26.2.07

Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi Solo

 
Dai Yang Pandai Berkisah

Dai alumni dari Darul Musthafa yang satu ini dalam berdakwah banyak menyanmpaikan kisah-kisah teladan dari kaum salafus shalih. Menurutnya metode ceramah demikian lebih banyak menyentuh dan berkesan pada jamaah

Dai ini dalam berdakwah lebih banyak berkisah dan menitikberatkan penataan akhlaq dan contoh-contoh tauladan dari kaum salafus salihin. Tak heran dengan cara dakwah yang demikian banyak jemaah yang lebih cepat menyerap kalam dan nasehat yang disampaikannya.
Dai yang satu ini bernama lengkap Habib Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali Al-Habsyi adalah putra tertua dari Habib Ali Al-Habsyi. Pria yang sedari kecil mengenyam pendiidkan dasar di Kota Surakarta ini dilahirkan pada 31 Maret 1970.
Ketika masih sekolah dasar, teman-teman dan guru-gurunya sampai bingung menyebut nama Habib Alwi dan Ali karena kadang menyebutnya juga sampai terbalik-balik. Akhirnya salah seorang gurunya memanggilnya Habib “Alwi Kuadrat”.
Ayah dari Habib Alwi, Habib Ali Al-Habsyi tentu punya alasan tersendiri untuk menamai sang putra sulungnya itu dengan harapan Habib Alwi paling tidak maqam dan kecakapan ilmu pengetahuannya mewarisi seperti kakek buyutnya yakni Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Untuk mencapai makam dan kedukan mulia seperti datuk-datuknya itulah, Habib Alwi sejak usia kanak-kanak telah ditanamkan pendidikan agama secara intensif oleh kedua orang tuanya dan beberapa Habaib dan alim ulama yang ada di kota bengawan itu.
Sejak usia muda ia telah belajar pada Habib Abubakar Assegaff yang tidak lain adalah putra tertua dari Habib Muhammad bin Abubakar Assegaf (Gresik). Kebetulan saat itu Habib Abubakar tinggal bersama sang ibundanya berdekatan dengan kediamannya yang terletak di Jl Kaliwidas.
Kira-kira sampai umur remaja ia menyerap berbagai ilmu agama, terutama tentang Sirah (riwayat para salafus shalihin). Selain itu ia berguru pada Habib Anis Al-Habsyi yang tidak lain adalah sang paman yang banyak berdakwah. Setelah sang gurunya wafat, ia juga masih berguru secara tabarrukan pada Habib Ahmad bin Ali Alattas (Pekalongan), Husein bin Abubakar Assegaf (Bangil), Habib Anis Al-Habsyi, Ustadz Abubakar Al-Habsyi (Solo), Habib Ali bin Idrus Al-Habsyi, Syeikh Ahmad Salmin Daoman, dan lain-lain.
Selepas menempuh pendidikan sampai tingkat Aliyah di Madrasah Aliyah I Ronggowongso, Surakarta. Ia sebenarnya ingin melanjutkan ke Hadramaut, namun nasib belum mentaqdirkannya berangkat. Saat itu Habib Umar Al-Hafidz datang ke Surakarta pada 1993 menjemput para santri dari Indonesia untuk belajar di Darul Musthafa. Ketika pertama kali bertemu dengan Habib Umar Al-Hafidz, ada perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Kau harus jadi murid saya di Hadramaut,” kata Habib Umar Al-Hafidz kala itu.
“Saya belum ditakdirkan Allah SWT untuk berangkat ke sana. Padahal saya mendambakan betul. Namun ketidakberangkatan itu justeru membuat semangat berkobar-kobar saat itu untuk belajar lebih giat lagi,” kata Habib Alwi.
Ia kemudian melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta pada jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab dan lulus 1997. Selama menempuh kuliah di IAIN, Habib Alwi bergabung dalam organisasi Al-Amin yang mayoritas diikuti oleh mahasiswa dari kalangan habaib yang menempuh pendidikan di kota pelajar, saat itu Jamaah Al-Amin diketuai Habib Syekh Bagir bin Smith.Setelah menggondol gelar sarjana 1997, ia masih sempat bertabarukan dengan beberapa habaib yang ada di Pulau Jawa.
Semangatnya belajar ke Darul Musthafa itu ternyata masih berkobar, hingga suatu waktu ia bersama menunaikan umrah ke Mekkah dengan sang Ayah, Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi dan dan misannya yakni Ali bin Idrus Al-Habsyi pada 1998. Mereka selepas umrah, menyempatkan berkunjung ke Pesantren yang terkenal menjadi benteng Ahlussunnah Waljamaah itu. Dan ketika singgah di Darul Musthafa, mengantarkannya diterima sebagai pelajar di Pondok Darul Musthafa, Tarim pimpinan Habib Umar bin Hafidz.
