22.1.07

Babak Demi Babak Kelahiran NU

 

Lapsus:
Babak Demi Babak Kelahiran NU

Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)

Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.
KH A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik).
Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud.
Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma'sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11).

Ketua HBNO
Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”
Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Sampai sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya saja sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH. Rois Said berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54 menyebutkan, Hasan Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari “marga” Gipo sehingga nama Gipo diletakan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung) dan al-dien (agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan Abdul Latief Gipo.
Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam kelaurga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.
Sebagai orang yang punya keturunan Arab, Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik.
Baru sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang didampingi KH Hasyim Asya’ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH Wahab Chasbullah sebagai Katib ‘Am. (Sumber: surat permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru merespon permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini berada di Universitas Leiden, Belanda.

Kantor HBNO
Presiden HBNO pertama, H. Hasan Gipo, menempati sebuah rumah yang sederhana sebagai sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan otonom NO yakni barisan pemuda Anshor berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya. Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul meletusnya perlawanan rakyat melawan penjajah pada 10 November 1945. KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Angresi Militer Belanda II. Akhirnya kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya.
Sejak ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta, 1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta. Ruangan kantor PBNO terletak di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah timur stasiun Gambir. Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang ‘Waras’, sebuah perusahaan dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim, Zainul Arifin dan Achsien.
Sekalipun berpindah-pindah kantor, NO telah menjelma menjadi ‘bayi raksasa’ seperti yang telah diramalkan KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan menadapat dukungan yang luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf. Tak mengherankan jika pada Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun persiapan, NO mampu menduduki tiga dari the big four (empat besar) pemenang pemilu dengan jumlah pemilih 6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi keempat ditempati PKI.
Tentu, untuk ukuran sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di Indonesia, kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH Saifuddin Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk mencari tempat yang lebih layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164.
Ketika melihat bangunan fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya layak sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin bahwa letak yang strategis dan harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan dapat diangsur dua kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang baik dan harga terjangkau PBNO karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang menggembirakan. (sumber: Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987).
Selain itu ada cerita menarik lainnya, dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan yang sama yakni makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh yang terkenal sangat nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat 164 sebagai kantor PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri.”Letaknya kan hanya 300-400 meter dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita,” kata Dahlan kepada Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4 partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI.
Hingga kini, setelah 60 tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan sebagai kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan.

AST, dari berbagai sumber
Caption:
1. Lead
2. Sudut Kawasan Ampel, Surabaya. Saksi sejarah kelahiran NO
3. Gedung PBNU pertama.Penuh dengan masa perjuangan
4. Acara Istighotsah NU. Menjadi bayi raksasa dengan jutaan umat
5. Gedung PBNU Sekarang. Lebih megah dan semarak kegiatan organisasi

Box-1
Proses Penciptaan Lambang NO

Lambang NO yang terdiri dari bola dunia dilingkari tali jagad dan bintang sembilan ternyata diciptakan oleh KH. Ridlwan Abdullah atas perintah KH Wahab Chasbullah. Kisah pembuatan lambang NO oleh Kiai Ridlan melalui shalat istiharah dan isyarat mimpi

