26.2.06

Ustaz H.M. Jefri Al-Bukhari bin H Ismail Modal (Tamu Kita 2)

Ustadz H.M. Jefri Al-Bukhari bin H Ismail Modal

Di Puncak, Beroleh Hidayah

Sejak usia remaja, dunia hitam telah dirambahnya. Beruntung, Allah masih menyayanginya. Dari tempat gelap, ia diangkat dan ditempatkan dalam kemilau cahaya hidayah.
Puncak, Bogor, penghujung tahun 1999. Seorang pria muda tersentak bangun dari tidurnya dengan wajah pucat pasi. Napasnya tersengal dan keringat membanjiri sekujur tubuhnya. Terlintas jelas di benaknya kejadian mahadahsyat yang baru saja dilihatnya dalam mimpi. Air laut mendidih dan menggelegak menerjang daratan yang telah porak poranda dilanda gempa dan gunung meletus. Jutaan manusia berlarian kian kemari, kebingungan. Malam itu, untuk kesekian kalinya ia mengalami mimpi yang mencekam, kiamat.Mimpi kiamat itu melengkapi mimpi-mimpi buruk lain yang belakangan selalu membuatnya gelisah. Sebelumnya, pria tampan berusia 27 tahun itu telah sangat tersiksa dengan gambaran kematian, siksa kubur, dan kehampaan putih yang menghantui tidurnya. Dengan jelas ia melihat dirinya sendiri dimandikan, dibalut kain kafan, dan disalati. Ia juga melihat dirinya digotong tetangga dan sanak keluarganya menuju kuburan, ditimbuni tanah dan ditinggal sendirian. Meski dalam mimpi, badannya ikut merasakan pedih saat tanah di kiri-kanannya bergerak mengimpit. Dan, lagi-lagi, ia terbangun dan berteriak-teriak ketakutan.“Mungkin semua itu bagian dari azab Allah, atas semua dosa yang telah saya perbuat,” kenang pria yang kini kerap menghias layar kaca sebagai seorang pendakwah ini.Ketika siksaan psikis itu mencapai puncaknya, antara sadar dan tidak, pemuda itu mengambil kertas dan melukis dirinya sedang berceramah. “Di bagian belakang, tampak spanduk bertuliskan La ilaha ilallah,” kenangnya haru. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi titik balik seorang Jefri Al-Bukhari, dari kehidupannya yang gelap-gulita berganti cahaya hidayah yang kilau kemilau.
Anak UstazTerlahir dari pasangan Mubalig Ustaz H. Ismail Modal dan Ustazah Dra. Hj. Tatu Mulyana, pada tanggal 12 April 1973, ia sebenarnya dibesarkan dengan disiplin keagamaan yang ketat. “Apih mendidik kami berlima dengan sangat keras,” tutur Jefri. “Kalau kami sampai lupa salat atau mengaji, wah, jangan ditanya hukuman yang akan diberikan Apih.” Apih adalah sapaan Jefri kepada ayahnya, pria tinggi besar asal Ambon; sedangkan kepada ibunya yang berasal dari Banten, ia dan saudara-saudaranya memanggil Umi. Di luar jam belajar di madrasah, kedua orangtua inilah yang memperkenalkan Jefri kepada agama.Tanda-tanda kenakalannya sendiri, Jefri mengaku, telah nampak sejak kecil. Ia sering mengganggu orang salat, kemudian bersembunyi di atap rumah, sambil memperhatikan orang yang diganggunya marah-marah. Namun saat itu, lingkungan keluarganya yang taat beragama masih bisa membuat Jefri menyukai pelajaran agama, terutama seni membaca Al-Quran. Saat kelas 5 SD, misalnya, Jefri pernah mengikuti kejuaraan MTQ sampai tingkat provinsi. “Kebiasaan kedua orangtua saya melantunkan Al-Quran membuat saya tertarik mendalami seni qiraah secara bersungguh-sungguh,” tuturnya.Selain agama, Jefri juga mempunyai bakat terpendam di bidang seni. “Entah mengapa, saya suka sekali tampil di depan orang banyak,” katanya suatu hari.Tapi masa kanak-kanak Jefri yang masih terbilang cukup agamais itu tidak berlangsung lama. Menjelang remaja, ia justru semakin nakal. Ia pernah dimarahi ibunya yang sedang mengajar karena merasa sangat terganggu dengan suara gitar dan nyanyiannya yang sangat keras. Saking marahnya, sang ibunda sampai membentaknya, “Hei, setan!” Kenakalannya pun semakin menjadi saat ia masuk pesantren. Bahkan akhirnya Jefry dikeluarkan dari pondok. “Waktu itu saya terlambat, guru saya tidak tahan lagi atas sikap saya tersebut. Begitu masuk, saya ditimpuk pakai penghapus. Kemudian, karena kesal, saya ‘mengembalikan’ penghapus itu dengan cara yang sama,” kenangnya sambil tersenyum simpul. Keluar dari pesantren, ia masuk Madrasah Aliyah, yang cuma bisa dijalaninya selama satu tahun. Ia dikeluarkan, karena berkelahi. Pendidikan yang carut marut dan pergaulan yang tidak terkontrol membawa Jefri masuk dunia yang liar. Saat usianya baru 16 tahun, ia sudah mulai mengenal dunia malam. Ia hanya masuk sekolah saat ujian. Setiap malam ia lebih sering berada di diskotek untuk menari. “Tiap ke diskotek, diam-diam saya mempelajari gerakan orang-orang yang nge-dance,” kenang Jefri. Karena bakat, ia pun kemudian menjadi penari yang bertualang dari satu diskotek ke diskotek lain. Bahkan beberapa kali ia berhasil memboyong piala ke rumah sebagai the best dancer. Belum puas, ia juga mencoba merambah dunia fotomodel dan ikut fashion show di beberapa diskotek. Akhirnya, meski dengan nilai pas-pasan Jefri berhasil lulus SMA pada tahun 1990.Usai SMA ia menjajal kemampuan aktingnya dengan menjadi pemeran pengganti dalam beberapa sinetron. Aktingnya mulai dilirik sutradara. Tahun itu juga ia mendapat peran di sinetron Pendekar Halilintar. “Waktu itu sinetron masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan artis film,” kenang Jefri. Sementara itu hubungan Jefri dengan kedua orangtuanya semakin memburuk. Apihnya mati-matian menentang kegiatan Jefri. Haji Ismail Modal sangat mengenal kelamnya dunia yang tengah digeluti anaknya. Karena, di masa mudanya Ismail juga pernah berkecimpung di dunia film. “Apih pernah main di film action, antara lain Macan Terbang dan Pukulan Berantai.” Tapi, Jefri tetaplah Jefri. Ia bergeming. Terlebih setelah ia menyabet gelar Pemeran Pria Terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja, yang diadakan TVRI tahun 1991. “Waktu itu saya sangat bangga, karena merasa menang dari orangtua,” kenang Jefri. Kesombongannya makin menjadi. Ia merasa, jalan hidup yang dititinya adalah yang terbaik baginya. Setelah bergelimang uang, Jefri semakin tidak terkendali. Semua jenis kemaksiatan pernah dicobanya. Ia pun sempat bertahun-tahun menjadi pecandu berat narkoba. Bahkan malam pengantinnya dengan Pipik Dian Irawati, gadis Semarang yang dinikahinya 7 September 1999, dilewatinya dengan kondisi sakaw dan menikmati putaw semalaman.“Hati siapa yang nggak sedih, Mas?” kenang Pipik. “Tapi saat itu saya justru semakin tertantang untuk melepaskan Mas Jefri dari jeratan benda terkutuk itu.”Jefri memang beruntung. Istrinya tidak hanya cantik, tetapi juga tabah dan ulet. Dengan sabar Pipik menemani Jefri melewati hari-hari sakaw-nya. Juga pada malam-malam saat suaminya menderita paranoia, dikejar mimpi buruk dan ilusi menakutkan. Saat itu Jefri memang tengah dijauhi teman-temannya, yang kewalahan dengan kelakuan buruk yang semakin menjadi-jadi saat ketagihan. “Saya sempat mengalami masa-masa paranoid, sekitar setahun. Pada masa itulah saya menyadari, saya tidak memiliki siapa-siapa kecuali Allah SWT. Allah tidak pernah meninggalkan kita. Seburuk apa pun saya di mata Allah, Dia tidak pernah meninggalkan saya,” kenangnya haru.Perlahan Jefri mulai terkontrol. Terlebih ketika mendengar Pipik hamil, ia berusaha keras menghentikan kebiasaan buruknya. Selain mengikuti terapi dengan Prof. Dr. Dadang Hawari, Jefri juga mempunyai cara tersendiri melawan kecanduannya. Saat keinginan untuk mengonsumsi putaw datang dan tak tertahankan, ia menghukum dirinya dengan melukai tubuhnya sendiri. Cara ini, menurut Pipik, lumayan efektif meski awalnya sempat membuatnya ngeri.Kini, enam tahun setelah pernikahannya, ibu dua anak Jefri, Adiba Khanza Az-Zahra dan Muhammad Abi Dzar Al-Ghifari, ini bisa tersenyum lega. Suaminya bukan saja sembuh dari kecanduan narkoba, tetapi juga telah berhasil mengembalikan dirinya sendiri ke jalan Allah. Jefri, meneruskan jejak orangtuanya, kini dikenal sebagai seorang pendakwah yang sangat digemari.
Mubalig TampanSetelah masa perenungan, Jefri kembali memulai mengaji di berbagai majelis taklim di ibu kota. Ia juga berguru kepada beberapa ulama, salah satunya adalah K.H. Ali Saman. Terhadap gurunya yang satu ini Jefri sangat terkesan dengan pola hidupnya yang bersahaja. “Sampai sekarang, rumahnya sangat sederhana. Bahkan, sepeda saja tidak punya,” ungkapnya terharu. Setelah mengikuti berbagai taklim dan pengajian, ia mulai merasakan ketenangan dalam hidup. Tahun 2000 ia menjadi penyuluh gerakan anti narkoba. Ini pun awalnya tidak disengaja. Saat itu salah satu kakaknya, Ustaz Abdullah Riyadh (kini almarhum), yang seharusnya menjadi pembicara, berhalangan hadir, karena harus ke Singapura. “Saya dipaksa menggantikan ceramah-ceramah Ramadan di beberapa masjid dan kantor,” tuturnya.Masa lalunya yang kelam justru dijadikan salah satu modal berdakwah, terutama terhadap kaum muda. Berbagai pengalaman dan kiat menghindari dunia hitam memang lebih efektif bila disampaikan oleh orang yang pernah bergelimang di dalamnya. Gayanya yang khas dengan iringan pelantunan ayat-ayat Al-Quran dan celetukan-celetukan ala remaja yang membumbui ceramahnya sangat digandrungi kawula muda. Wajah tampannya juga memesona kaum ibu dan remaja putri.Sejak itu ia merambah jalan dakwah, dan mulai dikenal sebagai mubalig. Popularitasnya kian meroket ketika beberapa stasiun televisi swasta mengontraknya untuk memberi tausiah di sinetron religi. Berbagai acara, seperti Kuliah Pagi, Astagfirullah (SCTV), Di Ambang Fajar (RCTI), Kuasa Illahi dan Suratan Takdir (TPI), Musafir (ANTV), dan Sentuhan Qalbu (TransTV), pun dihiasi wajah dan nasihat-nasihatnya.Belakangan, Ustaz Jefri, yang kini sering dipanggil UJ oleh teman-temannya, dan dikenal memiliki bakat tarik suara, juga dilirik sebuah perusahaan rekaman. Awal Ramadan lalu, ia merilis album perdananya, Lahir Kembali, yang diproduksi Forte Record dan diedarkan oleh Nada Hijrah.Di tengah kesibukannya sebagai dai dan membintangi beberapa sinetron keagamaan, ia pun masih menyempatkan diri membuka pengajian di kediamannya. “Namanya Majelis Taklim I Like Monday,” kata Ustaz Jefri.Jadwal acara taklim yang diselenggarakan dua minggu sekali ini banyak diikuti para eksekutif, businessman, anak muda, artis, dan lain-lain. Ia sengaja memilih nama I Like Monday untuk majelis taklimnya sebagai penghormatan terhadap hari kelahiran, hijrah, dan wafatnya Rasulullah SAW.Konsep yang ditawarkan majelis taklim yang diadakan setiap Senin malam ini adalah pengkajian kasus-kasus yang sedang hangat di masyarakat dan dikupas dengan materi-materi yang sederhana. “Saya ingin memulai dari hal-hal yang sederhana. Saya ingin menghindari perasaan menjadi orang yang paling suci, sementara yang mendengarnya jelek semua,” tutur Ustaz Jefri merendah. Karena itu, dalam setiap pengajian yang diselenggarakannya, Ustaz Jefri sendiri jarang tampil sebagai pembicara utama. Ia justru lebih sering mengundang pembicara atau ustaz dari luar. Dengan begitu, menurutnya, ia bisa menyerap ilmu dari pembicara yang hadir di majelisnya.“Saat ini saya masih membutuhkan sumber ilmu,” katanya rendah hati. Sejak menempati rumah barunya di kawasan Pondok Indah, Ustaz Jefri menghiasi hari-harinya dengan berbagai kegiatan bermanfaat bagi umat. Ia juga berharap, di rumah barunya ini bisa lebih memperhatikan buah hatinya, Adiba dan Abizar. Rupanya sang ustaz, dengan pengalaman masa mudanya, sangat khawatir dengan pengaruh lingkungan yang bisa dengan mudah merusak seorang anak.“Kami menempati rumah baru agar lingkungan dan pendidikan anak-anak saya lebih baik dan terarah,” katanya penuh harap. Belakangan, kebahagiaan senantiasa menghiasi wajahnya, apalagi kini setelah dua anak mulai tumbuh besar. Tetapi, menurutnya, yang paling bahagia dengan keadaannya sekarang adalah sang ibunda. “Senyumnya lebih sering terlihat. Kalau dulu Umi selalu berlinang air mata sedih, sekarang air mata itu adalah air mata kebahagiaan,” papar Jefri. Ia juga merasa, semua yang diperolehnya saat ini tak lepas dari doa dan air mata ibundanya. “Umi tidak pernah jenuh mengangkat tangan memohon pertolongan Allah SWT,” tuturnya. Kini, ketika telah menjadi ustaz, masih sering terngiang di telinganya wejangan gurunya semasa di pesantren, almarhum K.H. Ahmad Rifai Arif, pengasuh Ponpes Darul Qolam, Gintung, Balaraja, Tangerang, yang mengingatkan pentingnya introspeksi diri. “Dari mana kita datang? Sekarang ada di mana? Dan akan ke mana? Kalian tidak harus menjadi ulama, karena yang terpenting adalah memiliki iman yang kuat.”Terlepas dari itu semua, Ustaz Jefri mengaku sangat bahagia. “Ini adalah kehidupan yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan akan saya alami.”AST/Ft. AO & Dok. AnekaYess!

