7.3.06

Sebagian Ulama Muslimah Indonesia (Kisah Utama)

Sebagian Ulama Muslimah Indonesia

Rahmah El-Yunusiah
Ia anak bungsu dari lima bersaudara, lahir dari pasangan Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafi’ah, pada Jumat pagi 20 Desember 1900/1 Rajab 1318 H, di Bukit Surungan, Padang Panjang. Sejak kecil ia hanya mendapat pendidikan formal sekolah dasar 3 tahun di kota kelahirannya.
Kemampuannya baca tulis Arab dan Latin diperoleh melalui sekolah Diniyah School (1915) dan bimbingan kedua abangnya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid. Sore hari ia mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayahanda Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Tamat dari Diniyah School, ia mengaji pada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Daud Rasyidi. Sambil mengajar di Diniyah School Putri, ia mengikuti kursus kebidanan di Rumah Sakit Kayu Taman dengan bimbingan Kudi Urai dan Sutan Syahrir, kemudian mendapat izin praktik (1931-1935).
Rahmah yang dikenal keras hati, teguh pendirian, dan kuat kemauan, semangat belajarnya pun sangat kuat. Ia gigih berjuang mewujudkan cita-citanya, yakni mendirikan sekolah khusus kaum perempuan, agar kaum wanita tidak pasrah pada keadaan dan bangkit memperoleh keseteraan dengan kaum laki-laki.
Kenyataan inilah yang mendorong semangatnya untuk mendidik kaum perempuan menurut dasar agama dengan mendirikan Diniyah School Putri. Pada 1 November 1923 sekolah itu dibuka dengan nama Madrasah Diniyah lil Banat dipimpin oleh Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah. Saat itu muridnya berjumlah 71 terdiri dari para ibu muda, bertempat di Masjid Pasar Usang. Mula-mula mereka belajar ilmu agama dan tata bahasa Arab. Belakangan sekolah ini menerapkan sistem pendidikan modern, mengabungkan agama, umum dan pendidikan ketrampilan.
Perhatiannya terhadap kaum perempuan tidak hanya ia perjuangkan di Padang saja tapi juga di kota-kota lain. Ia misalnya mendirikan Diniyah School Putri di Kwitang dan Tanah Abang pada 2 dan 7 September 1935, di Jatinegara dan Rawasari, Jakarta, pada 1950. Tidak saja untuk pendidikan dasar, tapi berlanjut sampai perguruan tinggi.
Selain berkiprah di dunia pendidikan, ia juga aktif berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada era kemerdekaan, ia bergabung dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Kiprahnya dimulai dari pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 2 Oktober 1945, kemudian mengayomi lasykar pejuang yang dibentuk oleh organisasi Islam seperti Hizbullah dan Sabilillah, memimpin dapur umum untuk TNI dan lasykar pejuang di Padang Panjang.
Pada 1952-1954 ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di Jakarta, dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1955-1958). Pada 1958 itu berseberangan dengan Presiden Soekarno yang kala itu lebih condong kepada PKI. Itu sebabnya ia kembali ke dunia pendidikan dengan meningkatkan kualitas Diniyah School Putri.
Kiprahnya dalam dunia pendidikan mendapat perhatian Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Dr. Syekh Abdurrahman Taj, yang sempat berkunjung ke Diniyah School Putri pada 1955. Pada 1957, ia mendapat gelar sebagai Syaihah oleh Universitas Al-Azhar, setara dengan Syekh Mahmoud Salthout, mantan Rektor Al-Azhar. Ia bepulang ke Rahmatullah pada Rabu 26 Februari 1969 (9 Zulhijah 1388) menjelang magrib, di rumahya.

Nyai Ahmad Dahlan
Ia adalah isteri K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Nama kecilnya Sitti Walidah binti Kiai Penghulu Haji Muhammad Fadli bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Muhammad Hassan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali Ngraden, Pengkol. Ia dilahirkan di camping santri, Kauman, Yogyakarta, pada 1872. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara.
Ibunya bernama Nyai Mas yang cukup dikenal di Kauman, Yogyakarta. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, ayahandanya membuka perusahaan batik di samping sebagai penghulu Kraton Yogyakarta.
Sejak kecil Walidah belajar mengaji Al-Quran dan beberapa kitab agama yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf pegon. Ia dikenal sebagai gadis yang lemah-lembut, peramah, sederhana, tenang, tekun, pandai bergaul. Pergaulannya luas, meliputi kalangan bangsawan, cerdik pandai, pemimpin pergerakan, alim ulama, santri, tani, buruh, pemuda, pemudi.
Setelah menjadi isteri K.H.Ahmad Dahlan, ia lebih banyak membantu suaminya dalam persiapan pembentukan dan pertumbuhan Muhammadiyah. Terutama dalam Aisyiah, organisasi wanita Muhammadiyah. Dia termasuk seorang di antara beberapa tokoh wanita Indonesia yang pertama kali berjuang dalam pergerakan wanita. Misalnya, dalam organisasi Sopo Tresno, organisasi pergerakan wanita pertama yang berdiri pada 1914. Pada 1923 Sopo Tresno berganti nama menjadi Aisyiah sebagai bagian dari Muhammadiyah.
Ia termasuk wanita yang memelopori agar kaumnya membuang kepercayaan kolot dengan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang setara dengan kaum laki-laki. Pengorbanannya cukup besar, terutama ketika kala itu harus menghadapi berbagai rintangan dan celaan dari kaum tua yang menganggap sepak terjangnya “terlalu bebas dan melanggar kesusilaan.”
Nyai Dahlan berpulang ke Rahmatullah pada hari Jum'at, 31 Mei 1946, jam 13:00 WIB di rumahnya, Kauman, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Besar Kauman.

