14.4.06

Maulid di Bali

 Posted by Picasa

Pondok Pesantren Darud Da’wah Wattarbiyah (Pesantren)

Pesantren Darud Da’wah Bangras

Sebuah pondok di daerah minoritas. Berdiri penuh tantangan dan hambatan, namun tegar berdiri tak tergerus jaman

Mendung menggelayut di langit bumi Bangras awal April lalu ketika Alkisah sampai di salah satu sudut kota di Pulau Dewata itu. Tepatnya di pondok pesantren Darrud Da’wah Wat-Tarbiyah yang terletak di tepi jalan Jl. Diponegoro, Bangras Karangasem, Bali. Tigapuluh kilometer arah selatan atau dua jam perjalanan dari Kota Denpasar.
Puluhan anak kecil menenteng kitab suci dan siap menimba ilmu agama dari salah seorang ustadz yang mengajar di pondok itu. Selepas mengambil air wudhu mereka kemudian duduk berjajar rapi mengintari sang guru. Satu persatu dari murid-murid yang berusia belasan tahun itu mulai mengaji al-Qur’an. Sesekali sang ustadz membenahi bacaan dari para santri dengan bacaan yang pelan. Demikian gambaran rutinitas di Pesantren yang dipimpin Kyai Imam Masduqie ini.
Di Pondok pesantren yang berdiri sejak tahun 2002 ini ada sekitar 175 santri, sebagian besar santrinya adalah anak-anak dari dusun Bangras, Karangasem, sementara yang tinggal menetap ada 15 santri. Pondok pesantren ini berbadan hukum sejak 2 Januari 2002 dengan tercatat pada akta notaris, Ida Ayu Kalpikawati, SH dan berbadan hukum dari Departemen Agama setempat. Pendidikan yang diajarkan mulai dari TPA sampai Madrasah Dinniyah dengan tingkat Awalia, Wustho dan Ulya.
Yang mengesankan dari pesantren ini adalah biaya hidup dan pendidikannya adalah gratis alias tidak membayar, karena semua ditanggung oleh pengasuh pesantren. Sedangkan kitab-kitab yang diajarkan di Ponpes ini sama seperti yang diajarkan pada pesantren-pesantren salafiyah umumnya seperti kitab Mabadi (fiqh), Aqidatul Awam (akidah), Kifayatul Atqiya, Syiarus Salikin (tasawuf) dan lain-lain.
Setiap santri menempuh pendidikan secara berjenjang dari mulai tingkat awaliya, wustho dan ulya. Santri yang akan lulus dari tingkat awaliya paling tidak harus sudah menghafal kitab Aqidatul Awam (Aqidah), Hidayatus Shibyan (tajwid) dan menguasai bacaan Al-Quran. Sedangkan tingkat wustho’ harus menghafal kitab Hidayatul Azkiya (tasawuf), Jurmiyah, Imriti (nahwu), dan menguasai bahasa arab.
Selain belajar kitab-kitab klasik (kuning), santri-santri pada pesantren ini juga rutin membaca Maulid Simthud Durar tiap hari jumat sore. Sedangkan amalan rutin lainnya seperti Ratib Haddad dan shalawat-shalawat seperti Barjanji, Diba serta Nariyyah.
Yang unik dari pesantren ini adalah bila ada santri-santri yang lulus dari awaliya atau wustho ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan pesantren yang lebih tinggi, mereka akan diantar langsung oleh Kyai Imam Masduqie ke pesantren yang akan dituju, seperti ke pondok pesantren Assalafiyah, Asembagus(Situbondo), Pondok Nahdhatul Wathan(Lombok), Pondok Al-Amin(Sumenep, Madura) dan lain-lain.
“Sekarang santri-santri yang mempunyai gairah da semangat dalam belajar agama disanrankan untuk melanjutkan ke pesantren-pesantren yang ada di Lombok atau Jawa,” kata Kyai Imam Masduqie.
Masih menurut Kyai Masduqie, demikian panggilan akrabnya, santri-santri yang sudah dinyatakan lulus, diharapkan banyak mengajar dan membesarkan pondok.
Apa yang diharapkan dari alumni pesantrennya? “Saya berharap pada santri-santri agar mereka bisa kembali ke tempat asalnya, minimal bisa memperjuangkan dakwah seperti pesantren yang saya buat. Atau kalau tidak, minim bisa mengikuti jejak salaf, yakni memperjuangkan dan mengajarkan agama Islam dengan paham Ahlus Sunnah Wal jama’ah di mana saja berada.”
Kyai Masduqie juga senantiasa berpesan pada santri-santrinya dengan menyitir perkataan Abdul Rauf As-Sinkli yakni, ”Pulanglah kamu, ajarkanlah ilmu yang ditakdirkan Allah kepada mu. Selama engkau masih engkau cinta dan hormat kepada ku. Maka selama itu batinmu dipenuhi dengan hikmah oleh Allah SWT. Maka seakan-akan apa yang ada dalam jiwamu seakan-akan adalah jiwaku. Apa-apa yang diakatakan oleh kamu adalah seakan-akan perkataan ku. Itulah Rabithodul Mursyid.”
AST
Caption:
1. Lead
2. Gerbang Pondok Pesantren. Mendidik ahli dakwah
3. Masjid untuk belajar mengaji. Pusat belajar para santri
4. Sebagian santri-santrinya. Dididik untuk mengikuti jejak salaf

