Ali Zainal Abidin (Manakib 10)
Waliyullah yang Senantiasa Bersujud
Ia adalah cicit Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian dalam Tragedi Karbala. Setelah dewasa menjadi wali yang setiap saat bersujud kepada Allah SWT.
Setelah dua cucu tersayang Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husein, wafat, sementara sisa-sisa keturunan beliau yang lain terbunuh di Padang Karbala, yang masih hidup ialah Ali Zainal Abidin, satu-satunya putra Sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Cicit Rasulullah SAW ini lahir di Madinah pada 33 H/613 M, sementara riwayat lain mengungkapkan ia lahir pada 38 H/618 M. Ketika pecah Tragedi Karbala pada abad ke-6 H (abad ke-12 M), ia berusia 11 tahun.
Termasuk generasi tabi’in, Ali Zainal Abidin banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya, Husein, dan pamannya, Hasan. Juga dari para sahabat, seperti Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhramah, Abu Hurairah, Shafiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, dan para istri Rasulullah SAW yang lazim disebut ummahatul mukminin, ibunda kaum mukmin.
Ketika ayahandanya, Imam Husein, berjuang melawan prajurit Khalifah Yazid bin Muawiyah, ia tengah sakit dan berada di dalam kemah bersama kaum wanita. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa semua anggota keluarganya berguguran syahid, sehingga kenangan getir tak pernah lepas dari benaknya. Ia bahkan menyaksikan bagaimana ayahandanya dipancung....
Setelah perang usai, sisa anggota keluarga Imam Husein yang masih hidup ditawan di Kufah, Irak. Bahkan Ali Zainal Abidin, yang ketika itu baru berusia 11 tahun, hampir dibunuh. Tapi, nyawanya selamat berkat kegigihan Sayidah Zainab, bibinya, yang memeluknya dan mencegah para prajurit mendekat. Tak lama kemudian para tawanan dipindah ke Damaskus, Syria, dipertemukan dengan Khalifah Yazid bin Muawiyah. Tapi kemudian dibebaskan, bahkan diantar pulang ke Madinah.
Di Madinah, Ali Zainal Abidin tumbuh sebagai seorang yang sangat alim. Ia tekun beribadah, sementara ketinggian ilmu agamanya menjadikannya sebagai rujukan para ulama. Terutama dalam hal ilmu hadits. Lebih dari itu, ia sangat terkenal sebagai ahli ibadah yang luar biasa.
Muhammad Al-Baqir, anak lelakinya, bercerita, “Setiap kali mendapatkan nikmat Allah SWT, Imam Ali Zainal Abidin langsung bersujud. Setiap kali membaca ayat sajdah dalam Al-Quran, ia selalu bersujud. Setiap kali selesai salat fardhu, ia selalu bersujud. Dan setiap kali berhasil mendamaikan orang berselisih, ia selalu bersujud. Karena sering bersujud itulah tampak bekas sujud di keningnya, dan karena itu pula ia disebut As-Sajjad, orang yang suka bersujud.”
Ali Zainal Abidin benar-benar mewarisi sikap dan sifat ayahandanya dalam hal keilmuan dan kezuhudan. “Di antara Bani Hasyim, saya kira dialah yang paling mulia,” kata Yahya Al-Anshari, salah seorang ulama terkemuka di masanya. Kemuliaan itu, antara lain, karena ia selalu dalam keadaan suci, selalu berwudhu, dan tak pernah absen menunaikan qiyamul lail alias shalat Tahajjud, baik di rumah maupun dalam perjalanan.
Suatu hari, ketika keluar dari masjid, seorang lelaki mencaci maki Ali Zainal Abidin. Spontan orang-orang di sekitarnya berusaha memukul lelai-laki tersebut, tapi Ali Zainal Abidin mencegahnya. Lalu katanya, “Apa yang engkau belum ketahui tentang diriku? Apakah engkau membutuhkan sesuatu?”
Mendengar ucapan lemah lembut itu, laki-laki tersebut merasa malu. Lalu Ali Zainal Abidin memberinya uang 1.000 dirham. Maka kata laki-laki itu, “Saya bersaksi, engkau benar-benar cicit Rasulullah SAW.”
