21.6.06

Pengrajin Kata

Posted by Picasa

10.6.06

KH. Mukhtar Syafa'at

Ulama Panutan Umat
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blok Agung, Jajag, Banyuwangi, Jawa Timur

Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami Jadzab (“nyeleh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Su;ltan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu dan berkemauan keras menadalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah.Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampik secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun(Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tashawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali. Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Masalah lain jenis, selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, ia senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak. Suatu hari, ia oleh teman-temannya dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reakasinya? Ia justeru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna… selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya. Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan di utara Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
AST/Ft AST

Manakib-Manakib

Habib Muhammad bin Husein Alaydrus (Manakib)
Ulama yang Berjuluk Habib Neon

Dia salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf

Suatu malam, beberapa tahun lalu, ketika ribuan jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja kontan mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis dan sorban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib, mendadak masjid terang benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Bukan main! Maka, sejak itu sang habib mendapat julukan Habib Neon ...
Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut, pada 1888 M. Meski dia adalah seorang waliyullah, karamahnya tidak begitu nampak di kalangan orang awam. Hanya para ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib Neon. Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, Habib Husein bin Zainal Abidin Alaydrus. Menjelang dewasa ia merantau ke Singapura selama beberapa bulan kemudian hijrah ke ke Palembang, Sumatra Selatan, berguru kepada pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia dikaruniai Allah tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan.
Tak lama kemudian ia hijrah bersama keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah, mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-Atthas. Beberapa waktu kemudian ia hijrah lagi, kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.
Selama mukim di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, ia konon pernah bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali kharismatik, (Alm) Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.
Open House
Seperti halnya para wali yang lain, Habib Muhammad juga kuat dalam beribadah. Setiap waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan bershalawat. Dan yang paling mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan dari kaum fakir miskin. Segala hal yang ia bicarakan dan pikirkan selalu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran agama, dan tak pernah berbicara mengenai masalah yang tak berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Itu sebabnya, setiap jam 10 pagi hingga waktu Dhuhur, ia selalu menggelar open house untuk menmui dan menjamu para tamu dari segala penjuru, bahkan dari mancanegara. Beberapa tamunya mengaku, berbincang-bincang dengan dia sangat menyenangkan dan nyaman karena wajahnya senantiasa ceria dan jernih.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya ia perguankan untuk menelaah kitab-kitab mengenai amal ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan setiap Jumat ia mengelar pembacaan Burdah bersama jamaahnya.
Ia memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan problem-problem masyarakat lainnya. Itu semua dia terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, ia sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tamu manggut-manggut, antara heran dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Alaydrus, kemenakan dan menantunya, yang juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.
Di antara laku mujahadah (tirakat) yang dilakukannya ialah berpuasa selama tujuh tahun, dan hanya berbuka dan bersantap sahur dengan tujuh butir korma. Bahkan pernah selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk jatah buka puasa dan sahur selama setahun itu ia hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram. ”Aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji nafsuku dengan meniru ibadah kaum salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf tersebut,” katanya.
Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus, sesuai dengan wasiatnya. Setelah ia wafat, aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya yang ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Jumadil Awal.

-----------------------------------------------------------
Habib Abdul Qadir bin Alwy Assegaf (Manakib)
----------------------------------------------------------------

Angin Segar dari Kota Tuban

Auliya’ ini dikenal banyak membawa angin segar bagi umat, terutama di kota Tuban dan sekitarnya. Para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau

