1.10.06

Dziwon oh...dziwon

Dziwon, begitu sapaan akrab Aji Setiawan, lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Nama panggilan dziwon sendiri, berasal dari sebuah nama desa tempat Aji Setiawan di lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia. Ia anak pertama dari 3 bersaudara dengan kedua orang tua Muhammad Suparno, BA dan Rr Sri Budi Rahayu.
Cucu kesayangan dari H. Muhammad Ali ini sangat beruntung dalam menimba ilmu pengetahuan. Sedari kecil, oleh sang kakek, ia telah diajari arti ketabahan dan kesederhanaan. Sang kakek, dengan sangat sabar mengajari kemandirian dalam hidup dan semangat kerja keras. Didikan ini banyak membentuk karakter dan sikap darinya. H. Muhammad Ali dikenal sebagai tokoh agama dan masyarakat di wilayah Bukateja dan sekitarnya. H. Muhammad Ali adalah tokoh NU yang kiprah dan perjuangannya dalam berdakwah di lapisan akar rumput. Berbagai lembaga pendidikan bernaung di bawah LP Ma'arif, sangat beliau dukung tidak saja moril, namun juga materiil. Lembaga-lembaga dakwah dan pesantren pun tak luput, menjadi perhatian dari pemberdayaan dan upaya-upaya pengembangan yang tiada henti. Prinsip perjuangan H. Muh Ali, menitis pada sang Ayahanda dari Aji Setiawan. Muhammad Suparno BA, adalah aktivis agama, politik dan kemasyarakatan yang tidak saja berjuang di tingkat lokal namun juga wilayah Kab Purbalingga dan sekitarnya.
Lewat bimbingan sang Ayahanda, yang banyak dikenal berkiprah di jamiyyah Nahdhlatul Ulama dari mulai ranting, anak cabang sampai kabupaten. Sang Ayah, juga dikenal sebagai tokoh politik, di PPP. Klop sudah, jika dikemudian hari, Aji Setiawan banyak dikenal sebagai tokoh politik “akar rumput” di wilayah pinggiran Purbalingga bagian timur dan sekitarnya.
Ditilik dari silsilah keturunan jalur sang ibu, mengalir darah R Sukendro yang tidak lain masih keturunan Raden Kolopaking dan Arumbinang yang tidak lain adalah Adipati Kebumen.
Ia menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto.
Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Saat di kota Gudeg itulah, ia tidak sekedar kuliah, bahkan jarang kuliah di bangku kampus. Berbagai aktivitas gerakan ia rambah, mulai dari lembaga kampus sampai gerakan mahasiswa. Pendidikan “jalanan” ini menurutnya, sangat membantu dalam periode-periode sejarah selanjutnya.
Baginya, pendidikan yang manusiawi justru ada di luar kampus, bukan di dalam kelas yang beku dan kaku. Justru melalui pergulatan wacana dan pergesekan dunia intelektual, ia mengasah diri untuk menyambut tugas-tugas sejarah, kelak di kemudian hari.
Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta dan berbagai komunitas-komunitas kecil, seperti komunitas musik, buku, diskusi, gerakan mahasiswa dan lain-lain.
Pada masa itu, hampir selama tiga tahun, dziwon, oleh teman-temannya dianggap hilang. Jarang sekali, ia kelihatan di kampus. Bahkan, nyaris, banyak rekan-rekan satu kampus memprediksi dziwon sudah kena DO (Droup Out). Pada waktu itu, dziwon banyak menyerap pelajaran-pelajaran yang tidak ada di bangku kampus.
Sejak tahun 1999, ia tercatat sebagai wartawan Yogya Post, sebuah Koran kecil di kota Pelajar. Namun awal pendidikan menjadi wartawan yang sesungguhnya, baru dimulai. Kurun waktu tahun 2000, ia mulai menjadi kontributor beberapa majalah di Ibukota. Walau jarang menulis, namun ia tetap mengirimkan tulisan-tulisannya. Langkah itu harus terus dilakukan untuk menyambung silaturahmi dan menyampaikan gagasan.
Selepas lulus dari UII tahun 2002, ia pulang ke kampung halaman di Purbalingga dan menapak dalam berbagai komunitas, mulai politik, agama dan kemasyarakatan. Hampir selama dua tahun, ia bersama tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Purbalingga membangun berbagai komunitas agama, masyarakat dan politik.
Kiprahnya, dimulai dengan memimpin sebuah laskar pemuda PPP (Laskar Ababil PPP) kabupaten Purbalingga dan sekaligus mengelola sebuah koran mingguan Media Ka'bah. Ia juga dipercaya sebagai ketua Lembaga Pemenangan Pemilu wilayah kecamatan Bukateja dan Sekretariat Lembaga Pemenangan Pemilu (LP2) PPP Kabupaten Purbalingga dalam pemilu 2004. Dalam pemilihan Presiden, ia dipercaya sebagai sekretaris Cabang Tim Kampanye Hamzah Agum untuk Kab Purbalingga.
Pekerjaan sebagai “agen transformasi' sosial itu akhirnya sempat terhenti, saat sebuah majalah Islam di Ibukota memanggilnya pada tahun 2005. Saat itulah, seluruh atribut sebagai "politikus lokal" harus ia tanggalkan. Ia lebih suka menyebutnya masa "sterilisasi" dan pengendapan nafsu untuk berpolitik.
Tantangan yang tidak ringan, harus ia hadapi begitu rupa saat menginjak pertama kalinya di Jakarta, penuh pernak-pernik dan perjuangan.

