23.2.06

Sayid Muhammad Al-Baqir (Manakib 9)

Rasulullah pun Menghormati Reputasinya

Ia dikenal sebagai ulama yang piawai dalam menguraikan beberapa cabang ilmu agama. Reputasinya sebagai ulama yang alim sudah diramalkan oleh Rasulullah SAW, sehingga beliau menyampaikan salam sebelum ia lahir.

Di Madinah, pada 57 Hijriah, lahirlah jabang bayi yang kemudian tumbuh menjadi seorang ulama besar, seorang waliyullah. Ia adalah Habib Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, atau lebih dikenal dengan nama Sayid Muhammad Al-Baqir. Ia putra Sayid Ali Zainal Abidin, ulama besar, sufi dan waliyullah yang sangat terkenal, dan cucu Imam Ali bin Abi Thalib.
Tepatnya, ia lahir pada hari Jum’at, 12 Safar 57 H/657 M, sekitar tiga tahun sebelum Imam Husein, cucu Rasulullah SAW, gugur dalam tragedi perang saudara di Padang Karbala, Iraq. Ia mendapat gelar Al-Baqir, yang berarti “membelah bumi”, karena kapasitas keilmuannya yang luar biasa, sehingga diibaratkan dapat “membelah bumi”, mengeluarkan segala isinya yang berupa ilmu pengetahuan.
Ia juga dikenal sebagai ahli hadis, khususnya hadis-hadis yang diriwayatkan dari Imam Hasan, Husein, Aisyah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, Jabir, Samura ibnu Jundub, Abdullah ibnu Ja’far, Sa’id ibnul Musayyab, dan para ulama terkemuka lainnya. Tradisi periwayatan hadis ini dilanjutkan oleh putranya, Ja’far Ash-Shadiq, juga saudara-saudaranya yang lain.
Nama Al-Baqir cukup mulia, karena Rasulullah SAW pernah berpesan kepada salah seorang sahabat, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, “Sampaikan salamku kepadanya.” Ketika Jabir bertemu Al-Bagir, ia pun menyampaikan salam Rasulullah SAW. Kemudian Al-Baqir bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Lalu Jabir menceritakan sabda Rasulullah SAW kepadanya, “Wahai Jabir, hampir tiba masa lahirnya putra cucu Husein. Namanya mirip namaku, ia gemar menuntut ilmu. Jika engkau melihatnya, sampaikan salamku kepadanya.”
Sangat dermawan, ramah, dan suka bersilaturahmi, ia sering berkata, ”Tiada kesenangan dunia, kecuali menyambung tali persaudaraan dan persahabatan.” Bukan hanya itu, ia juga gemar memberi hadiah berupa makanan dan pakaian yang sangat bagus kepada saudara-saudara dan kawan-kawannya, serta orang-orang yang kurang mampu. Hal itu ia lakukan sejak ia masih kecil.
Kepribadian dan reputasinya yang luar biasa dikenal secara luas. Suatu hari, Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik masuk ke dalam Masjidil Haram. Lalu Salim, pengawalnya, menunjuk Al-Bagir sambil berkata kepada sang Khalifah, ”Wahai Amirul Mukminin, lelaki ini adalah Sayid Muhammad Al-Baqir. Banyak penduduk Iraq yang terpesona oleh kepribadiannya.” Maka, kata Amirul Mukminin, “Tanyakan kepadanya, apa yang dimakan dan diminum oleh manusia sampai setelah diputuskannya urusan mereka di Hari Kiamat?”

Ahlul Bait
Mendengar pertanyaan itu, Al-Baqir menjawab, “Kelak segenap manusia dihimpun di atas daratan yang bersih, dengan sungai-sungai yang mengalir. Mereka makan dan minum sampai selesainya proses perhitungan amal-amal mereka.” Khalifah Hisyam senang mendengar jawaban itu. Al-Baqir juga dikenal sangat mencintai Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. ”Siapa yang tidak mengucapkan Ash-Shiddiq di belakang nama Abu Bakar, Allah SWT tidak akan membenarkan ucapannya,” katanya.
Selain itu ia juga sangat mengagumi Khalifah Umar bin Khattab. ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang membenci Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Seandainya berkuasa, aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah orang yang membenci mereka. Demi Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka dan senantiasa memohonkan ampun mereka. Tidak seorang pun dari ahlul bait-ku kecuali ia mencintai mereka.”
Sebagai waliyullah, Al-Baqir banyak mewariskan ujaran-ujaran tasawuf. Beberapa di antaranya, misalnya, ”Tidaklah hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang sebanyak unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih.” Kata-kata mutiara yang lain, ”Sesungguhnya petir dapat menyambar seorang mukmin atau bukan, tetapi tak akan menyambar orang yang berzikir.”
Ujaran hikmah yang terkenal, antara lain, “Tak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan.” Atau ini, “Seburuk-buruknya seorang teman ialah yang hanya menemanimu ketika kamu kaya dan meninggalkanmu ketika kamu miskin.” Atau yang ini, “Kenalkanlah rasa kasih sayang dalam hati saudaramu dengan cara memperkenalkannya terlebih dahulu di dalam hatimu.”
Suatu hari ia berkata kepada salah seorang putranya, “Wahai putraku, hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya kunci keburukan. Sesungguhnya jika engkau malas, tidak akan banyak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, tak akan tahan dalam menunaikan kewajiban.”
Salah satu kata-kata mutiaranya yang sangat terkenal ialah, “Jika engkau menginginkan suatu kenikmatan dapat terus engkau nikmati, perbanyaklah mensyukurinya. Jika engkau merasa rezeki lambat datang, perbanyaklah istighfar. Jika engkau ditimpa kesedihan, perbanyaklah membaca La haula wa la quwwata illa billah. Jika engkau takut, ucapkanlah Hasbunallah wa ni'mal wakil. Jika engkau kagum terhadap sesuatu, ucapkanlah Masya Allah, la quwwata illa billah. Jika engkau dikhianati, bacalah Wa ufawwidhu amri ilallah, innallaha bashirun bil ‘ibad. Jika engkau ditimpa kesumpekan, ucapkanlah La ilaha ilaa Anta, subhanaka inni kuntu minadz dzalimin.”
Selama hidupnya, sejak masa muda hingga wafat, Al-Baqir selalu istiqamah menunaikan shalat sunah sebanyak 150 rakaat. Sayid Muhammad Al-Baqir wafat di Madinah pada 117 H/697 M (dalam riwayat lain, 114 H/694 M atau 118 H/698 M) dan disemayamkan di makam Baqi’, tepatnya di kubah Al-Abbas di samping ayahandanya.

Disarikan oleh AST dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy karya Al-Allamah al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy

0 Comments:

Post a Comment

<< Home