Sosok Habib Abdul Qadir dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang ramah tamah, murah senyum dan dermawan. Semua orang yang mengenalnya, pasti akan mencintainya. Tidak heran bila para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau. Salah satunya, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, beliau selalu mengunjungi semasa hidup mau pun sesudah wafatnya. Wali Kramat dari Empang, Bogor itu bersyair dengan pujian,”Telah bertiup angin segar dari Kota Tuban….” Auliya lain yang sering mengunjunginya adalah Habib Ahmad bin Abdullah Alattas, Pekalongan dan Habib Abdul Qadir bin Quthban.
Habib Abdul Qadir bin Alwy As-Segaf dilahirkan di Seiwun pada tahun 1241 H. Sejak kecil ia telah dididik secara khusus oleh paman beliau, Habib Abdurrahman bin Ali Assegaf. Oleh sang paman, Habib Abdul Qadir selalu diajak berziarah ke tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggalnya di Seiwun. Dalam berziarah ke tempat para auliya’, ia pun pernah menyaksikan kejadian yang menakjubkan hatinya, yakni saat berziarah ke makam Syaikh Umar Ba Makhramah. Dimana, Habib Abdurrahman ketika di dalam kubah makam Syaikh Umar Ba Makhramah, tiba-tiba Syaikh Umar bangun dari kuburnya dan bercakap-cakap dengan Habib Umar. Habib Abdul Qadir menyaksikan kejadian itu secara yaqadzah (terjaga, bukan melalui mimpi).
Habib Abdul Qadir dikenal sejak usia remaja berteman akrab dengan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Sahibul Maulid Simthud Durar) dan Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad (Sahibur Ratib Hadad). Bahkan di akhir umur Habib Abdullah Al-Hadad pernah berkirim surat kepada Habib Abdul Qadir yang diantaranya berisi,”Sesungguhnya jiwa-jiwa itu saling terpaut.” Tidak lama setelah itu Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad wafat, 27 hari kemudian Habib Abdul Qadir juga wafat. Beliau juga mempunyai hubungan yang istimewa dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya) dan Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar (Bondowoso).
Kedekatan hubungan Habib Abdul Qadir dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi tidak lepas dari kejadian menimpa Habib Muhammad yang sering kali tidak bisa menguasai diri ketika kedatangan hal (keadaan luar biasa yang meliputi seseorang yang datang dari Allah SWT). Dalam keadaan seperti itu Habib Muhammad tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya.
Suatu saat Habib Muhammad kedatangan hal ketika sedang berjalan, kebetulan saat itu Habib Abdul Qadir sedang berada di dekatnya. Melihat keadaan Habib Muhammad yang hampir tidak sadarkan diri, Habib Abdul Qadir segera menyadarkannya, sehingga Habib Muhammad pun sadar dan melihat Habib Abdul Qadir telah berada di depannya. Mereka berdua akhirnya berpelukan,”Ini adalah sebaik-baik obat,”kata Habib Muhammad dengan raut wajah yang gembira. Sejak itulah, hubungan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Abdul Qadir semakin erat dan saking dekatnya, Habib Muhammad menyatakan bahwa menceritakan tentang keadaaan Habib Abdul Qadir lebih manis dari madu. Kecintaan itu juga oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi diungkapkan dalam syair:
Wahai malam yang penuh cahaya/
Semua permintaan telah terkabul/
Hari ini aku datang ke Tuban di awal bulan/
Putra Alwi yang kucintai/
Kelezatannya tiada bandingan/
Dia lah pintu masuk dan pintu keluar kita/
Obat bagi yang kena segala penyakit/
Dari hatinya memancar rahasia sempurna/
Semoga dengan berkahnya, dosa dan salah kita diampuni//