Menjadi Wartawan
Pekerjaan wartawan bukanlah sebuah pekerjaan yang jatuh dari langit. Pernyataan ini menggambarkan bahwa proses pembentukan menjadi wartawan tidaklah tunggal dan monolitik. Memang terdapat sejumlah wartawan yang kehadirannya bak Superman atau Gatotkaca.
Mereka berputar-putar di atas dan bertengger di mana pun tempat yang disuka. Mereka bisa melakukan itu karena privilege tertentu, seperti faktor darah biru, patronase
politik maupun kepemilikan sumber kapital yang besar.
Namun tidak sedikit pula, kemunculan seorang wartawan melalui jalan panjang berliku dan penuh tantangan yang tidak semua orang bisa melewatinya dengan selamat.
Ia tidak bisa diproses dengan mantra simsalabim, melainkan melalui perjuangan dan pengkaderan yang cukup lama.
Kalau pun ada wartawan yang lahir dari proses-proses pendek, nafas untuk menjadi wartawan yang sejati juga tidak terlalu lama, akan bernafas pendek pula.
Wartawan yang sejati adalah seseorang yang berdiri sendiri, sekali pun proses kebesarannya pasti ditopang oleh faktor dominan di belakangnya yang saling kait-mengkait, apakah itu institusi keluarga, lingkungan, pendidikan, maupun ikatan organisasi dan kepentingan.
Proses perkembangan seorang wartawan sejati pastilah dinamis, tidak statis. Dengan sikap ini maka sesungguhnya ia menjaga keberlangsungan eksistensinya.
Ia harus banyak membaca teks-teks buku, siap bertransaksi ide dan gagasan dengan diskusi, memproduksi ide dan gagasan melalui artikulasi nalar kritis, lalu
merefleksikannya dalam bentuk tindakan, berupa tulisan atau laporan-laporan.
Karya tulis atau laporan-laporan terulis itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban pribadi yang harus ia penuhi secara kontan, apakah itu kepada perusahaan media maupun publik.
Kalau tuntutan “public” atau amanah khalayak ini tidak terpenuhi, maka berarti ia siap tidak diberi kepercayaan pada masa berikutnya.
Oleh karena itu seluruh susunan tubuh seorang wartawan harus dapat bekerja 24 jam lebih: hati, otak, kepala, tangan, dan kaki harus mampu digerakan untuk melayani kepentingan publik.
Betapa pun rumit dan kompleksnya seorang wartawan, maka posisinya tidak bisa dianggap remeh. Seorang wartawan adalah pemanggul sejarah amanah-amanah public (khalayak).
Dibutuhkan keberanian, kesungguhan, dedikasi dan loyalitas tinggi untuk mempertahankan dan memperjuangkan cita-cita yang diembannya. Resiko dan bahaya mengiringi setiap tindakan yang diambil, kecermatan berhitung dengan resiko menjadi seni tersendiri untuk tetap survive.
Medan seperti inilah yang harus dihadapi oleh seorang wartawan, analisis yang tajam, informasi yang akurat, ketrampilan berartikulasi dan agresi menjadi prasyarat seorang wartawan bila ingin tetap bertahan di media.
Lapangan bekerja di media semacam inilah yang harus dilewati para wartawan. Tantangan dan kenyataan di lapangan yang sedemikian rumit harus diselesaikan dalam waktu yang cepat.
Seorang wartawan harus memainkan sekian banyak kepentingan, yang sering kali kepentingan itu bukan saja sekedar berbeda, bahkan tidak jarang saling bertentangan. Namun, kepentingan public adalah di atas segala-galanya. Ia menjadi tujuan utama, tak bisa dikalahkan oleh siapa pun, termasuk kepentingan individu.
Tidak semua orang bisa siap dengan profesi yang rentan dengan kritik semacam itu. Jika mereka sukses, orang akan berkata bahwa itu memang tugasnya.
Begitu gagal, segudang caci maki dan sumpah serapah akan melayang.
Hidup dalam dunia semacam itu tentu tidak mudah dan tidak semua orang berani mengambil pilihan hidup di dalamnya. Menjadi wartawan yang sejati dimulai dari proses “mendidik diri” secara mandiri, profesional dan penuh integritas.

Menjadi Pengusaha
Kalau mau jadi orang kaya, jangan bekerja untuk melayani pemodal. Tapi layanilah diri sendiri. Olahlah sumber daya alam yang terkandung di perut bumi Nusantara. Engkau bisa tanam apa saja dan engkau olah menjadi sesuatu yang berguna. “Asalkan engkau bekerja keras dan tabah menghadapi kenyataan, maka engkau akan “PANEN” seperti yang kau kerjakan.”
Setelah berkelana ke berbagai daerah untuk "memotret" sejarah demi sejarah, ia kemudian memilih untuk menggeluti dunia baru. Yakni ia mulai berbisnis dan menjadi wiraswasta sejati. Bermodalkan pengalaman dan keilmuan yang didapat, ia mencoba mempraktikan dan merealisasikan berbagai ragam usaha di kampung halaman.

Menjadi Politikus
Rumus mengabdi untuk ke-umat-an selalu menjadi prioritas dalam hidup. Prinsip mengabdi dan melayani akan kepentingan-kepentingan orang banyak selalu menjadi rutintasnya. Semua itu hanyalah "sarana" untuk menunaikan tugas suci kemanusiaan seperti apa yang "dititahkan" Tuhan dan Rasulullah SAW. Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW dan digariskan Allah Jala Jalalluhu itulah yang senantiasa menjadi "jalan" sekaligus "grand master" untuk bertindak.

Amin

0 Comments:

Post a Comment

<< Home