14.4.06

Bersama Habib Abdul Qadir Al Hadar

 Posted by Picasa

Habib Abdul Qadir bin Hadi Al-Hadar (Figur)

Penerus Tradisi Salaf di Banyuwangi

Banyuwangi sebagaimana kota-kota di Jawa Timur lainnya merupakan basis-basis tradisi salaf. Salah satu Habaib yang menyebarkan tradisi salaf di kota ini adalah Habib Abdul Qadir bin Hadi bin Abdullah Al-Hadar

Aktivitas bapak satu putra (laki-laki) ini, selain mengisi pengajian di rumahnya, ia juga aktif mengikuti tradisi kaum salaf seperti acara haul, ziarah dan maulid baik yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia maupun di luar negeri. Seringnya berpergian itu, bukan berarti semua berjalan tanpa kendala.
Pernah suatu ketika ia mengikuti rombongan Ziarah ke Yaman plus Umrah serta ziarah ke Madinah dan Makkah Al-Mukarramah. Setelah turun di Jeddah dari Hadramaut (Yaman). Semua anggota rombongan memakai paket Plus. Kebetulan, saat itu Habib Abdul Qadir bin Hadi bin Abdullah Al-Hadar tidak ikut program paket plus. Ketika di bandara Jeddah itulah, para petugas memeriksanya satu per satu anggota rombongan.
”Saya tidak masuk paket, maka saya harus turun.Saya mungkin tidak kehendaki oleh Rasulullah SAW, karena saya belum bayar dengan sempurna,” batinnya kala itu.
Akhirnya dia berkehendak ke bawah untuk menanyakan pada orang-orang dan petugas yang ribut di luar bus.
”Apakah ada kesulitan dengan masalah saya?” tanyanya pada orang-orang.
“Ya, ini ada karena paket ini lebih satu,”jawab orang di belakang tempat duduknya.
“Ya saya yang turun,” ia memaksa.
Temannya yang lain memaksa untuk ikut rombongan. Sementara yang lain banyak yang memintanya untuk tidak turun.“Sumpek saya punya hati, saya pasti tidak dikehendaki sama Rasulullah SAW,” guman Habib Abdul Qodir kala itu.
Ketika hendak turun, yang duduk di sebelahnya berkata,”Kamu jangan bangun! Kalau kamu bangun, saya akan turun dari bus ini.”
Ketika mendengar perintah itu Habib Abdul Qadir seperti dalam keadaan tidak sadar, seperti tertidur. Pada saat itulah datang sosok laki-laki berjubah yang wajahnya yang sangat rupawan, putih bercahaya dan banyak tersenyum tiba-tiba menemuinya. Tidak berapa lama kemudian, ia sudah dalam perjalanan bus membawanya menuju kota Madinah, tempat makam Rasulullah SAW. ”Saya kaget dan ternyata bus ini sudah membawa saya ke Madinah. Tapi siapakah sosok wajah yang mukanya bersih dan bercahaya itu? Mungkinkah baginda Rasulullah SAW? Saya telah dikenalkan dengan yang banyak senyum, mukanya putih dan tampak sampai ke Madinah,” katanya.
Dalam menghadapi setiap musibah dan bencana Habib Abdul Qadir mengaku tidak mempunyai amalan khusus. Adapun doa rutin yang dibacanya adalah doa Al-Faqih Al-Muqaddam. Sebuah doa panjang yang mempunyai keutamaan untuk berhijrah dari tempat yang gelap menuju cahaya, dari tempat yang mendapat adzab menuju rahmat (minna adzabi illa rahmah). “Alhamdulilah, setiap saya ada kesusahan saya banyak pasrah kepada Allah SWT.“