Pernah suatu ketika Habib Abdul Qadir dalam perjalanan pulang dari haji bersama rombongan dengan mempergunakan perahu. Ternyata perahu yang dinaikinya berlubang, air pun masuk menerobos dengan deras ke dalam perahu. Orang-orang panik dan segera mengurasnya. Tapi, air yang masuk bukan semakin habis, malah semakin banyak dan memenuhi seluruh perahu hingga hampir tenggelam. Keringat dan air laut berpadu membasahi pakaian yang dikenakan mereka yang tengah berusaha dengan keras menguras air dalam perahu. Para penumpang menangis karena putus asa.
Melihat hal itu Habib Abdul Qadir segera masuk ke dalam bagasi kapal beserta dua isterinya. Setelah menutup pintu beliau berdoa sambil mengangkat tangannya memohon kepada Allah. Tiba-tiba datanglah empat orang lelaki yang telah berdiri di hadapannya, kemudian salah satunya menepuk punggungnya.”Hai Abdul Qadir! Aku Umar Muhadar,”katanya sambil memperkenalkan tiga orang yang ada disebelahnya,”Ini kakekmu, Alwi bin Ali bin Al-Faqih Al-Muqaddam. Itu kakekmu, Abdurrahman Assegaf dan yang itu Syaikh Abu Bakar bin Salim.”
Setelah itu lelaki tersebut menyuruh Habib Abdul Qadir menguras air dan keempat lelaki asing itu pun lalu menghilang.
“Apakah kalian melihat empat orang tadi?” tanya Habib Abdul Qadir kepada kedua isterinya.
“Tidak,” jawab mereka.
Habib Abdul Qadir segera keluar dan menyuruh para penumpang untuk menguras kembali air laut yang masuk ke dalam perahu. Tak berapa lama kemudian, perahu besar itu sudah tidak berisi air lagi. Ternyata lubang tadi telah lenyap, papan-papannya tertutup rapat seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Dikisahkan pula, suatu malam Habib Abdul Qadir bermimpi, dalam mimpinya ia bertemu Nabi SAW tengah menuntun Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr. Lalu Nabi SAW menyuruhnya membaca Doa Khidir AS sebanyak 50 kali setiap pagi dan sore. Habib Abdul Qadir merasa bilangan itu terlalu banyak. Ia ingin agar Habib Hasan memintakan keringanan untuknya, belum sempat diutarakan, Nabi SAW bersabda,”Bacalah sebanyak lima kali saja, tetapi pahalanya tetap 50.” Gambaran ini persis seperti lafadz barjanji ketika mengisahkan Isra’ Mi’raj. Seketika itu, Habib Abdul Qadir terjaga dari tidurnya dan membaca doa Nabi Khidir dari awal sampai akhir, padahal dia belum pernah tahu doa tersebut sebelumnya.
Ia lalu mencari teks doa itu dan menemukannya di kitab Maslakul Qarib, tetapi di sana ada tambahan dan pengurangan. Sampai akhirnya ia menemukan teks yang sama persis di kitab Ihya’ juz 4 dalam bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Imam Ghozali menyebutkan faedah dan pahala yang sangat banyak dalam doa ini. Jelaslah bahwa itu termasuk salah satu karamah Habib Abdul Qadir, sebab ia hafal doa yang cukup panjang hanya dengan dituntun Nabi Muhammad SAW. Dalam khasanah dunia pesantren, cara menghafal demikian disebut ilmu paled! atau apal pisan langsung wuled(sekali dengar langsung hafal).
Ketika ia sakit di akhir umurnya, salah seorang putranya yang bernama Umar mengusahakan kesembuhan dengan cara bersedekah atau yang lainnya. Ketika Habib Abdul Qadir tahu, ia langsung berkata,”Jangan merepotkan diri, karena Malaikat Maut sudah dua atau tiga kali mendatangiku.”
Dalam sakit itu pula ia sering menyambut kedatangan ahlil ghaib di tengah malam dan berbincang-bincang dengan mereka. Kejadian tersebut berlangsung hampir setiap malam, sampai suatu saat ditemukan secarik kertas di dekatnya yang bertuliskan syair,”Telah datang pada kami, Shohibul Waqt, Khidir dan Ilyas. Mereka memberiku kabar gembira seraya berkata,’Kau dapatkan hadiah serta pakaian. Jangan takut! Jangan khawatir dengan kejahatan orang yang dengki, serta syaitan’.”
Tidak lama setelah itu, ia meninggalkan alam yang fana ini tepatnya pada tanggal 13 Rabiul Awal 1331 H (1912 M). Jasadnya yang suci kemudian dimakamkan di pemakaman Bejagung, Tuban. Haul Habib Abdul Qadir biasanya diperingati pada bulan Sya’ban di Jl Pemuda, Tuban.

