takhta kerajaan ia serahkan kepada adiknya, Raden Mundingsari, yang dinobatkan pada 1190.<br />Ia pun lalu bertapa di Gunung Jambudipa atau Gunungkarang di Banten. Selama bertapa itulah ia menyaksikan tiga cahaya di sebelah timur, menjulang tinggi ke angkasa. Ia lalu mencari asal cahaya tersebut bersama 160 pengikutnya, menyusuri hutan, pegunungan, dan sungai. <br />Setelah melewati Krawang, Sungai Comal, Gunung Cupu, Gunung Kraton, sampailah mereka di Desa Rajawana. Setelah mendaki Bukit Ardi Lawet, mereka tiba di Bukit Panungkulan yang juga disebut Bukit Cahya, masyarakat sekitar menyebutnya Gunung Cahya, di Desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga. Di puncak bukit inilah mereka mendirikan pertapaan.<br />Pada waktu yang bersamaan, tiga cahaya tersebut juga disaksikan oleh seorang mubalig dari Timur Tengah, yang namanya kemudian dikenal sebagai Syekh Atas Angin, dan konon masih keturunan Rasulullah SAW. Maka bersama 200 pengiring, ia pun segera mencari sumber cahaya tersebut. Mula-mula mereka berlabuh di Gresik, Jawa Timur, lalu meneruskan perjalanan ke Pemalang, Jawa Tengah. Dari sana mereka lalu menuju ke Bukit Cahya. Di sinilah ia bertemu dengan Raden Mundingwangi, yang sedang bertapa.<br />Ketika Syekh Atas Angin menyapanya dengan salam, Raden Mundingwangi diam saja. Sebab, ketika itu ia belum memeluk Islam. Maka mereka pun kemudian terlibat dalam adu kesaktian. Karena kalah, dan mengakui keunggulan Syekh Atas Angin, Raden Mundingwangi pun bersedia masuk Islam. Sejak itu oleh Syekh Atas Angin ia diberi ilmu kewalian dan gelar Pangeran Wali Syekh Jambukarang. <br />Untuk menyempurnakan keislamannya, Pangeran Jambukarang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan pulang dari Tanah Suci ia dikenal sebagai Haji Purba. Konon, ia memiliki beberapa kekeramatan, antara lain kupluk atau pecinya dapat terbang, mampu menumpuk telur di udara, menggandeng bejana tempat air di angkasa.<br />Tak lama kemudian, Syekh Atas Angin diambil menantu oleh Pangeran Jambukarang, dinikahkan dengan salah seorang putrinya, Nyai Rubiahbekti. Dari pernikahan ini lahirlah tiga putra dan dua putri: Pangeran Syekh Mahdum Husen, Pengeran Mahdum Medem, Pangeran Mahdum Umar, Nyai Rubiahraja, dan Nyai Rubiyahsekar. Belakangan, Pangeran Jambukarang membuka sebuah pesantren di Purbalingga. Setelah wafat, ia dimakamkan di puncak Gunung Cahya. <br />Ada beberapa keturunan Syekh Jambukarang yang mengabdi di Kasultanan Demak. Sementara Pangeran Mahdum Husen, salah seorang putranya, punya peran dalam mengusir pasukan Kerajaan Pajajaran yang menyerang daerahnya. Sedangkan cucu Mahdum Husen, Syekh Mahdum Wali Prakosa, meneruskan pengabdian keluarganya di Kesultanan Demak.<br />Dialah yang membuat soko guru Masjid Demak bersama Sunan Kalijaga, yang salah satunya kemudian terkenal dengan nama soko tatal, karena terbuat dari sisa-sisa kayu. Dialah pula yang meluruskan arah kiblat Masjid Demak, sehingga Sultan Demak memberi piagam penghargaan kepadanya.<br />AST/Ft: AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169451760259340942007-01-22T14:41:00.000+07:002007-01-22T14:42:40.360+07:00Manakib<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/788643/Dscn5119.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/404781/Dscn5119.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar<br /><br />Kabupaten Banyuwangim, sebuah kabupaten yang terletak paling ujung timur dari propinsi Jawa Timur selain terkenal sebagai kota santri juga di kabupaten ini terdapat seorang auliya’ yang setiap tahun haulnya diperingati dengan besar-besaran setiap hari ahad pagi minggu pertama bulan Muharam. Waliyullah itu adalah Habib Hadi bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Soleh Al-Hadar. Ia Lahir pada tahun 1908 M (1325H) di Banyuwangi. Habib Hadi dari kecil telah menunjukan akhak yang terpuji. Dari kanak-kanak ia telah menunjukan sikap-sikap yang baik. Dengan teman sepermainan tidak pernah mau mengganggu dan kalau pun diganggu, ia tidak pernah melawan. <br />Pada umur sembilan tahun, ibunya yang bernama Syarifah Syifa binti Mustafa Assegaff meninggal. Ia kemudian oleh ayahnya Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar dibawa ke Gathan, Hadramaut. Selama di negeri para auliya itu, Habib Hadi belajar dengan ulama-ulama setempat. Hari- hari diisinya dengan taklim dan mengaji. <br />Saat bulan Ramadhan tiba, masyarakat muslim Hadramaut menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah dengan waktu yang berbeda-beda, mulai dari lepas shalat isya sampai jelang waktu sahur. Habib Hadi tak ketinggalan ikut shalat tarawih berjamaah dari masjid yang satu ke masjid yang lainnya dari mulai lepas Isya sampai waktu jelang sahur. Kebiasaan ini membuat ayahanda Habib Hadi, Habib Abdullah bin Umar marah kepadanya.”Kamu ke sini bukan untuk beribadah. Kamu datang ke sini untuk menuntut ilmu. Jangan satu malam kamu habiskan untuk shalat tarawih.” <br />Padahal usianya pada waktu itu, baru 11 tahun, ayahnya meninggal. Habib Hadi kemudian tinggal bersama seorang adiknya, yakni Habib Muhammad. Saat itulah ia hidup sangat sederhana di Hadramaut, namun di tengah kesederhanaan itu, ia selalu mendahulukan adiknya. Kalau ia mendapatkan dua keping roti dan secangkir kopi tiap sehabis shalat berjamaah, dua keping roti dan secangkir kopi itu diberikan untuk adiknya dan ia lebih berpuasa. Demikian kecintaan yang luarbiasa untuk sang adik.<br />Habib Hadi dari kecil telah menjaga makanan yang dimakan dari sesuatu yang haram, bahkan yang diragukan (subhat). Pernah suatu ketika sang adik membawa buah-buahan, ia kemudian bertanya, ”Dari mana kamu dapat buah-buahan ini?”<br />Sang adik menjawab,”Saya memungut dari kebun sebelah.”<br />Mendengar jawaban dari sang adik, Habib Hadi marah kemudian ia memegang buah yang dibawa sang adik dan berkata, ”Kembalikan ke tempat yang kamu yang dapat.”<br />Sang adik pun akhirnya menuruti perintah sang kakak mengembalikan buah yang jatuh kepada sang pemilik kebun.<br />Demikianlah sedari kecil, Habib Hadi sangat menjaga makanan yang masuk ke perutnya. Sehingga ibadah sesuatu <br />Setelah ayahnya meninggal, Habib Hadi belajar dengan Habib Muhammad bin Hadi Assegaff di Seiwun. Habib Muhammad bin Hadi Seiwun ini adalah murid dari Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, sahibul maulid Simthud Durar. Selama di majelis Habib Muhammad ini, teman Habib Hadi selama belajar di sana adalah Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (ayahanda Habib taufik, Pasuruan). <br />Kalau malam, Habib Hadi bermunajat, berdzikir dan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT (qiyamul lail), sedangkan kalau siang hari ia berpuasa. Wajarlah melihat aktivitas ibadah dari Habib hadi telah terlihat sejak kecil, membuat sang guru, Habib Muhammad memberikan kedudukan yang istimewa di tengah murid-muridnya. <br />Dalam mengajar, Habib Muhammad selalu menyediakan tempat duduk di sampingnya dalam keadaan kosong, dan tidak pernah ada seorang pun dari murid-muridnya yang berani menempati tempat duduk yang kosong itu. Tempat duduk yang kosong itu adalah tempat duduk Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar. <br />Pada umur 20 tahun, Habib Hadi pulang ke Indonesia melalui pelabuhan Surabaya. Saat itu ia disambut oleh saudara-saudaranya yang saat itu sudah sukses di Surabaya, seperti Habib Ahmad (pemborong jalanan), Habib Muhamad (pedagang beras), Habib Mustafa (saudagar kopra). Tapi, Habib Hadi menolak semua sambutan yang meriah, ia menolak pakaian yang sudah dipersiapkan oleh saudara-saudaranya.<br />Melihat saudaranya yang sudah maju, Habib Hadi tidak terpikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya. Ia justru mampir ke tempat kenalannya yakni H. Abdul Aziz, seorang pedagang kain. Habib Hadi tiap hari berjualan sarung, kain batik di pasar. Melihat Habib Hadi jualan di pasar, saudara-saudaranya marah. Habib Hadi kemudian ditarik kerja di pelabuhan bagian menimbang kopra.<br />Akhirnya Habib Hadi, menurut perintah saudara-saudaranya kerja di pelabuhan. Namun, sebelum kerja di pelabuhan, ia sempat mampir ke pasar untuk membeli paesan (nisan untuk orang mati) dan selalu dibawa ke tempat kerja. Nisan yang terbuat dari kayu itu ditaruhnya di bawah timbangan dan selalu ditaburi bunga yang masih segar. “Saya kalau menimbang kopra selalu ingat nisan yang ada di bawah timbangan. Dengan mengingat nisan ini, saya selalu ingat akan mati, maka timbangannya harus pas. Karena yang saya timbang ini akan dipertanggungjawabkan, kelak di hari kiamat,” kata Habib Hadi mengomentari tingkahnya yang selalu membawa nisan saat bekerja.<br />Pernah ia dipindah ke bagian keuangan (kasir), suatu saat ia mengumpulkan uang yang rusak, palsu dan dikumpulkan semua. Dan akhirnya semua uang yang rusak itu dibuang ke laut. Melihat perilaku Habib Hadi, saudara-saudaranya sudah habis rasa kesalnya. Mereka marah dengan perilaku Habib Hadi.<br />Melihat ketidakcocokan dalam bekerja dengan saudara-saudaranya, Habib Hadi kemudian berhenti bekerja dan lebih banyak beribadah serta hadir di acara-acara haul para ulama dan habib yang tersebar di Pulau Jawa, mulai Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Habib Hadi kembali berdagang kain untuk menghidupi keluarga. Uniknya dalam berdagang, ia selalu jujur mengatakan harga yang sebenarnya dari barang yang dijualnya kepada pembelinya.”Boleh kamu kasih ongkosnya, atau lebihkan sedikit dari barang ini,” kata Habib Hadi kepada para pembelinya.<br />KH Chasan Abdillah salah seorang ulama ternama di Glenmoore, Banyuwangi pernah berkata kepada Habib Hadi, ”Habib, anda tidak ditipu sama orang dengan berjualan seperti itu?”<br />“Biar orang-orang menipu saya. Yang penting, saya tidak menipu sama orang lain,” kata Habib Hadi kepada KH Chasan Abdillah.<br /> Habib Hadi saat Banyuwangi dikenal sangat dekat dengan Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaff (Pasuruan). Saat itu Habib Ja’far mempunyai tasbih kesayangan yang diperoleh dari Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Tasbih itu ternyata adalah milik Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi. “Siapa yang memegang tasbih ini akan membuat kenyang akan dzikrullah,” kata Habib Ja’far kepada orang-orang yang ada di majelis. Orang-orang berebut ingin mendapatkannya. Tapi Habib Ja’far bin Syaikhon mencegahnya.”Sebentar lagi orangnya akan datang.” Tak berapa lama kemudian Habib Hadi hadir di majelis, Habib Ja’far langsung bangkit dan mengalungkan tasbih kesayangannya ke leher Habib Hadi. <br /> Saking dekatnya antara Habib Ja’far, kalau Habib Hadi datang, selalu diajaknya ke kamar dan dikunci. Sekalipun Habib Ja’far sedang ada pengajian atau tamu, Habib Hadi selalu diajaknya ke kamar khusus. Apa yang mereka perbincangkan, tidak ada yang tahu.