Telah dimuat di Majalah alKisah No.24/III/2005

24.2.06

Biografi Penulis

Nama Pena : Aji Setiawan
Nama Lengkap : Aji Setiawan, ST
Lahir : 1 Oktober 1978
Alamat KTP : Desa Cipawon 6/1 Bukateja, Purbalingga, Jateng 53382

Alamat Tinggal : Jl Salemba Tengah I/C 199 RT 007/RW 04, Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat

Alamat kantor : Jl Salemba Tengah no 58 Jakarta 10440, INDONESIA
Telp: (021) 2306188-39899033 Fax: (021) 3989030

Telp. Hp. 0813 271876 25
E-mail: aji_setiawan2000@yahoo.com

Pendidikan
-Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta lulus tahun 2002
-SMU Negeri 3 Purwokerto, Banyumas lulus tahun 1996
-SMP Negeri 1 Bukateja, Purbalingga lulus tahun 1994
-Madrasah Ibtidaiyah LPNU Ma’arif Cipawon II, Bukateja Purbalingga lulus tahun 1992
-Madrasah Diniyah Nahdlatul Ulama’ Pondok Pesantren Darul Mutaqien tahun 1986-1993

Pengalaman Organisasi
-Litbang Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta 1997
-Lembaga Pers Mahasiswa ”Profesi”, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta 1998
-Staff Litbang Lembaga Pers Mahasiswa “Himmah” Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta 1999-2001
-Ketua Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Rayon Fakultas Teknik Industri, Komisariat “KH Wahid Hasyim”, Universitas Islam Indonesia Jogjakarta tahun 2000-2002
-Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta 1999-2003
-Ketua Laskar Ababil Kabupaten Purbalingga-Jawa Tengah 2003-sekarang
-Presiden Repoeblik Rakjat Biasa sedjak tahoen 1978-sekarang.....Merdeka!!!

Pengalaman Bekerja
-Reporter Jogja Pos (1999)
-Wakil pemimpin Redaksi Koran berkala “Media Ka’bah’ tahun 2003-sekarang
-Manager PT Ababil Jaya Purbalingga (2004-sekarang)
-Redaksi Majalah alKisah (2003-sekarang)

Emha Ainun Nadjib (Tamu Kita)

Emha Ainun Nadjib

Pengelana dari Menturo

Ia adalah sosok multikreatif. Kreativitasnya telah mengantarkan langkah kakinya ke berbagai dimensi kehidupan: santri, gelandangan, dan seniman sastra.

Tanggal 17 malam, di Dusun Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Halaman pesantren yatim piatu itu sudah nyaris penuh oleh jemaah. Nuansa putih mewarnai ribuan orang yang duduk di atas puluhan tikar yang terhampar, sampai ke luar kompleks Pesantren Zaituna. Pukul sembilan tepat, acara pun dibuka dengan pembacaan surah Al-Fatihah oleh seorang pria gagah yang juga mengenakan baju dan kopiah putih.
Acara demi acara pun kemudian mengalir dengan lancar. Selawat pembuka, yang diambil dari beberapa syair Maulid Simthud Durar, mengawali prosesi spiritual malam itu. Lantunan syair selawat itu semakin indah saat diiringi irama rancak yang berasal dari perpaduan berbagai alat musik modern dan tradisional. Jemaah, yang sebagian besar pemuda dan mahasiswa, pun segera larut dalam kesyahduan.
Usai beberapa lagu pembuka, acara yang dinantikan jemaah pun tiba. Sang pemimpin kelompok musik asal Jawa Timur kembali tampil, meraih mikrofon dan menyapa hadirin. Dengan lugas ia lalu menyampaikan sebuah prolog diskusi yang cukup panjang. Dengan gaya bicaranya yang agak “nakal” dan penuh sentilan, tokoh yang belakangan tubuhnya “membesar” ini menyoroti berbagai permasalahan kemasyarakatan.
Forum malam itu semakin semarak setelah sang narasumber membuka kesempatan dialog. Bergantian, beberapa orang yang hadir menyampaikan unek-uneknya. Terkadang hadirin ger-geran ketika audiens berbicara dengan gaya yang lugu. Maklum, jemaah yang hadir di pengajian rutin bulanan itu memang berasal dari berbagai golongan dan strata sosial.
Sang narasumber, tokoh sentral kita kali ini, adalah sosok yang dikenal multikreatif. Ia melintasi berbagai dimensi kreativitas, diawalinya sejak usia muda, yang membuatnya bisa masuk ke hampir semua golongan. Dialah Muhammad Ainun Najib, yang lebih dikenal dengan Emha Ainun Najib atau Cak Nun.
Berbagai predikat, seperti budayawan, kolumnis, seniman, bahkan kiai, kini kerap dinisbatkan kepada pria yang mengaku mengawali segalanya dengan keterbatasan-keterbatasan yang melingkarinya. Sebuah proses panjang yang, menurutnya, berliku.
Dikenal memiliki stamina ketekunan dan keuletan yang menggebu-gebu dalam mengatur energi kebaikan, suami Novia Kolopaking ini mampu tetap eksis dalam berbagai geliat kehidupan. Ia bahkan mampu mewarnainya secara langsung dengan arif.

Santri Gelandangan
Lahir pada 27 Mei 1953 di Menturo, Jombang, Jawa Timur, Emha adalah anak keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya, Muhammad Abdul Lathif, seorang petani dan kiai surau, sering menjadi muara keluh kesah masyarakat di sekitarnya. Begitu pula dengan ibunya, Chalimah.
Emha menjalani hampir seluruh episode awal kehidupannya di dusun kecilnya, Menturo. Ia bersyukur menjadi anak desa, yang memberinya pengalaman dan pelajaran tentang kesederhanaan, kewajaran, dan kearifan hidup.
“Saya banyak belajar dari orang desa yang berhati petani. Mereka makan dari hasil yang ditanam. Semuanya berdasarkan kewajaran, kerja sebagai orientasi hidup, tak pernah mempunyai keinginan menguasai atau mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Mereka tabah meskipun ditindih penderitaan,” kata Cak Nun.
Setamat SD, Emha melanjutkan ke Pondok Pesantren Gontor. Namun, di pesantren yang diasuh oleh K.H. Imam Zarkasyi itu ia hanya bertahan selama dua setengah tahun. Emha, yang sejak kecil dikenal kritis, melancarkan aksi protes terhadap ketidakadilan petugas keamanan pondok, sehingga “diusir” dari Pondok Pesantren Gontor.
Pengalaman dua setengah tahun di Gontor, tampaknya begitu berkesan bagi Emha, yang memang dibesarkan dengan kultur santri. Sekelumit pengalaman itu pula yang kelak kerap mewarnai berbagai karyanya yang sarat kritik sosial, lugas tapi sufistis.
Keluar dari Gontor, Emha lantas hijrah ke Yogyakarta, kota yang membuka peluang bagi pengembangan kreativitasnya. Usai menamatkan pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah I pada 1969, ia juga sempat masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Namun setelah kuliah empat bulan, pada hari kedua ujian semester I, ia keluar.
Gejolak jiwa seniman Emha, membawa langkah kakinya ke “Universitas” Malioboro. Sepanjang kurun 1970-1975, ia menggelandang hidup di komunitas Maliboro. Ia bergabung dengan kelompok penulis muda Persada Studi Klub, yang kala itu diasuh oleh “mahaguru” Umbu Landu Paranggi. Saat itulah pengembaraan sosial, intelektual, kultural, maupun spiritual Cak Nun memasuki babak baru, berkarya.
Nama Emha mulai dikenal orang, saat tulisan-tulisannya yang berupa esai, puisi, dan cerpen, bertebaran di berbagai media massa. Waktu yang hampir bersamaan ketika ia mulai rajin mementaskan pembacaan-pembacaan puisinya bersama Teater Dinasti pada tahun 1980-an.
Selepas bergulat panjang di “Universitas” Malioboro, dekade ’80-an, sering dianggap sebagai periode produktif Cak Nun. Dalam rentang waktu tersebut, ia melahirkan beberapa antologi puisi, di antaranya Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), Cahaya Maha Cahaya (1988), Syair Lautan Jilbab (1989), dan Suluk Pesisiran (1990).
Kini, setelah 30 tahun berkarya, Emha Ainun Nadjib telah mela­hirkan lebih kurang 25 antologi puisi yang berisi sekitar 800 judul puisi. Ciri khas puisi karyanya adalah kandungan protes sosial, sosio-religius, dan mistik Islam. Di luar puisi, Cak Nun, bersama Halim H.D., “pengasuh” jaringan kesenian Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa repertoar serta pementasan drama.
Di antara karya fenomenalnya adalah drama kolosal Santri-santri Khidhir, yang dipentaskannya bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor, dengan seluruh santri menjadi pemain, dan Lautan Jilbab, yang dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar, tahun 1990.