Ia beruntung saat di Hadramaut bisa bertemu sekaligus belajar dengan dengan para alim ulama yang ada di hadramaut, seperti Habib Mashur, Syekh Ali Al-Khatib, Syekh Muhammad Ba’audan, Syekh Abdurrahman Bafadal, Habib Hasan As-Syatiry, Habib Salim As-Syatiry dan lain-lain,”Saya bertemu dengan mereka, saya seakan-akan bukan di dunia. Namun di dalam surga Allah SWT. Kok tidak ada orang seperti mereka, yang begitu alim dan tawadhu,”kata Habib Alwi.
Pendidikan pesantren Darul Musthafa ia tempuh dalam 2,5 tahun sebab sebagian kitab-kitab yang diajarkan di sana sudah ia pelajari di tanah air. Kebetulan kitab semacam Alfiah (nahwu) dan Minhaj (fikih) sudah ia pelajari di Indonesia. Kitab-kitab yang disenangi saat itu adalah Jurumiah, Mutmamimmah (nahwu) serta Risayatul Jami’ah, Zubat, Aliyah Kutu Nafis (fikih). Ia juga menggemari membaca kitab-kitab kalam dan nasehat dari salafus shalih serta tidak ketinggalan sirah Nabawiyah karangan Ibnu Hisyam.
Sekalipun di Hadramaut dalam waktu yang relatif singkat, ia mengaku mepunyai pengalaman yang berkesan saat Habib Umar mengutusnya untuk berdakwah ke Dauan, sebuah kota yang letaknya dekat dengan kuburan Hadun, anak Nabi Hud AS November 1999. Selama 50 hari Habib Alwi hanya ditemani Abdullah Sathuf. Padahal medan dakwah yang mereka hadapi adalah daerah yang tidak mengenal agama sama sekali dan penduduknya berkomunikasi dengan bahasa yang ‘logat’ nya berbeda dengan bahasa arab pada umumya.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah daerahnya sangat panas, keadaan kering dan tidak ada air. Sekalipun ada sumber air, mereka harus menempuh jarak sampai 5 kilometer jalan kaki. Namun, ia menemukan tantangan dalam berdakwah, ketika itu ia mendekati anak-anak muda.Sampai akhirnya masa dakwahnya itu digantikan oleh Habib Husein bin Nadjib Al-Haddad (Surabaya).
Dai yang lebih suka berkisah selama berdakwah ini ternyata mengagumi Habib Munzir Al-Musawa, pengasuh majelis Rasulullah SAW.“Beliau dalam menyampaikan sesuatu itu tidak bertele-tele namun menyentuh pada jamaah. Dari cara berpakaian dan bicara saja sudah mengundang orang untuk berbuat baik,” kata Habib Alwi.
Selepas dari Hadramaut, ia kemudian membuka Majelis Taklim Al-Hidayah. Ada dua progam yang telah dibuka, yakni program mukim (menginap) dan khorijin (reguler). Ada pun pelajaran kitab yang diajarkan Risatul Jami’ah, Dhahiratul Musyarofah, Syafinatul Najah, Mukhtasar Shahir. Setiap santri pemula diwajibkan menghafal kitab Jurmiyah (Nahwu) sementara untuk mematangkannya disarankan menghafal kitab Imriti dan Alfiyah.
Ia juga masih mengelola sekitar 5 majelis taklim yang rutin di kota Solo. Seperti di Masjid Assegaf pada tiap hari Senin ba’da Maghrib dengan materi hadits dari kitab Nurul Imam karangan Habib Umar bin Hafidz, Majelis An-Nisa setiap hari Sabtu di Darud Da’wah yang berisi fikih wanita, Majelis Habib Syeikh bin Abdul Qadir Assegaf tiap Rabu malam ba’da Isya, Majelis Baitu Syakur tiap dua minggu sekalidengan mauidhah hasanah tentang tasawuf dan di Studio dengan materi kitab hadits Arbain Al-Nawawiyah.
Selain berdakwah lewat berbagai taklim Habib Alwi ternyata pernah menulis Kitab Asyabilul Wadih Finugbathin Mina Tartib Al-Khutub Al-Fatih karangan Habib Syekh Abubakar bin Muhammad Assegaf dan sekarnag telah dicetak ulang. Yang kedua ia juga menulis kumpulan dzikir dan wirid-wirid ba’da shalat. Ada keinginan besarnya yang sampai saat ini belum dituntaskan yakni menulis kitab Ihya Ulimiddin dengan tangan nya sendiri dan saat ini baru sampai pada jilid pertama.
Untuk menempanya menjadi pendakwah yang mumpuni, ia banyak mendengarkan kaset-kaset dari ulama dan nasehat-nasehat Habib Abdul Qadir bin Abdullah Assegaf, Jeddah. Selain itu ia banyak membaca kitab fikih dan nahwu secara ototidak. Ia juga tak segan-segan bertanya pada orang-orang yang lebih alim. Sementara kitab lain yang sering dibacanya adalah kitab tasawuf seperti Ihya Ulimiddin, Bidayatul Hidayah dan kalamul Habaib.
”Kalam (nasehat) habib Ali Al-Habsyi yang berjudul Ankunuzus Sa’adah al Abadiyah fi Anfasil Habsyiah. Biasanya saya baca saat menjelang tidur malam dan tujuannya lebih untuk menasehati diri pribadi, karena sifatnya duduk santai,” kata Habib Alwi.
Nesehat yang paling berkesan dari Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi adalah tentang permasalahan qalbu(hati) dan khusnudhan(prasangka baik). “Ini juga mendidik pribadi karena banyak menitikberatkan pada i’tibba Nabi pada khususn, kedua tentang khusnudhan (prasangka baik) dan birrul walidain (berbakti pada orang tua).