<br />Habib Hadi wafat pada usia 65 tahun dengan meninggalkan 8 orang anak (1 putra, 7 perempuan), pada Kamis, 4 Muharam 1393 H (8 Februari 1973). Jenazahnya kemudian dishalati dengan imam Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (Pasuruan) dan dimakamkan di komplek makam Blambangan, Lateng, Banyuwangi. <br /> AST, dari berbagai sumber <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169450773982550882007-01-22T14:24:00.000+07:002007-01-22T14:26:14.406+07:00Manakib Habib Husein bin Hadi Al-Hamid<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/963621/Dscn5107.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/419223/Dscn5107.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br /><br />Waliyullah Yang Berumur Panjang<br /><br />Habib Husein termasuk seorang Waliyullah yang berumur panjang dan jauh dari penyakit-penyakit. Selian itu, ia sampai akhir hayatnya tidak pernah absen shalat Subuh berjamaah <br /><br />Di Desa Brani Kulon, Kraksan, Probolinggo (Jawa Timur), ada seorang Habib yang berumur panjang, ia wafat dalam usia 124 tahun. Ketika ditanya, kenapa ia tidak punya penyakit? <br />”Di hati saya, tidak mempunyai sedikit pun rasa iri dan dengki terhadap pemberian orang lain,” demikian kata Habib Husein bin Hadi bin Salim Al-Hamid.<br />Selain itu, kunci dari Habib Husein berumur panjang adalah tidak lain karena ia secara istiqamah shalat Subuh berjemaah di Masjid dan gemar melakukan jalan kaki sekitar satu jam. Habib Husein berjalan kaki tiap sambil berdakwah, setiap tempat yang beliau lalui selalu ia mendatangkan rahmah. Ia berjalan kaki dari rumahnya yang ada di Brani keliling kampung atau ke pasar. Dengan berjalan kaki tiap pagi, seluruh peredaran darah dalam tubuh jadi lancar. Udara segar yang dihirup membuat kesegaran tubuh tetap prima, itulah salah satu keistimewaan waktu dari shalat Subuh.<br />Habib Husein sendiri lahir di Hadramaut, Yaman Selatan pada tahun 1862 M dari pasangan Habib Hadi bin Salim Al-Hamid dan Ummu Hani. Dari kecil, Habib Husein dididik langsung oleh kedua orang tuanya itu. Patut diketahui, Habib Hadi bin Salim Al-Hamid, ayahanda Habib Husein, dikenal sebagai salah seorang wali yang kesohor di Hadramaut. Habib Husein dibesarkan sampai umur 86 tahun di Hadramaut. <br />Bagi orang sekarang, usia 86 tahun itu sudah memasuki usia senja, kakek-kakek di mana orang sudah mulai kehilangan kekuatan dan gairahnya. Namun bagi Habib Husein, usia seperti itu tergolong muda. Kekuatannya tak jauh berbeda dengan usia pemuda saat ini. Itulah salah satu kekuatan Habib Husein. <br /> Di usia 86 tahun atau tepatnya 1929 M, ia masih senang mengembara ke berbagai negeri. Termasuk ke Hujarat dengan menggunakan kapal laut bersama saudagar-saudagar Arab yang berdagang melanglang buana ke berbagai negeri. Sejak itu ia Habib Husein meninggalkan Yaman dan tidak pernah kembali lagi ke sana.<br /> Sekitar 2 tahun, Habib Husein tinggal di Gujarat. Selama di Gujarat, ia berguru pada ulama setempat dan berdagang. Setelah itu, ia kembali mengembara ke Indonesia dengan menggunakan kapal saudagar yang menuju Batavia. Tak berapa lama kemudian, ia mengembara lagi ke berbagai daerah dan akhirnya ia sampai ke kota Pekalongan. Di kota ini, Habib Husein kemudian berguru pada seorang wali besar, yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas hingga beberapa tahun lamanya.<br /> Kepada auliya’ yang sangat terkenal di Kota Pekalongan itu, Habib Husein selain berguru ilmu lahir, ia juga mendalami ilmu batin. Sebagai tanda bahwa Habib Husein telah mencapai maqam kewalian yang mumpuni, ia kemudian dihadiahi sebuah sorban (kain putih) dan kopiah putih dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas.<br /> Atas pesan Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas (Pekalongan), Habib Husein kemudian mengasah ilmu kepada Habib Muhammad bin Muhammad Al- Muhdhor, yang tidak lain adalah guru dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Selama menjadi murid Habib Muhammad, Habib Husein senantiasa menadapat perintah untuk berdakwah ke berbagai daerah. <br />Salah satu tugasnya yang terakhir dari gurunya itu, Habib Husein diperintahkan untuk menyebarkan dakwah ke Brani Kulon, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ia masuk ke desa yang terpencil itu sekitar tahun 1939. Saat itu kondisi desa Brani masih berupa hutan belantara dan sarang penyamun. Tampaknya, Habib Husein memang sengaja ditugasi untuk membrantas para penyamun untuk kembali ke jalan Allah SWT.<br /> Setelah Habib Husein tinggal di Brani Kulon, ia langsung membuka dakwah dan dakwahnya itu diterima secara luas ke seluruh pelosok Kab Probolinggo. Tak mudah seperti dibayangkan, Habib Husein tidak langsung menempati rumah mewah di Brani. Ia harus membabat alas terlebih dahulu, bahkan ia hidup menumpang pada salah satu penduduk setempat.<br />Kendati hanya hidup menumpang, ia tetap gigih berdakwah dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Kendati tempat tinggalnya menumpang, tetapi penyebaran Islam tak pernah berhenti hingga kemudian ia berhasil mendirikan pesantren kecil. Di desa itu pula ia mengakhiri masa lajangnya.<br />Dalam sebuah perjalanan bersama para habaib dari berziarah ke Makam Habib Husein bin Abdullah Alaydrus (Kramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara). Habib Husein di dalam kereta api pernah dipaksa untuk menyediakan tempat duduknya oleh seorang pemuda kumal dan hanya memakai kaos oblong. Melihat seorang pemuda yang berdiri di depannya, Habib Husein kemudian berdiri sembari menyerahkan tempat duduknya kepada pemuda asing itu. Setelah berdialog beberapa saat dan Habib Husein memberi bekal uang yang tersisa pada pemuda tersebut. Tak berapa lama, tiba-tiba pemuda asing itu menghilang begitu saja. Ketika teman-teman Habib Husein mendapatinya sendirian, dan menanyakan tentang keberadaan pemuda asing tadi, Habib Husein berkata,”Dia itu sebenarnya adalah Nabiyallah Khiddir Alaihi Salam.”<br />Amaliah Habib Husein tidak saja menyeimbangkan ibadah dengan Allah SWT (hablumminnallah), ia juga menjalin hubungan yang erat dengan Umat (hablumminannas). Sering Habib Husein berjalan-jalan ke pasar dan melihat pedagang yang barang dagangannya tidak habis terjual atau malah tidak terjual sama sekali. Habib Husein tak segan-segan memborong barang dagangan dari pedagang yang ada di pasar agar si pedagang itu tidak menderita kerugian, atau minimal sang pedagang mendapat keuntungan. Tak pelak dengan keseimbangan amaliah itu, dakwahnya diterima dengan baik oleh masyarakat luas. <br />Tak hanya itu, dalam soal keilmuan, para santri PP Aswaja Brani Kulon sangat mempercayai kalau Habib Husein itu adalah titisan dari Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Ikhwalnya ia mendapat julukan Titisan Syeikh Abdul Qadir Jaelani, adalah ketika Habib Ahmad, salah seorang sahabatnya pernah bermunajat kepada Allah agar bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Dalam mimpinya, ia dipertemukan dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang bersorban putih, dan ketika didekati ternyata wajah itu adalah wajah Habib Husein bin Hadi Al-Hamid.<br /> Sebagaimana banyak diketahui, Habib Husein kerap dikunjungi oleh para Habaib pada jamannya seperti salah seorang habib yang dikenal sebagai salah satu pejuang RI yakni Habib Soleh Tanggul (Jember). Habib Husein juga mempunyai kedekatan khusus dengan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Darul Hadits, Malang) dan lain-lain. Bahkan anak cucu keturunan dari Habib Husein banyak yang masuk pesantren Darul Hadits, seperti Habib Muhammad Shodiq (anak), Habib Abdul Qadir (cucu), Habib Salim (cucu). Sekarang pesantren peninggalan Habib Husein di asuh oleh Abdul Qadir bin Muh Shadiq bin Husein Al-Hamid. <br />Habib Husein wafat hari Jum’at Legi, 11 Safar 1406 H/25 Januari 1986. Jenazahnya kemudian di makamkan di sebelah utara Masjid Al Mubarok, komplek Pondok Pesantren Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Desa Brani Kulon, Kecamatan Maron, Probolinggo, Jawa Timur.<br /><br />AST/ft AST, disarikan dari Manakib Habib Husein yang disusun oleh Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq bin Husein bin Al-Hamid. <br />1. Lead<br />2. Bersama Habib Sholeh Tanggul (Jember). Berkawan dengan seorang pejuang RI <br />3. Dikunjungi Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih (Malang). Banyak anak cucunya di kemudian hari belajar ke Darul Hadits <br />4. Suasana Peringatan Haul Habib Husein. Selalu dihadiri puluhan ribu jama’ah<br />5. Makam Habib Husein di Brani Kulon. Wali yang berumur panjang <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169434927414587782007-01-22T10:00:00.000+07:002007-01-22T10:02:07.626+07:00Babak Demi Babak Kelahiran NU<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/261449/NU.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/577517/NU.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br /><br />Lapsus:<br />Babak Demi Babak Kelahiran NU<br /><br />Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)<br /><br />Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.<br />KH A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72). <br />Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik). <br />Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. <br />Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma'sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11). <br /><br />Ketua HBNO <br />Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.” <br />Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.<br />Sampai sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya saja sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH. Rois Said berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54 menyebutkan, Hasan Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari “marga” Gipo sehingga nama Gipo diletakan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung) dan al-dien (agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan Abdul Latief Gipo.<br />Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam kelaurga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.