Rumah Hantu
Hal unik lain dari tokoh satu ini adalah kenekatannya yang sering overdosis. Setelah sebelumnya pernah menggelandang di sepanjang emperan toko Malioboro, Yogyakarta, Cak Nun juga pernah menjadi gelandangan di Amsterdam, Belanda. Ketika itu, usai mengikuti salah satu event kepenyairan ia kehabisan bekal. Bahkan untuk membeli tiket pesawat pulang pun Cak Nun tidak mampu.
Beruntung, jiwanya adalah petualang. Ketidakberdayaan ini dimanfaatkannya untuk menimba pengalaman hidup. Bersama temannya, seorang penyair asal Amerika Serikat yang menjadi imigran gelap di Belanda, selama dua bulan Cak Nun, yang tak memegang uang sepeser pun, menempati satu petak flat yang tak berpenghuni.
Di Negeri Kincir Angin itu ada kebiasaan, jika ada sebuah rumah yang ditelantarkan atau ruang kosong yang tak ditempati lebih dari dua bulan, setiap orang berhak menempatinya. “Tapi jangan dianggap itu rejeki nomplok dulu,” kelakarnya. “Tinggal di rumah tanpa pemanas saat musim salju sama saja dengan kos di dalam kulkas.”
Beruntung tubuhnya telah terbiasa dengan kemelaratan. Meski melawan suhu di bawah nol derajat, Cak Nun tak pernah merasakan sakit. “Untuk mengisi kamar itu, kami menunggu setiap Senin malam orang-orang Belanda buang barang. Kasur, selimut, mesin ketik, teve hitam putih, kompor fungsi separo, meja, kursi, dan sebagainya kami angkut dari tempat pembuangan,” katanya lagi.
Untuk makan, keduanya mengais sisa-sisa restoran dan rumah tangga kaya yang membuang makanan agak kadaluwarsa.
“Rupanya, makin miskin dan menderita, perut kita makin tahan racun,” ujarnya terkekeh.
Di tempat itulah Cak Nun mengenal dan berinteraksi dengan para pengungsi, yang kebanyakan adalah pelarian politik dari berbagai negara Afrika.
“Tiap hari kami bercengekrama sambil mencari secuil roti di sekitar Centraal Station Amsterdam.”
Dari para “panduduk haram” ini pula ia mengaku mengetahui cara membongkar kotak telepon agar ratusan koinnya ambrol keluar. Atau teknik benang koin yang digunakan untuk untuk menipu telepon umum, sehingga satu koin bisa dipakai berulang kali, bahkan bisa dipakai menelepon ke luar negeri.
Belakangan, ketika punya sedikit uang, ia menyewa kamar yang tarifnya murah, karena dipercayai penduduk sekitar ada hantunya. Di Denhaag, pertengahan 1980-an, misalnya, Cak Nun pernah menyewa kamar yang konon juga ada setannya. Tarif sewanya kurang dari separuh harga normal, karena pernah ada penghuni kamar itu yang gantung diri. Setiap penghuni berikutnya selalu merasa terganggu.
“Saya ikhlas menyediakan diri diganggu dan berjanji tidak akan mengikutinya gantung diri, he he,” candanya.
Sepulang dari luar negeri, Cak Nun makin produktif berkarya dan bahkan mulai merambah ke dunia musik. Ia melahirkan genre baru, musikalisasi puisi. Meski demikian, dalam berbagai kesempatan ia menolak disebut artis musik atau “penyanyi”.
Bersama Kyai Kanjeng, grup musik yang didirikannya, ia menelurkan album kaset bertajuk Kado Muhammad (1996), Wirid Padhang Mbulan (1997), Menyorong Rembulan (1999), Jaman Wis Akhir (1999), Perahu Nuh (1999), Kepada-Mu Kekasih-Ku (2000), Kenduri Cinta dan Maiyah Tanah Air (2002), dan Ummi Khultsum (2005).

Penulis Muda
Emha sebenarnya lahir bukan dari kultur “penyanyi”, ia lebih tepat sebagai pemikir dan penulis serba bisa. Sejak muda ia gandrung menulis puisi, cerpen, naskah drama, makalah, dan esei (kolom). Tahun 1977-1978, tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di harian Kompas. Juga di rubrik kolom di majalah Tempo pada tahun 1981. Bisa dibilang, waktu itu ia termasuk salah satu penulis termuda yang mampu menembus ketatnya seleksi dua media terbesar di tanah air tersebut.
Di antara sekian banyak tulisannya, jenis esei merupakan salah satu yang menonjol dan banyak dibukukan. Hingga tahun ini, tulisan-tulisannya yang terserak di berbagai media itu telah dikumpulkan menjadi lebih dari 30 buku.
Tulisan Cak Nun yang ekspresif memang mempunyai kekuatan untuk disukai. Ada banyak cara yang digunakan buat mengekspresikan “dirinya” ke dalam jagat kata, yang membuat pembacanya kerap ikut terbawa mangkel, geli, tertawa, berduka, marah, atau terbakar.
Dalam hal ini Emha pernah berpendapat, jika seseorang ingin menghadirkan suatu karya, ia harus meyakin­kan diri bahwa salah satu penikmatnya adalah dirinya sendiri. Dan jadilah orang banyak. Artinya, pada saat yang bersamaan, agar karya bisa dinikmati oleh orang banyak, ia juga harus rela untuk menjadi siapa saja.
Tentu saja ilustrasi tersebut tidak mengatakan bahwa Emha cukup sukses mengatasi persoalan tersebut. Tetapi paling tidak untuk perspektif linguistis, karyanya memang memiliki “kelebihan” tertentu; dengan bahasanya yang padat, lugas, rileks, nakal, imajinatif, dan cerdas.
Pada kurun waktu selepas Orde Baru jatuh, produktivitas Emha tampak mulai menurun. Keadaan itu berlangsung sekitar tiga tahun. Hal ini tentu saja menggelisahkan teman-temannya, jangan-jangan Emha akan mengalami masa aus. Seperti mesin, secanggih apa pun, lambat laun ia akan men­ghadapi suatu masa yang tak bisa dipakai lagi. Dengan tersenyum Emha mengatakan, “Manusia kan sama sekali bukan mesin.”
Kegelisahan atau mungkin juga asumsi di atas sering tidak sesuai kenyataan. Bukankah, dalam dunia pemikiran, makin matang usia, makin kreatif dan produktif pula seseorang?
Ia merasa, apa yang selama ini dapat dilakukannya tidak lepas dari kealamiahan yang Allah anugerahkan. Otak, yang dibantu akalnya, secara alamiah mengolah gagasan yang muncul dengan sendirinya, yang kemudian menghasilkan sebuah karya.

Keliling Dunia
Saat ini Emha lebih banyak menekuni aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Mbulan di sejumlah kota. Hingga rata-rata 10-15 kali pertemuan digelarnya setiap bulan bersama musik Kyai Kanjeng. Sampai sekarang, Kyai Kanjeng telah menggelar pentas di lebih dari 8.500-an kota kecamatan se-Indonesia.
Sekali waktu, Kyai Kanjeng juga mengelana ke berbagai kota di luar negeri. Seperti, beberapa waktu lalu, Kyai Kanjeng mengadakan pentas muhibah ke Mesir, Hong Kong, Malaysia, Eropa dan Italia. Acara pentas tersebut, yang umumnya diselenggarakan di lapangan terbuka, diikuti berbagai golongan, aliran, dan agama. Ia dan kelompoknya menawarkan kegembiraan menikmati kebersamaan seraya menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Kyai Kanjeng juga merupakan satu-satunya grup musik muslim yang mengiringi prosesi pemakaman Paus Johannes Paulus II dengan iringin musik dan puisi-puisi khusus untuk suasana duka itu. Bahkan Comune di Roma, semacam wali kota, mengizinkan pentas Kyai Kanjeng di Teatro Dalmazia pada 5 April 2005 malam, yang membawakan lagu-lagu spiritual. Ini menunjukkan betapa Kyai Kanjeng diterima oleh semua kelompok dan kalangan masyarakat di mana pun.
Adapun jemaahnya di berbagai wilayah Nusantara yang rutin dikunjungi Kyai Kanjeng, antara lain, jemaah “Padang Bulan” tiap pertengahan bulan (15 malam 16, bulan Jawa) di Menturo, Jombang, Jawa Timur; jemaah “Mocopat Syafaat” tiap tanggal 17 malam di Ponpes Az-Zaituna, Tamantirto, Kasihan Bantul, Yogyakarta; jemaah Maiyah, tiap akhir pekan, sistem giliran (infak) di seluruh pelosok Yogyakarta; jemaah “Gambang Syafaat” di Semarang; “Pengajian Izroil” di Wonosobo, Jawa Tengah; “Papparandang Ate” di Sulawesi Selatan; “Haflah Shalawat” di Surabaya; “Tombo Ati” di Malang, Jawa Timur; jemaah “Kenduri Cinta”, tiap Jumat malam, minggu kedua, di halaman Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, atau plaza Universitas Paramadina di Pancoran, Jakarta Selatan, tiap Sabtu malam, minggu kedua. Perubahan jadwal biasanya diinformasikan melalui milis kenduricinta atau website resminya,
www.padhangmbulan.com.

AST, dari berbagai sumber

http://padhangmbulan.com/modules.php?name=News&file=article&sid=176

Sudah dimuat di Majalah alKisah edisi No 25/III/2005

23.2.06

Menjaga Lisan (Mutiara Rasul 4)

Manusia tidak dilemparkan ke neraka karena lehernya, tapi karena lisannya

(Al-Hadis).

Ketika Mu’adz bin Jabal diangkat sebagai gubernur Yaman, sebelum berangkat ia menghadap Rasulullah SAW. Maka Rasulullah pun menyampaikan pesan kepadanya. ”Wahai Mua’adz, bertakwalah di mana saja kamu berada, dan hapuslah perbuatan jelek dengan kebaikan. Bergaullah dengan sebaik-baiknya pergaulan. Sungguh, aku sangat menyayangi kamu, maka jangan lupa kamu membaca doa berikut ini usai salat: Ya Allah, tolonglah aku agar selalu ingat dan bersyukur kepada-Mu, serta bisa memperbaiki ibadah kepada-Mu.” Rasulullah menambahkan, ”Wahai Mu’adz, tahukah kamu, apa hak Allah terhadap hamba-Nya?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Mu’adz.

“Hak Allah atas mereka ialah hendaknya mereka menyembah-Nya, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tahukah kamu, apa hak hamba kepada Allah?” tanya Rasulullah SAW lagi.

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Mu’adz lagi.

“Hak mereka terhadap Allah ialah Allah tidak akan menyiksa mereka. Sebab, pangkal dari semua perkara ialah Islam. Tiangnya adalah salat, dan rangkaiannya adalah jihad di jalan Allah.”

“Wahai Mu’adz, maukah kamu aku beri tahu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah benteng, sedekah dapat menghilangkan kesalahan seperti air memadamkan api. Demikian pula bangunnya seseorang di waktu tengah malam (untuk beribadah),” sabda Rasulullah lagi.

Kemudian Rasulullah SAW membacakan Al-Quran surah As-Sajdah ayat 16-17, ”Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Tak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.”

Lalu Rasulullah SAW bersabda lagi, ”Wahai Mu’adz, maukah kamu aku beri tahu sesuatu yang harus kamu miliki lebih dari semua itu?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Mu’adz.

“Jagalah lisanmu,” jawab Rasulullah.

Sambil memegang lisannya, Mu’adz berkata, ”Wahai Rasulullah, aku sudah berhati-hati dalam bercakap dengan lisan.”

“Wahai Mu’adz, ibumu telah melatih dan mendidikmu. Manusia tidak dilemparkan ke neraka karena lehernya, tapi karena lisannya,” sabda Rasulullah SAW mengakhiri pesannya kepada Mu’adz.

Betapa pentingnya kita menjaga lisan (dari ucapan yang sia-sia atau omongan buruk). Perhatikanlah hadis riwayat Bukhari dan Muslim ini, “Orang yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah berkata baik, atau diam.”

AST

“Orang-orang yang suka melaknat tidak akan pernah menjadi syuhada, dan tidak dapat memberi syafaat kepada siapa pun pada hari kiamat kelak.” (Muhammad SAW)

Keutamaan Salat (Mutiara Rasul 3)

Selain sebagai penghapus dosa, salat juga mengandung rahmat, kelembutan, dan kemurahan Allah SWT.

Suatu hari, di musim dingin, Rasulullah SAW keluar dari rumah dan mengambil ranting sebatang pohon sehingga daun-daunnya berguguran. Rasul memanggil Abu Dzar, sahabat, yang menyertai beliau.
“Labbaik, ya Rasulullah,” jawab Abu Dzar.
“Sesungguhnya seorang muslim, jika menunaikan salat dengan ikhlas karena Allah, dosa-dosanya akan berguguran seperti gugurnya daun-daun ini dari pohonnya,” sabda Rasulullah SAW.
Dalam hadis yang lain, Abu Hurairah berkata, ”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian jika di depan rumah kalian ada sebuah sungai yang mengalir dan kalian mandi di dalamnya lima kali sehari? Apakah akan tersisa kotoran di tubuh kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak akan tersisa kotoran di tubuh kami sedikit pun.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Begitulah perumpamaan salat lima waktu. Allah akan menghapuskan dosa-dosa kita’.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Selain sebagai jalan penghapusan dosa, salat juga mengandung rahmat, kemurahan, dan kelembutan Allah SWT yang berlimpah. Hanya karena kebodohan kita sendirilah kita tidak memanfaatkan salah satu dari kemurahan Allah itu. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ”Seseorang yang ketika hendak tidur berniat melaksanakan salat Tahajud tapi kemudian tertidur, dia mendapatkan pahala salat Tahajud.”
Karena kandungan rahmat Allah SWT yang begitu besar, jika mengalami kesulitan Rasulullah SAW segera melaksanakan salat (HR Ahmad dan Abu Dawud). Maka, jika seseorang bersegera mengerjakan salat ketika mengalami kesusahan, sesungguhnya dia sedang menuju rahmat Allah SWT. Jika rahmat Allah datang dan membantu, kesusahan apa lagi yang tersisa?
Kisah keutamaan salat juga terungkap dalam cerita Ummu Kultsum. Suatu hari Abdurahman, anaknya, menderita sakit parah, sehingga semua orang khawatir ia akan segera meninggal. Maka Ummu Kultsum pun melaksanakan salat. Segera setelah itu Abdurrahman sadar kembali, lalu bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya.
“Apakah keadaan saya menunjukkan seolah-olah telah meninggal?”
“Ya!” jawab mereka.
Dalam hadis lain, Abdullah bin Salam berkata, apabila keluarga Rasulullah SAW sedang tertimpa kesusahan, beliau memerintahkan melaksanakan salat sambil membaca ayat 132 surah Thaha: Wamru ahlaka bishshalati wash thabir ‘alaiha, la nasaluka rizqan, nahnu narzuquka. Wal ‘aqibatu littaqwa (Perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan bersabarlah. Kami tidak minta rezeki kepadamu, bahkan Kami-lah yang memberi rezeki. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa).
Sementara, menurut Asma binti Abubakar, kakak Aisyah, istri Rasul, Rasulullah SAW bersabda, ”Pada hari kiamat seluruh manusia akan dikumpulkan di satu tempat, dan suara yang diumumkan oleh malaikat didengar oleh seluruh manusia. Ketika itu diumumkan, di manakah orang-orang yang selalu memuji Allah dalam setiap keadaan, baik ketika senang maupun susah?”
Mendengar seruan itu, sebuah rombongan manusia berdiri lalu masuk ke dalam surga tanpa hisab. Kemudian diumumkan lagi, “Di manakah orang-orang yang menghabiskan waktu malamnya dengan beribadah dan lambung mereka jauh dari tempat tidur?” Maka sebuah rombongan berdiri lalu masuk surga tanpa hisab. Lalu terdengar seruan berikutnya, ”Di manakah orang-orang yang dalam perniagaannya tidak melalaikan mengingat Allah?” Maka sebuah rombongan berdiri dan masuk surga tanpa hisab.
Tidakkah kita ingin menjadi anggota rombongan yang masuk surga tanpa hisab? Untuk bisa menjadi anggota rombongan yang bisa langsung masuk ke surga tanpa hisab, kita harus menyempurnakan salat. Bukan sekadar menunaikan salat sebagai kewajiban, tapi berusaha meraih puncak-puncak kenikmatan cinta dan rahmat Allah SWT, sehingga mendapat limpahan taufik dan karunia-Nya.
AST

