22.2.06

Menghina Muhammad SAW

Kisah Utama
Main Story

Karikatur Nabi, Bagaimana Menyikapinya?

Figur Rasulullah SAW digambarkan dalam karikatur yang dinilai melecehkan. Dunia Islam heboh. Reaksi keras bisa dimaklumi, tapi seharusnya tidak emosional dan anarkis – sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Memasuki tahun baru 1427 Hijri, tiba-tiba dunia Islam tersentak. Di tengah suasana peringatan Hari Asyura 10 Muharram dan Tahun Baru Islam, kaum muslimin seluruh dunia terperangah gara-gara pemuatan karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai pelaku bom bunuh diri. Karikatur yang pertama kali dimuat di harian terbesar terbitan Denmark, Jyllands-Posten, edisi 30 September 2005 itu menggambarkan seorang lelaki Arab berjenggot dan bercambang lebat, mengenakan sorban bertuliskan kalimat tauhid, sementara sebuah bom siap ledak nangkring di puncak sorban.
Memang, karikatur itu tidak secara langsung menggambarkan bahwa lelaki itu adalah Rasulullah SAW. Tapi, itu hanyalah satu dari 12 karikatur yang memang sengaja dibuat untuk menggambarkan tokoh junjungan kaum muslimin seluruh dunia tersebut. Bisa dimaklum jika reaksi keras – bahkan emosional dan anarkis – merebak di dunia Islam. Mereka berdemonstrasi mengutuk pemuatan karikatur tersebut. Terutama setelah Januari 2006 lalu koran-koran terbitan Norwegia, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, ikut-ikutan menerbitkan karikatur tersebut.
Tak ayal, para pemimpin di berbagai negara Islam pun – termasuk Indonesia – mengecamnya. “Pemerintah Indonesia mengecam pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW. Saya dapat memahami reaksi dan protes masyarakat Islam. Saya berharap pemuatan karikatur tersebut tidak terulang kembali. Pemuatan itu jelas tidak sensitif terhadap pandangan dan keyakinan umat agama lain,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Meskipun yang bertanggung jawab atas pemuatan karikatur tersebut adalah pemimpin redaksi Jyllands-Posten, pada umumnya kaum muslimin menuntut agar Pemerintah Denmark minta maaf. Tapi, menurut Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen, menyatakan bahwa pemuatan karikatur semacam itu merupakan pelaksanaan dari kebebasan berekspresi (freedom of expression). Dan pemerintah Denmark merasa tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan pers.
Sementara menurut Flemming Rose, editor Jyllad-Rose yang bertanggung jawab atas pemuatan karikatur tersebut, menyatakan tidak perlu minta maaf. Apalagi, Januari lalu Kejaksaan Denmark telah memutuskan bahwa karikatur tersebut bukan merupakan hujatan atau penghinaan terhadap NabiMuhammad SAW. Namun, di lain pihak, justru Kare Bluitgen – yang pertama kali menawarkan ide karikatur tersebut – yang justru termenung bingung.
Mula-mula, Bluitgen yang juga pengarang cerita anak-anak terlarir di Denmark itu, bermaksud memperkenalkan Islam kepada anak-anak Denmark. Tapi, ia kesulitan dengan ilustrasinya, karena ia tahu menggambarkan sosok Muhammad, dilarang. Meski begitu, proyek penulisan buku anak-anak itu jalan terus – didukung oleh Flemming Rose, editor budaya Jyllands-Posten. Lalu mereka pun mengumumkan sayembara karikatur tentang Nabi Muhammad SAW. Dari 40 karikatur yang masuk, 12 di antaranya dimuat.
Namanya karikatur, tentulah tak lepas dari maksud menyindir, mengejek, mengkritik, bahkan bisa jadi juga menghina. Karikatur itu ada yang menggambarkan sosok seorang lelaki bertanduk setan, ada yang bersenjatakan belati, tapi yang paling fatal ialah lelaki bersorban dengan bom siap ledak yang nangkring di puncaknya. Tak urung dunia Islam pun geger. Protes keras pecah di mana-mana. Dr. Yusuf Qaradhawi, ulama Mesir terkemuka, yang juga pimpinan Forum Persatuan Ulama Islam Internasional, menyerukan agar para ulama, muballigh, dai, ustaz di seluruh dunia menjadikan hari Jumat 3 Februari lalu -- bertepatan dengan 4 Muharram 1427 H -- sebagai hari solidaritas terhadap penghinaan atas Rasulullah SAW.