<br />Sebagai orang yang punya keturunan Arab, Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik. <br />Baru sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang didampingi KH Hasyim Asya’ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH Wahab Chasbullah sebagai Katib ‘Am. (Sumber: surat permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru merespon permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini berada di Universitas Leiden, Belanda.<br /><br />Kantor HBNO<br />Presiden HBNO pertama, H. Hasan Gipo, menempati sebuah rumah yang sederhana sebagai sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan otonom NO yakni barisan pemuda Anshor berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya. Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul meletusnya perlawanan rakyat melawan penjajah pada 10 November 1945. KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Angresi Militer Belanda II. Akhirnya kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya.<br />Sejak ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta, 1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta. Ruangan kantor PBNO terletak di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah timur stasiun Gambir. Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang ‘Waras’, sebuah perusahaan dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim, Zainul Arifin dan Achsien.<br />Sekalipun berpindah-pindah kantor, NO telah menjelma menjadi ‘bayi raksasa’ seperti yang telah diramalkan KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan menadapat dukungan yang luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf. Tak mengherankan jika pada Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun persiapan, NO mampu menduduki tiga dari the big four (empat besar) pemenang pemilu dengan jumlah pemilih 6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi keempat ditempati PKI.<br />Tentu, untuk ukuran sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di Indonesia, kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH Saifuddin Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk mencari tempat yang lebih layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164. <br />Ketika melihat bangunan fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya layak sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin bahwa letak yang strategis dan harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan dapat diangsur dua kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang baik dan harga terjangkau PBNO karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang menggembirakan. (sumber: Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987).<br />Selain itu ada cerita menarik lainnya, dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan yang sama yakni makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh yang terkenal sangat nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat 164 sebagai kantor PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri.”Letaknya kan hanya 300-400 meter dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita,” kata Dahlan kepada Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh.<br />Tanpa disadari sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4 partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI. <br />Hingga kini, setelah 60 tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan sebagai kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan. <br /><br />AST, dari berbagai sumber<br />Caption: <br />1. Lead <br />2. Sudut Kawasan Ampel, Surabaya. Saksi sejarah kelahiran NO<br />3. Gedung PBNU pertama.Penuh dengan masa perjuangan<br />4. Acara Istighotsah NU. Menjadi bayi raksasa dengan jutaan umat <br />5. Gedung PBNU Sekarang. Lebih megah dan semarak kegiatan organisasi<br /><br />Box-1<br />Proses Penciptaan Lambang NO<br /><br />Lambang NO yang terdiri dari bola dunia dilingkari tali jagad dan bintang sembilan ternyata diciptakan oleh KH. Ridlwan Abdullah atas perintah KH Wahab Chasbullah. Kisah pembuatan lambang NO oleh Kiai Ridlan melalui shalat istiharah dan isyarat mimpi<br /><br />Surabaya, 1927. tepatnya hari Ahad, 9 Oktober 1927 M (12 Rabiu’Al-Tasani 1346 H), Muktamar ke-2 digelar. Sebagai organisasi yang berumur dua tahun, NO perlu show of force. Setidaknya agar kehadiran organisasi yang didirikan para ulama ini dapat dikenal oleh kalangan masyarakat luas. Acara muktamar sengaja dibikin sedemikian semarak. Hotel Paneleh, tempat acara ditata apik. Umbul-umbul dengan beraneka warna menghiasi dan memenuhi halaman hotel yang luas.<br />Yang tak kalah menarik, sebuah vandel berukuran besar bergambar lambang NO terpasang tepat di pintu gerbang Hotel Paneleh. Lambang itu terlihat oleh siapa saja yang melewati Hotel Paleneh. Lambang itu masih asing karena pertama kali ditampilkan. Pejabat yang mewakili pemerintah Hindia Belanda pun dibuat penasaran, lantas ia bertanya kepada Bupati Surabaya, apa arti lambang itu. Karena tidak bisa menjawab, Bupati lantas bertanya kepada Ketua HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama), H. Hasan Gipo, sayang, dia pun tak bisa memberikan keterangan. H Gipo hanya menyampaikan bahwa lambang itu diciptakan oleh Kiai Ridwan.<br />Untuk menjawab teka-teki makna lambang NU tersebut, dalam Muktamar ke-2 tersebut dibentuk majelis khusus guna menjelaskan dan membahas arti lambang. Majelis tersebut diikuti oleh beberapa wakil dari pemerintah dan para kiai. Tak ketinggalan, KH Hasjim Asj’ari juga secara aktif mengikuti rapat dalam majelis itu dan KH R. Mohammad Adnan (Solo) sebagai notulen rapat.<br />Sang pencipta lambang NO, KH Ridlwan Abdullah, diminta memberikan presentasi untuk yang pertama kalinya. Kiai yang biasanya banyak diam di forum-forum pertemuan kiai ini ternyata dengan lancar dapat menjelaskan dan menguaraikan secara terperinci arti lambang yang telah digambarnya. Padahal saat itu, Kiai Ridlwan tidak mempersiapkan presentasi, karena diminta secara spontan. Walau serba mendadak, presentasi berjalan lancar. <br />Dalam penjelasannya, Kiai Ridlwan menguraikan bahwa, gambar tampar (tali) melambangkan agama sesuai dengan firman Allah: “Berpegang teguhlah pada tali Allah, dan jangan bercerai-berai.”(QS Ali Imran:103). <br />“Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwwah (persatuan) kaum Muslim seluruh dunia. Untaian tampar berjumlah 99 buah melambangkan Asmaul Husna. Sedangkan bintang sembilan melambangkan Wali Songo, di mana posisi bintang paling besar dan posisinya di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin; dan empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (Madzab Empat, yakni Maliki, Hanafi, Hambali, Syafi’i).” <br />Belum selesai Kiai Ridwan melanjutkan presentasinya, tiba-tiba KH R Mohammad Adnan telah memotong pembicara utama. “Sudah! Cukup, Kiai Ridlwan!” sela Kiai R. Adnan yang menganggap keterangan Kiai Ridlwan sudah cukup memuaskan. Kiai utusan dari Solo ini dengan tekun mencatat secara lengkap semua ucapan dan uraian Kiai Ridlwan tersebut. Walhasil, seluruh peserta majelis khusus bersepakat menerima lambang itu dan membuat rekomendasi agar Muktamar ke-2 memutuskan lambang yang diciptakan oleh Kiai Ridlwan tersebut secara resmi menjadi lambang NU. <br />Pada acara penutupan muktamar, Kiai Raden Adnan tampil ke muka. Ia mencoba merumuskan yang telah diuraikan Kiai Ridlwan. Gambar bola dunia atau bumi yang mengingatkan bahwa manusia itu berasal dari tanah dan kembali ke tanah; akhirnya dikeluarkan lagi dari tanah pada yaumil ba’ats (hari kiamat) [QS. At- Taubah:5] Dilingkari tali tersimpul yang melambangkan ukhuwwah atau persatuan kaum Muslim seluruh dunia, diikat oleh agama Allah. [Q.S. Ali Imran: 103] dan ikatannya melambangkan hablun minallah wa hablum minan nas [Q.S. Ali Imran: 112].<br />Dikelilingi sembilan bintang, lima bintang terletak di atas garis khatulistiwa yang terbesar terletak di tengan atas, sedangkan empat bintang terletal melingkar di bawah garis khatulistiwa. Bintang besar melambangkan Nabi Muhammad, empat bintang di atas melambangkan empat sahabat dan empat bintang di bawah melambangkan empat mazhab. Di samping itu juga melambangkan Walisongo. Jadi Nabi, sahabat, imam mazhab, serta para Walisongo yang akan memberikan sinar dan petunjuk ke jalan yang benar.<br />Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia atau sebelah kiri. Semua jenis lambang tersebut dilatarbelakangi warna putih di atas warna hijau. Warna putih melambangkan kesucian sementara warna hijau melambangkan kesuburan.<br />***<br />Usai penutupan Muktamar, sekitar jam tiga dini hari, Hadhratusysyaikh KH Hasjim Asj’ari memanggil Kiai Ridlwan. Tampaknya Rois Akbar HBNO ini perlu menanyakan secara khusus asal dan proses pembuatan lambang NO yang telah diciptakan dan dipasang arena Muktamar NO.<br />Kiai Ridlwan pun langsung berkisah. Dua bulan menjelang Muktamar NO ke-2 dilangsungkan, ketua panitia Muktamar, KH Wahab Chasbullah menjumpai dirinya di kediaman, Jl Kawatan, Surabaya. Pembicaraan awalnya dimulai dari soal konsumsi Muktamar. Namun, akhirnya sampai ke tentang lambang NO, sebab dari NO dilahirkan tahun 1926 belum punya lambang. Karena Kiai Ridwan ketika itu sudah dikenal sebagai ulama yang punya keahlian melukis, maka Kiai Wahab menyerahkan sepenuhnya tugas membuat lambang kepadanya.<br />“Pokoknya lambang tersebut harus sudah bisa kita tampilkan di medan muktamar,” tegas KH Wahab.<br />Untuk menunaikan tugas dari Kiai Wahab itu, KH Ridlwan merasa kesulitan dalam mencari inspirasi (ilham). Berulang-ulang dibuat coretan-coretan sketsa, tetapi tidak ada yang mengena di hati. Ia membuat gambar dasar sampai beberapa kali. Konon, untuk membuat gambar dasa itu sampai memakan satu setengah bulan. Padahal waktu pelaksanaan Muktamar NO ke-2 sudah diambang pintu.<br />Dalam keadaan gelisah, tiba-tiba Kiai Wahab datang menagih pesanannya. Dengan terus terang Kiai Ridlwan menjawab bahwa sudah beberapa sketsa lambang NO dibuat, tapi masih belum ada yang mengena (belum cocok) untuk sebuah lambang NO.<br />“Seminggu sebelum Muktamar, lambang dan gambar itu sudah jadi lho,” desak Kiai Wahab yang tidak sabar lagi. Kiai Ridlwan denga npenuh kesabaran menjawab, ”insyaallah.”