7.3.06

Liem Hai Thai (Mualaf 2)

Hidayah Itu Datang melalui Mimpi

Dia bermimpi melihat serombongan orang berjubah putih yang memancarkan cahaya melambai-lambai di angkasa mengajaknya bergabung. Ternyata, itulah awal hidayah yang Liem Hai Thai terima.

Sebuah rumah di daerah Ciputat terlihat teduh dan asri. Di halaman tumbuh beraneka tanaman dan bunga beraneka warna, menambah sejuk suasana. Di sanalah, Liem Hai Thai tinggal bersama Ima Ismawati, sang istri tercinta, yang ia nikahi sejak 13 Desember 2003 silam. Ia adalah salah satu dari tujuh besar peserta Mimbar Dai TPI 2005.
Liem, begitu panggilan akrabnya, anak kelima dari sepuluh bersaudara. Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang acuh tak acuh dengan persoalan agama. Namun, alhamdulillah, kakak tertuanya, Liem Hai Sing (Muhammad Abdul Nashir), telah memeluk Islam terlebih dahulu. Sejak taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan, ia selalu belajar di sekolah-sekolah umum di Riau.
Masa kecil di sekolah-sekolah umum itulah yang membuatnya mulai berkenalan dengan ajaran Islam. Sebab, mayoritas siswa sekolahnya beragama Islam. Terlebih lagi di sekitar rumahnya, yang sarat nuansa religius.
Setiap materi pelajaran Agama Islam tiba, ia tidak meninggalkan ruang kelas. Walau pada sekolah dasar tersebut disediakan ruang khusus untuk pelajaran agama lain, Liem justru lebih suka tinggal bersama teman-teman yang lain mengikuti mata pelajaran tersebut. Semakin lama mengikuti materi pelajaran Agama Islam, ia semakin tertarik untuk masuk Islam.
“Ketika itu, saya ingin sekali beribadah bersama mereka. Tapi saya belum terpanggil. Mungkin, hidayah belum datang kala itu,” katanya mengenang.
Liem Hai Thai, yang lahir pada 17 Januari 1979 di Dumai, Riau, mengaku lebih terkesan melihat kehidupan kaum muslimin di sekitar rumahnya. Terutama setelah menyaksikan silaturahmi yang akrab di antara mereka. Misalnya, menjelang buka puasa Ramadan, para tetangga saling berbagi makanan. Dan saat hendak ke masjid untuk salat Tarawih, kaum lelaki sama-sama mengenakan kemeja dan sarung dengan rapi.
Demikian pula kaum muslimahnya, mengenakan mukena putih bersih dengan wajah ceria. Mereka berbaur, tak pandang kaya atau miskin. “Tampak bersahaja. Dalam Islam, semua manusia sama derajatnya di mata Tuhan, baik yang miskin maupun kaya,” ujarnya.
Dulu, di kampung halamannya di Dumai, setiap malam menjelang Hari Raya Idulfitri, segenap warga bergotong royong menggelar pawai takbir keliling kampung – baik yang muslim maupun non-muslim. Ketika itu pula, dia secara diam-diam menyaksikan pawai takbir keliling. Pawai takbir yang banyak menyebut-nyebut asma Allah SWT itu sangat membekas dalam kalbunya.”Waktu itu, saya sangat ingin bergabung. Tapi, karena berbeda agama, saya hanya bisa melihat kebersamaan yang besar di antara umat muslim,” kenangnya.
Liem mengaku, dia lebih dekat kepada Islam justru dimuali sejak kecil. Bahkan pada masa kanak-kanak, dia merasa sudah menjadi muslim – meskipun hal itu masih terpendam di dalam hati, dan sekadar mengikuti pelajaran Agama Islam di sekolah. Apalagi sejak sang kakak, Muhammad Abdul Nashir (Liem Hai Sing), sering memberikan masukan dan menyampaikan ajaran Islam dengan ramah dan sabar, sedikit demi sedikit hidayah Allah masuk ke dalam jiwanya.
Dilahirkan dalam keluarga yang penuh pluralitas beragama membuat Liem leluasa untuk memilih agama yang dianggapnya benar. Kala itu, ibunya sendiri beragama Katolik yang teguh, dan bapaknya adalah pemeluk Konghuchu yang patuh. Kebebasan yang ia miliki membuat kesempatan untuk mempelajari Islam ia manfaatkan sebaik-sebaiknya. Apalagi, ada tempat untuk mencurahkan kegelisahan dalam memilih agama yang sering berkecamuk dalam dadanya, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.