AST/Ft. Dok. Cahaya Nabawiy

Caption:
1. Lead.
2. Makam Habib Abdul Qadir Assegaf. Karamahnya diakui para auliya
3. Komplek Makam Bejagung, Tuban. Peristirahatan terakhir

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Habib Hasan bin Ahmad Baharun (Manakib)
------------------------------------------------------
Ahli Bahasa Arab dari Raci, Pasuruan

Dia dikenal sebagai seorang ahli bahasa Arab, dan pendiri Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Raci, Pasuruan. Dialah Habib Hasan bin Ahmad Baharun

Setiap bulan Ramadhan tiba, Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Raci, Pasuruan selalu mengadakan program belajar kilat Bahasa Arab. Kesempatan untuk mempelajari bahasa Arab ini mengundang ratusan peminat tidak saja dari kalangan santri, namun juga diikuti oleh mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai universitas yang ada di Jawa Timur, seperti dari Surabaya, Malang, Madura dan lain-lain.
Memang Bahasa Arab di Indonesia sampai sekarang dianggap sebagai bahasa yang sulit, dan walaupun mayoritas orang Indonesia tidak bisa berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan mengikuti program belajar kilat, setiap santri mempelajari bahasa Arab dengan metode khusus dari awal bulan sampai akhir Ramadhan. Dalam waktu yang singkat setiap santri mampu berkomunikasi bahasa arab yang benar (fushah).
Yang mengajar program ini adalah Habib Hasan bin Ahmad Baharun, pria kelahiran Kepulauan Kecil, Sumenep, Madura 11 Juni 1934. Ia dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah yang terletak di Desa Raci, Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Dia dikenal sebagai seorang ahli bahasa Arab. Ustadz Hasan bin Ahmad Baharun dari masa mudanya telah diilhami oleh rasa cinta untuk menyebarluaskan bahasa Arab. Niat beliau tiada lain adalah kecintaan dan menjalankan perintah baginda Nabi Muhammad saw sebagaimana sabdanya, ”Belajarlah kalian bahasa Arab dan ajarkanlah kepada umat manusia.”
Sumbangsih Habib Hasan terhadap dunia Bahasa Arab bisa kita lihat dalam karya–karya tulisnya, antara lain Kamus Al-‘Ashriyah (Kamus Modern), Kitab Muhawarah I, Kitab Muhawarah II, Al-Af’al Al-Yaumiyyah dan Al-Asma Ál-Yaumiyyah. Kitab-kitab yang dikarangnya itu merupakan kitab-kitab yang cukup populer di dunia pesantren dan perguruan tinggi Islam.
Ia selalu menasehati kepada santri-santrinya untuk selalu berbicara bahasa arab dengan niat mengikuti (ittiba’) dan meneruskan bahasa yang keluar dari mulut Nabi Muhammad SAW. Karena bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an yang suci dan bahasa ahli surga. Semangatnya dalam mensyiarkan bahasa Arab tertanam sejak berusia muda. Ia selalu berpindah-pindah dari pesantren ke pesantren lain, dari madrasah ke madrasah lain. Beliau selalu memperkenalkan kepada para pelajar cara belajar bahasa arab dengan mudah dan gampang di mengerti serta di pahami terutama bagi para pemula.
Dalam pengajaran nya beliau selalu memperkenalkan yang pertama kali adalah: isim, fiil dan huruf. Beliau selalu berkata,” Bahwa bahasa arab tidak keluar dari tiga unsur diatas, itu semua dilakukan agar orang-orang gemar dan tidak merasa sulit dalam belajar bahasa Arab.”
Habib Hasan bin Ahmad Baharun merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari pasangan Habib Ahmad bin Husein bin Thohir bin Umar Baharun dengan Fathmah binti Bakhabazi. Sejak masih kecil, ia sudah ditanamkan kedisplinan dan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya hingga mengantarkan Habib Hasan menjadi sosok yang berakhlaq tinggi dan pribadinya dipenuhi sifat-sifat terpuji.
Selain mendapat didikan langsung dari kedua orangtuanya, Habib Hasan juga menempuh pendidikan dasar di Madrasah Makarimal Akhlaq, Sumenep. Ia juga berguru pada sang kakek, yakni Ustadz Ahmad bin Muhammad Bakhabazi. Habib Hasan juga menimba ilmu dari paman-pamannya sendiri seperti, Ustadz Ustman bin Ahmad Bakhabazi dan Umar bin Ahmad Bakhabazi.