Maqam Mukasyafah
Hampir setiap malam Ali Zainal Abidin menggotong sekarung gandum dan membagikannya kepada fakir miskin di Madinah. “Sesungguhnya sedekah yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Allah,” katanya. Ketika itu, sebagian warga Madinah mendapat nafkah tanpa mengetahui dari mana asal nafkahnya. Dan ketika Ali Zainal Abidin wafat, ternyata mereka tak lagi mendapat pembagian gandum.
Setiap kali meminjamkan uang atau pakaian, Ali Zainal Abidin tak pernah memintanya kembali. Jika bernazar tidak makan dan minum, ia tetap berpuasa sampai dapat memenuhi nazarnya. Begitu dermawan dan penuh kasih sayang, bahkan kepada hewan yang dikendarainya pun ia tak pernah mencambuk.
Meskipun Tragedi Karbala sangat membekas dalam kalbunya, ia berusaha menyadarkan umat agar bersabar menghadapi kekuasaan yang represif. Dengan arif ia mendidik dan memperbaiki nasib umat. Salah satunya dengan menyusun rangkaian doa berjudul As-Sahifah As-Sajjadiyyah – yang ia maksudkan untuk mengobati penyakit rohani yang merajalela, sekaligus memanjatkan permohonan kepada Allah SWT agar terlepas dari situasi yang mengimpit.
Sebagai waliyullah, ia dinilai sudah mencapai maqam mukasyafah, peringkat tertinggi, yang mampu menyingkap tabir ketuhanan. Salah satu karamahnya ialah tentang surat rahasia dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan kepada panglimanya, Hajjaj bin Yusuf As-Saqafi. Surat itu antara lain berbunyi, “Jauhkan aku dari lumuran darah Bani Abdul Muthalib, yang setelah bergelimang dalam dosa tidak lagi mampu bertahan kecuali dalam waktu yang tidak lama...”
Pada saat yang bersamaan, Ali Zainal Abidin juga menulis surat kepada Khalifah Malik bin Marwan, yang di antaranya berbunyi, “Anda telah menulis surat kepada Hajjaj mengenai keamanan kami. Semoga Allah SWT memberi balasan sebaik-baiknya kepada Anda.” Tentu saja Khalifah Abdul Malik bin Marwan tercengang membacanya. Sebab, tanggal surat itu persis sama dengan tanggal surat Khalifah kepada Hajjaj.
Dan ternyata saat keberangkatan utusan Ali Zainal Abidin dari Madinah juga sama dengan saat keberangkatan utusan Khalifah yang mengantarkan surat kepada Hajjaj. Karena itu Khalifah Malik pun menyadari, Allah SWT telah membuka mata batin Ali Zainal Abidin. Ia lalu menulis surat dan menyampaikan hadiah kepada Ali Zainal Abidin.
Cicit Rasulullah SAW ini juga dikenal sebagai pembela hak asasi manusia. Dalam risalahnya, Risalah Al-Huquq, antara lain ia menulis, manusia punya hak dan kewajiban kepada Allah SWT, kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, dan kepada sesama makhluk Allah. Mengenai hak dan kewajiban kepada sesama manusia, ia memperinci hak dan kewajiban rakyat kepada penguasa dan sebaliknya. Risalah ini tentu sangat istimewa, karena ditulis pada abad ke-7 Masehi, sebelum lahirnya dokumen Magna Charta dalam sejarah Inggris, lima abad setelah itu, yang kemudian berkembang menjadi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.
Di zamannya, pengaruh Imam Ali Zainal Abidin sangat kuat. Begitu besar karismanya, sehingga seorang khalifah pun mengkhawatirkan takhtanya. Ketika menggantikan ayahnya, Abdul Malik, sebagai khalifah, Walid sempat khawatir, jangan-jangan karisma Ali Zainal Abidin mampu menggoyang takhtanya.
Maka pada 95 H/675 M, Khalifah pun berusaha mendekati sang waliyullah melalui seseorang yang kemudian ternyata meracunnya hingga Ali Zainal Abidin wafat. Untuk kesekian kalinya anak-cucu Rasulullah SAW berduka cita. Imam Ali Zainal Abidin wafat di Madinah pada 18 Muharram 94 H/674 M, meninggalkan 11 orang putra dan empat orang putri. Jenazahnya disemayamkan di Makam Baqi’, dekat makam sang paman, Sayidina Hasan.
Disarikan oleh AST dari Syarh Al-Ainiyyah, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih, Lentera Basritama, Jakarta, 1999
0 Comments:
Post a Comment
<< Home