Tradisi salaf
Habib Abdul Qadir bin Hadi bin Abdullah Al-Hadar adalah salah seorang penerus tradisi salaf di ujung paling timur Pulau Jawa yakni Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Tiap Kamis sore, di kediamannya yang terletak di Jl. Bangka 22, Lateng, Banyuwangi telah ramai oleh jamaah yang duduk melingkar mendengarkan kajian Kitab An-Nashaih Ad-Dinniyah karya Habib Abdullah Al-Haddad. Kajian kitab salaf ini akan berakhir pada waktu shalat Maghrib. Selepas shalat mahgrib berjamaah, biasanya berlanjut dengan pembacaan maulid atau ia menerangkan dengan cara berdiskusi dengan para jamaahnya.
Sekalipun majelis taklim ini tidak diberi nama, namun aktivitas taklim semakin lama semakin berkembang. Habib Abdul Qadir melanjutkan, kalau majelis taklimnya pernah diusulkan untuk diberi nama Majelis Taklim Habib Hadi, namun ia melarang,”Jangan, kalau nanti dikasih nama, sementara muridnya tidak ada, nanti tinggal namanya saja, kan saya yang malu. Yang penting ada taklimnya,” kata Habib Abdul Qadir sambil tertawa.
Para jamaahnya kebanyakan berasal dari sekitar Banyuwangi dan didominasi oleh kalangan anak muda. Dipilihnya kitab An-Nashaih Ad-Dinniyah sebagai pembacaan wajib, selain sudah turun temurun dari ayahandanya yakni Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar juga kitab ini banyak mengupas tentang pentingnya menjaga hati.
Menurut pengasuh majlis taklim ini, Habib Abdul Qadir, pengarang An-Nashaih Ad-Dinniyah yakni Habib Abdulah Al-Haddad itu mengajarkan adab seorang murid pada gurunya. Termasuk cara beribadah kepada Allah SWT. ”Hakekat shalat itu kita menghadap kepada Allah SWT, sedangkan Allah SWT menghadap kita. Pada suatu saat kita menoleh ke belakang, Allah SWT memberikan maaf sekali, kedua kali masih Allah memberikan maaf, setelah ketiga kali maka Allah akan tinggalkan kita,” katanya.
Putra dari Habib Hadi bin Abdulah Al-Hadar ini dilahirkan pada, 21 Januari 1954 di Bondowoso. Pada umur 10 tahun ia di titipkan pada Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih di Malang, Jawa Timur. Ketika usianya baru tiga tahun, ia sempat ke Surabaya namun tidak berapa lama kemudian ia tinggal kembali ke Bayuwangi.
Pada umur 10 tahun ia belajar Madrasah Ibtidaiyah di Malang. Uniknya ketika sedang menuntut ilmu di kota bunga itu, ia justru banyak duduk bersama Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, pemimpin Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah, Malang. Kesan saya,”Saya banyak tahu biografi beliau di dalam rumah, sehingga saya tahu wataknya di keluarga dan pada tamu-tamunya.”
Habib Abdullah waktu itu belum punya anak, katanya lebih lanjut. “Dan saya di sana selama tiga tahun. Alhamdulillah, setiap beliau keluar rumah saya selalu diajaknya kemana pergi. Sehingga saya banyak mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang beliau lakukan.”
Suatu ketika, ia mendapat cerita jelek tentang sifat-sifat Habib Abdullah, sehingga ia akhirnya bertanya pada abah.“Kenapa ustadz Abdullah Bilfagih, kok banyak orang ada yang suka dan tidak suka, apa alasannya?”
Abahnya menjawab,”Alasannya ia mendapat penghormatan. Orang alim pantas mendapatkan penghormatan seperti itu. Kalau kamu seperti itu, kalau kamu seperti dia alimnya. Saya akan masukan kaus kaki ke dalam sepatu kamu. Itu artinya, orang wajib menghormati dia karena ilmunya, bukan karena kedudukannya.”
Kesan mendalam dari guru pertama ini adalah soal makanan.”Ustadz Abdullah dari umur 10 tahun, tidak pernah masuk ke dalam pasar. Walaupun jalan di depan pasar bersama teman-temannya, ia tidak pernah masuk ke pasar. Dan dia tidak pernah makan makanan di warung, sehingga sama abahnya (Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih) dibersihkan dari makanan yang (syubhat) meragukan,”kata Habib Abdul Qadir. Selain itu, lanjutnya, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih banyak menguasai hadits bersama sanadnya.
Dari Malang, ia kemudian belajar kepada Ustadz Hasan Baharun dan Husein bin Saleh Al-Muhdhar di Yayasan Islam Al-Khairiyah 1971 sampai 1975. Ia kemudian baru pulang ke rumah di Banyuwangi dan tinggal bersama sang ibunda yang sudah sering sakit-sakitan.
Sejak ayahandanya wafat, ia kemudian meneruskan tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun, yakni mengajar kitab An-Nashaih Ad-Dinniyah sampai sekarang. Dengan sangat bersahaja ia menyatakan,“Saya tidak mengajar, lebih tepat belajar bersama dengan ustadz-ustadz yang lain. Kalau kebetulan saya duduk dengan teman-teman, saya menerangkan apa yang dapat saya sampaikan. Kalau untuk pidato, saya bukan ahlinya pidato.”
Selain meneruskan tradisi ayah itu, ia banyak meneruskan tradisi-tradisi sang ayah.”Apa dikerjakan oleh Habib Hadi itu yang banyak saya ceritakan. Diantaranya beliau sering silaturahim. Karena silaturahim banyak dikerjakan oleh Rasulullah SAW,” katanya.
Salah satu kisah silaturahim yang pernah diceritakan oleh ayahandanya adalah kisah silaturahim ayahandanya dengan Habib Ali Al-Habsyi, Kwitang Jakarta. Ketika itu Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar yang tidak pernah meninggalkan acara haul-haul seperti dari Jakarta itu mampir ke rumah Habib Ali.
Saat itu Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi merasa hatinya itu tidak tenang, ia lalu berkata pada putranya,”Ya Muhammad.Ayo kita tetirah (ziarah) ke Banyuwangi!”
”Abah, Banyuwangi kan jauh....,” jawaban dari Habib Muhammad ini cukup beralasan, mengingat Habib Ali saat itu umurnya hampir mendekati 100 tahun.
Karena memaksa, akhirnya sang anak itu menuruti perintah Habib Ali berangkat bersama-sama Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar mengunjungi makam-makam keramat mulai dari Purwakarta, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Solo, Jawa Timur dan Ujung pulau Banyuwangi. Dan setiap kota yang ikut, selalu konvoi silaturahim. “Ini banyak diceritakan oleh Abah kepada jamaah di Banyuwangi,”katanya.

AST/Ft TR

Caption Foto:
1. Lead
2. Suasana rauhah di kediamannya. Meneruskan tradisi kaum salaf
3. Bersilaturahiem dengan kawan. Menjalin relasi dan ajaran Rasulullah SAW
4. Sedang membaca maulid. Salah habib yang dituakan di Banyuwangi

0 Comments:

Post a Comment

<< Home