23.2.06

Ideologi, bukan Sekedar Sesuap Nasi

Ideologi, bukan Sekedar Sesuap Nasi
Oleh Budiman S. Hartoyo*)

KEBEBASAN pers yang kita nikmati saat ini niscayamerupakan buah yang paling signifikan dari gerakanreformasi di Indonesia. Karena itu sudah selayaknyajika pers berterimakasih kepada kaum muda, mahasiswadan rakyat, yang berjuang meruntuhkan kekuasaan rezimOrde Baru yang otoriter dan represif. Dengan pers yangbebas, diharapkan proses demokratisasi dapatberkembang secara sehat. Dewasa ini, secaraberangsur-angsur, publik mulai menyadari hak-hak sipilmereka, antara lain hak untuk mendapatkan aksesinformasi, hak untuk mengemukakan pikiran,berekspresi, berkumpul secara bebas. Berbagai kritikpun, terutama yang ditujukan ke alamat kekuasaan,dengan mudah dapat disampaikan tanpa hambatan. Aksesterhadap informasi pun mudah didapat, hampir tak adalagi fakta yang ditutup-tutupi seperti di masa OrdeBaru.Sepanjang sejarah republik, inilah kebebasan pers yangsebenar-benarnya. Kini, setiap warganegara dapatmenerbitkan media tanpa terlebih dahulu harusmendapatkan izin dari pemerintah. Maka semarakkebebasan pers pun diwarnai dengan terbitnya berbagaimacam media. Mutu penampilan, penyajian berita danpolitik redaksionalnya pun sangat beragam. Bahkan adadi antaranya, meski tak banyak, yang merasa “bebas”pula dalam mengelola media, sehingga pers bukan lagisebagai penyalur aspirasi dan kepentingan umum.Anehnya, selama ini tak jelas apa yang dimaksud dengan“pers yang kebablasan”. Apa kriteria atauparameternya? Jika yang dimaksud ialah “kebablasan”dalam mengritik kekuasaan, tentulah tudingan itu salahalamat. Namun, jika yang dimaksud ialah “pers kuning”yang beritanya insinuatif dan bombastis, sesungguhnyadi mana pun dan kapan pun gaya pers semacam itu selaluada. Tapi yellow paper tentu tidak dapat dijadikantolok ukur dalam menilai perkembangan pers. Apalagijika tudingan itu tidak berdasarkan data yang akurat. Meskipun tanpa data, kalaupun ada persyang dianggap “kebablasan” – apapun parameter ataukriterianya – pasti jumlahnya tidaklah banyak. Memangada satu dua media seperti itu yang terbit di Jakarta,juga beberapa penerbitan terutama tabloid yang terbitdi sementara daerah, tapi tiras mereka tidak banyak.Bahkan secara umum bisa dikatakan, kecenderungan“kebablasan” sebagaimana sering dituduhkan itu,bukanlah kecenderunmgan mainstream.Apakah koran-koran seperti Kompas, Suara Pembaruan,Sinar Harapan, Jawa Pos, Republika, Media Indonesia,Koran TEMPO, Serambi Indonesia, Waspada, Analisa,Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat,Surabaya Pos, Pedoman Rakyat, Fajar, ataumajalah-majalah seperti Forum, TEMPO, Gatra, Gamma,bisa dinilai sebagai “pers yang kebablasan”? Samasekali tidak.BERKAT dibukanya kran kebebasan pers, dewasa inijumlah penerbitan pers berlipat-lipat dibanding tirasdi masa lalu. Apakah motivasi yang mendorong orangmenerbitkan media? Inilah sebenarnya yang pertama-tamaharus dipertanyakan. Apakah para penerbit sudahbenar-benar memahami mission pers? Agaknya sebagianbesar penerbit memang memahaminya, meskipun adabeberapa di antaranya yang semata-mata terdorong oleheuphoria kebebasan pers. Bahkan ada pula yangsemata-mata menginginkan keuntungan komersial.Memang, posisi dan peran media sedikit banyakditentukan oleh pemilik, bersama pemimpin redaksi.Namun, dalam masyarakat sipil yang demokratis – dandewasa ini kita tengah menuju ke sana – posisi persditentukan oleh kepercayaan publik. Media pers yangtak lagi dipercaya oleh publik dengan sendirinya akanditinggalkan pembacanya. Sebab, publik yang cerdasmenghendaki media pers mengutamakan kepentingan umum,bukan kepentingan politik pemilik modal atau pribadipemimpin redaksi. Dengan demikian, pers harusindependen dari berbagai kepentingan politik, apalagiyang saling bertentangan.Agar supaya media pers mampu bersikap independen,dengan sendirinya harus mandiri secara ekonomi danmanajemen. Namun, di atas segala-galanya adalahintegritas. Hanya media pers – dan dengan demikianjuga kewartawanan – yang berpegang teguh padaintegritas moral yang tinggilah, yang mampuindependen. Di lain pihak, jika pers dikelola secara profesional,suatu saat akan tumbuh sebagai industri penerbitanyang kuat secara ekonomi. Bahkan bukan tak mungkinkemudian tampil menjadi semacam konglomerasi yangsangat berkuasa dalam mempengaruhi opini. Namun,tidaklah seharusnya “kekuasaan pers” semacam itumenjadi kekuasaan otokratis, melainkan kekuasaan