Profil pendiri
Kyai Imam Masduqie

Mendidik Santri Berdasar Keikhlasan

Kyai ini bertekad untuk selalu melahirkan pendakwah yang alim,amil,ikhlas dan berakhlaqul karimah.

Keberadaan pesantren yang menerapkan pendidikan ala salafiyah pesantren taradisional ini memang tidak bisa dilepaskan dari pendiri dan sekaligus pengasuh pondok yakni Kyai Imam Masduqie. Kyai Imam adalah sosok seorang pengajar yang ikhlas dalam berjuang. Sewaktu kecil ia telah menempuh pendidikan madrasah ibtidaiyah di Pondok Pesantren Nurul Umah, desa Ladaya, Leteng, Sumenep, yang diasuh oleh KH. Sholeh selama 6 tahun.
Ia kemudian melanjutkan ke tingkat Madrasah Tsanawiyah Matlabul Ulum, Jambu, Pondok Pesantren Al-Amin, Parinduan yang diasuh oleh KH. Idris Jauhari. Selepas Tsanawiyah, ia kemudian melanjutkan menimba ilmu agama pada Pondok Pesantren Assalafiyah, Sukorejo(Situbondo) yang diasuh oleh KH. R. As’ad Syamsul Arifin selama empat tahun lebih. Setelah cukup menimba ilmu di Situbondo, pada tahun 1993 ia sempat bertabarukan ke Syekh Maulana Zainuddin Abdul Madjid, Pancor, (Lombok Timur).
Pada akhir tahun 1993 ia berkelana ke Pulau Bali dan tinggal di Desa Bangras, Karangasem. Ia lalu mendirikan lembaga pendidikan Nurul Jannah. Namun perjuangan dakwahnya tidak berjalan mulus, sebab masyarakat sekitar sempat tidak setuju dengan keberadaan lembaga pendidikan yang ia pimpin.
Namun anak-anak di desa itu, tetap mengikutinya untuk belajar belajar agama padanya. Sehingga akhirnya ia berpindah tidak jauh dari tempat semula. Ia lalu mendirikan gubuk kecil untuk belajar mengaji. “Sejak 5 Agustus 1994 pesantren saya diberi nama Pondok Pesantren Darud Da’wah Wat-Tarbiyah dan saat itu masih sekitar 25 santri,”kata Kyai Masduqie.
Sekalipun sudah berpindah tempat, tantangan dari masyarakat juga berlangsung bahkan yang aneh adalah dari kalangan muslim sendiri. Ia pada tahun 2002 sempat frustasi dan ingin berhenti berdakwah. “Saya sempat membeli mesin untuk membuat keripik singkong dari Sumenep, Madura,” kisah Kyai Masduqie.
Dengan modal total 3 juta rupiah, ia lantas membeli sebuah mesin pembuat keripik singkong seharga satu setengah juta rupiah dan sisanya untuk membeli bahan baku berupa singkong. Bahkan karena saking bersemangatnya, ia sempat tidak tidur selama 3 malam. Namun, setelah bahan siap untuk di goreng, anehnya semua bahan yang sudah kering itu ketika digoreng tidak mengembang.
Kyai Masduqie saat itu mengira pengapiannya kurang besar, akhirnya ada satu tetangga yang meminjamkan kompor, namun hasilnya tetap sama, tidak renyah.“Puncaknya adalah pada malam ketiga, meledaklah kompor,” katanya.
Selepas memadamkan api dari kompor yang meledak itu. Pada sekitar jam dua malam ia kemudian dalam keadaan setengah berjaga dan kantuk yang berat didatangi oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Setelah memberi salam, Kyai Masduqie kemudian bertanya,”Sampeyan ini siapa?”
Dalam bayangan gelap malam itu, KH As’ad malah balik bertanya,”Yang datang ini kyai kamu.”
Padahal sudah puluhan tahun lalu sudah meninggal, lanjut Kyai Masduqie, KH. As’ad kemudian marah-marah dan balik bertanya,”Kenapa perkara yang besar engkau tinggalkan dan engkau ganti dengan keripik?”