Kata Mutiara
Dari Abu Tsurayyah Sabrah bin Ma’bad Al-Juhanniy RA, Rasulullah SAW bersabda, “Ajarilah anakmu mengerjakan salat apabila berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan salat apabila sudah berumur sepuluh tahun.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Cinta Rasul Kepada Anak Yatim (Mutiara Rasul 2)

“Barang siapa mencintai dan menyantuni anak-anak yatim, kelak akan hidup berdampingan bersamaku di surga.” (Al-Hadis).

Usai menunaikan salat Id dan bersalaman dengan para jemaah, Rasulullah SAW segera pulang. Di jalan pulang, dilihatnya anak-anak sedang bermain di halaman rumah penduduk. Mereka tampak riang gembira menyambut hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Pakaian mereka pun baru. Rasulullah SAW mengucap salam kepada mereka, dan serentak mereka langsung mengerubuti Rasul untuk bersalaman.
Sementara itu, tak jauh dari sana, di pojok halaman yang tak terlampau luas, tampak seorang anak kecil duduk sendirian sambil menahan tangis. Matanya lebam oleh air mata, tangisnya sesenggukan. Ia mengenakan pakaian bekas yang sudah sangat kotor penuh tambalan di sana-sini. Compang-camping.
Melihat anak kecil yang tampak tak terurus itu, Rasulullah SAW segera bergegas menghampirinya. Dengan nada suara pelan penuh kebapakan, Rasulullah SAW bersabda, ”Hai anak kecil, mengapa engkau menangis, tidak bermain bersama teman-temanmu?” Rupanya anak itu belum tahu bahwa yang menyapanya adalah Rasulullah SAW.
Dengan ekspresi wajah tanpa dosa, ia menjawab sambil menangis, ”Wahai laki-laki, ayahku telah meninggal dunia di hadapan Rasulullah SAW dalam sebuah peperangan. Lalu ibuku menikah lagi dan merebut semua harta warisan. Ayah tiriku sangat kejam. Ia mengusirku dari rumah. Sekarang aku kelaparan, tidak punya makanan, minuman, pakaian, dan rumah. Dan hari ini aku melihat teman-teman berbahagia, karena semua mempunyai ayah. Aku teringat musibah yang menimpa Ayah. Oleh karena itu, aku menangis.”
Seketika Rasulullah SAW tak kuasa menahan haru mendengar cerita sedih itu. Bulir-bulir air matanya membasahi mukanya yang suci dan putih bersih penuh kelembutan itu. Maka Rasulullah SAW pun lalu memeluknya, tanpa memedulikan bau dan kotornya pakaian anak itu, sambil mengusap-usap dan menciumi ubun-ubun kepalanya.
Lalu sabda Rasul, ”Hai anak kecil, maukah engkau sebut aku sebagai ayah, dan Aisyah sebagai ibumu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husein sebagai saudara laki-lakimu, Fatimah sebagai saudara perempuanmu?” Seketika raut wajah anak itu berubah cerah. Meski agak kaget, ia tampak sangat bahagia. ”Mengapa aku tidak mau, ya Rasulullah?”

Hidup Berdampingan
Rasulullah SAW pun lalu membawanya pulang. Disuruhnya anak itu mandi, lalu diberikannya pakaian yang bagus dengan minyak wangi harum. Setelah itu, Rasulullah mengajaknya makan bersama. Lambat laun, kesedihan anak itu berubah menjadi kebahagiaan. Dan tak lama kemudian ia keluar dari rumah Rasul sembari tertawa-tawa gembira. Dan ia pun bermain bersama teman-teman sebayanya.
”Sebelumnya kamu selalu menangis. Mengapa sekarang kamu sangat gembira?” tanya teman-temannya.
Dengan gembira anak itu menjawab, “Aku semula lapar, tapi sekarang sudah kenyang, dan sekarang berpakaian bagus. Sebelumnya aku yatim, sekarang Rasulullah adalah ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Nah, bagaimana aku tidak bergembira?”
”Seandainya ayah kami gugur di jalan Allah dalam peperangan itu, niscaya kami menjadi seperti dia,” kata beberapa kawannya.
Namun, kebahagiaan anak yatim itu tidak berlangsung lama. Tak lama berselang beberapa waktu setelah menunaikan haji wadak, Rasulullah SAW wafat.
“Sekarang aku menjadi anak yatim lagi,” katanya ambil keluar dari rumah Rasulullah dan menaburkan debu di kepalanya karena merasa sedih. Kata-kata anak itu kebetulan terdengar oleh Abubakar Ash-Shiddiq, yang berada tak jauh dari sana. Maka ia pun lalu ditampung di rumah Abubakar.
Demikian sekelumit kisah kecintaan Rasulullah SAW kepada anak yatim di hari raya. Betapa di hari yang penuh kemenangan itu, hari raya menjadi hari yang menyedihkan – sementara nasib mereka banyak yang luput dari perhatian. Anak-anak yatim adalah makhluk yang senantiasa berpuasa dalam hidupnya, baik dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani. Jangankan mengenakan pakaian baru, untuk makan sehari-hari saja sulit.
Sungguh, memperlakukan dengan baik dan menyantuni anak yatim pada hari raya – dan tentu hari-hari biasa – merupakan langkah yang mulia dan terpuji. Dalam Islam, mereka yang menyantuni anak yatim niscaya mendapat penghargaan yang sangat tinggi. Sabda Rasul, ”Barang siapa menyantuni anak yatim, dia berada di surga bersamaku seperti ini (Rasulullah mempersandingkan jari telunjuk beliau dengan dan jari tengah).” Maksudnya, hidup berdampingan dengan Rasulullah SAW di surga...
AST
Dari Abu Syuraih Khuwalid bin ‘Amr Al-Khuza’iy RA, Rasulullah SAW bersabda, “Saya menganggap berdosa orang yang menyia-nyiakan hak dua orang lemah: anak yatim dan wanita.” (HR An-Nasa’i)

Ancaman Melalaikan Salat (Mutiara Rasul1)

Barang siapa melalaikan salat, Allah SWT akan menyiksanya dengan 15 siksaan. Enam siksaan di dunia, tiga siksaan ketika meninggal, tiga siksaan di alam kubur, tiga siksaan saat bertemu dengan Allah SWT.

Ketika Malaikat Jibril turun dan berjumpa dengan Rasulullah SAW, ia berkata, “Wahai Muhammad, Allah tidak akan menerima puasa, zakat, haji, sedekah, dan amal saleh seseorang yang meninggalkan salat. Ia dilaknat di dalam Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Quran. Demi Allah, yang telah mengutusmu sebagai nabi pembawa kebenaran, sesungguhnya orang yang meninggalkan salat, setiap hari mendapat 1.000 laknat dan murka. Para malaikat melaknatnya dari langit pertama hingga ketujuh.
Orang yang meninggalkan salat tidak memperoleh minuman dari telaga surga, tidak mendapat syafaatmu, dan tidak termasuk dalam umatmu. Ia tidak berhak dijenguk ketika sakit, diantarkan jenazahnya, diberi salam, diajak makan dan minum. Ia juga tidak berhak memperoleh rahmat Allah. Tempatnya kelak di dasar neraka bersama orang-orang munafik, siksanya akan dilipatgandakan, dan di hari kiamat ketika dipanggil untuk diadili akan datang dengan tangan terikat di lehernya. Para malaikat memukulinya, pintu neraka jahanam akan dibukakan baginya, dan ia melesat bagai anak panah ke dalamnya, terjun dengan kepala terlebih dulu, menukik ke tempat Qorun dan Haman di dasar neraka.
Ketika ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, makanan itu berkata, ‘Wahai musuh Allah, semoga Allah melaknatmu, kamu memakan rezeki Allah namun tidak menunaikan kewajiban-kewajiban dari-Nya.’ Ketahuilah, sesungguhnya bencana yang paling dahsyat, perbuatan yang paling buruk, dan aib yang paling nista adalah kurangnya perhatian terhadap salat lima waktu, salat Jumat, dan salat berjemaah. Padahal, semua itu ibadah-ibadah yang oleh Allah SWT ditinggikan derajatnya, dan dihapuskan dosa-dosa maksiat bagi siapa saja yang menjalankannya.
Orang yang meninggalkan salat karena urusan dunia akan celaka nasibnya, berat siksanya, merugi perdagangannya, besar musibahnya, dan panjang penyesalannya. Ia dibenci Allah, dan akan mati dalam keadaan tidak Islam, tinggal di neraka Jahim atau kembali ke neraka Hawiyah.”
Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa meninggalkan salat hingga terlewat waktunya, lalu mengadanya, ia akan disiksa di neraka selama satu huqub (80 tahun).... Sedangkan ukuran satu hari di akhirat adalah 1.000 tahun di dunia.” Demikian tertulis dalam kitab Majalisul Akbar.
Sementara dalam kitab Qurratul Uyun, Abu Laits Samarqandi menulis sebuah hadis, “Barang siapa meninggalkan salat fardu dengan sengaja walaupun satu salat, namanya akan tertulis di pintu neraka yang ia masuki.” Ibnu Abbas berkata, ”Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda, ‘Katakanlah, ya Allah, janganlah salah seorang dari kami menjadi orang-orang yang sengsara.’ Kemudian Rasulullah SAW bertanya, ‘Tahukah kamu siapakah mereka itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Mereka adalah orang yang meninggalkan salat. Dalam Islam mereka tidak akan mendapat bagian apa pun’.”