Surabaya, 1927. tepatnya hari Ahad, 9 Oktober 1927 M (12 Rabiu’Al-Tasani 1346 H), Muktamar ke-2 digelar. Sebagai organisasi yang berumur dua tahun, NO perlu show of force. Setidaknya agar kehadiran organisasi yang didirikan para ulama ini dapat dikenal oleh kalangan masyarakat luas. Acara muktamar sengaja dibikin sedemikian semarak. Hotel Paneleh, tempat acara ditata apik. Umbul-umbul dengan beraneka warna menghiasi dan memenuhi halaman hotel yang luas.
Yang tak kalah menarik, sebuah vandel berukuran besar bergambar lambang NO terpasang tepat di pintu gerbang Hotel Paneleh. Lambang itu terlihat oleh siapa saja yang melewati Hotel Paleneh. Lambang itu masih asing karena pertama kali ditampilkan. Pejabat yang mewakili pemerintah Hindia Belanda pun dibuat penasaran, lantas ia bertanya kepada Bupati Surabaya, apa arti lambang itu. Karena tidak bisa menjawab, Bupati lantas bertanya kepada Ketua HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama), H. Hasan Gipo, sayang, dia pun tak bisa memberikan keterangan. H Gipo hanya menyampaikan bahwa lambang itu diciptakan oleh Kiai Ridwan.
Untuk menjawab teka-teki makna lambang NU tersebut, dalam Muktamar ke-2 tersebut dibentuk majelis khusus guna menjelaskan dan membahas arti lambang. Majelis tersebut diikuti oleh beberapa wakil dari pemerintah dan para kiai. Tak ketinggalan, KH Hasjim Asj’ari juga secara aktif mengikuti rapat dalam majelis itu dan KH R. Mohammad Adnan (Solo) sebagai notulen rapat.
Sang pencipta lambang NO, KH Ridlwan Abdullah, diminta memberikan presentasi untuk yang pertama kalinya. Kiai yang biasanya banyak diam di forum-forum pertemuan kiai ini ternyata dengan lancar dapat menjelaskan dan menguaraikan secara terperinci arti lambang yang telah digambarnya. Padahal saat itu, Kiai Ridlwan tidak mempersiapkan presentasi, karena diminta secara spontan. Walau serba mendadak, presentasi berjalan lancar.
Dalam penjelasannya, Kiai Ridlwan menguraikan bahwa, gambar tampar (tali) melambangkan agama sesuai dengan firman Allah: “Berpegang teguhlah pada tali Allah, dan jangan bercerai-berai.”(QS Ali Imran:103).
“Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwwah (persatuan) kaum Muslim seluruh dunia. Untaian tampar berjumlah 99 buah melambangkan Asmaul Husna. Sedangkan bintang sembilan melambangkan Wali Songo, di mana posisi bintang paling besar dan posisinya di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin; dan empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (Madzab Empat, yakni Maliki, Hanafi, Hambali, Syafi’i).”
Belum selesai Kiai Ridwan melanjutkan presentasinya, tiba-tiba KH R Mohammad Adnan telah memotong pembicara utama. “Sudah! Cukup, Kiai Ridlwan!” sela Kiai R. Adnan yang menganggap keterangan Kiai Ridlwan sudah cukup memuaskan. Kiai utusan dari Solo ini dengan tekun mencatat secara lengkap semua ucapan dan uraian Kiai Ridlwan tersebut. Walhasil, seluruh peserta majelis khusus bersepakat menerima lambang itu dan membuat rekomendasi agar Muktamar ke-2 memutuskan lambang yang diciptakan oleh Kiai Ridlwan tersebut secara resmi menjadi lambang NU.
Pada acara penutupan muktamar, Kiai Raden Adnan tampil ke muka. Ia mencoba merumuskan yang telah diuraikan Kiai Ridlwan. Gambar bola dunia atau bumi yang mengingatkan bahwa manusia itu berasal dari tanah dan kembali ke tanah; akhirnya dikeluarkan lagi dari tanah pada yaumil ba’ats (hari kiamat) [QS. At- Taubah:5] Dilingkari tali tersimpul yang melambangkan ukhuwwah atau persatuan kaum Muslim seluruh dunia, diikat oleh agama Allah. [Q.S. Ali Imran: 103] dan ikatannya melambangkan hablun minallah wa hablum minan nas [Q.S. Ali Imran: 112].
Dikelilingi sembilan bintang, lima bintang terletak di atas garis khatulistiwa yang terbesar terletak di tengan atas, sedangkan empat bintang terletal melingkar di bawah garis khatulistiwa. Bintang besar melambangkan Nabi Muhammad, empat bintang di atas melambangkan empat sahabat dan empat bintang di bawah melambangkan empat mazhab. Di samping itu juga melambangkan Walisongo. Jadi Nabi, sahabat, imam mazhab, serta para Walisongo yang akan memberikan sinar dan petunjuk ke jalan yang benar.
Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia atau sebelah kiri. Semua jenis lambang tersebut dilatarbelakangi warna putih di atas warna hijau. Warna putih melambangkan kesucian sementara warna hijau melambangkan kesuburan.
***
Usai penutupan Muktamar, sekitar jam tiga dini hari, Hadhratusysyaikh KH Hasjim Asj’ari memanggil Kiai Ridlwan. Tampaknya Rois Akbar HBNO ini perlu menanyakan secara khusus asal dan proses pembuatan lambang NO yang telah diciptakan dan dipasang arena Muktamar NO.
Kiai Ridlwan pun langsung berkisah. Dua bulan menjelang Muktamar NO ke-2 dilangsungkan, ketua panitia Muktamar, KH Wahab Chasbullah menjumpai dirinya di kediaman, Jl Kawatan, Surabaya. Pembicaraan awalnya dimulai dari soal konsumsi Muktamar. Namun, akhirnya sampai ke tentang lambang NO, sebab dari NO dilahirkan tahun 1926 belum punya lambang. Karena Kiai Ridwan ketika itu sudah dikenal sebagai ulama yang punya keahlian melukis, maka Kiai Wahab menyerahkan sepenuhnya tugas membuat lambang kepadanya.
“Pokoknya lambang tersebut harus sudah bisa kita tampilkan di medan muktamar,” tegas KH Wahab.
Untuk menunaikan tugas dari Kiai Wahab itu, KH Ridlwan merasa kesulitan dalam mencari inspirasi (ilham). Berulang-ulang dibuat coretan-coretan sketsa, tetapi tidak ada yang mengena di hati. Ia membuat gambar dasar sampai beberapa kali. Konon, untuk membuat gambar dasa itu sampai memakan satu setengah bulan. Padahal waktu pelaksanaan Muktamar NO ke-2 sudah diambang pintu.
Dalam keadaan gelisah, tiba-tiba Kiai Wahab datang menagih pesanannya. Dengan terus terang Kiai Ridlwan menjawab bahwa sudah beberapa sketsa lambang NO dibuat, tapi masih belum ada yang mengena (belum cocok) untuk sebuah lambang NO.
“Seminggu sebelum Muktamar, lambang dan gambar itu sudah jadi lho,” desak Kiai Wahab yang tidak sabar lagi. Kiai Ridlwan denga npenuh kesabaran menjawab, ”insyaallah.”
Waktu untuk mendesain gambar baru sudah sedemikian sempit dan mendesak. Maka, untuk menemukan inspirasi itu, Kiai Ridlwan melaksanakan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Selepas shalat istikharah, Kiai Ridlwan tidur nyenyak. Dalam tidurnya itulah, ia bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru dan jernih. Bentuknya mirip dengan gambar dan lambang NU seperti sekarang.
Waktu itu jam di dinding menunjukkan angka 02.00 dini hari. Setelah terbangun dari tidur, Kiai Ridlwan spontan meraih kertas dan pena. Ia langsung membuat coretan sketsa, sambil mencoba mengingat-ingat gambar yang dilihat dalam mimpinya.
Akhirnya sketsa gambar pun jadi. Hasilnya mirip betul dengan gambar yang tampak dalam mimpinya. Pada pagi harinya, sketsa yang masih kasar itu lantas disempurnakan dan diberi tulisan NO dari huruf Arab dan Latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat dirampungkan dengan sempurna. Maklumlah, Kiai Ridlwan memang dikenal sebagai pelukis yang berbakat.
Kesulitannya, adalah bagaimana dan di mana bisa mendapatkan kain untuk lambang tersebut sebagai dekorasi di medan muktamar. Beberapa toko kain di Surabaya sudah disambanginya, namun warna yang dimaksud dalam mimpinya itu tidak ada yang cock. Akhirnya, Kiai Ridlwan mencoba mencari kain berwarna hijau ke Malang. Di kota itu, ia menemukan, sayang jumlahnya sangat sedikit, hanya tinggal berukuran 4-6 meter.
“Tak apalah,” kata Kiai Ridlwan. Kain hijau itu pun dibeli dan dibawa ke Surabaya. Ukuran lambang Nahdlatul Ulama dibuat memanjang ke bawah; lebar 4 meter dan panjang 6 meter, sesuai dengan bentuk asli lambang sekarang.
KH Hasjim Asj’ari tampaknya puas dengan penjelasan Kiai Ridlwan, yang menguraikan secara kronologis pembuatan gambar itu. Beliau lantas mengangkat kedua tangannya secara membaca doa cukup panjang. Akhirnya, Hadhratusysyaikh Hasjim Asj’ari berkata,”Muadah-mudahan Allah SWT mengabulkan harapan yang dimaksud dalam simbol Nahdlatul Ulama.”
Sayang, vandel “pusaka” berukuran besar berlambang NO itu kini tak ketahuan rimbanya. “Waktu PBNU boyongan dari Surabaya ke Jakarta (1956), vandel itu masih ada. Di sini (kantor Surabaya-red) terawat baik, di simpan dalam sebuah lemari, tak tahulah nasibnya sekarang,” kata Abdullah Ridlwan, salah seorang putra Kiai Ridlwan.