Selepas menamatkan Madrasah, Habib Hasan melanjutkan pendidikan ke PGA di Sumenep, namun cuma sampai kelas 4. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengah (SMEA) di Surabaya. Di kota pahlawan itu, ia juga berguru pada Habib Umar Ba’agil. Selain belajar ilmu agama, Habib Hasan sejak usia remaja telah menjadi seorang aktivis gerakan keislaman. Ia aktif di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan Pandu Fatah Al-Islam di Sumenep.
Setamat dari SMEA, ia mengikuti ayahnya berdakwah dan sembari berdagang ke Pulau Masalembu. Keluarga ustadz Hasan Baharun dikenal sebagai keluarga yang ramah dan suka membantu siapa saja. Apabila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya, maka disuruh membayar semampunya, bahkan tak jarang dibebaskan dari seluruh hutang-hutangnya.
Tahun 1966, ia merantau ke Pontianak dan mulai berdakwah dari satu desa ke desa yang lainnya. Uniknya, selama berdakwah ia selalu membawa seperangkat pengeras suara agar tidak merepotkan masyarakat dan kebetulan saat itu alat pengeras suara masih sangat langka. Ia juga membawa tabir (kain pemisah) untuk menghindari terjadinya ikhtilat (pencampuran) antara laki-laki dan perempuan dalam setiap pertemuan yang ia selenggarakan.
Selain berdakwah, Habib Hasan aktif di partai Nahdlatul Ulama. Ia dikenal sebagai juru kampanye (jurkam) yang berani dan tegas dalam menyampaikan kebenaran. Sehingga, ia sempat diperiksa dan ditahan oleh aparat keamanan. Pada saat itu, masyarakat akan melakukan demostrasi besar-besaran apabila tidak dikeluarkan. Atas jaminan dan bantuan salah satu pamannya, akhirnya Habib Hasan dibebaskan.
Sekitar tahun 1970, atas permintaan dan perintah dari ibunya ia pulang ke Madura. Namun, ia masih sempat berdakwah ke Pontianak dan mengajar bahasa arab di Pesantren Gondanglegi (Malang). Selain itu, ia juga mengajar di pondok pesantren Sidogiri (Pasuruan), Salafiyah Asy-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Langitan (Tuban) dan lain-lain.
Dari hubungan dengan yang harmonis dengan berbagai pondok pesantren yang ada di Jawa Timur di atas, ini yang memudahkan Habib Hasan bin Ahmad Baharun mendirikan pesantren tepatnya tahun 1982. Awalnya ada 6 orang santri yang belajar di rumah sewa di Kota Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana para santri tersebut dibina langsung olehnya dan Habib Ahmad As-Saqqaf. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1983 membuka atau menerima santri putri yang berjumlah 16 orang yang bertempat di daerah yang sama. Keadaan (tempat pondok pesantren) terus berpindah-pindah tempat dan sampai 11 kali kontrak rumah hingga tahun 1984.
Dengan jumlah santri yang terus berkembang serta tempat (rumah sewa) tidak dapat menampung jumlah santri, maka pada tahun 1985 Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah pindah ke sebuah desa yang masih jarang penduduknya dan belum ada sarana listrik, tepatnya di Desa Raci, Kecamatan Bangil. Jumlah santri pada waktu itu sebanyak 186 orang santri yang terdiri dari 142 orang santri putra dan 48 orang santri putri.
Setelah Ustad Hasan bin Ahmad Baharun wafat pada 8 Shafar 1420 H atau 23 Mei 1999, pondok ini kemudian disasuh oleh salah satu anaknya, yakni Habib Zain bin Hasan bin Ahmad Baharun yang merupakan murid asuhan Almarhum Buya Habib Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki.
Hingga saat ini lahan yang ada telah mencapai kurang lebih 4 Ha dan telah hampir terisi penuh oleh bangunan sarana pendidikan dan asrama santri dengan jumlah santri sekitar 1500 yang berasal dari 30 propinsi di Indonesia, negara-negara Asia Tenggara dan Saudi Arabia. Santri-santri dibina oleh tidak kurang 100 orang guru dengan lulusan/alumni dalam dan luar negeri. Ditambah dengan pembantu yang diikutkan belajar sebanyak sekitar 95 orang.

