23.2.06

Husain bin Ali bin Abi Thalib (Manakib 11)

Cucunda Tercinta, Syahid di Karbala

Sayidina Husain dan keluarganya syahid di Karbala pada 10 Muharram 61 Hijri. Tragedi ini selalu dikenang oleh kaum muslimin sebagai noda hitam dalam tarikh Islam.

Agaknya tak ada peristiwa kemanusiaan yang melebihi kedahsyatan Tragedi Karbala 14 abad silam. Ketika itulah cucu Rasulullah SAW, Imam Husain, dan segenap keluarganya, dibantai tanpa ampun. Imam Husain sendiri dipancung! Inilah noda hitam dalam tarikh Islam, yang hinga kini diratapi kaum muslimin di seluruh dunia. Tapi, tragedi ini juga merupakan ungkapan suatu pengorbanan luar biasa para syahid di jalan kebenaran dan keadilan Allah SWT.
Imam Husain dilahirkan di Madinah, Selasa 4 Sya’ban 4 H/584 M. Ibunya, Sayidah Fatimah, adalah putri kesayangan Rasulullah SAW, sedangkan ayahandanya, Ali bin bi Thalib, adalah salah seorang sahabat Nabi dan salah seorang tokoh terkemuka di awal dakwah Islam. Beliau dibesarkan oleh pasangan sejoli yang menerima asuhan langsung dari Rasulullah SAW. Nama Husain merupakan tasghir (“pengecilan”) dari nama abangnya, Hasan, yang dua-duanya berarti “bahagia”. Beliau adalah cucu tersayang Nabi.
Pernah, suatu hari, Rasulullah SAW menunaikan shalat dan sangat lama melakukan sujud. Bukan hanya karena ingin lebih sangat dekat dengan Allah SWT, melainkan juga karena menjaga agar Husain dan abangnya, Hasan, tidak terjatuh dari punggung beliau. Ketika itu kedua cucunda tengah bermain-main di punggung kakeknda yang mulia. Sungguh, kasih sayang yang luar biasa!
Nabi sangat mencintai kedua cucunda, sehingga kehidupan mereka bak kehidupan malaikat – berada dalam naungan Allah SWT. Di masa kanak-kanak, mereka mendapat ucapan-ucapan wahyu di lingkungan kenabian. Rasulullah SAW memberi mereka pelajaran dan cara hidup Islami. Sementara dari lingkungan kedua orangtua, mereka mengambil suri teladan yang mulia. Dalam lingkungan yang mulia seperti itulah Hasan dan Husain hidup berdampingan.
Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah SAW datang kepada kami bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Sesekali Rasulullah SAW menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa mencintai keduanya (Hasan dan Husain) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku.”
Pada hari ketujuh kelahiran Husain, Rasulullah SAW menyembelih dua ekor kambing kibas berwarna putih keabu-abuan sebagai aqiqah. Kemudian beliau memberikan dua paha kambing itu kepada hadirin, lalu mencukur rambut Husain serta menimbangnya dengan perak. Selanjutnya perak itu disedekahkan kepada fakir miskin. Lalu beliau mengurapi kepala cucunda dengan pacar, sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada Hasan.
Sejak kecil, Husain sudah menunjukkan bakat sebagai ilmuwan, prajurit, dan orang shaleh. Bersama abangnya, bakat sang adik kian berkembang, selama masa pemerintahan empat khalifah yang pertama. Sifat mereka yang luhur mendapat penghargaan dan perhatian besar dari para khalifah.