<br />Waktu untuk mendesain gambar baru sudah sedemikian sempit dan mendesak. Maka, untuk menemukan inspirasi itu, Kiai Ridlwan melaksanakan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Selepas shalat istikharah, Kiai Ridlwan tidur nyenyak. Dalam tidurnya itulah, ia bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru dan jernih. Bentuknya mirip dengan gambar dan lambang NU seperti sekarang.<br />Waktu itu jam di dinding menunjukkan angka 02.00 dini hari. Setelah terbangun dari tidur, Kiai Ridlwan spontan meraih kertas dan pena. Ia langsung membuat coretan sketsa, sambil mencoba mengingat-ingat gambar yang dilihat dalam mimpinya.<br />Akhirnya sketsa gambar pun jadi. Hasilnya mirip betul dengan gambar yang tampak dalam mimpinya. Pada pagi harinya, sketsa yang masih kasar itu lantas disempurnakan dan diberi tulisan NO dari huruf Arab dan Latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat dirampungkan dengan sempurna. Maklumlah, Kiai Ridlwan memang dikenal sebagai pelukis yang berbakat.<br />Kesulitannya, adalah bagaimana dan di mana bisa mendapatkan kain untuk lambang tersebut sebagai dekorasi di medan muktamar. Beberapa toko kain di Surabaya sudah disambanginya, namun warna yang dimaksud dalam mimpinya itu tidak ada yang cock. Akhirnya, Kiai Ridlwan mencoba mencari kain berwarna hijau ke Malang. Di kota itu, ia menemukan, sayang jumlahnya sangat sedikit, hanya tinggal berukuran 4-6 meter.<br />“Tak apalah,” kata Kiai Ridlwan. Kain hijau itu pun dibeli dan dibawa ke Surabaya. Ukuran lambang Nahdlatul Ulama dibuat memanjang ke bawah; lebar 4 meter dan panjang 6 meter, sesuai dengan bentuk asli lambang sekarang.<br />KH Hasjim Asj’ari tampaknya puas dengan penjelasan Kiai Ridlwan, yang menguraikan secara kronologis pembuatan gambar itu. Beliau lantas mengangkat kedua tangannya secara membaca doa cukup panjang. Akhirnya, Hadhratusysyaikh Hasjim Asj’ari berkata,”Muadah-mudahan Allah SWT mengabulkan harapan yang dimaksud dalam simbol Nahdlatul Ulama.”<br />Sayang, vandel “pusaka” berukuran besar berlambang NO itu kini tak ketahuan rimbanya. “Waktu PBNU boyongan dari Surabaya ke Jakarta (1956), vandel itu masih ada. Di sini (kantor Surabaya-red) terawat baik, di simpan dalam sebuah lemari, tak tahulah nasibnya sekarang,” kata Abdullah Ridlwan, salah seorang putra Kiai Ridlwan.<br /><br />AST, dari berbagai sumber <br />Caption:<br />1. Lead <br />2. KH Ridlwan Abdullah. Pencipta Lambang NU<br />3. Kediaman KH. Ridwan Abdullah. Pernah menjadi pusat gerakan dakwah <br />4. Muktamar NU pada tahun 1945. Lambang NU selalu dipakai <br />5. Relawan NU di daerah gempa bumi. Mengabdi pada umat dan kemanusiaan <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1169201599601964922007-01-19T17:09:00.000+07:002007-01-22T08:51:12.870+07:00Manakib Ustadz Hadi Jawas<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/734047/Hadi%20Jawas%20copy.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/210864/Hadi%20Jawas%20copy.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br /><br /><br />Ustadz Hadi Jawas<br /><br />Ayah dan Guru Para Murid Jamiat Kheir<br /><br />Salah satu pengajar Madrasah Jamiat Kheir yang begitu dekat dengan para muridnya adalah Ustadz Hadi Jawas. Kedekatan sang guru dengan murid bak kedekatan ayah dengan anaknya.<br /> <br />Ustadz Hadi Jawas mengajar ilmu fiqih dan hadits di Jamiat Kheir Jakarta. Sekalipun ia hanya mengajar ilmu fiqih, karena mata pelajaran ini disesuaikan dengan zaman, banyak murid yang menyukai pelajarannya. Dalam mendidik, dia penuh kasih sayang, seperti ayah pada anak-anaknya. Kedekatan emosional sang guru ini membuat para murid tak segan-segan untuk bertanya kepadanya. <br />Siapa sesungguhnya ulama dan guru yang kerap dianggap sebagai ayah di Jamiat Kheir ini? <br />Ustadz Hadi Jawas lahir tahun 1896 M (1356 H) di Hadramaut, Yaman. Tidak banyak data sejarah yang bisa melacak asal-usul dan data secara terperinci tentang bapak tiga anak ini. Menurut para murid Ustadz Hadi, ia dikenal sebagai orang yang gemar menuntut ilmu agama. Sejak kecil telah belajar kepada ulama-ulama setempat di Hadramaut. Ia bahkan sempat belajar kepada ulama yang sangat alim, Habib Salim bin Hafidz, kakek Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Darul Musthafa, Tarim. Bahkan ia menjadi murid kesayangan Habib Salim bin Hafidz.<br />Selain berguru kepada Habib Salim, sewaktu di Hadramaut ia juga pernah belajar kepada Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff (pengarang Fatat Garut), Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad (mufti Johor, Malaysia), dan lain-lain. <br />Awal abad ke-19, Indonesia tengah memasuki zaman pergerakan nasional. Itu ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi sosial dan pergerakan nasional, termasuk Jamiat Kheir, yang berdiri tahun 1901 M. Jamiat Kheir awalnya berdiri sebagai wadah pendidikan Islam yang bukan saja mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. <br />Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan Arab. Seiring perkembangan zaman, perguruan Jamiat Kheir tidak hanya diikuti keturunan Alawiyin (Arab), tapi juga keturunan Betawi dan umum. Apalagi, saat itu pendidikan agama atau sekolah masih jarang, jadi madrasah Jamiat Kheir menjadi rujukan sekolah yang utama.<br /><br />Membina Tokoh-tokoh Islam <br />Perkumpulan Jamiat Kheir diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam sekarang ini sebagai organisasi Islam yang banyak membina tokoh-tokoh Islam, seperti K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), H.O.S. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Budi Utomo), H. Agus Salim (tokoh KMB), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jami’at Kheir.<br />Pada tahun 1940, madrasah ini mengundang banyak guru dari luar negeri untuk mendidik murid-murid, baik dari keturunan habaib maupun ulama. Salah satu yang diundang untuk mengajar di madrasah ini adalah Ustadz Hadi Jawas. Sebelumnya, Jamiat Kheir pada zaman Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad mengundang guru-guru dari luar negeri, seperti Ustadz Hasyimi (Tunisia), Syaikh Ahmad bin Muhammad As-Surkati (Sudan, mengajar di Madrasah Jamiat Kheir tahun 1911-1914), Syaikh Muhammad Thayyib Al-Maghribi (Maroko), dan Syaikh Muhammad Abdul Hamid (Makkah). <br />Menurut salah seorang murid Jamiat Kheir, Habib Ali bin Ahmad Assegaff, Ustadz Hadi Jawas diundang ke Jamiat Kheir atas permintaan gurunya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff. Tentu, permintaan mengajar dari Madrasah Jamiat Kheir bagi Ustadz Hadi dan sekaligus permintaan langsung dari gurunya itu tak bisa ditampik. Bahkan merupakan sebuah kehormatan yang besar untuk mengabdikan ilmu-ilmu agama yang diperolehnya kepada masyarakat luas. <br />Setelah menunaikan ibadah haji ke Makkah, dengan bekal keyakinan dan semangat untuk berdakwah, Ustadz Hadi datang ke Indonesia pada tahun 1940-an, langsung mengajar di Madrasah Jamiat Kheir. Selain dikenal sebagai pengajar mata kuliah Fiqih dan Hadits, Ustadz Hadi juga dikenal sebagai pengajar tentang ilmu waris yang mumpuni. Ia menjadikan kitab Zubdah fi Fiqh Almawarits (Kumpulan Hukum Waris) karya Habib Salim bin Hafidz (kakek Habib Umar bin Hafidz, Rubath Darul Musthafa, Tarim) sebagai pegangan utama dalam mengajar. Ini termasuk kitab yang langka dan jarang dimiliki para ulama di Indonesia, dan amat wajar bila Ustadz Hadi Jawas menjadikan kitab tersebut sebagai pegangan dalam pengajian-pengajiannya.<br />Muridnya yang di kemudian hari dikenal sebagai dai dan muballigh, antara lain, Habib Syaikhan Al-Gadri, Habib Ali bin Sahil (Slipi), Habib Zain Alaydrus (Kebon Jeruk), Habib Hud Muhammad Albagir Alattas (Kebon Nanas), Habib Husin Mulachela (Majelis Khair, Ragunan). Demikian keterangan Habib Husein Al-Haddad (kepala sekolah di MTS Yayasan Jamiat Kheir), yang juga salah seorang murid Ustadz Hadi Jawas. <br />Murid-muridnya yang lain, di antaranya, Habib Muhsin Alattas (Petamburan), K.H. Sabilar Rosyad (Kuningan), K.H. Syukur Ya’kub, K.H. Aminullah (Palmerah), K.H. Abdul Manaf (pendiri PP Darunnajah, Cipulir, Jakarta Selatan), K.H. Ma’mun (Rawa Belong).<br />“Ustadz Hadi Jawas, walaupun datang dari Hadramaut, sistem belajarnya bisa diterima murid-muridnya,” kata Habib Ali bin Ahmad Assegaff, salah seorang alumni dan pengajar Madrasah Jamiat Kheir.<br />Ustadz Hadi mengajar di Jamiat Kheir bersama Ustadz Muhammad Dhiya’ Shahab (kepala sekolah), Ustadz Abdullah Arfan Baraja, Habib Hadi Al-Kaff, Habib Abdurrahman Assegaff (Bukitduri), dan lain-lain. Pesan yang senantiasa disampaikan oleh Ustadz Hadi Jawas kepada para murid-muridnya, ”Jangan menyia-nyiakan waktumu, dan ingat ayah-bundamu. Dan ingat selalu dua muasasah (yayasan) ini, yakni Darul Aitam dan Jamiat Kheir.”<br />Ia berhenti mengajar di Madrasah Jamiat Kheir tahun 1965. Setelah itu ia banyak menghabiskan waktunya dengan mengajar, ta’lim, di rumahnya.<br />Rumahnya di Kebon Kacang, yang berada di belakang Madrasah Jamiat Kheir, senantiasa terbuka bagi para tamu yang datang untuk bertanya atau sekadar silaturahmi. Banyak tokoh dari berbagai daerah yang berdatangan ke rumahnya, di antaranya Habib Muhammad Mulachela, Habib Hadi bin Ahmad Assegaff, Habib Abdullah bin Umar Al-Habsyi, Habib Ahmad Mashur, Habib Idrus bin Husin Al-Hamid, Habib Ali bin Alwi Assegaff, dan lain-lain. <br />Ta’lim ini juga dihadiri beberapa guru sesuai dengan bidang masing-masing, dari kalangan dai, pengajar pesantren, sampai pemimpin masyarakat. Pengajian itu diadakan dua hari sekali. Bahkan di saat bulan Ramadhan tiba, Ustadz Hadi membuka ta’lim setiap hari.<br />Sebelum datang ke Indonesia, ia telah menikah dengan keluarga Bahfen dan mempunyai anak bernama Ahmad. Tahun 1964, Ustadz Hadi pergi haji dan sempat mengunjungi anak dan cucunya di Hadramaut. Di Indonesia, almarhum menikah dengan Sehun Bakran Jawas dan mempunyai tiga putra: Said, Salmah, dan Muhammad Rasyid. <br />Sang pendidik yang banyak melahirkan ulama dan dai ini wafat tahun 1993, tepatnya di bulan Ramadhan 1414 H, dimakamkan di Taman Makam Karet, Jakarta Pusat. <br /><br />AST, dari berbagai sumber<br /><br />Caption:<br />1. Lead Foto<br />2. Gedung Jamiat Kheir di Tanah Abang. Melahirkan banyak ulama dan tokoh masyarakat<br />3. Ustadz Hadi Jawas (bersorban). Menjadi tempat bertanya banyak ulama <br />4. Ustadz Hadi bersama para ulama dan habib. Guru dan ayah bagi murid-muridnya <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a>Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1165996325331132552006-12-13T14:49:00.000+07:002006-12-13T14:52:05.530+07:00Ak02.MutiaraRasul.AST<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/178077/Sahabt.