yangmenyadari tanggungjawabnya untuk mendidik danmencerahkan publik. Seorang pemimpin redaksi bukanlahpula “diktatur intelektual”, melainkan seorang editoryang dengan editorialnya berpihak kepada kebenaran,keadilan, akal sehat (common sense), dan rakyat kecilyang tertindas.Jika semua itu dikaitkan dengan kebebasan pers, adasatu hal yang selama ini dilupakan. Bahkan juga olehkalangan pers sendiri. Yaitu, bahwa kebebasan perssesungguhnya bukanlah semata-mata kepentingan industripers, pemilik modal, pemimpin redaksi, wartawan.Bukan! Kebebasan pers adalah hak publik, sebagaipengejawantahan dari hak asasi, sebagai konsekuensilogis dari hak yang bebas untuk mendapatkan aksesinformasi, sebagai salah satu akar tunjang demokrasi.Dengan demikian maka media pers – dan dengan demikianjuga para pemilik modal, pemimpin redaksi, wartawan –hanyalah sekedar sebagai pembawa amanat dari hak sipilpublik tersebut. Agar supaya amanat tersebut dapatdiemban sebaik-baiknya, maka syarat utamanya ialah:pekerja pers harus bersikap sebagai intelektual yangkomit dengan profesi kewartawanan, dengan independensiyang teruji, dilandai integritas moral yang tinggi. Hanya dengan sikap seperti itulah, pekerjapers mampu membantu proses pertumbuhan masyarakatsipil yang cerdas, yang mampu menilai dengan akalsehat, yang demokratis dan dinamis. Itulah yangdisebut pekerja pers yang memiliki integritas moralyang tinggi. Justru karena memiliki integritas itupulalah, pers mendapat semacam “hak istimewa” yangsecara konstitusional diakui oleh UU Nomor 40/1999tentang Pers yang menjamin kebebasan pers. Suatu hakyang tak diberikan kepada jenis industri yang lain.MENURUT The New American Webster Handy CollegeDictionary, makna integritas, integrity, ialahfidelity to moral principles, honesty (kesetiaan,ketaatan, kejujuran terhadap prinsip-prinsip moral).Moral dalam arti kata yang luas, nilai-nilai kebajikanyang diakui oleh dan berlaku di masyarakat beradab.Oleh karena ujung tombak media pers adalah wartawan,mereka harus memiliki integritas moral yang tinggi,yang antara lain dipandu dengan kode etik, dalam halini Kode Etik Wartawan Indonesia, yang disusunberdasarkan amanat UU Nomor 40/1999 tentang Pers, danberlaku untuk seluruh wartawan Indonesia.Integritas, sesungguhnya adalah “ideologi” bagi parapekerja pers, sebagai pegangan atau pedoman yang harusditaati dalam menjalankan tugas profesi. Seorangwartawan, selain harus profesional ia juga harusindependen. Profesional dan independen saja tak cukup,ia harus pula komit dengan integritas moral yangteruji. Profesional, mampu bekerja dan menghasilkankarya sesuai ukuran-ukuran kelayakan jurnalisme;independen, tak bergeming di tengah benturan berbagaikepentingan yang saling berbenturan.Pers yang bebas dan berperan sebagai social control,tidaklah dengan sendirinya bebas dari kontrol publik.Publik bebas menentukan dan menjatuhkanpilihan-pilihan terhadap berita dan analisis yangdisiarkan oleh media pers. Tapi itu tak berartipilihan-pilihan tersebut selalu berjalan dalam prosesyang demokratis. Justru sebagai konsekwensi darimasyarakat yang terbuka, tentu ada kelompok-kelompokkepentingan yang bebas pula mempengaruhi pers. Disinilah terjadi benturan-benturan kepentingan yangberebut membangun opini.Dan seringkali kepentingan-kepentingan tersebutbertentangan dengan kepentingan publik: kepentingankekuasaan, kelompok, pemodal besar. Berbagai upayaditempuh, mulai dari sekedar “amplop” sampai denganiming-iming atau bahkan pemberian jabatan ataukedudukan di perusahaan, partai atau lembaga politik.Itu semua merupakan upaya mempengaruhi pekerja persuntuk menulis atau tidak menulis tentang suatu kasus,sesuai kepentingan perorangan atau kelompok. Disinilah integritas dan independensi pekerja pers diujiketanguhannya. Wartawan yang komit dengan profesi jurnalismenya, yangmemiliki integritas, yang independen, selayaknyamenghindari berbagai godaan itu. Semiskin atau sekecilapapun gaji seorang wartawan, ia tak harus melacurkanintegritasnya. Sungguh, ini sikap yang ideal, yangmudah diucapkan atau ditulis, namun sulitdilaksanakan! Tapi, inilah tantangan seorang wartawan,yang mampu melahirkan karya besar, yang akan dikenangsebagai pengabdi kepentingan publik dan rakyat kecilyang tertindas, sebagai sang pengukir sejarah. Bukanwartawan kelas teri yang sekedar memburu sesuapnasi!***

*) Mantan Ketua Umum Kornas PWI-Reformasi, Redaktur Eksekutif Majalah AlKisah

0 Comments:

Post a Comment

<< Home