AST/ft. AST Posted by Picasa

Habib Hasan bin Umar Baagil Surabaya

 
Pengasuh Darul Mustafa Jawa Timur

Selain sering mengisi taklim di berbagai daerah pinggiran di Jawa Timur, Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda, salah satu cabang Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut.

Usianya baru 30 tahun, tapi reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui oleh kaum muslimin di Surabaya. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajar, karena ia adalah salah satu alumnus Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut. Wajah ulama muda yang shaleh ini, selain ganteng, juga bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya yang enak didengar. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, yang dibiarkannya terjurai. Kalau sedang memakai iqamah, ulama muda ini mirip Habib Munzhir Al-Musawa, pengasuh Majelis Taklim Rasulullah di Jakarta.
Dialah Habib Hasan bin Umar Baagil, putra Habib Umar Baagil, salah seorang ulama yang terkenal di Surabaya. Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Ponpes Al-Huda, di Jln. K.H. Mas Mansyur 220 Surabaya. Ponpes Al-Huda bisa dikatakan satu-satunya cabang Pondok Darul Mustafa di Jawa Timur.
Lahir di Surabaya, pada 28 Desember 1976, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. “Sejak kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di Surabaya. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa kiai dan habib yang termasyhur,” kenang Habib Hasan.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu juga yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. “Ketika masih kecil, saya pernah dititipkan ke Ponpes Darut Tauhid di Malang untuk belajar agama. Di Malang, sehari-hari saya tekun belajar agama. Pengalaman yang sungguh mengesankan,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Di Ponpes Darut Tauhid ini ia menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA. Sepulangnya dari Malang, ia memperdalam agama pada Ustadz Ahmad Baraja Surabaya. Selama di majelis taklim Ustadz Ahmad Baraja, ia juga sempat belajar pada ayahanda, sang Ustadz Umar bin Ahmad Baraja. ”Beliau adalah salah seorang ulama di kota ini. Cara mengajarnya mengesankan.”
Kemudian, pada 1995 ia berangkat ke Hadramaut dan belajar di Ribath Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar bin Hasan sangat bersyukur bisa belajar di pesantren yang mencetak ribuan santri muda terkemuka di seluruh dunia ini serta menjadi benteng Madzhab Syafi’i di Yaman. Muridnya berdatangan dari mana-mana, termasuk Indonesia. “Alhamdulillah, selama di Hadramaut, kami dididik ilmu zhahir dan batin. Gemblengan ilmu agama, seperti fiqih dan tasawuf, sangat ditekankan,” tuturnya.
Selama di Hadramaut, Habib Umar bin Hasan mendapat bimbingan dari Habib Umar bin Hafidz, Habib Abdullah As-Shahab, Habib Salim Asy-Syathiry, dan Habib Hasan Syathiry. Namun guru yang paling berkesan baginya selama di sana adalah Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar, menurutnya, bukan sekadar guru biasa, tapi juga sumber inspirasi. “Kalau beliau sedang memberikan wejangan, sangat menyentuh hati, terutama saat berbicara di majelis Maulid,” kata Habib Hasan.
Dan yang paling mengesankan dari sang guru adalah semangatnya dalam berdakwah. “Hampir setiap Senin malam membuat pengajian terbuka yang dinamakan Jalsatul Isnain. Pengajian ini unik, sebab dilaksanakan di jalan raya, yang dihadiri masyarakat kota Tarim,” tambahnya.
Santri-santri dari Indonesia yang ada di Ribath Tarim, di antaranya, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Munzhir Al-Musawa, Habib Ahmad bin Novel, Habib Soleh Al-Jufry (Surakarta).