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/556739/Sahabt.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Saling Membantu Terhadap Sesama <br /><br />Rasulullah SAW suatu waktu mendapati seorang tawanan wanita yang tidak punya pelindung. Akhirnya oleh beliau, wanita tersebut mendapat bekal dan makanan. Berkat dakwah yang baik dan sikap saling membantu, anaknya pun akhirnya memeluk Islam <br /><br />Suatu ketika datang sekelompok pasukan yang dikirim Rasulullah SAW untuk mengambil beberapa orang dari bani Ady bin Hatim. Sementara itu Ady bin Hatim sedang berada di luar kota, tepatnya di Aqrib. Akhirnya pasukan Rasulullah SAW itu membawa beberapa orang bani Ady bin Hatim ke hadapan Rasulullah. Melihat banyaknya orang yang dibawa, Rasulullah SAW kemudian menyuruh salah seorang pasukannya untuk memimpin para tawanan itu berbaris. ”Suruhlah mereka berbaris,” perintah beliau.<br />“Siap baginda,” jawab salah seorang prajuritnya.<br />Rasulullah SAW kemudian berjalan mengitari barisan tawanan itu dengan langkah yang berwibawa. Badannya yang tegap dan ditopang wajah yang putih bersih, tampak wajah keteduhan bagi siapa saja yang memandangnya. Tibalah beliau di hadapan seorang wanita tua, ibu dari Ady bin Hatim. Wanita itu langsung menyapa pada beliau.<br />“Wahai Rasulullah, penolongku entah kemana dan anakku pun tidak ada. Sementara aku, seorang wanita lanjut usia, dan tidak seorang pun yang mengurusi aku. Maka bermurah hatilah kepadaku sebagaimana Allah telah bermurah hati kepadamu.”<br />“Siapa penolongmu?” Tanya beliau dengan tutur kata beliau santun dan penuh kelembutan.<br />“Ady bin Hatim,” jawab wanita itu.<br />“Orang yang lari dari Allah dan Rasul-Nya,” sabda beliau kepada ibu Ady bin Hatim. Tampak wajah beliau berubah memerah, tanda beliau mulai bersikap tegas terhadap siapa pun.<br />“Bermurah hatilah kepadaku,” rengek wanita itu sambil memegang jubah beliau. Tak lama kemudian wanita melepaskan pegangan pada jubah beliau, sebab beliau kembali berjalan mengelilingi barisan tawanan itu.<br />Setelah berkeliling, sekarang beliau beserta Ali bin Abi Thalib mendatangi wanita itu. Lantas beliau bersabda,”MIntalah bekal pada sahabatku ini.”<br />Maka ibu dari Ady bin Hatim kemudian meminta bekal pada Ali bin Abi Thalib. Setelah mendapat bekal berupa uang dan makanan, ibu Ady bin Hatim kemudian diantar pulang ke rumahnya.<br />Sampai di rumah, tampak anaknya Ady bin Hatim telah berada di dalam rumah. Ibu Ady Hatim kemudian berkata,”Aku telah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan ayahmu. Temuilah beliau, baik dalam keadaan suka maupun terpaksa, karena Fulan bin Fulan pernah menemui beliau dan dia mendapatkan keuntungan dari beliau, begitu pula yang dilakukan orang lain, termasuk aku.”<br />“Baiklah, kalau itu maumu,” kata Ady bin Hatim pada ibundanya.<br />Lantas, Ady bin Hatim sebagaimana perintah ibundanya, ia menemui baginda Rasulullah SAW. Saat itu beliau sedang duduk bersama seorang wanita dan beberapa anaknya yang masih kecil. Demikianlah gambaran kehidupan Rasulullah SAW yang begitu merakyat, sekalipun telah menjadi pemimpin umat, beliau bergaul dengan rakyat biasa bahkan dengan anak-anak. Kedekatan antara pemimpin dan rakyat itulah yang membedakan kedudukan beliau tidak sama sebagaimana kedudukan para raja pada jamannya.<br />Rasulullah SAW melihat kehadiran Ady bin Hatim kemudian bertanya,”Wahai Ady bi Hatim, apakah yang membuat engkau lari jika dikatakan la ilaha illallah. Padahal, memang tidak ada illah (tuhan) selain dari Allah SWT? Apakah yang membuatmu lari, jika dikatakan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) ? Adakah sesuatu yang lebih besar dari Allah”<br />Mendapat pertanyaan yang lumayan berat membuat kerongkongannya kelu, pikirannya buntu dan berat untuk menjawab. Ady bin Hatim diam seribu bahasa. Ia kemudian berkata,”Ya Muhammad, memang benar apa yang engkau katakana. Maka mulai detik ini juga, aku masuk Islam.”<br />Saat itu juga, wajah beliau berubah berseri-seri. Beliau kemudian bersabda, ”Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat ialah orang-orang Nasrani.”<br />Beliau kemudian menyampaikan pujian pada Allah dan melanjutkan sabdanya ,”Amma ba’d. Kalian wahai orang-orang muslim. Hendaklah memberikan bekal pada orang-orang ini.”<br />Begitulah perintah beliau kepada kaum muslimin dianjurkan untuk membantu terhadap sesamanya, apalagi terhadap mualaf, orang yang baru masuk Islam. Maka kaum muslimin sesuai perintahnya, kemudian memberi bekal pada Ady bin Hatim. Ada yang memberi satu sha’ ada yang satu genggam makanan. Beliau kemudian bersabda, ”Sesungguhnya seseorang diantara kalian akan bertemu dengan Allah SWT, lalu ada penyeru, ’Yang dapat Kukatakan, bukankah Aku telah menjadikanmu mendengar dan melihat? Bukankah Aku sudah menjadikan bagimu harta dan anak? Lalu apa yang kamu bawa? Dia melihat ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan, dan dia tidak mendapatkan sesuatu apa pun.’ Tidak ada yang selamat dari api neraka kecuali wajahnya. Maka takutlah kalian terhadap api neraka meski hanya dengan separoh korma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka dengan kata-kata yang lembut. Sesungguhnya aku tidak takut kemiskinan yang menimpa kalian. Sesungguhnya Allah benar-benar akan menolong kalian, akan memberikan dan akan menaklukan berbagai negeri kepada kalian, hingga ada sekedup wanita yang mengadakan perjalanan Hairah dan Yatsrib atau lebih jauh lagi, tanpa merasa takut terhadap tindak pencurian terhadap dirinya.”<br /><br />AST, riwayat Ahmad dan Ath-Thabrany, Majma’ Az-Zawa’id <br />--------------------------<br />Kata Mutiara:<br /><br />“Siapa yang meminta perlindungan atas nama Allah, maka berilah perlindungan. Siapa yang meminta atas nama Allah, maka berilah, siapa yang meminta pertolongan atas nama Allah, maka berilah pertologan, siapa yang memberikan hal yang ma’ruf kepada kalian, maka balaslah. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka berdoalah baginya, hingga kalian tahu bahwa kalian telah memberikan balasan kepadanya.” (HR Abu Daud dan An-Nasa’i). <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1165995214445942692006-12-13T14:32:00.000+07:002006-12-13T14:33:34.863+07:00Manakib<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/343280/Leadabubakarshahab.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/226472/Leadabubakarshahab.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Habib Abubakar bin Ali Shahab<br /><br />Salah Satu Pendiri Jamiat Kheir<br /><br />Ia merupakan salah satu pendiri Jamiat Kheir. Kegiatan organisasi ini menaruh perhatian dalam bidang pendidikan dan sosial<br /><br />Tahun 1900 merupakan awal abad 20 yang sering dikatakan awal abad keemasan. Batavia, sebutan kota Jakarta saat itu, sedang memasuki periode kota kolonial modern. Berkat revolusi industri berbagai teknologi dperkenalkan. Sistem transportasi dan komunikasi mulai berkembang. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa setelah dibukanya terusan Suez di Mesir. <br />Tapi sayangnya, yang menikmati kemajuan itu hanyalah kelompok minoritas Belanda dan orang-orang Eropa. Tidak demikain halnya dengan orang-orang pribumi, termasuk orang-orang keturunan arab. Khusus terhadap orang-orang keturunan arab, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti Islam. Apalagi semangat Pan-Islamisme yang dikobarkan di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung di Indonesia. Prof. Snouck Hurgronye terang-terangan menuduh kaum Alawiyyin yang menyebarkan paham Pan-Islamisme di Indonesia.<br />Begitu bencinya Belanda terhadap Islam dan orang-orang keturunan Arab, sehingga di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah waktu itu, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Hingga tidak heran, menurut Mr. Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda mengakibatkan mereka tidak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda. Bukan hanya orang-orang keturunan Arab, tapi juga kelompok ulama dan santri menganggap sekolah Belanda sebagai sekolah kafir.<br />Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras itulah, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab tampil untuk mendirikan sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. Pada tahun 1901, berbarengan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air, berdirilah perguruan organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan arab.<br />Selain Abubakar bin Ali shahab, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin yangn mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda-propaganda jahat Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.<br />Begitu suksesnya Jamiat Kheir hingga diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam sekarang ini sebagai organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Budi Utomo), H. Agus Salim (tokoh KMB), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.<br />Habib Abubakar bin Ali Shahab, sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KHM. Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama-sama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.<br /><br />Aktif Sejak Muda <br />Habib Abubakar dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Rajab 1287 H/ 24 Oktober 1870 M, dari seorang ayah bernama Ali bin Abubakar bin Umar Shahabuddin al-Alawy, kelahiran Damun, Tarim, Hadramaut. Ibunya bernama Muznah binti Syech Said Naum. Said Naum adalah salah seorang keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya yang luas di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk pemakaman. <br />Di zaman Gubernur Ali Sadikim di tahun 70-an pemakaman ini dipindahkan ke Jeruk Purut dan Karet, dan lahannya dipergunakan untuk membangun rumah susun pertama di Indonesia, berikut sebuah masjid lengkap dengan madrasahnya yang memakai nama Said Naum untuk mengabadikan wakafnya. Masjid ini pernah mendapat anugerah Agha Khan karena arsitekturnya yang orisinil dan menawan selaras dengan lingkungannya.<br />Dalam usia 10 tahun, pada tahun 1297 H, Habib Abubakar bersama ayahnya serta saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. di Hadramaut, Abubakar muda menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal di sana, baik di Damun, Tarim, maupun Seywun. Tidak puas dengan hanya dengan berguru, beliau selalu mendatangi tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ulama terkemuka.