AST, Ibnu Zain Alkaf
Caption:
1. Lead
2. Habib Hasan Baharun menyampaikan taushiah. Pakar Bahasa Arab dari Bangil
3. Suasana Haflah Akhirussanah. Memasuki tahun ajaran baru
4. Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah. Rujukan belajar Bahasa Arab (Ft Ada di Kalender Pondok Darullughah).
5. Makam Habib Hasan Baharun. Selalu dikunjungi penziarah (Ft. Ada di Kalender Pondok Darullughah).

---------------------------------------------------------------------
Abdurrahman bin Muhammad Assaqqaf (Manakib Tarim)
---------------------------------------------------------------------
Wali Yang Bertabur Karamah

Salah seorang wali dan ulama dari Ahlil Bait Ba’alawi yang bertabur karamah adalah Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf. Beliau mendapat julukan As-Saqqaf, yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya

Ulama dari Tarim, Hadramaut ini dikenal sebagai wali yang bertabur karamah. Salah satunya adalah sering dilihat banyak orang sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ulama ini juga dikenal sebagai ulama yang kuat bermujahadah. Beliau pernah tidak tidur selama 33 tahun. Dikabarkan, dia sering bertemu dengan Nabi SAW dan sahabatnya dalam keadaan terjaga setiap malam Jum’at, Senin dan Kamis, terus-menerus.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf adalah seorang ulama besar, wali yang agung, imam panutan dan guru besar bagi para auliya al-‘arifin. Ia dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut pada 739 H. Ibunya bernama Aisyah binti Abi Bakar ibnu Ahmad Al-Faqih Al-Muqaddam.
Pada suatu hari, salah seorang santri yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail saat di masjid merasa sangat lapar sekali. Waktu itu, sang santri malu untuk mengatakan tentang keadaan perutnya yang makin keroncongan. Rupanya sang guru itu tahu akan keadaan santrinya. Ia kemudian memanggil sang santri untuk naik ke atas loteng masjid. Anehnya, di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lezat.
“Dari manakah mendapatkan makanan itu?” tanya Muhammad bin Hassan Jamalullail.
“Hidangan ini kudapati dari seorang wanita,” jawabnya dengan enteng. Padahal, sepengetahuan sang santri, tidak seorangpun yang masuk dalam masjid.
Bila malam telah tiba, orang yang melihatnya seperti habis melakukan perjalanan panjang di malam hari, dikarenakan panjangnya shalat malam yang beliau lakukan. Bersama sahabatnya, Fadhl, pernah melakukan ibadah di dekat makam Nabiyallah Hud AS berbulan-bulan. Dia dan sahabatnya itu terjalin persahabatan yang erat. Mereka berdua bersama-sama belajar dan saling membahas ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Banyak auliyaillah dan para sholihin mengagungkan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Ia tidaklah memutuskan suatu perkara terhadap seseorang, kecuali setelah mendengar isyarat dari Yang Maha Benar untuk melakukan sesuatu. Berkata As-Sayyid Al-Jalil Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Ba’alawy, “Ketika Habib Abdurrahman telah memutuskan suatu perkara bagiku, maka hilanglah seketika dariku rasa cinta dunia dan sifat-sifat yang tercela, berganti dengan sifat-sifat yang terpuji.”
Sebagaimana para auliya di Hadramaut, ia juga suka mengasingkan diri untuk beribadah di lorong bukit An-Nu’air dan juga sekaligus berziarah ke makam Nabi Hud AS. Seorang muridnya yang lain bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib menyatakan,“Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Habib Abdurrahman, beliau berkata, “Kami tidak akan shalat Maghrib kecuali di Fartir Rabi’. Kami sangat heran sekali dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah SWT. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi’, matahari mulai terbenam. Sehingga kami yakin bahwa dengan karamahnya sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya.”
Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: “Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang diucapkan oleh beliau itu terjadi seperti yang dikatakan.