Kiblat Pelajaran
Selepas lulus dari Darul Mustafa tahun 2003, ia menetap di Surabaya. Ia langsung mengajar di Pesantren Al-Huda, yang saat itu masih diasuh oleh sang ayah. “Dan, karena Ponpes Al-Huda merupakan cabang Ponpes Darul Mustafa Tarim Hadramaut yang ada di Jawa Timur, arah dan kiblat pelajaran Al-Huda sama persis seperti Pondok Darul Mustafa Hadramaut,” ujar bapak satu putra ini.
Untuk menjadi santri Al-Huda, ada beberapa syarat utama. Selain punya kemauan kuat untuk belajar menuntut ilmu bidang fiqih, nahwu, dan hadits, calon santri juga harus sudah bisa memahami berbicara dan menulis bahasa Arab dengan baik. “Syarat utama menjadi santri di Pondok Al-Huda ini adalah umur santri di atas empat belas tahun, laki-laki, bisa membaca Al-Quran, dan mendapat izin dari orangtua atau wali santri,” katanya.
Di Pesantren Al-Huda, para santri mempelajari kitab secara berjenjang, dari yang yang mudah hingga yang paling puncak. Misalnya, dalam ilmu fiqih, para santri mempelajari kitab Risalatul Jami`ah, Safinatun Naja, Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, Matan Abi Suja’, Az-Zubad, Yaqutun Nafis, `Umdatus Salik, hingga Minhajuth Thalibin, sering disebut salah satu puncak kitab ilmu fiqih Madzhab Syafi’i.
Dalam program bahasa Arab, mereka mempelajari kitab Al-Ajurumiyyah, Mutammimatul Ajurumiyyah, dan Alfiyyah Ibni Malik. Sementara untuk tauhid, para santri mengkaji kitab Aqidatul `Awam, Al-Aqidah, karya Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dan, dalam bidang hadis, mereka membedah kitab Mukhtarul Ahadis, karya Habib Umar bin Hafidz, dan Arba`in An-Nawawiyyah (empat puluh hadits himpunan Imam Nawawi). Khusus untuk tasawuf, para santri menelaah kitab Risalatul Mu`awanah dan karya-karya lain Habib Abdullah Al-Haddad, serta Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumiddin, karya Imam Ghazali.
Pada perkembangan terakhir, para santri juga mendapat pendidikan keterampilan menggunakan komputer dan latihan pidato. “Ini semua untuk meningkatkan keterampilan santri dalam mengembangkan dakwah,” tambah Habib Hasan.
Selain disibukkan sebagai pengajar Pondok Al-Huda, Habib muda ini juga berdakwah ke masyarakat. Ia dikenal sebagai dai yang banyak disukai kalangan muda, karena materi dakwahnya sering menyentuh persoalan remaja, seperti narkoba, kenakalan remaja, dan lain-lain. Pada setiap hari Senin, Habib Hasan pagi membuka taklim di rumahnya yang diikuti masyarakat sekitar kawasan Kapasan (Jln. K.H. Mas Mansyur), dan tentu saja para santri dari Ponpes Al-Huda.

AST/Ft. AST

Caption:
1. Habib Hasan bin Umar Baagil
2. Habib Hasan bersama santri-santrinya. Calon ulama masa depan
3. Santri-santri Al-Huda belajar komputer. Membekali diri menjadi dai yang tangguh
4. Pondok Pesantren Al-Huda. Cabang Darul Mustafa di Jawa Timur Posted by Picasa

9.2.07

Wawancara dengan Habib Umar

  Posted by Picasa