<br />Abubakar kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura, dan tiba di Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H. Mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut, ia yang masih muda itu mendirikan Jamiat Kheir bersama pemuda-pemuda sebayanya.<br />Setelah Jamiat Kheir berkembang dan semakin banyak muridnya, dalam usia 50 tahun atau pada tanggal 1 Mei 1926 beliau kembali berangkat ke Hadramaut untuk kedua kalinya. Kali ini disertai dua orang putranya, Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla sebelum akhirnya tiba di Damun, Hadramaut, pada tanggal 20 Zulqaidah 1344 H.<br />Di tempat-tempat yang dikunjunginya, beliau bersama dengan dua putranya yang masih berusia 20-an tahun selalu membahas upaya untuk meningkatkan syiar dan pendidikan Islam sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, “Belajarlah kamu dari sejak buaian sampai ke liang lahat”. Habib Abubakar di tempat-tempat yang disinggahi selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ini, beliau memperbaiki sejumlah masjid, antara lain masjid Al-Mas. Bahkan beliau membangun masjid Sakran yang sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya.<br />Almarhum tidak pernah jemu dan lelah berjuang untuk kejayaan Islam dan Alawiyyin, bahkan juga tidak segan-segan untuk mencari dan mengumpulkan biaya selama di Jawa, Palembang dan Singapura untuk membangun madarasah di Damun, Hadramaut. Sampai sekarang madrasah ini masih berdiri dengan baik. Beliau juga mendirikan yayasan Iqbal di Damun.<br />Pada 27 Syawwal 1354 H beliau sampai di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di tanah suci berbarengan dengan kedatangan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dari Kwitang, seorang ulama besar di Jakarta yang menjadi shahabat karibnya. Mereka bersama-sama menziarahi tempat-tempat mulia dan para tokoh ulama.<br />Pada awal Muharram 1355 H beliau kembali ke Damun, Tarim. Pada 11 Safar 1356 H bertepatan dengan 23 April 1937 M beliau berangkat pulang ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, beliau disambut oleh shahabat karibnya, Habib Ali Kwitang di sekolah Unwanul Fallah yang dibangun Habib Ali. Keesokan harinya beliau disambut di sekolah Jamiat Kheir, sekolah yang didirikannya. Baik di Kwitang maupun di Tanah Abang, sejumlah tokoh habaib yang ada memberikan kata-kata sambutan dan pujian kepadanya. Ketika diterima di Jamiat Kheir, sekolah ini dipimpin oleh Muhammad bin Ahmad bin Sumaith.<br />Berbagai kegiatan di bidang sosial dan pendidikan tidak pernah henti-hentinya dilakukannya selama berada di Indonesia, karena bidang ini tidak lepas dari perhatiannya. Bahkan pada 14 November 1940 beliau menghadiri pembukaan madrasah/ma’had di Pekalongan. Madrasah ini dibangun oleh sepupunya, Habib Husein bin Ahmad bin Abubakar Shahab. Pembukaan sekolah di Pekalongan ketika itu mendapat sambutan meriah bukan saja dari warga setempat, tapi juga dari tokoh masyarakat Jakarta, Cirebon, Solo, Gresik, Surabaya dan masih banyak lagi.<br />Berjuang untuk Islam dan masyarakat, Habib Abubakar tidak pernah berhenti. Bukan hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga tidak segan-segan untuk mendermakan harta bendanya. Demikianlah, beliau sebagai wakil dari Al-Rabithah Al-Alawiyyah telah beberapa kali ditugaskan mencari dana bukan hanya untuk kepentingan kelompok Alawiyyin, tapi juga masyarakat luas.<br />Pada tanggal 18 Maret 1944 M, saat pendudukan Jepang, tokoh yang juga ikut dalam mendirikan Malja Al Shahab di tahun 1913 bersama sejumlah pemuda. Al Shahab ini, menghadap hadirat Allah SWT pada hari Sabtu 18 Maret 1944 M yang bertepatan dengan 23 Rabiul Awwal 1363 H. Beliau wafat di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan wakaf Tanah Abang, tanah wakaf kakeknya. Yang memandikan dan mengkafani almarhum adalah Habib Ali bin Husein bin Muhammad Al-Aththas dan Syeikh Ahmad bin Umar Al-Azab.<br />Ketika pemakaman dipindahkan ke Jeruk Purut, tidak ada yang mengetahui dimana jasad beliau dipindahkan. Beliau meninggalkan tujuh orang putra-putri. Putra tertua Abdurrahman, disusul Abdullah, Hamid, Idrus, Zahrah, Muznah dan Ali. Putra terkecilnya, Ir. Ali A. Shahab, pernah menjabat Kepala Divisi Komunikasi dan Elektronika Direktorat PKK Pertamina. Seperti juga almarhum ayahnya, Ali Abubakar Shahab kini aktif di bidang sosial. Patah tumbuh hilang berganti. <br /><br />AST, disarikan dari Rihlatul Asfar: sebuah otobiografi Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin, yang diterjemahkan oleh Drs Ali Yahya, Spsi, tahun 2000 <br />Caption:<br />1. Lead<br />2. Madrasah Jami’at Kheir, Tanah Abang. Pernah menjadi pusat pergerakan<br />3. Suasana kongres I Rabithah Alawiyah. Ditugaskan mencari dana untuk kepentingan masyarakat <br />4. Gedung Darul Aitam, Tanah Abang.Mendirikan yayasan untuk anak yatim piatu <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1165991351054126912006-12-13T13:27:00.000+07:002006-12-13T13:29:11.933+07:00Ak26.Mutiara Rasul.AST<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/943180/Unta.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/383071/Unta.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Kesaksian Seekor Unta<br /><br />Setelah raja Jahiliyah Habib bin Malik melihat mukjizat yang dimiliki Rasululah SAW, ia kemudian memeluk Islam. Sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dan tanda terimakasihnya kepada Rasulullah SAW, Raja Habib mengirim hadiah melalui beberapa utusan, berupa emas, perak, unta dan lain sebagainya kepada beliau.<br />Mengetahui akan datangnya rombongan membawa hadiah untuk Rasulullah SAW, Abu Jahal segera menghadang perjalanan utusan-utusan yang membawa hadiah itu di luar perbatasan kota Mekkah. <br />Ketika rombongan utusan Raja Habib bin Malik muncul, Abu Jahal dan komplotannya pun langsung melancarkan aksi. Mereka berpura-pura tidak tahu siapa dan maksud kedatangan rombongan tersebut. “Siapakah kalian ini?”<br />“Kami adalah utusan Raja Habib bin Malik untuk menyampaikan hadiah ini kepada Rasulullah SAW,” jawab para utusan dengan polos.<br />Abu Jahal kemudian memperkenalkan dirinya dan mengatakan kalau hadiah-hadiah yang dibawa itu adalah dirinya bukan untuk Muhammad. Mendengar pengakuan dari Abu Jahal, para utusan itu bersikeras bahwa mereka diutus untuk menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Para utusan Raja Habib bin Malik itu kemudian pamit dan memacu kendaraannya ke arah kota Mekkah. <br />Ketika rombongan itu akan berlalu dari hadapan Abu Jahal. Tanpa membuang banyak waktu lagi, komplotan Abu Jahal pun mendekati para utusan Raja Habib bin Malik dan hendak merampas barang bawaan yang mereka bawa. <br />Tentu saja, aksi itu mendapat perlawanan keras dari para pengawal utusan Raja Habib bin Malik, hingga terjadilah pertempuran anatar kubu utusan Raja Habib dan kawanan Abu Jahal.<br />Pedang-pedang terhunus, saling beradu menimbulkan denting suara yang memekakkan telinga, diselingi teriakan dan umpatan dari kedua belah pihak. Suara kegaduhan dari adu kekuatan antara kedua kelompok itu sampai terdengar di pinggiran pemukiman kota Mekkah. Maka, mereka pun kemudian ramai-ramai mendatangi ajang pertemuran dan bermaksud melerai pertikaian itu. Pertempuran itu kemudian terhenti sejenak karena ditonton oleh banyak penduduk Mekkah.<br />Salah seorang pemuka Quraisy maju ke depan dan menanyakan kepada salah satu utusan Raja Habib bin Malik,”Apa maksud kedatangan kalian ke kota Mekkah?”<br />“Kami datang ke kemari untuk menyampaikan hadiah ini kepada Rasulullah sedang Abu Jahal mengatakan bahwa hadiah-hadiah ini untuknya,” kata salah satu utusan Raja Habib bin Malik.<br />Rasulullah SAW yang turut hadir di antara mereka kemudian bersabda,”Wahai masyarakat Mekkah, apakah kalian rela dan mau mendengarkan apa yang hendak kukatakan ini?”<br />“Baiklah, ya Muhammad, kami akan mendengar perkataanmu,” jawab sebagian yang hadir.<br />Kemudian Rasul SAW meneruskan ucapannya,”Aku ingin bertanya kepada unta yang membawa hadiah ini.”<br />Alangkah terkejutnya Abu Jahal mendengar perkataan Rasulullah. Tentu saja Rasulullah SAW akan bisa berbuat apa saja, pikirnya. Oleh sebab itu, Abu Jahal meminta kepada yang hadir untuk menunda beberapa hari apa yang akan dilakukan oleh Muhammad, yakni menanyai unta pembawa hadiah. Karena ia juga merasa yakin dapat menanyai unta pembawa hadiah itu, setelah meminta tolong pada patung sesembahannya. Dan usul dari Abu Jahal pun kemudian disepakati oleh semua yang hadir.<br />Selama tiga hari berturut-turut, Abu Jahal tidak pernah keluar dari ruang sesembahan berhala. Siang dan malam, ia tak lepas dari bersujud dari berhala, demi kemenangan menandingi Muhammad. Menginjak hari ketiga, Abu Jahal melangkahkan kakinya keluar rumah dan mendatangi orang-orang Mekkah dengan satu keyakinan bisa menandingi Muhammad. <br />Sampai di tempat yang telah ditentukan, Abu Jahal pun langsung berhadapan dengan Rasulullah SAW. Di hadapan beliau, ia langsung mengatakan kalau hadiah dari Raja Habib bin Malik itu dihadiahkan kepadanya. Namun Rasulullah SAW tak mau kalah, beliau menentang alasan Abu Jahal, dengan mengatakan bahwa hadiah tersebut diperuntukan baginya dan itulah yang sebenarnya terjadi.<br />Perdebatan Rasulullah SAW dan Abu Jahal berlangsung cukup lama, sampai kemudian Rasulullah mengingatkan akan perjanjian yang telah mereka buat beberapa hari yang lalu untuk bertanya pada unta pembawa hadiah. Beliau kemudian mempersilahkan Abu Jahal untuk memulai terlebih dahulu kepada unta pembawa hadiah itu.<br />Setelah mempersilahkan Abu Jahal untuk maju ke muka, maka Abu Jahal secara perlahan mendekati unta itu. Dengan suara serak dan parau, ia berteriak, ”Wahai unta! Demi Latta dan Uzza; katakanlah!”<br />Kata-kata seperti itu berulangkali keluar dari mulut Abu Jahal, sampai matahari tenggelam ke peraduannya. Namun, nasib malang bagi Abu Jahal karena unta tersebut tidak mau menjawab sepatah kata pun. Unta itu tetap diam seribu bahasa, sampai-sampai masyarakat Mekkah yang menyaksikan merasa bosan dengan ocehan-ocehan Abu Jahal. <br />“Wahai Abu Jahal! Hentikan saja ocehan kosongmu itu. Engkau tidak akan mampu mengajaknya berbicara. Mundurlah, beri kesempatan pada Muhammad untuk memulainya, guna mengetahui, siapakah yang sebenarnya yang berhak menerima hadiah itu,” kata sebagian mereka.