Suatu waktu Habib Abdurrahman As-Saqqaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, mengatakan pada isterinya yang sedang hamil, ”Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini.”
Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf kemudian memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya.
Pernah suatu ketika, ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dengan menyebut nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Orang yang menyebutkan nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Habib Abdurraman As-Saqqaf.
Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Habib Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan menyebut Habib Abdurrahman As-Saqqaf, yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah SWT dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Belum selesaimenyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya.
Karamah yang lain dari Habib Abdurrahman As-Saqqaf, juga dibuktikan oleh salah seorang pelayan rumahnya. Salah seorang pelayan itu suatu ketika di tengah perjalanan dihadang oleh perampok. Kendaraannya dan perbekalannya kemudian dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Habib Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kendaraan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kendaraan dan perbekalannya.
“Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi,” kata sang perampok.
Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf, beliau berkata, “Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, karena kami juga mendengar suara perlahan.”
Itulah beberapa karamah yang ditujukan kepada ulama yang bernama lengkap Habib Abdurrahman As-Saqqaf Al-Muqaddam Ats-Tsani bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahibud Dark bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW.
Julukan As-Saqqaf berasal dari kata as-saqfu (atap), yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Itu menandakan akan ketinggian ilmu dan maqam yang tinggi, bahkan melampaui ulama-ulama besar di jamannya. Dia juga mendapat julukan Syeikh Wadi Al-Ahqaf dan Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Sejak itu, gelar Assaqqaf diberikan pada beliau dan seluruh keturunannya.
Sejak kecil ia telah mendalami berbagai macam ilmu dan menyelami berbagai macam pengetahuan, baik yang berorientasi aql (akal) ataupun naql (referensi agama). Ia menghafal Al-Qur’an dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Khatib, sekaligus mempelajari ilmu Tajwid dan Qira’at. Ia juga berguru kepada Asy-Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Basyakil, Syeikh Muhammad ibnu Abi Bakar Ba’ibad, Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Ka’ban, Syeikh Ali Ibnu Salim Ar-Rakhilah, Syeikh Abu Bakar Ibnu Isa Bayazid, Syeikh Umar ibnu Sa’id ibnu Kaban, Syeikh Imam Abdullah ibnu Thohir Addu’ani dan lain-lain.
Dia mempelajari kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq. Ia juga menggemari kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Al ’Awarif karya As-Samhudi. Tak ketinggalan ia juga mempelajari kitab-kitab karangan Imam Al-Ghazali seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh dan Ihya Ulumiddin. Serta kitab karangan Imam Ar-Rofi’iy seperti Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz dan Al-Muharror.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf selalu membaca Al-Qur’an setiap siang dan malamnya dengan 8 kali khataman, 4 di waktu malam dan 4 di waktu siang. Yang di waktu siang beliau membacanya 2 kali khatam dari antara setelah Subuh sampai Dhuhur, 1 kali khatam dari antara Dhuhur sampai Ashar (itu dibacanya dalam 2 rakaat shalat), dan 1 kali khataman lagi setelah shalat Ashar.
Setiap kali menanam pohon kurma, beliau membacakan surat Yasin untuk setiap pohonnya. Setelah itu dibacakan lagi 1 khataman Al-Qur’an untuk setiap pohonnya. Setelah itu baru diberikan pohon-pohon kurma itu kepada putra-putrinya.
Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H (1416 M). Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di pekuburan Zanbal,Tarim. Beliau meninggalkan 13 putra dan 7 putri.

