23.2.06

Habib Muhammad bin Ali Mirbath (Manakib5)

Imam Mursyid Tarekat Alawiyah

Dialah yang mula-mula dijuluki Al-Faqih Al-Muqadam, fakih yang diunggulkan.

Selain dikenal sebagai ulama yang ketinggian ilmunya diakui oleh para ulama Hadramaut, ia juga terkenal sebagai dermawan yang suka memperhatikan nasib rakyat miskin. Setiap hari di bulan Ramadan, rumahnya selalu ramai oleh antrean fakir miskin yang menanti pembagian sedekah kurma.
Di rumahnya memang selalu tersedia gudang khusus untuk menyimpan 360 guci penuh kurma, setiap hari dibagikan kurma satu guci, sehingga dalam setahun habis 360 guci. Kurma itu adalah hasil kebun yang memang khusus untuk fakir miskin.
Tak mengherankan jika namanya cukup harum di kalangan masyarakat Tarim, ibu kota Hadramaut kala itu. Apalagi ia juga dikenal sebagai al-‘arif billah, ulama besar, pemuka para imam dan guru, suri teladan bagi al-‘arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin, imam bagi tarekat Alawiyah, yang mendapatkan kewalian dan karamah luar biasa, yang mempunyai jiwa bersih.
Dialah Habib Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Faqih Al-Muqadam, ahli fikih yang unggul. Ia adalah sosok ulama yang mendapat keistimewaan dari Allah SWT sehingga mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Allah juga memberinya kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu, baik lahir maupun batin.
Ia lahir pada 574 H/1154 M. Di masa remaja ia menuntut ilmu kepada para ulama besar, antara lain Al-Allamah Al-Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami, seorang guru yang agung, pemuka para ulama besar di Tarim; Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin Fadhl; dan Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid, pengarang kitab Al-Ikmal ‘alat Tanbih.
Kecerdasannya sudah tampak sejak masa kanak-kanak, sehingga ia sering mendapat perhatian lebih dari guru-gurunya. Salah seorang gurunya, Al-Imam Abdullah bin Abdurrahman, hanya akan memulai pelajaran jika muridnya yang istimewa itu sudah hadir.
Selain itu, ia juga belajar kepada beberapa ulama besar yang lain, seperti Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani, As-Sayid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayid Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib, dan pamannya sendiri, Asy-Syeikh As-Sayid Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath.
Dalam mengambil sanad keilmuan dan tarekat, ia mengambil dari dua jalur. Jalur pertama dari orangtua dan pamannya, sementara orangtua dan pamannya mengambil dari kakeknya, dan terus sambung-menyambung, akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Jalur kedua dari seorang ulama besar pemuka sufi, Syekh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua muridnya, yaitu Abdurrahman Al-Maq'ad Al-Maghrabi dan Abdullah Ash-Shaleh Al-Maghrabi. Syekh Abu Madyan mengambil dari gurunya, gurunya mengambil dari guru sebelumnya, dan terus sambung-menyambung, akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Ikhtiar Keras
Masa mudanya ia jalani dengan penuh kesungguhan untuk mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Ia berpegang teguh pada Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW, serta mengikuti jejak para sahabat Nabi dan para salafus shalihin, ulama klasik yang saleh.
Dengan mujahadah, ikhtiar, yang cukup keras, ia berhasil memperoleh akhlak mulia dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai dengan syariat. Sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menuntut ilmu, sehingga dalam waktu relatif singkat ia sudah mengungguli beberapa ulama yang juga mengakuinya. Mereka juga mengakui kemampuannya untuk menjadi imam.
Dengan usaha yang keras, dalam usia yang relatif muda, kemampuan tarekatnya sudah mencapai peringkat al’arif billah. Hanya karena kuasa Allah SWT yang berkenan mengaruniai kekuatan dan keyakinanlah, ia dapat memperoleh kekhususan yang tidak didapatkan para wali qutub, tokoh wali, yang lainnya.
Boleh dikata, sedetik pun hatinya tidak pernah kosong dalam berhubungan dengan Allah. Sosoknya penuh dengan sikap tawaduk, dan menyukai ketertutupan, tidak pernah pamer. Suatu ketika ia berkirim surat kepada seorang pemuka sufi bernama Syekh Sa’ad bin Ali Adz-Dzafari. Setelah membacanya, Syekh Sa’ad terkagum-kagum karena merasakan asrar, rahasia kewalian, dan anwar, cahaya kewalian, di dalamnya.
Dalam jawabannya, Syekh Sa’ad antara lain menulis, “Wahai Faqih, orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh siapa pun, engkau adalah orang yang paling mengerti syariat dan hakikat, baik yang lahir maupun yang batin.”
Tentang ketokohan dan kepribadiannya, Imam Syekh Abdurrahman As-Saggaf berkata, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu kalam yang lebih kuat daripada kalam Al-Faqih Muhammad bin Ali, kecuali kalam para nabi. Dan aku tidak dapat mengunggulkan seorang wali pun kecuali para sahabat nabi, atau orang yang mendapat kelebihan melalui hadis seperti Uwais Al-Qarni, atau Al-Faqih Muqaddam.”
Sepanjang hidupnya ia banyak mengalami pengalamaan spritual, antara lain bertemu Nabi Hud dan Nabi Khidlir. Suatu hari ketika berziarah ke makam Nabi Hud, ia tertinggal. “Ketika itu aku duduk di suatu tempat yang beratap tinggi. Tiba-tiba datanglah Nabi Hud ke tempatku sambil membungkukkan badan agar kepalanya tidak terkena atap. Lalu katanya, ‘Wahai Syekh, jika engkau tidak berziarah kepadaku, aku akan berziarah kepadamu’.”
Konon, ketika sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidlir dengan menyaru sebagai seorang Badui, sementara di kepalanya terdapat kotoran. Al-Faqih lalu bangun mengambil kotoran itu, kemudian memakannya. Hal itu membuat para sahabatnya terheran-heran. Mereka lalu bertanya, “Siapakah orang itu?“ Jawab Al-Faqih, “Dia adalah Nabi Khidlir AS.”
Di zamannya, ia banyak menghasilkan ulama besar. Dan yang paling utama ialah Syekh Abdullah bin Muhammad 'Ibad dan Syekh Sa’id bin Umar Balhaf. Para ulama yang lain: Syekh Al-Kabir Abdullah Baqushair; Syekh Abdurrahman bin Muhammad ‘Ibad; Syekh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya, Syekh Ahmad; Syekh Sa'ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara sepupunya; dan masih banyak lagi.
Ia wafat pada akhir bulan Zulhijah 653 H/1233 M, dan dimakamkan di Zanbal, Tarim, Hadramaut, meninggalkan lima anak: Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad, dan Ali.

Disarikan oleh AST dari kitab Manaqib Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad Bin Ali Ba'Alawi dan Wafayat A'yanil Yaman, oleh Abdul Rahman bin Ali Hassan

0 Comments:

Post a Comment

<< Home