Shirathal Mustaqim
Disebutkan dalam hadis lain, barang siapa meninggalkan salat tanpa alasan yang dibenarkan syariat, pada hari kiamat Allah SWT tidak akan memedulikannya, bahkan Allah SWT akan menyiksanya dengan azab yang pedih. Diriwayatkan, pada suatu hari Rasulullah SAW berkata, ”Katakanlah, ya Allah, janganlah Engkau jadikan seorang pun di antara kami celaka dan diharamkan dari kebaikan.”
“Tahukah kalian siapakah orang yang celaka, dan diharamkan dari kebaikan?”
“Siapa, ya, Rasulullah?”
“Orang yang meninggalkan salat,” jawab Rasulullah.
Dalam hadis yang berhubungan dengan peristiwa Isra Mikraj, Rasulullah SAW mendapati suatu kaum yang membenturkan batu ke kepala mereka. Setiap kali kepala mereka pecah, Allah memulihkannya seperti sedia kala. Demikianlah mereka melakukannya berulang kali. Lalu, beliau bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah orang-orang yang kepalanya merasa berat untuk mengerjakan salat,” jawab Jibril.
Diriwayatkan pula, di neraka Jahanam ada suatu lembah bernama Wail. Andaikan semua gunung di dunia dijatuhkan ke dalamnya akan meleleh karena panasnya yang dahsyat. Wail adalah tempat orang-orang yang meremehkan dan melalaikan salat, kecuali jika mereka bertobat.
Bagi mereka yang memelihara salat secara baik dan benar, Allah SWT akan memuliakannya dengan lima hal, dihindarkan dari kesempitan hidup, diselamatkan dari siksa kubur, dikaruniai kemampuan untuk menerima kitab catatan amal dengan tangan kanan, dapat melewati jembatan shirathal mustaqim secepat kilat, dan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.
Dan barang siapa meremehkan atau melalaikan salat, Allah SWT akan menyiksanya dengan 15 siksaan. Enam siksaan di dunia, tiga siksaan ketika meninggal, tiga siksaan di alam kubur, dan tiga siksaan saat bertemu dengan Allah SAW.
Adapun enam siksaan yang ditimpakan di dunia adalah dicabut keberkahan umurnya, dihapus tanda kesalehan dari wajahnya (pancaran kasih sayang terhadap sesama), tidak diberi pahala oleh Allah semua amal yang dilakukannya, doanya tidak diangkat ke langit, tidak memperoleh bagian doa kaum salihin, dan tidak beriman ketika roh dicabut dari tubuhnya.
Adapun tiga siksaan yang ditimpakan saat meninggal dunia ialah mati secara hina, mati dalam keadaan lapar, dan mati dalam keadaan haus. Andai kata diberi minum sebanyak lautan, ia tidak akan merasa puas.
Sedangkan tiga siksaan yang didapat dalam kubur ialah, kubur mengimpitnya hingga tulang-belulangnya berantakan, kuburnya dibakar hingga sepanjang siang dan malam tubuhnya berkelojotan menahan panas, tubuhnya diserahkan kepada seekor ular bernama Asy-Syujaul Aqra. Kedua mata ular itu berupa api dan kukunya berupa besi, kukunya sepanjang satu hari perjalanan. ”Aku diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyiksamu, karena engkau mengundurkan salat Subuh hingga terbit matahari, mengundurkan salat Zuhur hingga Asar, mengundurkan salat Asar hingga Magrib, mengundurkan salat Magrib hingga Isya, dan mengundurkan salat Isya hingga Subuh,” kata ular itu.
Setiap kali ular itu memukul, tubuh mayat tersebut melesak 70 hasta, sekitar 3.000 meter, ke dalam bumi. Ia disiksa dalam kubur hingga hari kiamat. Di hari kiamat, di wajahnya akan tertulis kalimat berikut: Wahai orang yang mengabaikan hak-hak Allah, wahai orang yang dikhususkan untuk menerima siksa Allah, di dunia kau telah mengabaikan hak-hak Allah, maka hari ini berputus asalah kamu dari rahmat-Nya.
Adapun tiga siksaan yang dilakukan ketika bertemu dengan Allah SWT adalah, pertama, ketika langit terbelah, malaikat menemuinya, membawa rantai sepanjang 70 hasta untuk mengikat lehernya. Kemudian memasukkan rantai itu ke dalam mulut dan mengeluarkannya dari duburnya. Kadang kala ia mengeluarkannya dari bagian depan atau belakang tubuhnya. Malaikat itu berkata, ”Inilah balasan bagi orang yang mengabaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah.” Ibnu Abas berkata, ”Andai kata satu mata rantai itu jatuh ke dunia, niscaya cukup untuk membakarnya.”
Kedua, Allah tidak memandangnya. Ketiga, Allah tidak menyucikannya, dan ia memperoleh siksa yang amat pedih.
Demikianlah ancaman bagi orang-orang yang sengaja melalaikan salat. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang bersegera menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Amin.

AST

Rasulullah SAW bersabda, “Sembahlah Allah seakan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Husain bin Ali bin Abi Thalib (Manakib 11)

Cucunda Tercinta, Syahid di Karbala

Sayidina Husain dan keluarganya syahid di Karbala pada 10 Muharram 61 Hijri. Tragedi ini selalu dikenang oleh kaum muslimin sebagai noda hitam dalam tarikh Islam.

Agaknya tak ada peristiwa kemanusiaan yang melebihi kedahsyatan Tragedi Karbala 14 abad silam. Ketika itulah cucu Rasulullah SAW, Imam Husain, dan segenap keluarganya, dibantai tanpa ampun. Imam Husain sendiri dipancung! Inilah noda hitam dalam tarikh Islam, yang hinga kini diratapi kaum muslimin di seluruh dunia. Tapi, tragedi ini juga merupakan ungkapan suatu pengorbanan luar biasa para syahid di jalan kebenaran dan keadilan Allah SWT.
Imam Husain dilahirkan di Madinah, Selasa 4 Sya’ban 4 H/584 M. Ibunya, Sayidah Fatimah, adalah putri kesayangan Rasulullah SAW, sedangkan ayahandanya, Ali bin bi Thalib, adalah salah seorang sahabat Nabi dan salah seorang tokoh terkemuka di awal dakwah Islam. Beliau dibesarkan oleh pasangan sejoli yang menerima asuhan langsung dari Rasulullah SAW. Nama Husain merupakan tasghir (“pengecilan”) dari nama abangnya, Hasan, yang dua-duanya berarti “bahagia”. Beliau adalah cucu tersayang Nabi.
Pernah, suatu hari, Rasulullah SAW menunaikan shalat dan sangat lama melakukan sujud. Bukan hanya karena ingin lebih sangat dekat dengan Allah SWT, melainkan juga karena menjaga agar Husain dan abangnya, Hasan, tidak terjatuh dari punggung beliau. Ketika itu kedua cucunda tengah bermain-main di punggung kakeknda yang mulia. Sungguh, kasih sayang yang luar biasa!
Nabi sangat mencintai kedua cucunda, sehingga kehidupan mereka bak kehidupan malaikat – berada dalam naungan Allah SWT. Di masa kanak-kanak, mereka mendapat ucapan-ucapan wahyu di lingkungan kenabian. Rasulullah SAW memberi mereka pelajaran dan cara hidup Islami. Sementara dari lingkungan kedua orangtua, mereka mengambil suri teladan yang mulia. Dalam lingkungan yang mulia seperti itulah Hasan dan Husain hidup berdampingan.
Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah SAW datang kepada kami bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Sesekali Rasulullah SAW menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa mencintai keduanya (Hasan dan Husain) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku.”
Pada hari ketujuh kelahiran Husain, Rasulullah SAW menyembelih dua ekor kambing kibas berwarna putih keabu-abuan sebagai aqiqah. Kemudian beliau memberikan dua paha kambing itu kepada hadirin, lalu mencukur rambut Husain serta menimbangnya dengan perak. Selanjutnya perak itu disedekahkan kepada fakir miskin. Lalu beliau mengurapi kepala cucunda dengan pacar, sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada Hasan.
Sejak kecil, Husain sudah menunjukkan bakat sebagai ilmuwan, prajurit, dan orang shaleh. Bersama abangnya, bakat sang adik kian berkembang, selama masa pemerintahan empat khalifah yang pertama. Sifat mereka yang luhur mendapat penghargaan dan perhatian besar dari para khalifah.

Justru Diracun
Kesulitan timbul justru di masa kekhalifahan sang ayah, Ali bin Abi Thalib. Terutama ketika Muawiyah memberontak. Akibat peristiwa ini, kekhalifahan Islam terbagi dua: satu dipimpin oleh Imam Ali, lainnya di bawah Muawiyah. Muawiyah adalah famili Khalifah Ustman bin Affan yang sebelumnya menjabat gubernur Damaskus. Ia, sebagaimana keluarga Ustman yang lain, mencurigai Ali terlibat dalam komplotan pembunuh Ustman.
Ketika Imam Ali syahid, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju ke jenjang kekuasaan. Demi keutuhan umat Islam, Imam Hasan, yang menggantikan ayahandanya, berkompromi – atau lebih tepatnya mengalah – dengan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Tapi, belakangan Imam Hasan justru diracun hingga wafat.
Pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya sebagai khalifah, Muawiyah merobohkan sendi-sendi demokrasi. Mengikuti sarah Mughira, gubernur Basrah, ia mengangkat Yazid sebagai penggantinya. Dengan pengangkatan ini, demokrasi dalam Islam menjadi monarki, karena Yazid tiada lain adalah anak Muawiyah. Tindakan itu juga melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan Imam Husain bahwa pengangkatan seorang khalifah harus melalui pemilihan yang demokratis.
”Dua orang telah menimbulkan kekacauan di kalangan kaum muslimin: Amr ibn Ash, yang menyarankan Muawiyah mengangkat Al-Quran di ujung lembing ketika hendak berunding dengan Imam Hasan; dan Mughira, yang menyarankan agar Muawiyah mengangkat Yazid sebagai khalifah. Jika tidak, tentulah akan terbentuk sebuah dewan pemilihan,” kata Imam Hasan dari Basrah.
Yazid naik takhta pada bulan April 683 M. Para sejarawan menilai, anak Yazid ini sama sekali tidak layak diangkat sebagai khalifah. Bukan hanya karena terlalu mementingkan kehidupan duniawi, tapi juga karena dia tidak terlalu dekat dengan kalangan ulama. Namun, dengan licik ia berusaha memperkuat kekuasaan dengan cara minta sumpah setia dari para ulama, termasuk dari Imam Husain. Akan tetapi, Husain, yang mewarisi keshalehan dan kesatriaan ayahandanya, Ali, tidak mudah dipaksa atau dibujuk dengan berbagai “hadiah.”
Melalui Walid ibn Utba, gubernur Madinah, Yazid berusaha membujuk Imam Husain untuk bersumpah setia kepadanya. Namun sebaliknya Imam Husain didesak oleh warga Kufah di Irak agar membebaskan mereka dari kekuasaan Yazid. Maka dia pun lalu mengutus kemenakannya, Muslim ibn Akil, ke Kufah, yang disambut ribuan pendukung Imam Husain. Tapi, Yazid tak tinggal diam. Ia menekan warga Kufah sehingga semuanya meninggalkan Husain. Dan Muslim, sang utusan, dipancung di jalan raya.
Rupanya represi itu belum terdengar oleh Imam Husain. Ia berangkat ke Kufah bersama serombongan besar pengikut dan keluarga, semuanya 72 orang. Ketika mendekati perbatasan Irak, ia kaget karena tak bertemu pasukan pendukungnya. Apalagi setelah mendengar Muslim dipancung. Ketika itulah ia diadang pasukan Yazid di bawah pimpinan Al-Hur. Atas perintah Gubernur Kufah Ubaidullah ibn Zayat, ia menggiring Imam Husain ke Karbala, sekitar 25 mil di timur laut Kufah.

Ali Al-Asghar
Ketika Imam Husain membangun kemah di tepi Sungai Euphrates, pasukan Yazid, yang berjumlah sekitar 4.000 serdadu di bawah komando Amr bin Sa’ad, mengepung perkemahan itu dengan pagar besi di sekelilingnya. Tak lama kemudian Ubaidillah membujuk Husain agar menyerah, sementara semua jalur jalan ke dan dari Sungai Euphrates ditutup untuk menyetop suplai air bagi rombongan Husain.
Selama empat hari (7-10 Muharram) rombongan Imam Husain kehausan. Itulah awal masa kesengsaran keturunan mulia Rasulullah SAW. Sampai-sampai hal itu membuat Al-Hur, salah seorang komandan pasukan Yazid, terharu. Pada 10 Muharram 61 H/641M ia menyaksikan Imam Husain, yang sangat sengsara, lunglai kehausan dan kelaparan. Melihat kenyataan itu, Al-Hur dan 30 prajuritnya membelot. Tapi, mereka bisa dilumpuhkan oleh pasukan Yazid di bawah pimpinan Amr bin Sa’ad.
Di lain pihak, pasukan Yazid tidak berani berhadapan langsung dengan rombongan Husain. Mereka hanya melepas anak panah dari kejauhan. Meski begitu, karena kekuatan sama sekali tak sebanding, satu demi satu – sahabat, saudara, sepupu, kemenakan Imam Husain – wafat sebagai syuhada dengan tubuh tertancap anak-anak panah. Tinggallah Imam Husain bersama bayinya, Ali Al-Asghar.
Suatu saat Asghar berteriak-teriak kehausan, minta minum. Sambil menggendong anaknya, Husain mendekati lawan lalu menyampaikan beberapa nasihat. Pasukan Yazid bukannya memberikan seteguk air, mereka justru memanah sang bayi yang tak berdosa itu, sehingga syahid seketika. Dengan perasaan campur aduk, sedih dan marah, Imam Husain menggendong Asghar yang berdarah-darah ke pangkuan ibunya, Syahr Banu. Ketika itulah ia tahu, ajalnya menjelang.
Meski begitu, ia masih sempat menunjukkan keluhuran akhlak dengan mendoakan para prajurit yang telah membunuh sahabat dan keluarganya. Setelah itu, ia segera keluar dari tenda, lalu menyerang dengan penuh semangat. Sebagian prajurit lawan sempat lari terbirit-birit. Tapi, Imam Husain hanya seorang diri, sudah terlalu lemah karena lapar dan haus, dengan puluhan tusukan pedang dan tancapan anak panah di sekujur tubuhnya.
Dengan lunglai, Imam Husain turun dari kudanya, lalu shalat dua rekaat. Ketika ia sedang bersujud, Saren ibn Uns – salah seorang prajurit Yazid yang keji dan pengecut – menyerang, menginjak-injak tubuhnya, lalu memancung kepala sang Imam. Sementara jenazah tubuhnya dimakamkan di Padang Karbala, kepalanya dibawa ke istana Yazid.
Enam dari tujuh anak-anak Imam Husain syahid di Padang Karbala. Juga, istri tercintanya, Syahr Banu, salah seorang putri Khosru Yasdajird II dari Dinasti Sasanid II, Persia (sekarang Iran). Empat putranya: Ali Al-Akbar, Ali Ausat, Ali Al-Asghar, Abdullah; sedangkan tiga putrinya: Zaenab, Sakinah, dan Fatimah. Seluruh anak Husain terbunuh, kecuali Ali Ausat, yang di belakang hari terkenal sebagai wali: Ali bin Husain Zaenal Abidin. Dialah satu-satunya keturunan Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian keji Padang Karbala.
Ketika pertempuran tak seimbang itu terjadi, Ali Zainal Abidin tengah tergolek sakit di tenda. Ia hanya ditunggui bibinya, Zainab binti Ali, yang dengan gigih melindunginya ketika beberapa orang anggota pasukan musuh menerobos masuk ke perkemahan yang hanya ditunggui kaum wanita dan anak-anak.
Zainab berteriak lantang, “Apakah kalian tidak menyisakan satu laki-laki pun dari keluarga kami?”
Tentara musuh itu tertegun sebentar, kemudian berbalik meninggalkan tenda tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Disarikan oleh AST dari Syarh Al-Ainiyyah, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih, Lentera Basritama, Jakarta, 1999

