21.3.06

Habib Ali bin Ahmad bin Zen Al-Aidid (Haul 1)

Wali Keramat dari Pulau Panggang

Ia adalah mubalig yang pertama kali menyebarkan Islam di Pulau Panggang dan sekitarnya. Hingga kini pantulan karamah wali Allah itu masih terasa. Minggu 25 Desember lalu adalah peringatan haulnya yang ke-115.

Di sebelah utara Jakarta terdapat gugusan kepulauan yang terdiri dari 108 pulau kecil, disebut Kepulauan Seribu. Satu di antaranya adalah Pulau Panggang, sekitar 60 km di sebelah utara kota Jakarta. Pulau seluas 0,9 hektare itu bisa dicapai dalam waktu empat jam dengan perahu motor dari pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.
Di sanalah, Minggu pagi 25 Desember lalu, berlangsung haul ke-115 Habib Ali bin Ahmad bin Zen Al-Aidid, yang juga dikenal sebagai Wali Keramat Habib Panggang. Ia adalah ulama dan mubalig asal Hadramaut yang pada abad ke-18 bertandang ke Nusantara untuk berdakwah. Ia wafat pada 20 Zulkaidah 1312 H/1892 M.
Sejak sehari sebelum haul digelar, ratusan jemaah sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Banten, dan daerah-daerah lain. Pulau Panggang merupakan sebuah kelurahan tersendiri, masuk dalam Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta.
Sejak malam Minggu, warga Pulau Panggang sudah memulai haul dengan membaca maulid Barzanji selama sekitar satu jam. Setelah itu mereka menikmati hiburan berupa marawis yang disajikan oleh Al-Faydhah, pimpinan Sayid M. Bagir bin Hamid Nagib bin Syekh Abu Bakar dari Pondok Pesantren Al-Khairat, Rawalumbu, Bekasi Timur. Acara ini berlangsung sampai sekitar pukul 22.00 WIB.
Pagi harinya, Minggu 25 Desember, bangunan makam Habib Ali bin Ahmad bin Zen Al-Aidid yang berukuran 10 x 10 meter telah dihias. Puluhan umbul-umbul berwarna-warni dipajang menghiasi jalan-jalan menuju makam. Bersamaan dengan itu serombongan anak-anak berpawai keliling kampung menyenandungkan lagu-lagu marawis. Selain sebagai pemberitahuan akan dimulainya haul, juga untuk menyambut para tamu dari Jakarta.
Peringatan haul pagi itu digelar di musala kompleks makam. Sejak pukul delapan, jemaah sudah memadati kompleks makam – luber sampai ke pelataran. Ketika jemaah dan para tamu kehormatan hendak memasuki kompleks makam, Habib Zen bin Hasan bin Hasyim Al-Aidid, cicit almarhum, memimpin salam ‘ibadallah, salah satu syair tawasul manakib Syekh Abdul Qadir Jailani. Dilanjutkan pembacaan zikir, tahlil, dan selawat. Setelah itu segenap jemaah membaca surah Ya-Sin, dipimpin oleh Muhammad bin Abdurrahman Alatas, pengasuh Pesantren Nur Rahmah, Serpong, Tangerang, Banten. Acara ziarah itu ditutup dengan doa, dipandu oleh Habib Zen bin Hasan bin Hasyim Al-Aidid, sang cicit.
Usai berziarah, para habib dan segenap jemaah kembali ke aula makam untuk mengikuti tausiah dari para ulama. Tampak hadir, antara lain, Habib Alwi bin Husein Aidid, sesepuh Himpunan Keluarga Maula Aidid. Adapun pembicara dalam acara tausiah tersebut, antara lain, Habib Muhammad bin Abdurrahman Alatas, pengasuh Pesantren Nur Rahmah, Serpong. Setelah itu tampil K.H. Sholeh, ulama asli Betawi dari Pasar Kemis, Tangerang. Tausiah itu diakhiri oleh Habib Nagib bin Syekh Abu Bakar, pengasuh Pesantren Al-Khairat, Rawalumbu, Bekasi Timur.