Bimbingan Sang Kakak
Setiap pulang ke rumah, Muhammad Abdul Nashir selalu menceritakan ajaran Islam kepada keluarganya. “Di tengah keluarga yang pluralis semacam itu, kakak leluasa mengajarkan Islam kepada kami,” tuturnya. Walau, sikap kakaknya itu tidak sepenuhnya diterima semua keluarganya, terutama sang ayah, Liem Guan Ho, yang sehari-hari mengabdi pada sebuah kelenteng di kotanya.
Perbedaan memeluk agama di tengah keluarganya berpuncak ketika ayahnya bercerai dengan ibundanya. Dan sang kakak memilih tidak tinggal satu atap dengannya. Kendati demikian, kakaknya selalu pulang ke rumah untuk menjenguk dan mengajaknya buat meyakinkan kepadanya akan agama tauhid, Islam.
Setiap pulang ke rumah, ia selalu menceritakan kebaikan ajaran Islam. Mendengar cerita sang kakak yang sangat menarik itu, Liem semakin mendapat tambahan pelajaran agama Islam yang lebih mendalam. “Apalagi, kalau kakak saya sedang menceritakan ajaran Islam tentang hari kiamat, saya senang sekali mendengarnya,” ujarnya.
Hari kiamat yang digambarkan dalam ajaran Islam sangat rasional. Demikian pula dengan adanya kehidupan lain sesudah mati, yang tidak ditemui dalam ajaran agamanya selama ini. Ini yang membuat Liem lebih yakin akan kebenaran Islam.
Hanya kepada Muhammad Abdul Nashir, sang kakaknya, itulah Liem senantiasa mencurahkan semua persoalan agama. Kakaknya pun dengan sabar memberikan gambaran yang mudah dan sederhana tentang ajaran Islam.
Menginjak pendidikan SMP, dia masih senang mengikuti pelajaran Agama Islam. Walau dilarang oleh guru kelas dan teman-temannya, Liem bersikeras mengikuti pelajaran tersebut. “Kala itu saya memang sudah benar-benar mulai tertarik dengan ajaran agama Islam,” ceritanya.
Pada 1990-an Liem mulai gamang. Entah mengapa, ia tidak menemukan ketenteraman jiwa. “Jiwa saya terombang-ambing dalam pencarian kebenaran yang tiada batas dan tidak punya pegangan,” ujarnya.
Ia merasa, apa yang selama ini dipercayainya tidaklah terasa klop lagi dengan kalbunya. Sekitar tujuh tahun dia telah mempelajari Islam secara diam-diam, semuanya didapat di sekolah umum dan cerita-cerita sang kakak. Hingga suatu waktu, ia bermimpi melihat serombongan orang berjubah putih yang memancarkan cahaya melambai-lambai di angkasa mengajaknya bergabung. Tapi, inikah yang namanya hidayah? Dia mencoba menanyakan hal ini kepada kakaknya.
Sang kakak, yang memang senantiasa mengajaknya untuk memeluk agama Islam, hanya menyarankan agar ia segera mengucapkan kalimah syahadat. Namun, sampai saat itu, Liem lagi-lagi belum terbuka sepenuhnya.
Tak lama berselang dari kejadian itu, ia semakin mendalami Islam. Hingga suatu waktu, ia mendengar suara azan yang mengalun syahdu dan indah. Setiap mendengar suara azan, badannya bergetar hebat dan air matanya keluar tak terbendung. ”Suara azan itu memanggil jiwa-jiwa yang gersang untuk menghadap Ilahi,” kata Liem menirukan ucapan kakaknya.
“Saya akhirnya masuk Islam, karena panggilan jiwa, bukan karena paksaan siapa pun,” ujarnya tegas.

Tidak Keberatan
Sebelum memutuskan untuk memeluk Islam, ia terlebih dahulu menyampaikannya pada kakak dan ibundanya. Tentu saja, kabar itu disambut gembira oleh kakaknya, dan ibunya pun tak keberatan. Sang kakak akhirnya menjadi perantara untuk prosesi yang paling bersejarah dalam hidup Liem.
Akhirnya, pada 21 Juni 1994, di Masjid Raya Pasar Duri Riau, ia mengucapkan kalimah syahadat di hadapan H. Arwan, yang saat itu menjabat ketua Badan Silaturahmi dan Remaja Masjid Mandau Riau, dan disaksikan ratusan jemaah masjid itu. Sejak itu pula, nama Liem Hai Thai berganti Muhammad Utsman Anshori.
Setelah mantap memeluk Islam, ia kemudian dititipkan kepada orangtua asuh K.H. Ali Muhsin. Lewat bimbingannya, Liem menimba ilmu di Pondok Pesantren Raudhotul Muhsinin Maqbul Malang, Jawa Timur, kemudian dilanjutkan ke jenjang pendidikan Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Daarul Qolam, Gintung Balaraja, Tangerang, Banten. Setelah lulus Aliyah, ia melanjutkan ke pendidikan tinggi di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta.
Setelah menempuh berbagai pelajaran agama, hari-hari belakangan ini ia pergunakan untuk syiar Islam. Kesehariannya ia disibukkan sebagai sekretaris Pembina Iman Tauhid Islam (PITI), Jakarta Selatan, dan guru Bimbingan Rohani Keislaman di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Kebahagiaannya kini bertambah ketika saudara-saudaranya juga telah memeluk Islam. Dari sepuluh saudaranya, kini sudah enam yang memeluk Islam. Bahkan di bulan Muharam kemarin, ibunda dan adiknya juga mengikuti jejaknya, memeluk Islam. ”Saya berharap, saudara-saudara saya yang lain juga bisa mendapat hidayah, memeluk Islam,” katanya.
Walau tereliminasi setelah masuk 7 besar Mimbar Dai TPI, ia tetap bersemangat untuk berdakwah. ”Berdakwah adalah kewajiban setiap manusia. Saya dalam kesempatan ini juga mohon restu, semoga saya menjadi pendakwah yang sejati bagi kehidupan Islam,” kata dai TPI ini mengakhiri perbincangan.

AST/Ft. AST

0 Comments:

Post a Comment

<< Home