Ali Zainal Abidin (Manakib 10)

Waliyullah yang Senantiasa Bersujud

Ia adalah cicit Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian dalam Tragedi Karbala. Setelah dewasa menjadi wali yang setiap saat bersujud kepada Allah SWT.

Setelah dua cucu tersayang Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husein, wafat, sementara sisa-sisa keturunan beliau yang lain terbunuh di Padang Karbala, yang masih hidup ialah Ali Zainal Abidin, satu-satunya putra Sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Cicit Rasulullah SAW ini lahir di Madinah pada 33 H/613 M, sementara riwayat lain mengungkapkan ia lahir pada 38 H/618 M. Ketika pecah Tragedi Karbala pada abad ke-6 H (abad ke-12 M), ia berusia 11 tahun.
Termasuk generasi tabi’in, Ali Zainal Abidin banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya, Husein, dan pamannya, Hasan. Juga dari para sahabat, seperti Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhramah, Abu Hurairah, Shafiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, dan para istri Rasulullah SAW yang lazim disebut ummahatul mukminin, ibunda kaum mukmin.
Ketika ayahandanya, Imam Husein, berjuang melawan prajurit Khalifah Yazid bin Muawiyah, ia tengah sakit dan berada di dalam kemah bersama kaum wanita. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa semua anggota keluarganya berguguran syahid, sehingga kenangan getir tak pernah lepas dari benaknya. Ia bahkan menyaksikan bagaimana ayahandanya dipancung....
Setelah perang usai, sisa anggota keluarga Imam Husein yang masih hidup ditawan di Kufah, Irak. Bahkan Ali Zainal Abidin, yang ketika itu baru berusia 11 tahun, hampir dibunuh. Tapi, nyawanya selamat berkat kegigihan Sayidah Zainab, bibinya, yang memeluknya dan mencegah para prajurit mendekat. Tak lama kemudian para tawanan dipindah ke Damaskus, Syria, dipertemukan dengan Khalifah Yazid bin Muawiyah. Tapi kemudian dibebaskan, bahkan diantar pulang ke Madinah.
Di Madinah, Ali Zainal Abidin tumbuh sebagai seorang yang sangat alim. Ia tekun beribadah, sementara ketinggian ilmu agamanya menjadikannya sebagai rujukan para ulama. Terutama dalam hal ilmu hadits. Lebih dari itu, ia sangat terkenal sebagai ahli ibadah yang luar biasa.
Muhammad Al-Baqir, anak lelakinya, bercerita, “Setiap kali mendapatkan nikmat Allah SWT, Imam Ali Zainal Abidin langsung bersujud. Setiap kali membaca ayat sajdah dalam Al-Quran, ia selalu bersujud. Setiap kali selesai salat fardhu, ia selalu bersujud. Dan setiap kali berhasil mendamaikan orang berselisih, ia selalu bersujud. Karena sering bersujud itulah tampak bekas sujud di keningnya, dan karena itu pula ia disebut As-Sajjad, orang yang suka bersujud.”
Ali Zainal Abidin benar-benar mewarisi sikap dan sifat ayahandanya dalam hal keilmuan dan kezuhudan. “Di antara Bani Hasyim, saya kira dialah yang paling mulia,” kata Yahya Al-Anshari, salah seorang ulama terkemuka di masanya. Kemuliaan itu, antara lain, karena ia selalu dalam keadaan suci, selalu berwudhu, dan tak pernah absen menunaikan qiyamul lail alias shalat Tahajjud, baik di rumah maupun dalam perjalanan.
Suatu hari, ketika keluar dari masjid, seorang lelaki mencaci maki Ali Zainal Abidin. Spontan orang-orang di sekitarnya berusaha memukul lelai-laki tersebut, tapi Ali Zainal Abidin mencegahnya. Lalu katanya, “Apa yang engkau belum ketahui tentang diriku? Apakah engkau membutuhkan sesuatu?”
Mendengar ucapan lemah lembut itu, laki-laki tersebut merasa malu. Lalu Ali Zainal Abidin memberinya uang 1.000 dirham. Maka kata laki-laki itu, “Saya bersaksi, engkau benar-benar cicit Rasulullah SAW.”

Maqam Mukasyafah
Hampir setiap malam Ali Zainal Abidin menggotong sekarung gandum dan membagikannya kepada fakir miskin di Madinah. “Sesungguhnya sedekah yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Allah,” katanya. Ketika itu, sebagian warga Madinah mendapat nafkah tanpa mengetahui dari mana asal nafkahnya. Dan ketika Ali Zainal Abidin wafat, ternyata mereka tak lagi mendapat pembagian gandum.
Setiap kali meminjamkan uang atau pakaian, Ali Zainal Abidin tak pernah memintanya kembali. Jika bernazar tidak makan dan minum, ia tetap berpuasa sampai dapat memenuhi nazarnya. Begitu dermawan dan penuh kasih sayang, bahkan kepada hewan yang dikendarainya pun ia tak pernah mencambuk.
Meskipun Tragedi Karbala sangat membekas dalam kalbunya, ia berusaha menyadarkan umat agar bersabar menghadapi kekuasaan yang represif. Dengan arif ia mendidik dan memperbaiki nasib umat. Salah satunya dengan menyusun rangkaian doa berjudul As-Sahifah As-Sajjadiyyah – yang ia maksudkan untuk mengobati penyakit rohani yang merajalela, sekaligus memanjatkan permohonan kepada Allah SWT agar terlepas dari situasi yang mengimpit.
Sebagai waliyullah, ia dinilai sudah mencapai maqam mukasyafah, peringkat tertinggi, yang mampu menyingkap tabir ketuhanan. Salah satu karamahnya ialah tentang surat rahasia dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan kepada panglimanya, Hajjaj bin Yusuf As-Saqafi. Surat itu antara lain berbunyi, “Jauhkan aku dari lumuran darah Bani Abdul Muthalib, yang setelah bergelimang dalam dosa tidak lagi mampu bertahan kecuali dalam waktu yang tidak lama...”
Pada saat yang bersamaan, Ali Zainal Abidin juga menulis surat kepada Khalifah Malik bin Marwan, yang di antaranya berbunyi, “Anda telah menulis surat kepada Hajjaj mengenai keamanan kami. Semoga Allah SWT memberi balasan sebaik-baiknya kepada Anda.” Tentu saja Khalifah Abdul Malik bin Marwan tercengang membacanya. Sebab, tanggal surat itu persis sama dengan tanggal surat Khalifah kepada Hajjaj.
Dan ternyata saat keberangkatan utusan Ali Zainal Abidin dari Madinah juga sama dengan saat keberangkatan utusan Khalifah yang mengantarkan surat kepada Hajjaj. Karena itu Khalifah Malik pun menyadari, Allah SWT telah membuka mata batin Ali Zainal Abidin. Ia lalu menulis surat dan menyampaikan hadiah kepada Ali Zainal Abidin.
Cicit Rasulullah SAW ini juga dikenal sebagai pembela hak asasi manusia. Dalam risalahnya, Risalah Al-Huquq, antara lain ia menulis, manusia punya hak dan kewajiban kepada Allah SWT, kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, dan kepada sesama makhluk Allah. Mengenai hak dan kewajiban kepada sesama manusia, ia memperinci hak dan kewajiban rakyat kepada penguasa dan sebaliknya. Risalah ini tentu sangat istimewa, karena ditulis pada abad ke-7 Masehi, sebelum lahirnya dokumen Magna Charta dalam sejarah Inggris, lima abad setelah itu, yang kemudian berkembang menjadi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.
Di zamannya, pengaruh Imam Ali Zainal Abidin sangat kuat. Begitu besar karismanya, sehingga seorang khalifah pun mengkhawatirkan takhtanya. Ketika menggantikan ayahnya, Abdul Malik, sebagai khalifah, Walid sempat khawatir, jangan-jangan karisma Ali Zainal Abidin mampu menggoyang takhtanya.
Maka pada 95 H/675 M, Khalifah pun berusaha mendekati sang waliyullah melalui seseorang yang kemudian ternyata meracunnya hingga Ali Zainal Abidin wafat. Untuk kesekian kalinya anak-cucu Rasulullah SAW berduka cita. Imam Ali Zainal Abidin wafat di Madinah pada 18 Muharram 94 H/674 M, meninggalkan 11 orang putra dan empat orang putri. Jenazahnya disemayamkan di Makam Baqi’, dekat makam sang paman, Sayidina Hasan.

Disarikan oleh AST dari Syarh Al-Ainiyyah, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih, Lentera Basritama, Jakarta, 1999

Sayid Muhammad Al-Baqir (Manakib 9)

Rasulullah pun Menghormati Reputasinya

Ia dikenal sebagai ulama yang piawai dalam menguraikan beberapa cabang ilmu agama. Reputasinya sebagai ulama yang alim sudah diramalkan oleh Rasulullah SAW, sehingga beliau menyampaikan salam sebelum ia lahir.

Di Madinah, pada 57 Hijriah, lahirlah jabang bayi yang kemudian tumbuh menjadi seorang ulama besar, seorang waliyullah. Ia adalah Habib Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, atau lebih dikenal dengan nama Sayid Muhammad Al-Baqir. Ia putra Sayid Ali Zainal Abidin, ulama besar, sufi dan waliyullah yang sangat terkenal, dan cucu Imam Ali bin Abi Thalib.
Tepatnya, ia lahir pada hari Jum’at, 12 Safar 57 H/657 M, sekitar tiga tahun sebelum Imam Husein, cucu Rasulullah SAW, gugur dalam tragedi perang saudara di Padang Karbala, Iraq. Ia mendapat gelar Al-Baqir, yang berarti “membelah bumi”, karena kapasitas keilmuannya yang luar biasa, sehingga diibaratkan dapat “membelah bumi”, mengeluarkan segala isinya yang berupa ilmu pengetahuan.
Ia juga dikenal sebagai ahli hadis, khususnya hadis-hadis yang diriwayatkan dari Imam Hasan, Husein, Aisyah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, Jabir, Samura ibnu Jundub, Abdullah ibnu Ja’far, Sa’id ibnul Musayyab, dan para ulama terkemuka lainnya. Tradisi periwayatan hadis ini dilanjutkan oleh putranya, Ja’far Ash-Shadiq, juga saudara-saudaranya yang lain.
Nama Al-Baqir cukup mulia, karena Rasulullah SAW pernah berpesan kepada salah seorang sahabat, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, “Sampaikan salamku kepadanya.” Ketika Jabir bertemu Al-Bagir, ia pun menyampaikan salam Rasulullah SAW. Kemudian Al-Baqir bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Lalu Jabir menceritakan sabda Rasulullah SAW kepadanya, “Wahai Jabir, hampir tiba masa lahirnya putra cucu Husein. Namanya mirip namaku, ia gemar menuntut ilmu. Jika engkau melihatnya, sampaikan salamku kepadanya.”
Sangat dermawan, ramah, dan suka bersilaturahmi, ia sering berkata, ”Tiada kesenangan dunia, kecuali menyambung tali persaudaraan dan persahabatan.” Bukan hanya itu, ia juga gemar memberi hadiah berupa makanan dan pakaian yang sangat bagus kepada saudara-saudara dan kawan-kawannya, serta orang-orang yang kurang mampu. Hal itu ia lakukan sejak ia masih kecil.
Kepribadian dan reputasinya yang luar biasa dikenal secara luas. Suatu hari, Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik masuk ke dalam Masjidil Haram. Lalu Salim, pengawalnya, menunjuk Al-Bagir sambil berkata kepada sang Khalifah, ”Wahai Amirul Mukminin, lelaki ini adalah Sayid Muhammad Al-Baqir. Banyak penduduk Iraq yang terpesona oleh kepribadiannya.” Maka, kata Amirul Mukminin, “Tanyakan kepadanya, apa yang dimakan dan diminum oleh manusia sampai setelah diputuskannya urusan mereka di Hari Kiamat?”