Rawan Perampokan
Pada abad ke-18, pertama kali Habib Ali ke Nusantara bersama empat kawannya: Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, Kramat Empang Bogor; Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Bondowoso, Surabaya; Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Ampel, Surabaya; dan Habib Salim Alatas, Malaysia. Habib Ali ke Batavia, sementara keempat kawannya masing-masing menyebar ke kota-kota dan negeri di atas.
Di Batavia, Habib Ali bermukim di Kebon Jeruk dan menikah dengan syarifah setempat, Zakhroh binti Syarif Muhsin Al-Habsyi. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai seorang putra, Hasyim bin Ali Aidid. Di sana, ia berdakwah kurang lebih selama dua tahun. Suatu hari ia mendengar kabar, di sebelah utara Jakarta ada sebuah pulau yang rawan perampokan dan jauh dari dakwah Islam, Pulau Panggang.
Beberapa waktu kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut. Ketika Habib Ali hendak menyeberang, ternyata tak ada perahu. Maka ia pun bertafakur dan berdoa kepada Allah SWT. Seperti halnya para ulama besar lainnya, Habib Ali juga memiliki karamah. Tak lama kemudian muncullah seribu lumba-lumba menghampirinya. Ia lalu menggelar sajadah di atas punggung lumba-lumba tersebut, berlayar menuju Pulau Panggang. Kemudian ia bermukim di sana, mengajar, dan berdakwah.
Sosoknya sangat sederhana, cinta kebersamaan, mencintai fakir miskin dan anak yatim. Bisa dimaklumi jika dakwahnya mudah diterima oleh warga pulau dan sekitarnya. Dengan pendekatan tasawuf, terutama yang ia petik dari kitab Ihya Ulumuddin, karya Imam Ghazali, Habib Ali mengajar dan berdakwah ke segenap pelosok pulau. Bahkan belakangan ia memperluas jaringan dakwah sampai ke Palembang, Singapura, dan Malaka.
Karamah lainnya, suatu malam, usai berdakwah di Kramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, ia pulang ke Pulau Panggang. Di tengah laut, perahunya diadang gerombolan perompak. Tapi, dengan tenang Habib Ali melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut. Ajaib, kayu itu berubah menjadi karang, dan perahu-perahu perompak itu tersangkut di karang. Maka, berkat pertolongan Allah SWT itu, Habib Ali dan rombongan selamat sampai di rumahnya di Pulau Panggang.
Suatu hari, warga Pulau Panggang diangkut ke Batavia dengan sebuah kapal Belanda, konon untuk dieksekusi. Beberapa perahu kecil berisi penduduk ditarik dengan rantai besi ke arah kapal Belanda yang membuang sauh jauh dari pantai. Mendengar kabar itu, Habib Ali menangis, lantas berdoa, ”Ya Allah, selamatkanlah seluruh penduduk Pulau Panggang.” Doanya didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT. Rantai besi yang digunakan untuk menarik perahu berisi penduduk itu tiba-tiba putus, sehingga Belanda urung membawa penduduk ke Batavia.
Hingga akhir hayatnya, Habib Ali mengajar dan berdakwah di Pulau Panggang. Suatu malam, ia mendapat isyarat bahwa sebentar lagi ia akan wafat. Ketika itu sebenarnya ia ingin pulang ke Palembang, namun urung. Dan kepada para santrinya ia menyatakan, “Saya tidak jadi ke Palembang.” Benar apa yang ia katakan: keesokan harinya, 20 Zulkaidah 1312 H/1892 M, ia wafat, dan dimakamkan di sebuah kawasan di ujung timur Pulau Panggang.
Sesungguhnya, jenazah almarhum akan dibawa ke Batavia untuk dimakamkan di sana. Namun, ketika jenazah sudah berada di atas perahu yang sudah berlayar beberapa saat, tiba-tiba tiang layar perahu patah dan perahu terbawa arus kembali ke Pulau Panggang. Hal ini terjadi berturut-turut sampai tiga kali. Akhirnya, penduduk kampung memaknani peristiwa itu sebagai kehendak sang Habib untuk dimakamkan di pulau tersebut.
Habib Ali bin Ahmad bin Zen Al-Aidid adalah seorang ulama besar yang langka, yang berani merintis dakwah di kawasan terpencil, dan berhasil.

AST/Ft. AST

0 Comments:

Post a Comment

<< Home