Begitu mendengar pertanyaan dari gurunya itu, seketika itu Kyai Masduqie tersadar, dan langsung menangis. Akhirnya, setelah subuh, ia memerintahkan pada salah seorang santrinya untuk membeli ayam dan langsung pagi harinya itu pula dilaksanakan syukuran dan tahlil. Selanjutnya ia pergi ke Sukorejo (Situbondo) dan berziarah ke makam KH As’ad. Di depan makam gurunya itu ia kemudian mengaji dan ia munajat serta berjanji, ”Saya akan mengajar mengaji anak-anak, apa pun resikonya,” tekad Kyai Masduqie.
Setelah berziarah dari Situbondo, ia kemudian menggiatkan kembali dakwah pesantrennya agar anak-anak desa bisa belajar mengaji agama. “Akhirnya usaha pembuatan keripik singkong saya hentikan. Keripik dan singkonganya ia akhirnya berikan pada tetangga sekitar. Sejak itulah saya konsentrasi mengajar dan tidak pernah keluar ke mana-mana,” katanya.
Sekalipun ia tidak mendapat dukungan dari kalangan muslim, ia tetap mengajar. Modal keikhlasan dan istiqamah dalam berdakwah akhirnya mulai berbuah. Salah seorang sesepuh umat Hindu Karangasem, yakni Ki Juru Gede Umbara.
“Saya membawa ajaran, jangan menyinggung perasaan agama orang lain. Kedua, saya mengikuti ajaran salaf. Sebab dengan ajaran salaf, akan ada kemudahan dan pertolongan dan kemudahan Allah SWT. Ternyata, saat orang Islam tidak setuju dengan dakwah saya, justru dari kalangan umat Hindu yang bersimpati dan mendukung saya,” katanya.
Perjuangannya dalam berdakwah dapat dijadikan teladan. Perhatiannya yang besar dalam mendidik santri dengan modal keikhlasan dan kesabaran.”Saya tidak pernah minta donatur dan biaya pendidikan serta hidup santri, semuanya gratis. Makan pun bersama saya, apa adanya,” katanya menjelaskan.
Dengan modal keikhlasan dan kesabaran itulah, masyarakat sedikit demi sedikit menjadi lebih bersimpati padanya. Kadang-kadang bantuan berupa material atau bahan makanan datang secara tiba-tiba ke Pondok Pesantrennya. Bahkan ada seseorang yang mengirimkan uang dalam jumlah besar melalui wesel atau rekening Habib Ali bin Umar Mulachela kebetulan tinggal di depan gang menuju Pondok Pesantren Darud Da’wah.
Keberhasilannya dalam merentas dakwah di daerah minoritas muslim itu, menurut Kyai Masduqie tak lebih karena pertolongan Allah SWT. ”Kalau dihina oleh orang lain atau dicaci maki oleh orang dholim. Maka bersyukurlah kepada Allah SWT, karena Allah SWT akan meletakkan nur (cahaya) dalam hatinya. Sedangkan kalau sudah dicaci maki oleh auliya’ (ulama) maka Allah akan mencabut nur (cahaya) dalam hatimu.”
Kunci lainnya, menurut Kyai yang berumur 33 tahun ini adalah selalu berprasangka baik pada siapa pun.”Saya selalu khusnudhan (prasangka baik). Jangan mudah kita membenci orang. Tapi dekatilah mereka, karena itu adalah sahabat kita. Sunan Bonang saja mencabut rumput saja bisa menangis. Bagaimana dengan diri kita kalau menyakiti sesama,” demikian pesannya.
AST/ft. AST, TR
5. Lead
6. Kyai Masduqie menyambut tamu. Berdatangan dari berbagi penjuru
7. Kyai Imam Masduqie berceramah. Banyak bersyukur kepada Allah SWT
8. Gaya Kyai Masduqie. Santun dan lemah lembut

0 Comments:

Post a Comment

<< Home