Ahlul Bait
Mendengar pertanyaan itu, Al-Baqir menjawab, “Kelak segenap manusia dihimpun di atas daratan yang bersih, dengan sungai-sungai yang mengalir. Mereka makan dan minum sampai selesainya proses perhitungan amal-amal mereka.” Khalifah Hisyam senang mendengar jawaban itu. Al-Baqir juga dikenal sangat mencintai Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. ”Siapa yang tidak mengucapkan Ash-Shiddiq di belakang nama Abu Bakar, Allah SWT tidak akan membenarkan ucapannya,” katanya.
Selain itu ia juga sangat mengagumi Khalifah Umar bin Khattab. ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang membenci Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Seandainya berkuasa, aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah orang yang membenci mereka. Demi Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka dan senantiasa memohonkan ampun mereka. Tidak seorang pun dari ahlul bait-ku kecuali ia mencintai mereka.”
Sebagai waliyullah, Al-Baqir banyak mewariskan ujaran-ujaran tasawuf. Beberapa di antaranya, misalnya, ”Tidaklah hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang sebanyak unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih.” Kata-kata mutiara yang lain, ”Sesungguhnya petir dapat menyambar seorang mukmin atau bukan, tetapi tak akan menyambar orang yang berzikir.”
Ujaran hikmah yang terkenal, antara lain, “Tak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan.” Atau ini, “Seburuk-buruknya seorang teman ialah yang hanya menemanimu ketika kamu kaya dan meninggalkanmu ketika kamu miskin.” Atau yang ini, “Kenalkanlah rasa kasih sayang dalam hati saudaramu dengan cara memperkenalkannya terlebih dahulu di dalam hatimu.”
Suatu hari ia berkata kepada salah seorang putranya, “Wahai putraku, hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya kunci keburukan. Sesungguhnya jika engkau malas, tidak akan banyak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, tak akan tahan dalam menunaikan kewajiban.”
Salah satu kata-kata mutiaranya yang sangat terkenal ialah, “Jika engkau menginginkan suatu kenikmatan dapat terus engkau nikmati, perbanyaklah mensyukurinya. Jika engkau merasa rezeki lambat datang, perbanyaklah istighfar. Jika engkau ditimpa kesedihan, perbanyaklah membaca La haula wa la quwwata illa billah. Jika engkau takut, ucapkanlah Hasbunallah wa ni'mal wakil. Jika engkau kagum terhadap sesuatu, ucapkanlah Masya Allah, la quwwata illa billah. Jika engkau dikhianati, bacalah Wa ufawwidhu amri ilallah, innallaha bashirun bil ‘ibad. Jika engkau ditimpa kesumpekan, ucapkanlah La ilaha ilaa Anta, subhanaka inni kuntu minadz dzalimin.”
Selama hidupnya, sejak masa muda hingga wafat, Al-Baqir selalu istiqamah menunaikan shalat sunah sebanyak 150 rakaat. Sayid Muhammad Al-Baqir wafat di Madinah pada 117 H/697 M (dalam riwayat lain, 114 H/694 M atau 118 H/698 M) dan disemayamkan di makam Baqi’, tepatnya di kubah Al-Abbas di samping ayahandanya.

Disarikan oleh AST dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy karya Al-Allamah al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy

Al-Imam Alwi al-Ghuyur (Manakib 8)

Ulama Besar yang “Dicemburui”

Ia adalah ulama besar dan wali. Bukan hanya “melayani” Allah, dia juga melayani siapa saja yang membutuhkan pertolongan.

Tarim, Hadramaut, boleh dibilang merupakan “gudang ulama”. Salah seorang di antaranya ialah Al-Imam Alwi bin Al-Faqih al-Muqaddam, yang mendapat julukan Al-Ghuyur, yang berarti “dicemburui”. Julukan itu diberikan kepadanya karena, ketika itu, tidak seorang pun dari keluarga Bani Alawy di zamannya yang bernama Alwi. Sehingga ketika ia dinamai Alwi – dan itu merupakan suatu kehormatan – banyak orang cemburu kepadanya. Ketika itu, jika ada yang berniat memberi nama Alwi kepada seorang anak, dan biasanya urung, memilih nama lain. Barangkali juga lantaran ilmu agamanya yang sangat tinggi, sehingga banyak orang ”cemburu”, dalam arti positif, kepadanya.
Nama lengkapnya cukup panjang: Al-Imam Alwi bin Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Ia lahir dan dibesarkan di Tarim, Hadramaut, pada abad keenam Hijri. Mendapat pendidikan langsung, mengenai berbagai pengetahuan agama, dari ayahandanya, sejak kecil ia sudah hafal Al-Quran. Bahkan sejak muda ia sudah mempelajari tarekat. Itulah sebabnya, dia juga ahli zuhud, wali yang mempunyai maqam tinggi dan karamah yang luar biasa.
Ia mempunyai banyak karamah. Salah satunya, jika ia berkata mengenai sesuatu, “Kun! (Jadilah!)”, maka jadilah sesuatu seperti yang dikehendakinya, dengan seizin Allah SWT. Wajar jika banyak ulama besar dan aulia di zamannya yang menukil ucapan-ucapannya. Ia juga mampu mengenali orang-orang yang celaka dan bahagia. Ia dapat mengetahui siapa yang bernasib baik, dan siapa yang bernasib buruk, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Takutlah kalian kapada firasat seorang mukmin. Sesungguhnya seorang mukmin dapat melihat dengan cahaya Allah.”
Suatu hari, ayahandanya, Al-Faqih al-Muqadam, memuji dan memberikan isyarat bahwa pada suatu saat nanti anaknya akan menjadi seorang wali yang agung. Dan menurut para ulama, rahasia keilmuan ayahandanya pindah ke dalam pribadi anaknya. “Al-Imam Alwi al-Ghuyur adalah pengganti orang-orang terdahulu,” kata mereka. Maka, praktis, derajat kewalian terbesar yang dimiliki Alwi al-Ghuyur diperoleh dari orangtuanya, yang dikenal sebagai sesepuh para wali dan pemuka orang-orang bertakwa.
Ketika menunaikan ibadah haji, Alwi al-Ghuyur memperbanyak ibadah umrah, salat, dan bertawaf, baik siang maupun malam. Ia juga memperdalam ilmu agama kepada sejumlah ulama besar yang mengajar di Masjidilharam, Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji dan umrah, ia berziarah ke makam Rasulullah SAW di Masjid Nabawi, Medinah.
Di makam datuknya itu ia bertanya, “Di manakah kedudukanku di sisimu, wahai Kakek?” Konon, Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Alwi al-Ghuyur, “Di kedua belah mataku.”
Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Dan di manakah kedudukanku di sisimu, wahai Syekh Alwi?” Maka Alwi al-Ghuyur pun menjawab, “Di atas kepalaku.”
Kemudian Abubakar, yang makamnya di samping Rasulullah, bertanya, “Bagaimana engkau menempatkan Rasulullah demikian? Dia menempatkanmu di kedua belah matanya, sedangkan engkau menempatkannya di atas kepalamu. Tidak ada sesuatu yang dapat menyamai kedua belah mata. Engkau harus mensyukurinya dengan bersedekah kepada fakir miskin sebanyak 100 dinar.”

Anak Saleh
Alwi al-Ghuyur tak menjawab pertanyaan Abubakar. Namun, setelah beberapa waktu bermukim di Medinah, ia pulang ke Tarim dan membagikan sedekah 100 dinar kepada sejumlah fakir miskin sebagai tanda syukur. Sejak itu banyak orang bertamu, dan dengan senang hati Alwi al-Ghuyur mendidik dan menuntun mereka ke jalan Allah. Pada saat-saat seperti itulah ia sengaja memperlambat untuk menikah, hingga suatu saat calon keturunannya berkata dari arah punggungnya, “Kami telah berada di punggungmu, cepatlah menikah. Kalau tidak, kami akan keluar dari punggungmu!”
Mendapat teguran semacam itu, ia segera menikah dengan Hababah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Ketika istrinya hamil, berkatalah si jabang bayi dari rahim istrinya, “Aku anak saleh. Aku hamba yang saleh.” Ia dikaruniai oleh Allah SWT dua putra, Sayid Ali dan Abdullah Ba’alwi – yang belakangan juga menjadi muridnya.
Muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, antara lain, Sayid Abdullah Ba’alwi, Sayid Ali, Ahmad, Syekh Ali ibnu Salim, Syekh Ahmad Muhammad Bamukhtar, dan sejumlah ulama kenamaan yang lain.
Alwi al-Ghuyur juga dikenal sebagai orang yang suka bersyukur, pandai menghargai kebaikan orang, suka menyantuni orang lain, dan suka mengabulkan permohonan orang lemah. Siapa saja yang datang kepadanya dan membutuhkan pertolongan, pasti cepat mendapat pertolongan.
Dalam kitab Al-Qurar, Sayid Al-Allamah al-Imam Muhammad bin Alwi al-Khirid Ba’alawy menulis, Syekh Abdurrahman bin Ali mengabarkan kepadaku bahwa para ulama besar berkata, “Ada tiga orang keluarga Bani Alawy yang semangatnya senantiasa terpelihara. Mereka cepat memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Mereka adalah Alwi al-Ghuyur, dan anaknya, yaitu Ali, serta Syekh Umar al-Muhdhar.”
Suatu hari Alwi al-Ghuyur dicaci maki oleh seorang lelaki di depan khalayak ramai, hanya gara-gara dia tidak berkunjung ke rumah lelaki itu. Lelaki tersebut mempunyai khadam, pembantu dari kalangan jin, yang setiap saat mendemonstrasikan kebolehannya. Jika ada orang yang menolak menyaksikan kebolehan jin tersebut, dia dizalimi dengan menggunakan tangan orang lain. Ketika lelaki itu sedang mencaci maki Alwi al-Ghuyur, tiba-tiba Isa ibnu Amru, seorang lelaki dari Bani Haram, menempeleng wajahnya. “Kalau kamu mencaci maki Sayid Alwi, apakah kami harus diam?”
Setelah ditempeleng, lelaki pemelihara jin itu mengucapkan kata-kata ancaman kepada Isa ibnu Amru.
Khawatir akan ancaman lelaki tersebut, Isa ibnu Amru kemudian menemui Sayid Alwi al-Ghuyur. ”Kamu jangan takut,” kata Alwi al-Ghuyur. Tapi, Isa ibnu Amru tetap takut dan tak berani beranjak dari sisi Sayid Alwi al-Ghuyur.
Akhirnya Sayid Alwi al-Ghuyur pergi ke masjid dan menggerak-gerakkan sebuah pintunya hingga terdengar suara berderit-derit. Kemudian ia pergi ke pintu lainnya dan menggerak-gerakkanya seperti terhadap pintu pertama. ”Ini suara lelaki itu dan suara jin yang selalu ia gunakan untuk mengganggu orang. Kini jin itu telah terbunuh, dan lelaki itu sudah melarikan diri dari Tarim,” kata Syekh Alwi al-Ghuyur.
Al-Imam Alwi al-Ghuyur wafat pada hari Jumat, 12 Zulkaidah 669 Hijri. Jasadnya disemayamkan di makam Zanbal, Tarim, di sebelah timur makam ayahandanya.

Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy. AST

Imam Ali Khali’ Qasam (Manakib 7)

Wali yang Dermawan

Dia adalah sesepuh para aulia di Hadramaut. Konon, ia sering bersalam dengan Rasulullah SAW. Dialah pula yang pertama kali dimakamkan di pemakaman Zanbal, Tarim, yang terkenal itu.