Minta Maaf
Di Indonesia, demonstrasi merebak di sejumlah kota, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Padang, dan lain-lain. Tak urung kantor Kedutan Besar Denmark di Jakarta dan konsulatnya di Surabaya menjadi sasaran demonstran. Sangat disayangkan, ada juga media terbitan Indonesia yang ikut-ikutan memuat karikatur yang meresahkan tersebut, seperti tabloid Penta (Bekasi), tabloid Gloria (Surabaya) dan koran Rakyat Merdeka (Jakarta). dan koran Rakyat Merdeka (Jakarta).
Belakangan, dalam siaran persnya Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen, mentarakan bahwa pemimpin redaksi Jyllands-Posten sudah minta maaf kepada umat Islam seluruh dunia. “Saya sangat prihatin dengan kenyataan bahwa gambar-gambar itu dianggap sebagai penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan Islam. Saya berharap pernyataan maaf dari harian Jyllands-Posten dapat memberikan ketenangan kaum muslimin yang merasa disakiti dan terhina,” kata Rasmussen.
Namun, lantaran demonstrasi tetap berlanjut, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan merasa perlu angkat bicara. Ia mengimbau umat Islam seluruh dunia agar menerima permintaan maaf tersebut. “Atas nama Allah yang Maha Pengasih, saya mendesak kepada kawan-kawan muslim untuk menerima permintaan maaf ini,” katanya. “Saya menghormati kebebasan, tapi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat tidaklah absolut melainkan harus diikuti dengan tanggung jawab dan pertimbangan,” tambahnya.
Penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW seperti itu sesungguhnya bukan yang pertama kali terjadi. Sejak masa kenabian 15 abad silam, Rasulullah SAW sudah berkali-kali dihina. Dilempari batu oleh orang-orang gila ketika berdakwah di Thaif, ditimpuki kotoran unta oleh anak buah Abu Jahal ketika sujud di Ka’bah. Tapi, (ya Rasulullah!), Nabi tetap tabah dan sabar, tidak protes apalagi melawan; bahkan menganggap mereka “tidak mengerti, tidak mengetahui.”
Oleh karena itu, reaksi kaum muslimin yang keras – emosional dan mendekati anarkis – sesungguhnya tak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sikap dan sifat Rasul yang lemah lembut dalam kerangka akhlaqul karimah (budi pekerti yang luhur) dalam menghadapi mereka yang memusuhi beliau, justru merupakan dakwah yang sangat jitu. Bahkan, dengan kelembutan dan kasih sayang itulah orang-orang yang memusuhi berbalik menjadi simpati, dan akhirnya menjadi muslim – bahkan sangat mencintai Rasulullah SAW.
Maka sangatlah tepat anjuran Habib Munzir Almassawa agar kaum muslimin bersikap Islami. Memang, Habib Munzir memahami reaksi kaum muslimin, namun janganlah ampai berlebihan. Bersamaan dengan itu, Habib Munzir menegaskan, inilah satnya untuk mendakwahkan ke dunia luas siapa sebenarnya sosok Muhammad Rasulullah SAW (lihat box: Kartun Denmark, Cambuk bagi Dakwah Kita). Meski sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah tokoh dunia yang riwayatnya “terang benderang”, agaknya masih diperlukan dakwah yang lebih intensif.
Kesalah pahaman tentang Islam dan Nabi Muhammad SAW itu memang sering berlangsung dari abad ke abad. Bahkan sampai di abad 20 ini pun – 15 abad setelah dakwah Rasulullah SAW diproklamasikan -- penghinaan itu masih saja berlanjut. Pada 1989, mialnya, pengarang Salman Rushdi asal India berkewarga negaraan Inggris, menulis novel The Satanic Verses yang dianggap menghina Nabi. Lalu, September 1994, film True Lies garapan sutradara Steven Spielberg menggambarkan Islam identik dengan teroris. Tak berhenti sampai di situ, Juli 1997 wanita Yahudi, Tatyana Suskin, menyebarkan 20 poster yang menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. Salah satunya menggambarkan seekor babi mengenakan kafiyeh bertuliskan kata Muhammad, sementara kukunya menorehkan tulisan pada sebuah buku berjudul Al-Quran.