Justru Diracun
Kesulitan timbul justru di masa kekhalifahan sang ayah, Ali bin Abi Thalib. Terutama ketika Muawiyah memberontak. Akibat peristiwa ini, kekhalifahan Islam terbagi dua: satu dipimpin oleh Imam Ali, lainnya di bawah Muawiyah. Muawiyah adalah famili Khalifah Ustman bin Affan yang sebelumnya menjabat gubernur Damaskus. Ia, sebagaimana keluarga Ustman yang lain, mencurigai Ali terlibat dalam komplotan pembunuh Ustman.
Ketika Imam Ali syahid, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju ke jenjang kekuasaan. Demi keutuhan umat Islam, Imam Hasan, yang menggantikan ayahandanya, berkompromi – atau lebih tepatnya mengalah – dengan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Tapi, belakangan Imam Hasan justru diracun hingga wafat.
Pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya sebagai khalifah, Muawiyah merobohkan sendi-sendi demokrasi. Mengikuti sarah Mughira, gubernur Basrah, ia mengangkat Yazid sebagai penggantinya. Dengan pengangkatan ini, demokrasi dalam Islam menjadi monarki, karena Yazid tiada lain adalah anak Muawiyah. Tindakan itu juga melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan Imam Husain bahwa pengangkatan seorang khalifah harus melalui pemilihan yang demokratis.
”Dua orang telah menimbulkan kekacauan di kalangan kaum muslimin: Amr ibn Ash, yang menyarankan Muawiyah mengangkat Al-Quran di ujung lembing ketika hendak berunding dengan Imam Hasan; dan Mughira, yang menyarankan agar Muawiyah mengangkat Yazid sebagai khalifah. Jika tidak, tentulah akan terbentuk sebuah dewan pemilihan,” kata Imam Hasan dari Basrah.
Yazid naik takhta pada bulan April 683 M. Para sejarawan menilai, anak Yazid ini sama sekali tidak layak diangkat sebagai khalifah. Bukan hanya karena terlalu mementingkan kehidupan duniawi, tapi juga karena dia tidak terlalu dekat dengan kalangan ulama. Namun, dengan licik ia berusaha memperkuat kekuasaan dengan cara minta sumpah setia dari para ulama, termasuk dari Imam Husain. Akan tetapi, Husain, yang mewarisi keshalehan dan kesatriaan ayahandanya, Ali, tidak mudah dipaksa atau dibujuk dengan berbagai “hadiah.”
Melalui Walid ibn Utba, gubernur Madinah, Yazid berusaha membujuk Imam Husain untuk bersumpah setia kepadanya. Namun sebaliknya Imam Husain didesak oleh warga Kufah di Irak agar membebaskan mereka dari kekuasaan Yazid. Maka dia pun lalu mengutus kemenakannya, Muslim ibn Akil, ke Kufah, yang disambut ribuan pendukung Imam Husain. Tapi, Yazid tak tinggal diam. Ia menekan warga Kufah sehingga semuanya meninggalkan Husain. Dan Muslim, sang utusan, dipancung di jalan raya.
Rupanya represi itu belum terdengar oleh Imam Husain. Ia berangkat ke Kufah bersama serombongan besar pengikut dan keluarga, semuanya 72 orang. Ketika mendekati perbatasan Irak, ia kaget karena tak bertemu pasukan pendukungnya. Apalagi setelah mendengar Muslim dipancung. Ketika itulah ia diadang pasukan Yazid di bawah pimpinan Al-Hur. Atas perintah Gubernur Kufah Ubaidullah ibn Zayat, ia menggiring Imam Husain ke Karbala, sekitar 25 mil di timur laut Kufah.