<br />Maka sadarlah Abu Jahal, bahwa dirinya tidak mungkin dapat mengajak unta itu berkomunikasi. Buktinya dari siang sampai sore hari, unta itu belum menjawab pertanyaannya juga, padahal dirinya telah lelah untuk berkata-kata. Kini, giliran Rasulullah SAW yang maju untuk bertanya kepada unta itu. Maka mulailah beliau mengajukan pertanyaan,”Wahai unta, wahai mahluk yang diciptakan Allah. Katakan yang sebenarnya di hadapan masyarakat Mekkah itu, tentang status dirimu.”<br />Keajaiban pun terjadi. Tiba-tiba unta yang tadinya mendekam, kini mendadak bangun setelah mendengar pertanyaan Rasulullah SAW. Masyarakat bertambah tercengang manakala telinga mereka mendengar suara yang amat jelas keluar dari mulut unta yang berada di hadapan mereka,”Wahai masyarakat Mekkah! Kami ini adalah hadiah dari Raja Habib bin Malik yang akan dipersembahkan kepada Nabi Muhammad SAW.”<br />Setelah masyarakat mengetahui untuk siapakah hadiah tersebut, mereka pun mengutuk Abu Jahal yang mengaku-aku hadiah tersebut. Akhirnya, Rasulullah mengambil semua hadiah tadi dan membawanya ke arah gunung Abi Qubaisy. Sedangkan Abu Jahal segera pergi dari tempat tersebut dengan hati yang diliputi rasa malu yang tiada terhingga. Namun begitu, ia bukannya bertambah jera, melainkan semakin bertambah dendam kepada Muhammad. Abu Jahal tetap menganggap Muhammad sebagai musuh besrnya dengan perasaan iri, dengki bercampur hasud dan semuanya bercampur menjadi satu dalam hatinya yang hitam, jauh dari kebenaran dan cahaya Islam.<br /><br />AST <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1165977765897152242006-12-13T09:41:00.000+07:002006-12-13T09:42:46.430+07:00Liputan Khusus<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/110864/Ditengah%20Jamaah.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/813939/Ditengah%20Jamaah.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Pengajian Keliling Majelis Dzikir Ratib Haddad Denpasar<br /><br />Dalam rangka memperingati Haul Sahiburratib Haddad ke-295 Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Majelis Dzikir Ratib Haddad, Bali yang dibina oleh ustadz Nurkholis Basyaiban ini juga mengadakan pengajian keliling ke berbagai pelosok kampung di Bali. Berikut liputan khusus Aji Setiawan yang mengikuti rihlah (perjalanan) dakwah Majelis Dzikir Ratib Haddad selama lima hari langsung dari Denpasar, Bali <br /><br />Sabtu<br />Hari pertama, Sabtu (2/12) ba’da shalat Ashar, bertempat di kediaman Ustadz Nurkholis Basyaiban diadakan acara rauhah (pembuka) dengan pembacaan Maulid Simthud Durar oleh kelompok Hadrah Al-Hikmah (Denpasar) pimpinan ustadz Puryanto. Dalam acara tersebut juga diadakan aqiqah putri keempat Bapak Misbah Haji, yakni Salsabila Nur Sabrina. Selepas diadakan pemotongan rambut oleh para Habaib dan jamaah, acara berlanjut dengan taushiah Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff yang memberikan wawasan tentang pentingnya mendidik anak.<br />”Adalah tugas orang tua ketika anaknya lahir adalah mendidik mereka dengan memasukan ke madrasah-madrasah, pesantren atau lembaga pendidikan lainnya. Sehingga anak tersebut menjadi anak yang saleh dan salehah,” pesan Habib Hadi kepada sekitar 100 jama’ah yang memadati acara pengajian di Jl Gunung Slamet No 32, Perumnas Monang-maning, Denpasar. Acara ditutup dengan pembacaan doa secara bergantian oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad dan Habib Hasan Al-Jufri. <br />Malam harinya, selepas shalat Isya, para Habaib kembali diundang oleh Rukun Warga Muslim (RWM) Perumnas Monang-maning Blok IX, Denpasar, dengan mengambil tempat di Mushala Silaturahmi. Acara dibuka dengan pembacaan kalam ilahi oleh ustadz Fathuri dan sambutan ketua RWM yakni Drs Ramli Effendi. Taushiah pertama disampaikan oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff yang membahas tentang pentingnya birrul walidain (berbakti pada orang tua).”Kalau ingin selamat dunia akhirat, maka berbaktilah kepada kedua orang tua.”<br />Dalam kesempatan itu, Habib Hadi juga menjelaskan cara berbakti pada orang tua yang telah meninggal, yakni dengan mendoakan mereka, selalu memohon ampun dosa-dosa mereka, melaksanakan segala keinginan-keinginan (amanah) yang belum terlaksana, berusaha menjalin tali kekeluargaan dengan keluarga mereka dan memuliakan sahabat-sahabat dari kedua orang tua kita. <br />Habib Hadi juga mengingatkan pada jamaah tiga sebab amal seseorang tidak diterima oleh Allah SWT, yakni menyekutukan Allah (syirik), durhaka kepada kedua orang tua, dan ghirar (mendoakan kejelekan pada orang lain). <br />Acara pengajian yang dihadiri sekitar 200 jamaah ini kemudian ditutup dengan taushiah oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad dan doa oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad.<br /><br />Minggu<br />Minggu (3/12), sekitar seribu jemaah dari berbagai pelosok Bali mendatangi Masjid Al-Muhajirin (IKMS) yang terletak di Jl Gunung Sari, Perumnas Monang-Maning, Denpasar untuk menghadiri acara peringatan Haul ke-295 Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Peringatan haul Sahiburratib Haddad ini telah sepuluh kali digelar oleh Majlis Dzikir Ratib Haddad, Bali yang dibina oleh ustadz Nurkholis Basyaiban.<br />Tepat pukul 08.00 WITA, acara dibuka dengan pembacaan Maulid Habsyi dan diselingi lantunan kasidah dari kelompok hadrah Al-Hikmah (Perumnas Monang-maning, Denpasar) yang dipimpin Ustadz Puryanto. Peringatan haul ini juga dihadiri habaib dan ulama diantaranya Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad, Habib Habib Hasan Al-Jufri, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff (Malang), Habib Umar bin Zein Al-Haddad (Jember), KH Hasan Abdillah (Glenmoore, Banyuwangi), KH. Suyuti Toha (Delimo, Banyuwangi), KH Hasan Toha (Srono, Banyuwangi), KH Halimi (Besuki, Banyuwangi), habaib serta para ulama Bali dan sekitarnya. <br />Setelah pembacaan Surah Yasin oleh KH.Hasan Abdillah (Glenmoore, Banyuwangi) dan pembacan Ratib Haddad oleh Habib Abdullah bin Muhammad bin Ali Al-Haddad (Malang). Lepas pembacaan Al-Qur’an dan sambutan panitia, dilanjutkan dengan acara taushiah tiga Habaib dari kota Malang, Jawa Timur yakni Habib Hasan Al-Jufri, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff dan Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad. Selepas pembicara terakhir, Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad menceritakan sekelumit manakib dan nasehat-nasehat Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, acara kemudian ditutup dengan doa oleh KH Hasan Abdillah. (Baca: Haul Pengibar Bendera Alawiyin, alKisah No.26/IV/2006). <br />Ba’da ashar, pengajian diadakan di dealer Motor An-Nur, kediaman Hj.Insiyah Yusuf, Jl Pulau Buru, Denpasar. Acara dibuka dengan tahlil dan Yasin oleh KH Suyuti Toha (Delimo, Banyuwangi) dan berlanjut dengan taushiah oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff (Malang) yang menyampaikan tentang pentingnya berdzikir kepada Allah SWT dan bakti kepada orang tua. <br />Dalam kesempatan itu, Habib Hadi juga menjelaskan tentang keutamaan membaca Al-Qur’an. “Pembacaan Al-Qur’an itu pahala sangat besar sekali. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ’Surah Fatihah dibaca dengan tujuan apa pun, insyaallah akan dikabulkan Allah SWT’. Begitu pula dengan Yasin, bahkan secara keseluruhan dari ayat apa pun yang kita baca, dengan tujuan apa pun, itu diterima oleh Allah SWT.” <br />Habib Hadi dalam pengajian itu juga menjelaskan tentang keutamaan menghadiri majelis-majelis dzikir dan ilmu.“Di dalam majelis-majelis dzikir pasti akan diberi empat hal; turun kepadanya ketentraman jiwa (sakinah), menebarkan kasih sayang (rahmah), didoakan oleh para malaikat, akan dibanggakan oleh Allah SWT di hadapan para malaikat,” kata Habib Hadi. <br />Acara pengajian ini juga sekaligus pelepasan Hj. Insiyah Yusuf (sahibul bait, tuan rumah) yang berangkat haji pada tahun ini, lantas ditutup dengan doa oleh KH. Aslam Raharjo (Parangharjo, Banyuwangi) dan KH. Hasan Toha (Srono, Banyuwangi). <br />Malam hari selepas shalat Isya, kembali para habaib mengisi pengajian di Masjid Al-Ikhlas, kampung Monang-maning, Denpasar. Acara yang digelar oleh Ikatan Remaja Masjid Al-Ikhlas (IRMA) dibuka dengan pembacaan kalam ilahi oleh ustadz Abdullah dan sambutan ketua Yayasan Al-Muhtadin, H. Nur Zainuddin.<br />Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff dalam taushiahnya menyampaikan tentang taubat, ”Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi selain syirik Allah akan mengampuni. Jadi, dosa apa pun yang kita lakukan, insyaallah akan diampuni bila meminta ampun kepada-Nya (taubat), rasa menyesal atas dosa-dosanya dan berjanji untuk tidak mengulanginya.” Selepas diberikan taushiah oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad acara ditutup dengan dengan doa oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad.<br /><br />Senin<br />Senin pagi (4/12) lepas shalat subuh berjama’ah di Masjid Baiturahman, Jl Mawar, Kampung Jawa, Denpasar kembali Habib Hadi Al-Kaff mengisi taushiah tentang pentingnya tholibil ‘ilm (mencari ilmu) sebagaimana perintah Allah SWT dalam QS Al-Mujadillah :11, ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Habib Hadi juga mengingatkan jamaah tentang perintah menuntut ilmu dari hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim laki-laki dan perempuan.” <br />Selain Allah mengangkat derajat orang-orang mukmin karena ilmunya, lanjut Habib Hadi, Allah SWT juga menjadikan mereka dalam kebaikan sebagai pemimpin dan pemberi petunjuk yang diikuti, petunjuk yang dalam kebaikan. “Jejak para ahli ilmu akan diikuti dan perbuatan-perbuatannya pun diamalkan,”katanya. <br />Selepas acara, rombongan kemudian bersilaturahmi dengan tokoh Islam Kampung Jawa yakni H. Kholid yang terletak persis di samping masjid Baiturrahman. <br />Lepas shalat dhuhur, rombongan kemudian berziarah ke makam salah satu dari Wali Pitu di Bali, yakni makam Habib Idrus Al-Hamid yang terletak di komplek makam Karangasem, Kabupaten Klungkung. Jama’ah membaca Yasin dan Tahlil dipimpin oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad. Acara kemudian berlanjut dengan berkunjung ke komplek Pondok Pesantren Nurul Musthofa, yang diasuh oleh Habib Thalib Assegaff dan ustadz Khoeron. Pondok pesantren ini terletak kampung Gelgel dan dalam pembinaan langsung dari Habib Taufik bin Abdulkadir bin Husein Assegaff (Pasuruan). Saat di halaman pondok, Habib Abdullah Al-Haddad kembali didaulat