Sholihah Wahid Hasjim
Ia adalah isteri K.H.A Wahid Hasjim, putra Hadlratusy Syekh K.H. Hasjim Asj’ari, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama. Nama kecilnya Munawarah, lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 11 Oktober 1922. Sholihah anak kelima dari pasangan K.H. Bisri Sjansuri dan Nyai Maiah. Sejak kecil ia belajar di Madrasah Ibtidaiyah Pesantren Denanyar, Jombang, milik ayahandanya. Di luar pesantren, ia mengaji kepada ayahandanya pada siang dan malam hari selepas Isya.
Sebelum menikah dengan K.H.A. Wahid Hasjim pada 10 Syawal 1356 H (1936 M), ia telah menikah dengan Abdurrahim, putera K.H. Cholil, Singosari, namun tak berlangsung lama karena Abdurrahim meninggal dunia. Setelah menikah pada usia 16 tahun, ia diboyong ke Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Setelah melahirkan anak pertama, ia aktif dalam pengajian di kalangan muslimat Nahdlatul Ulama.
Di zaman pendudukan Jepang, ia aktif dalam organisasi perempuan bentukan Jepang, Fujinkai. Pada 1944 ia mengikuti suaminya yang diangkat sebagai anggota legislatif di Jakarta. Tapi, enam bulan kemudian ia kembali ke Tebuireng, Jombang.
Pada 1950, K.H.A. Wahid Hasjim diangkat sebagai Menteri Agama dan Sholihah pun mengikuti suaminya ke Jakarta. Tapi, tiga tahun kemudian suaminya wafat. Ketika itu Sholihah berusia 30 tahun, dan sedang mengandung anak bungsunya. Sejak itu ia bertekad untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Belakangan ia diangkat sebagai anggota DPRD Jakarta mewakili NU, kemudian anggota DPR Gotong Royong (1958).
Ketika NU menjadi partai, ia aktif dalam berbagai kegiatan Muslimat NU. Ketika NU berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, ia tetap menjadi anggota legislatif (1978-1987). Ia juga sempat aktif dalam kegiatan Yayasan Dana Bantuan, sejak 1958 sampai akhir hayatnya. Ia juga terlibat aktif dalam mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (1974). Ia juga ikut mendirikan dan mengurus Yayasan Bunga Kemboja (1960), yang bergerak dalam pengurusan jenazah, serta mendirikan Panti Harapan Remaja, Jakarta Timur (1976).
Dalam kegiatan keagamaan, ia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1978), Pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), Majlis Taklim Masjid Jami Matraman. Ia wafat pada 9 Juli 1994.