Ali Al-Asghar
Ketika Imam Husain membangun kemah di tepi Sungai Euphrates, pasukan Yazid, yang berjumlah sekitar 4.000 serdadu di bawah komando Amr bin Sa’ad, mengepung perkemahan itu dengan pagar besi di sekelilingnya. Tak lama kemudian Ubaidillah membujuk Husain agar menyerah, sementara semua jalur jalan ke dan dari Sungai Euphrates ditutup untuk menyetop suplai air bagi rombongan Husain.
Selama empat hari (7-10 Muharram) rombongan Imam Husain kehausan. Itulah awal masa kesengsaran keturunan mulia Rasulullah SAW. Sampai-sampai hal itu membuat Al-Hur, salah seorang komandan pasukan Yazid, terharu. Pada 10 Muharram 61 H/641M ia menyaksikan Imam Husain, yang sangat sengsara, lunglai kehausan dan kelaparan. Melihat kenyataan itu, Al-Hur dan 30 prajuritnya membelot. Tapi, mereka bisa dilumpuhkan oleh pasukan Yazid di bawah pimpinan Amr bin Sa’ad.
Di lain pihak, pasukan Yazid tidak berani berhadapan langsung dengan rombongan Husain. Mereka hanya melepas anak panah dari kejauhan. Meski begitu, karena kekuatan sama sekali tak sebanding, satu demi satu – sahabat, saudara, sepupu, kemenakan Imam Husain – wafat sebagai syuhada dengan tubuh tertancap anak-anak panah. Tinggallah Imam Husain bersama bayinya, Ali Al-Asghar.
Suatu saat Asghar berteriak-teriak kehausan, minta minum. Sambil menggendong anaknya, Husain mendekati lawan lalu menyampaikan beberapa nasihat. Pasukan Yazid bukannya memberikan seteguk air, mereka justru memanah sang bayi yang tak berdosa itu, sehingga syahid seketika. Dengan perasaan campur aduk, sedih dan marah, Imam Husain menggendong Asghar yang berdarah-darah ke pangkuan ibunya, Syahr Banu. Ketika itulah ia tahu, ajalnya menjelang.
Meski begitu, ia masih sempat menunjukkan keluhuran akhlak dengan mendoakan para prajurit yang telah membunuh sahabat dan keluarganya. Setelah itu, ia segera keluar dari tenda, lalu menyerang dengan penuh semangat. Sebagian prajurit lawan sempat lari terbirit-birit. Tapi, Imam Husain hanya seorang diri, sudah terlalu lemah karena lapar dan haus, dengan puluhan tusukan pedang dan tancapan anak panah di sekujur tubuhnya.
Dengan lunglai, Imam Husain turun dari kudanya, lalu shalat dua rekaat. Ketika ia sedang bersujud, Saren ibn Uns – salah seorang prajurit Yazid yang keji dan pengecut – menyerang, menginjak-injak tubuhnya, lalu memancung kepala sang Imam. Sementara jenazah tubuhnya dimakamkan di Padang Karbala, kepalanya dibawa ke istana Yazid.
Enam dari tujuh anak-anak Imam Husain syahid di Padang Karbala. Juga, istri tercintanya, Syahr Banu, salah seorang putri Khosru Yasdajird II dari Dinasti Sasanid II, Persia (sekarang Iran). Empat putranya: Ali Al-Akbar, Ali Ausat, Ali Al-Asghar, Abdullah; sedangkan tiga putrinya: Zaenab, Sakinah, dan Fatimah. Seluruh anak Husain terbunuh, kecuali Ali Ausat, yang di belakang hari terkenal sebagai wali: Ali bin Husain Zaenal Abidin. Dialah satu-satunya keturunan Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian keji Padang Karbala.
Ketika pertempuran tak seimbang itu terjadi, Ali Zainal Abidin tengah tergolek sakit di tenda. Ia hanya ditunggui bibinya, Zainab binti Ali, yang dengan gigih melindunginya ketika beberapa orang anggota pasukan musuh menerobos masuk ke perkemahan yang hanya ditunggui kaum wanita dan anak-anak.
Zainab berteriak lantang, “Apakah kalian tidak menyisakan satu laki-laki pun dari keluarga kami?”
Tentara musuh itu tertegun sebentar, kemudian berbalik meninggalkan tenda tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Disarikan oleh AST dari Syarh Al-Ainiyyah, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih, Lentera Basritama, Jakarta, 1999

0 Comments:

Post a Comment

<< Home