Film Dokumenter
Itu belum cukup. Pada 2003, dalam bukunya The Islamic Invasion, Confronting the World’s Fastest Growing Religion (Invasi Islam, Cara Menghadapi Agama yang Paling Cepat Berkembang di Dunia), Dr. Robert Morey menolak Islam sebagai agama. Masih ada lagi. Pada tahun yang sama, buku sejenis Who is Allah? Tulisan G.J.O. Moshay berusaha memutar balikkan fakta tentang Islam, menyebut Rasulullah SAW sebagai “pembohong paling ulung di dunia.” Belum lagi film dokumenter karya Theo van Gogh asal Belanda yang menghina Islam dan Muhammad SAW (2004), dan setahun kemudian, Museum Tate di London urung memamerkan patung karya John Latham karena dikhawatirkan melukai perasaan kaum muslimin.
Meski reaksi kaum muslimin kemarin bisa dianggap terlalu keras, bahkan kurang Islami, reaksi itu memang bisa dimaklumi. Sebab, Nabi Muhammad SAW adalah Rasulullah (utusan Allah), yang sering mendapat julukan sebagai Nabi Besar, Junjungan Kita, atau bahkan Kanjeng Nabi – di kalangan masyarakat Jawa. Bahkan kaum muslimin sangat mencintainya. Begitu besar penghormatan dan kecintaan itu, sehingga Allah SWT dan para malaikat pun menghormati dan menyalaminya dengan shalawat (QS Al-Ahzab:56).
Penghormatan yang sangat khidmat dan kecintaan yang sangat mendalam juga diwujudkan oleh kaum muslimin setiap kali mereka menyebut nama Rasululah – yang otomatis mengikutinya dengan shalawat. Setiap kali mengakhiri shalat lima waktu, meraka juga memanjatkan shalawat. Bahkan begitu usai mendengar suara azan, mereka lazim membaca doa, memohonkan tempat yang mulia bagi Rasulullah SAW. Sementara doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT, sangat dianjurkan untuk mengawalinya dengan hamdalah (pujian kepada Alah SWT) dan shalawat.
Bukan hanya itu, peringatan maulid (hari kelahiran) Rasulullah SAW selalu diperingati dengan meriah, penuh haru dan khidmat. Di Indonesia, peringatan maulid menjadi tradisi kenegaraan yang selalu digelar di Istana Negara, sementara di Solo, Yogya dan Cirebon, sejak dua abad silam ada tradisi perayan Sekaten. Para ulama dan penyair pun, dengan penuh hormat, menyusun puluhan bait-bait puja puji terhadap kepribadian Rasulullah SAW. Sebutlah misalnya Barzanji, Diba’i, Burdah, Syaraful Anam, Simthud Durar, sampai yang terakhir Dhya-ul Lamy.
Penghormatan tiada tara dan kecintaan tiada batas itu, antara lain juga karena kaum muslimin mengharapkan syafa’at (pertolongan) Rasulullah SAW. Kelak, di Hari Kiamat, tak ada pertolongan dari siapapun kecuali dari Rasul. “Kita sudah beribadah dan beramal shaleh sebaik-baiknya. Tapi, siapa yang menjamin ibadah dan amal kita diterima oleh Allah SWT dan kita masuk sorga? Pada saat-saat kritis itulah kita sangat mengharap syafa’at Rasulullah SAW,” kata Habib Anis bin Alwi Alhabsyi, ulama kharismatik dari Solo.
Sebagai penghormatan dan kecintaan yang luar biasa itu pula, grup musik Debu dan Rayhan mendendangkan lagu-lagu nasyid, sementara penyair Taufiq Ismail dan grup Bimbo melantunkan kerinduan yang tak tertahankan: Rindu kami padamu, ya Rasul / Rindu tiada terperi / Cinta ikhlasmu pada manusia / Bagai cahaya suarga / Dapatkah kami membalas cintamu / Secara bersahaja?

AST/BSH

Baca lebih Komplit di Majalah AlKisah edisino 5/III/2006
Edar 22 Februari 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home