Kota Tarim, di Hardamaut, Yaman, dikenal sebagai kota kelahiran para ulama besar yang kemudian menjadi waliullah. Salah seorang di antaranya, Sayid Al-Imam Ali ibnu Alwi, yang juga mendapat gelar Imam Ali Khali’ Qasam. Boleh dibilang, dia adalah sesepuh para ulama besar Hadramaut. Nama lengkapnya Habib Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad A-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq.

Sejak kecil ia rajin beribadah dan dikenal cerdas serta berakhlak mulia. Ketika menginjak dewasa, ia sudah menjadi guru besar karena keluasan ilmu agamanya. Ia lahir dan dibesarkan di Baitu Jubair, Hadramaut, suatu daerah yang penuh berkah dan kebaikan. Di sana pula ia mengaji kepada ayahandanya, terutama Al-Quran dan hadis. Bahkan kemudian sudah mampu pula menghafal Al-Quran. Selain itu, ia juga belajar dari para ulama besar yang lain di berbagai pelosok Tarim. Akhirnya, pada 521 H/1101 M ia memutuskan bermukim di kota tersebut.

Dia terkenal dengan julukan Khali’ Qasam, setelah membeli sebidang tanah seharga 20.000 dinar. Di tanah yang kemudian ia namakan Qasam itu – sesuai nama tanah keluarganya di Bashrah – ia bertanam kurma. Setelah membangun sebuah rumah di sana, belakangan beberapa orang mengikuti jejaknya, sehingga kawasan itu menjadi sebuah permukiman kecil. Lama-kelamaan kawasan itu tumbuh menjadi sebuah kota kecil bernama Qasam, yang tersohor.

Ia juga dikenal sebagai orang pertama dari keluarga Ba’alwi yang tinggal di Tarim. Setelah ia menetap di sana, banyak orang berdatangan dan kemudian bermukim pula di sana. Di Tarim itu juga ia menyemarakkan berbagai majelis pengajian untuk dakwah, dan di sana pula ia mengajar hadis. Sejak itu ia termasyhur sebagai ulama yang sangat alim dengan berbagai karamah. Ketika itu, sangat jarang ada ulama yang mempunyai maqam setinggi itu. Ketinggian maqamnya, antara lain, ditulis oleh Al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dalam syairnya:

Rasulullah membalas salamnya,

“(Salam bagimu) ya Syekh.”

Sebagai jawaban atas salamnya (kepada Rasulullah),

kagumlah orang-orang mulia.

Syair itu menggambarkan karamahnya yang tinggi.

Konon, salah satu karamahnya yang luar biasa ialah, ia selalu berdialog dengan Rasulullah dalam salat. Setiap kali ia menunaikan salat dan sampai pada tahiat, ia selalu membaca salam kepada Rasulullah berkali-kali, “As-salamu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh,” sampai ia mendengar jawaban Rasulullah SAW, “As-salamu ‘alaika ya Syekh (salam sejahtera bagimu, wahai Syekh).” Konon pula, ia juga sering “berhadapan” dengan Rasulullah SAW, lalu bertanya mengenai segala macam kesulitan, sehingga Rasul menjelaskannya.

Menangislah Kalian!

Karamah-karamah itu juga ditulis oleh para ulama seperti Al-Jundi, Asy-Syaraji, Ibnu Hisan, dan lain-lain. Al-Allamah asy-Syekh al-Khatib juga menuliskannya dalam kitab Al-Jauhar asy-Syafa’at. Menurut Syekh Abdul Wahab asy-Sya’rawi, “Tidak akan sampai seseorang kepada maqam yang mampu berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW dan mendengar jawaban salamnya, kecuali ia telah melampaui 247.999 maqam para aulia.” Dan Imam Ali Khali’ Qasam dianggap telah melampauinya.

Suatu hari, Syekh Abu Al-Abbas al-Mursi bertanya kepada para sahabatnya, “Adakah di antara kalian yang, ketika menyampaikan salam kepada Rasulullah SAW dalam salat, langsung mendengar jawaban salam dari Rasul?” Jawab para sahabatnya, “Tidak ada.” Lalu kata Syekh Abu Al-Abbas, “Menangislah kalian, karena kalbu kalian tertutup.” Syekh rupanya bermaksud menegaskan karamah Imam Ali Khali’ Qasam – yang tidak hanya mendapat jawaban salam dari Rasul SAW dalam salatnya, tapi juga dalam semua kesempatan ketika ia menyampaikan salam kepada Rasul SAW.

Meski maqamnya cukup tinggi, ia tetap tawaduk, rendah hati, dengan perilaku yang halus dan pakaian yang sangat sederhana. Ia tidak pernah terlihat lebih menonjol dari orang lain. Jika duduk bersama orang-orang saleh maupun orang awam, ia tidak pernah memperlihatkan diri sebagai ulama terkemuka, kecuali ketika sedang mengajar atau berdakwah. Ia juga sangat dermawan, banyak memberi santunan, khususnya bagi mereka yang datang dari jauh.

Dialah yang membangun Masjid Bani Ahmad di Tarim, yang kemudian diberi nama Masjid Ba’alwi, sejak 900 tahun silam. Pembangunan masjid itu dilanjutkan oleh putranya, Imam Muhammad Shahib Mirbath (wafat 556 H/1136 M).

Imam Ali Khali’ Qasam, ulama besar dan sesepuh para aulia Hadramaut, wafat berkisar antara 523 hingga 529 H/1103 sampai 1109 M. Akan tetapi, dalam kitab Nafa’is al-‘Uqud fi Syajarah ‘alal Ba’abud, Habib Muhammad bin Husin Ba’abud menulis, Imam Ali Khali’ Qasam meninggal pada tahun 527 H/1107 M. Sedangkan menurut Al-Ustaz Alwi bin Muhammad Bilfagih dalam kitab Syajarah as-Sa’adah ‘alal Bani Alawy, Imam Ali Khali’ Qasam wafat pada 529 H/1109 M. Sementara dalam riwayat lain disebutkan, ia wafat pada 529 H/1109 M. Jasadnya disemayamkan di makam Zanbal, Tarim, sebagai ulama pertama keluarga Ba’alwi dan cucu Imam Ahmad Al-Muhajir, yang dimakamkan di pemakaman Zanbal yang terkenal itu.


Disarikan oleh AST dari Syarh al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina al-Habib al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih Al-Alawy (Manakib 7)

Hafal Ribuan Hadits

Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”... Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang....” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

AST, diringkas dari manakib tulisan Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus, pengajar Ponpes Darul Hadits Malang, Jawa Timur

Habib Abdurrahman bin Muhammad Aljufri (Manakib 6)

Singa yang Doanya Mustajab

Dengan menjaga perintah Allah SWT dan menjalankan sunah Rasulullah SAW, doa-doanya selalu mustajab.

Tarim, Hadramaut, Yaman, terkenal sebagai “gudang” para ulama besar dan waliullah. Salah seorang di antaranya ialah Habib Abdurrahman bin Muhammad Aljufri, waliullah yang termasyhur memiliki beberapa karamah luar biasa. Suatu hari ia berkunjung ke sebuah lembah yang dihuni penduduk yang kekurangan air. Penduduk minta ia berdoa agar sumur-sumur mereka terisi air. Maka Habib Abdurrahman pun berdoa dengan khusyuk. Dan seketika itu juga keluarlah air dari semua sumur. Tak lama kemudian kawasan tersebut menjadi subur.
Ulama ini lebih dikenal dengan nama Habib Abdurrahman Maulana Arsyeh. Sejak kecil ia belajar langsung dari ayahandanya, dan sejak remaja telah menghafal Al-Quran. Seperti para ulama yang lain, ia juga banyak menimba ilmu dari para ulama besar di Hadramaut, kemudian melanjutkan pengembaraan ke beberapa kota, sampai akhirnya mengaji di Mekah dan Medinah.
Ketika berada di Inat, Hadramaut, ia menjadi murid kesayangan seorang ulama besar, Habib Abubakar bin Salim. Bahkan dalam sebuah kesempatan Habib Abubakar menyatakan, ”Abdurrahman adalah anakku. Aku telah memperhatikannya sejak ia masih dalam kandungan ibunya. Kelak, bila ia telah lahir, aku akan berikan setengah dari maqam-ku, sementara ucapannya adalah rohku, roh Abdurrahman Aljufri.”
Keluarga Syekh Abu Bakar bin Salim juga menghormati dan menyayanginya. Mereka bahkan mengibaratkan Habib Abdurrahman sebagai “singa yang gagah, giginya kuat, doanya mustajab dan karamahnya banyak”. Salah satu karamah Habib Abdurahman ialah cintanya yang begitu besar kepada para gurunya. Ibaratnya, ia akan merasa sakit apabila gurunya sakit.
Ketika sedang terbaring sakit, Syekh Abu Bakar bin Salim bertanya kepada beberapa muridnya yang duduk di sekitar pembaringan, “Di mana Habib Abdurahman berada?” Saat itu, Habib Abdurahman masuk ke dalam kamarnya, dan Habib Abu Bakar bin Salim meneteskan air mata. Ia lalu menyerahkan sebuah mushaf Al-Quran, baju gamis, dan tongkat kesayangannya, sambil mengusap-usap kepala dan dada Habib Abdurrahman.

Sangat Prihatin
Kemudian ia berdoa supaya Habib Abdurrahman mendapat berkah dari Allah SWT, “Semoga Allah SWT mengakhirimu dan keturunanmu dengan sa’adah, kebahagiaan. Wahai Abdurrahman, aku tidak akan melupakanmu, dan telah membagikan kepadamu rahasia ilmu; juga kepada keturunanmu, dengan sepenuh barakah kepada keluarga dan keturunanmu.” Demikian terungkap dalam kitab Masyarur Rawi fi Manakib Al-Ba’alawi.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai mubalig yang berani. Selain itu, dia juga gemar beramal saleh kepada semua golongan. Para tamu yang datang ke rumanya, siapa pun dia, selalu dijamu dengan hidangan yang enak. Barangkali itu sebabnya banyak tamu yang datang dari berbagai penjuru. Terutama karena, ketika mereka minta didoakan, doanya selalu makbul.
Salah satu peninggalannya yang sampai sekarang selalu diziarahi ialah sebuah masjid yang terletak di samping kubah makamnya di Tarim. Suasana masjid itu sangat memesona dan berwibawa, mampu menggetarkan hati para jemaah yang salat di dalamnya. Di masjid yang kini mulai dibangun kembali itu, banyak ulama biasa beriktikaf.
Usai menunaikan ibadah haji, ia lalu mengaji di Medinah selama tujuh tahun bersama Habib Ahmad bin Muhammad Alhabsyi. Ketika belajar, mereka hidup sangat prihatin. Setiap hari mereka mengumpulkan kayu bakar dan menjualnya. Atas ketekunan dan ketabahan mereka, konon Nabi Khidlir datang menemui mereka. Dalam penampakan itu, Nabi Khidlir berkata, “Kalian jangan tinggal lagi di Medinah, karena sudah tampak pada kalian cahaya pemimpin Mekah. Ia mempunyai anak perempuan yang tidak bisa berdiri atau berjalan, kecuali duduk di tempat tidurnya. Mereka akan berobat kepada kalian.”
Setelah Nabi Khidlir berlalu, datanglah seorang pemimpin Mekah bersama anak perempuannya kepada Habib Abdurrahman, yang kemudian memberinya pakaian sambil berkata, ”Pakailah pakaian ini, mudah-mudahan Allah SWT memberi kesembuhan kepada anak perempuanmu.” Setelah memakai baju tersebut, tak lama kemudian anak perempuan itu sembuh dan dapat berdiri, dapat berjalan seperti layaknya orang sehat.
Mengenai karamah-karamahnya, ia menyatakan, karamah yang paling besar ialah istikamah dalam beribadah kepada Allah SWT. “Jangan heran pada orang yang bisa berjalan sangat cepat di bumi, atau bisa terbang di udara, atau berjalan di atas air. Karena, sesungguhnya setan juga bisa melakukannya,” katanya.
Setiap kali Habib Abdurrahman mendoakan seorang pasien, atas izin Allah SWT sang pasien segera tidak merasakan sakit. Bahkan gurunya, Syekh Abu Bakar bin Salim, memerlukan datang kepadanya untuk berobat.
Karamah yang luar biasa itu juga tampak dari ketekunan Habib Abdurrahman ketika mempelajari tiga buah kitab karangan gurunya, Syekh Abu Bakar bin Salim. Suatu malam, datanglah beberapa ekor tikus menggondol kitab-kitab tersebut. Ia langsung berdoa, dan seketika itu juga berjatuhanlah tikus-tikus itu, mati. Setelah itu tidak ada lagi seekor tikus pun di rumahnya.
Demikian juga ketika muncul wabah belalang yang menyerang tanaman di sebuah desa. Untuk membantu para petani, ia berdoa mengusir belalang tersebut. Dan sejak itu tak ada lagi belalang yang mengganggu para petani.

AST, dari berbagai sumber