23.9.06

Perjalanan Sunyi



Entah sudah berapa lama, lelaki itu melakukan suatu pengembaraan yang disebutnya “Perjalanan Sunyi”. Ia melakukan perjalanan itu sendirian. Diam-diam berbagai tempat ia kunjungi. Berbagai nuansa ia hayati...berbagai nilai ia rasuki, berbagai kesunyian dan kesendirian ia selami, berbagai, berbagai....
Jika saja, lelaki itu disuruh bercerita tentang perjalanannya, sudah barang tentu, beribu-ribu lembar kertas akan habis untuk menceritakan 'hasil perjalanan sunyinya'. Jika saja ia seorang intelektual tulen, sudah berapa teori besar akan 'nerocos' keluar dari kandungan otaknya yang nakal 'bukan main'. Jika ia seorang pengarang, sudah berapa puluh novel siap untuk diterbitkan. Jika saja ia seorang penyair, tentu bisa dibayangkan berapa danau kegetiran dan pahitnya 'kesendirian dalam hidup' siap ia teteskan dalam mutiara kata-kata yang sepi dan penuh kesunyian.
Sayang, lelaki itu hanyalah orang kecil, ia hanya manusia biasa. Ia hanya bisa meneteskan air mata ketika perpisahan demi perpisahan ia hadapi dalam perjalanan sunyinya itu. Sayang lelaki itu hanya 'bersandal jepit' an tidak berpotensi untuk hidup mentereng 'jreng', penuh gemerlap hidup. Ia hanya rakyat biasa. Ia tidak pernah risau akan perebutan kekuasaan demi kekuasaan. Baginya itu tidak penting dan ia tidak ingin sedikit pun berkuasa.
Lelaki itu biasa menabung 'kesabaran' atas kecongkakan dan kesombongan 'gemerlap metropolis' serta 'konsumerisme'. Lelaki itu begitu tabah untuk senantiasa 'berpuasa' atas segala 'kemegahan' demi 'kemegahan' yang ia saksikan. Ia tidak silau dengan apa yang ada.
Lelaki itu tentu saja bukan 'turis' yang sedang menyaksikan berbagai keindahan hasil budaya atau indahnya alam semesta ciptaan Tuhan. Lelaki itu bukan seorang ilmuan yang sedang meneliti berbagai fenomena sosial, yang di mana dari hasil penelitiannya itu akan menjadi suku cadang karya-karya monumental dan spektakuler di kemudian hari.
Kalau anda menjumpai lelaki asing itu, dengan wajah yang ceria dan mungkin saja ia kini memakai jaket kumal seperti gelandangan. Berarti, ia sedang hidup menggelandang, layaknya masyarakat kebanyakan--gelandangan ibu kota--.
Lelaki itu terus mengembara, menghilang dari peradaban budaya. Ia tengah meniti jalan (tharieq) yang tidak pernah tersentuh oleh penguasa, organisasi sosial politik, atau masyarakat. Pada saat-saat tertentu ia telah memilih 'tidak ada'. Artinya, ia melenyapkan seluruh potensi penglihatan manusia, karena ia merasa 'tidak ada' (Wujuduhu ka'adamihi)--Sungguh adanya, adalah tiadanya, ada ndak apa-apa dan tidak ada juga tidak apa-apa--.
Ya itu hanya sekelumit dari sebuah perjalanan sunyi yang sebentar lagi berakhir....
081327187625

0 Comments:

Post a Comment

<< Home