AST, dari berbagai sumber
Caption:
1. Lead
2. KH Ridlwan Abdullah. Pencipta Lambang NU
3. Kediaman KH. Ridwan Abdullah. Pernah menjadi pusat gerakan dakwah
4. Muktamar NU pada tahun 1945. Lambang NU selalu dipakai
5. Relawan NU di daerah gempa bumi. Mengabdi pada umat dan kemanusiaan Posted by Picasa

6 Comments:

At 1:59 PM, Blogger SYARIAH FOR MUSLIMAH said...

Klarifikasi sedikit bahwa KH Mas Mansur dan KH Hasan Syarif yang lebih dikenal sebagai KH Hasan Gipo adalah saudara sepupu,keduanya bertemu pada garis kakek yakni KH Abu Mansyur seorang pedagang dan pendakwah asal bugis yang masih berdarah arab yang menikah di surabaya.
Keduanya KH Mas Mansur dan KH Hasan Gipo merupakan tokoh terkemuka Bani Gipo,istilah Gipo merupakan singkatan dari Sagipodin salah seorang pembaharu dakwah di tanah jawa

 
At 9:46 PM, Blogger yuatno said...

Saya jadi pingin tahu banyak tentang GIPO ? gimana yah caranya siapa dan dimana mendapatkan pustaka/sejarah dari GIPO ? kalau GIPO dikatakan pembaru dakwah, yang gimana ? dan hubungannya beliau dengan sunan ampel, thanks.

 
At 4:02 PM, Anonymous Anonymous said...

bagus .. buat nambah pengetahuan sejarah ... mampir juga diblog-ku tentang desa NDRESMO di : http://ndresmo.blogspot.com

 
At 8:43 PM, Blogger NURSIDIK'S COLLECTIONS said...

Silahkan gabung di FACEBOOK IKSA SAGIPODDIN !

 
At 8:50 PM, Blogger NURSIDIK'S COLLECTIONS said...

Gabung ke FACEBOOK IKSA SAGIPODDIN

 
At 8:50 PM, Blogger NURSIDIK'S COLLECTIONS said...

Gabung ke FACEBOOK IKSA SAGIPODDIN

 

Post a Comment

<< Home