untuk memimpin doa di halaman pondok, semoga semakin makmur dan berkembang. <br />Malam lepas shalat Isya diadakan pengajian di kediaman H. Mansyuri yang terletak di Jl Imam Bonjol No 28, Perumahan Mutiara, Denpasar. Selepas pembacaan Yasin dan Tahlil yang dipimpin oleh Habib Hadi Al-Kaff, acara berlanjut dengan taushiah dari Habib Hasan Al-Jufri yang menyampaikan tentang pentingnya mengingat Allah SWT. Materi ceramah dikemas dengan selingan humor-humor segar, logat bahasa Madura, membuat jemaah betah di tempatnya sampai acara berakhir. <br />Habib Hasan Al-Jufri mengisahkan sahabat Tsalabah yang tidak punya harta kemudian menjadi kaya raya berkat doa Rasulullah SAW. Namun setelah kaya raya, Tsalabah menjadi jauh beribadah kepada Allah SWT, akhirnya Rasulullah kembali berdoa dan Tsalabah jatuh miskin. “Dari kisah Tsalabah kita harus belajar, harta itu merupakan cobaan. Ketika Tsalabah diperintahkan shalat, tidak mau, Rasulullah SAW cinta Tsalabah agar ia kembali beribadah kepada Allah SWT.” <br />Pengajian yang banyak diikuti oleh masyarakat Madura ini kemudian ditutup dengan doa oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad dan acara berlanjut dengan santap makan malam bersama. <br /> <br />Selasa<br />Selasa, tepat jam 10.00 pagi, kembali rombongan Majelis Dzikir Ratib Haddad menyambangi kediaman H. Idris bin H Weru yang terletak di Jl Tangkuban Perahu, Kuta, Badung. Acara dibuka dengan pembacaan Yasin dan Tahlil dipimpin oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff. Jamaah kemudian dihibur dengan lantunan kasidah yang dinyanyikan oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad. <br />Acara berlanjut dengan pembacaan Syarah Ratib Haddad karya Habib Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah Al-Haddad (cicit Sahiburratib Haddad), yang bacakan oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad dan diterjemahkan langsung oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff. <br />Habib Hasan Al-Jufri dalam pengajian itu menyampaikan taushiah tentang keutamaan dan adab berdoa.“Yang paling utama bacaan wirid atau doa adalah; berdoa setelah shalat, membaca al-Qur’an, shalawat atau dzikir, diusahakan menghadap kiblat dan tidak pernah putus (istiqomah).” Setelah ditutup dengan do’a oleh Habib Abdullah bin Muhammad Al-Haddad dan berlanjut dengan acara makan bersama dan shalat dzuhur berjamaah.<br />Lepas shalat Ashar, rombongan Habaib dan Majelis Dzikir Ratib Haddad menggelar pengajian di kediaman Muhammad Ba Humaid (Umbu), Perumahan Padang Graha Indah, Grobokan, Badung. Acara dibuka dengan pembacaan Yasin dan Tahlil oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff dan berlanjut dengan pembacaan Maulid Adzabi. Selepas itu acara berlanjut dengan shalat maghrib berjama’ah dan pembacaan Syarah Ratib Haddad karya Habib Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah Al-Haddad (cicit Sahiburratib Haddad), yang bacakan oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Haddad dan diterjemahkan langsung oleh Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff.<br />Ba’da Isya, rombongan menutup acara pengajian di Masjid Nurul Islam yang terletak di Kampung Islam Pekalongan, Kampung Kepaon, Pemogan, Denpasar Selatan. Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff memberikan taushiah tentang niat.”Amal-amal yang didapat dari niat adalah sesuai dengan yang diniatkan. Jadi perbaikilah niat, karena niat merupakan bagian yang penting dari amal-amal ibadah yang kita lakukan.” <br />Acara berlanjut dengan tanya jawab antara pembicara dengan jamaah,masih berkaitan seputar niat. Selepas acara, jamaah Masjid Nurul Islam, Kampung Islam Pekalongan masih sempat minta berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. <br /><br />AST/Ft. AST<br /><br /> Caption:<br />1. Lead<br />2. Pengajian di kediaman ustadz Nurkholis Basyaiban. Pentingnya mendidik anak<br />3. Pengajian di Masjid Silaturahmi, Monang-maning. Cara berbakti pada orang tua<br />4. Suasana haul sahiburratib Haddad. Meneladani orang-orang shalih<br />5. Pengajian di dealer motor An-Nur. Keutamaan membaca Al-Qur’an<br />6. Taklim di Masjid Al-Ikhlas. Meminta ampun kepada Allah SWT <br />7. Subuh berjamaah di kampung Jawa. Keutamaan menuntut ilmu<br />8. Ziarah ke Klungkung. Salah satu Wali Pitu di Pulau Dewata<br />9. Pengajian di tempat H Mansyuri. Belajar dari kisah Tsalabah <br />10. Suasana taklim di rumah H Idris. Keutamaan dan adab berdoa<br />11. Jama’ah pengajian di tempat Muhammad Ba Chumaid. Khusyuk mendengarkan taushiah dari para habib <br />12. Foto bersama di Masjid Pekalongan. Sebagai kenang-kenangan terakhir <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-22828176.post-1165904934695579992006-12-12T13:28:00.000+07:002006-12-12T13:28:55.056+07:00Manakib<A HREF='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/640/430435/Ahmad.pg.jpg'><IMG SRC='http://photos1.blogger.com/x/blogger/1979/2328/320/804518/Ahmad.pg.jpg' border=0 alt='' style='display:block;margin 0px auto 10px; cursor:hand; text-align:center'></A> <br />Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff<br /><br />Penulis Sejarah dan Sastrawan Hebat<br />Salah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff. Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.<br /><br />Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad bin Abdullah Assagaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.<br />Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.<br />Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin. Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan tasawuf.<br />Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad bin Salim As-Siri dan lain-lain.<br />Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu.<br />Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.<br />Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, berjumpa dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para cendekiawan. Mereka sering terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan keturunan Arab dan kaum muslimin di masa mendatang. <br />Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur yang pertama dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang kebanyakan diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan mulai saat itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Di kota Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.<br />Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat mencari ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi dan manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta. Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.<br />Berbagai perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia rintis, di antaranya dengan membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar, menyusun tata tertib bagi pelajar, mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu untuk sekolah.<br />Buku-buku pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari buku-buku agama, sastra dan akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan menciptakan sistem pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati masalah pendidikan baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan Kesultanan Gaiti di Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin pengajaran sekolah di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan halus, karena ia tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.<br />Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang.<br />Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya. <br />Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia. <br />Habib Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo pada Rabiul Awal 1365 H.<br />Dari sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten). Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20 oleh penerbit Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin Yahya. Karya sastra ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak mengandung budaya bangsa dan syair-syair.<br />Karya-karyanya yang lain banyak disebarluaskan di madrasah-madrasah sebagai buku wajib pelajaran sekolah baik dalam mau pun di luar negeri. Diantaranya adalah cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan seperti Dhahaya at-Tasahul, dan Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara hidup yang baik di dalam masyarakat untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat), buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa, Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan lain-lain.<br />Keahlian Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari banyak ahli syair di negara Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di bidang kerajinan tangan dan elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik yang dinamakan Alarangan.<br />Saat tentara Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menyerbu Hindia Belanda serta menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia menyebabkan Habib Ahmad pindah ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad kembali ke Jakarta dan mengajar di Kalibata.<br />Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat meninggalkan Indonesia menuju ke Hadramaut. Tepat pada hari Jumat, 22 Jumadil Awwal 1369 H ia berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari pelabuhan Batavia. Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya. <br />Setelah diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal, pada hari Kamis, 28 Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut lepas, sebelum memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya Habib Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu. <br /><br />AST<br /><br />Caption:<br />1. Lead<br />2. Novel Fatat Garut. Roman kehidupan multietnik Indonesia<br />3. Habib Ahmad bin Abdullah Muhasin Assegaff. Penulis sejarah dan sastrawan hebat<br />4. Kitab Khidmatul Asyirah. Ahli di bidang ilmu nasab <a href='http://picasa.google.com/blogger/' target='ext'><img src='http://photos1.blogger.com/pbp.gif' alt='Posted by Picasa' style='border: 0px none ; padding: 0px; background: transparent none repeat scroll 0% 50%; -moz-background-clip: initial; -moz-background-origin: initial; -moz-background-inline-policy: initial;' align='middle' border='0' /></a> Aji Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/14411902879772066714noreply@blogger.com3