Rangkayo Rasuna Said
Ia dilahirkan pada 14 September 1910, di Desa Panyinggahan, Maninjau, Sumatra Barat. Ayahnya pengusaha sukses, Muhamad Said, yang terkenal sebagai pemilik CV Tunaro Yunus. Selepas SD, ia melanjutkan belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah di bawah asuhan Syekh Abdul Rasyid sebagai satu-satunya santri perempuan.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Diniyah School Putri di Padang dibawah asuhan Zainudin Labai El-Yunusi, abang kandung Rahmah El-Yunusiah. Di sinilah ia bertemu dengan Rahmah El-Yunusiah. Ketika duduk di kelas 5 dan 6 ia diserahi tugas mengajar di kelas-kelas yang lebih rendah di Diniyah School Putri di Padang Panjang.
Belakangan ia berseberangan dengan Rahmah El-Yunusiah, karena Rahmah tidak menyetujui gagasan Rasuna yang memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum. Sementara Rahmah tidak ingin Diniyah School Putri mundur karena para murid dan guru sibuk berpolitik. Akhirnya Rasuna keluar dari Diniyah Shool Putri, dan lebih berkonsentrasi belajar pada para pembaharu Minangkabau seperti Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
Pemikiran Haji Rasul sebagai pelopor gerakan kaum muda Minangkabau menjadi inspirasi bagi Rasuna Said – yang belakangan juga tampil sebagai pembaharu dan pemikir yang progresif. Pada 1926, ketika terjadi gempa di Padang Panjang, ia pulang ke Maninjau, dan belajar kepada agama Haji Abdul Majid. Tapi ia tidak betah, karena menganggap pengajarannya kolot. Lalu ia belajar di Sekolah Thawalib di Maninjau selama dua tahun menjadi murid Haji Udin Rahmani.
Belakangan ia memutuskan untuk aktif berpolitik. Ia menjadi sekretaris Sarekat Rakyat. Sebagai dampak dari pemberontakan komunis (1926), empat tahun kemudian Sarekat Rakyat berubah menjadi Sarekat Islam. Ia juga sempat bergabung dalam Soematra Thawalib dan mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi (1930).
Selain mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI, ia turut mendirikan berbagai sekolah di berbagai pelosok Sumatra Barat. Kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi. Karena pidato-pidatonya yang keras dan tajam terhadap Belanda, ia ditangkap dan dipenjara.
Keluar dari penjara, ia pulang ke Padang dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di Islamic College pimpinan K.H. Mochtar Jahja dan Dr. Kusuma Atmaja. Melalui lembaga ini pula kemudian ia menjadi pemimpin redaksi majalah Raya.
Ketika ruang gerak perjuangannya di Padang dirasakan semakin sempit, ia pun pindah ke Medan. Di sini ia mendirikan lembaga pendidikan khusus kaum perempuan, Perguruan Putri, dan menerbitkan majalah Menara Putri. Kepada murid-muridnya ia selalu menyadarkan betapa penting peranan kaum perempuan dalam proses perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, dan bahwa peranan kaum perempuan sama pentingnya dengan kaum lelaki.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna bergabung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan bentukan Jepang pimpinan Chatib Sulaiman. Ia bertanggung jawab di bagian proganda dan aktif mensosialisasikan program-program ke seluruh pelosok Sumatra Barat: Padang, Padangpanjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Sijunjung, Batusangkar, Maninjau, Pariaman, Kerinci, Paian.
Di zaman kemerdekaan, ia aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Pada tahun 1950-an, di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, ia diangkat sebagai anggota DPR. Dan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ia diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Rasuna menikah pada usia 19 tahun dengan Duski Samad, aktivis pergerakan yang pernah menjadi gurunya di Sumatra Thawalib. Namun pasangan ini tidak bertahan lama. Kemudian ia menikah dengan Bariun AS di Medan. Lagi-lagi perkawinan ini mengalami nasib serupa dan berakhir dengan perceraian.
Rasuna Said menghembuskan nafas terahir pada 10 Nopember 1965 dalam usia 55 tahun. Sebagai penghormatan atas jasa dan perjuangannya, ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Nomor 084/TK/1974.

Hj Nonoh Hasanah
Ia lahir pada 1938 di Cintapada, Cibeureum, Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagai putri kedua dari enam bersaudara pasangan K.H.M. Sjamsuddin dan Hj Qomarijah. Ia hanya belajar sampai kelas IV Sekolah Rakyat, sementara pendidikan agamanya ia peroleh dari Ngaji Ngalong, yakni pengajian yang diselenggarakan secara berpindah-pindah. Selama beberapa waktu ia belajar pada K.H. Khaeruddin di Cisarua, Jawa Barat. Kemudian berguru kepada K.H. Ruhiat di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1950-an ketika usianya baru 12 tahun.
Karena kemampuannya menguasai berbagai kitab dan mampu mengajarkannya, ia menadapat kehormatan menjadi asisten pribadi K.H. Ruhiyat untuk mengajarkan kitab-kitab kecil dan menengah. Setelah delapan tahun nyantri, oleh K.H. Ruhiyat ia dijodohkan dengan santri Cipasung, Ahmad Dimyati (1958). Setelah menikah, ia masih mengabdikan diri di Cipasung, sementara suaminya mendalami ilmu agama di Banten. Baru pada 1959 mereka tinggal bersama di Cintapada, Cibeurem, Tasikmalaya.
Mereka pun membangun sebuah pesantren di Cintapada – yang sebenarnya lebih tua dari Cipasung. Mula-mula Pesantren Cintapada didirikan pada 1918 oleh K.H. Dimyati, mertua Nonoh Hasanah. Sejak ia menjadi pengasuhnya, Pesantren Cintapada khusus menerima para santriwati. Di tengah kesibukannya mengajar, Nonoh Hasanah masih sempat belajar kepada K.H. Abdullah di Purbaratu, Cibeurem, K.H. Kosasih di Bojong Nangka, dan K.H. Najamuddin di Condong, Cibeurem.
Belakangan nama pesantren itu diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Hasanah. Pada 1978 jumlah santriwatinya mencapai 8000 orang, mereka datang dari berbagai pelosok Nusantara. Ia juga sempat menulis buku Ashabul Kahfi dalam bahasa Sunda, terjemahan dari Tafsir Al-Khazin juz III halaman 186-1991. Buku ini mendapat rekomendasi K.H. Ilyas Ruhiyat, pengasuh Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, dan K.H. Khaer Affandi, pimpinan Pesantren Nurul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya. Hj Nonoh Hasanah wafat pada 20 November 1987.
AST, dari berbagai sumber

1 Comments:

At 12:21 AM, Blogger Grass Hoper said...

Ny Rasuna Said ini memang sangat keren sekali, banyak pandangan-pandangan beliau ini sudah lebih maju dari zamannya. Mudah-mudahan bangsa kita memiliki lebih banyak lagi wanita-wanita seperti mereka.

 

Post a Comment

<< Home