Disarikan AST dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy
Caption:
1. Lead
2. Sebuah Gua di Bukit Nu’air, Tarim. Menjadi tempat khalwat para auliya
3. Makam Nabi Hud AS. Tempat berziarah bersejarah
4. Komplek pemakaman Zanbal, Tarim. Makam para auliya

------------------------------------
Sayid Muhammad Maulad Dawilah (Manakib)
---------------------------------------------------------

Banyak Menerima Karunia Allah SWT

Setiap namanya disebut, maka setiap orang yang mendengar akan senang hatinya. Ia adalah sosok auliya yang paling banyak menerima karunia-karunia Allah SWT

Ia dikenal hafal separuh al-Qur’an, tetapi anehnya jika ada yang keliru dalam bacaannya pada separuh bagian kedua, maka ia dapat mengingatkan bacaan yang keliru itu, sehingga pembacanya akan mengulangi bacaan yang keliru itu.
Ulama itu adalah Sayid Muhammad Maulad Dawilah, nama lengkapnya adalah Sayid Muhammad Maulad Dawilah bin Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW.
Muhammad Maulad Dawilah lahir dan dibesarkan di kota Tarim. Sejak kecil, ia telah ditinggal mati sang ayahnya. Sehingga ia diasuh dan dibesarkan oleh sang paman, Sayid Abdullah. Selama dalam asuhan sang paman itulah ia benar-benar mendapatkan pendidikan dan asuhan yang terbaik. Maka wajarlah bila dalam usia remaja ia telah mempunyai ilmu yang tinggi, manis budi pekerti dan ketakwaan yang tinggi.
Sebagaimana para ulama dan auliya’ dari Hadramaut. Ia juga suka berkelana ke berbagai negeri untuk beribadah dan menimba ilmu. Sewaktu menunaikan ibadah haji dan umrah, ia menyempatkan diri untuk mukim di Madinah sembari belajar agama, khususnya bidang fiqh. Tidak banyak disebutkan, ia belajar tentang dunia tulis menulis, tetapi setiap ilmu syariat yang ia pelajari maka ia selalu mengamalkannya. Karena itu, tidak heran bila ia mendapat kemuliaan seperti yang didapat para ulama kenamaan.
Ia adalah sosok ulama yang tawadhu’, banyak melatih diri dan membebaninya dengan berbagai amal kebajikan dan ibadah. Kebanyakan amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berhubungan dengan hati, bahkan ia selalu menyembunyikan amal-amal ibadahnya dari manusia yang lain, lebih-lebih dari keluarganya sendiri.
Pada umumnya ia suka mengasingkan diri di tengah padang pasir atau di dusun yang tidak berpenghuni. Karena itu, ia banyak mendapatkan keistimewaan atau yang lebih dikenal dengan karamah dari Allah SWT. Diantara karamah yang ia miliki yakni ia dapat menuturkan berbagai masalah dalam hukum-hukum syariat dan hakekat sampai kepada akar-akarnya yang paling bawah.
Alkisah, ketika salah seorang puteranya bertanya tentang kebolehan yang ia katakan, maka ia berkata,”Kami tidak menuturkan suatu masalah kecuali kami telah melampui batas-batas alam dunia dan akhirat, pada mulanya kami lampui batas-batas alam dunia dan akhirat, kemudian alam akhirat sampai wujud keduanya terasa tidak ada di hati kami selain hanya wujud Allah, maka di saat itulah timbul rasa rindu.”
Selanjutnya, ia menuturkan bait-bait puisi, ”Ketika kami tiba di majelis untuk bersenang-senang maka terpancarlah cahaya bagi kami dari alam gaib.” Sampai di akhir bait puisinya.
Selanjutnya ia memilih sebuah tempat terpencil di dekat pekuburan Nabi Hud As, nama tempat itu adalah Yabhar. Ia memilih tempat tersebut karena ada sebuah telaga air. Ia kemudian membangun tempat tinggal di sekitar tempat itu. Langkah ini dikuti oleh pengikut-pengikutnya, sehingga tempat yang sebelumnya di kenal sebagai tempat terpencil lambat laun kemudian berkembang menjadi ramai. Pemukiman kecil yang semula hanya terdiri dari beberapa keluarga kecil saja, makin lama berkembang menjadi sebuah desa yang maju, tempat itu dinamakan Yabhar Dawilah.
Sayid Muhammad Maulad Dawilah ini adakalanya melakukan hal-hal yang aneh. Sesekali ia mengenakan pakaian-pakaian yang mewah, seperti pakaian-pakaian yang dipakai kaum penguasa, tetapi adakalanya ia mengenakan pakaian compang-camping seperti yang dikenakan oleh kaum fakir miskin. Adakalanya ia berusaha mendekatkan diri dengan kaum penguasa, tetapi adakalanya ia menjauh dari penguasa dan mendekati orang-orang lemah yang tidak mampu.
Adakalanya ia membebani hidupnya dengan berbagai amal kebajikan dan ibadah. Diantaranya ia bangun malam dan puasa. Dikisahkan, ia melakukan shalat Subuh dengan wudhu untuk Isya’. Kebiasaan ini berjalan selama dua puluh tahun. Ia juga membiasakan berpuasa empat puluh hari berturut-turut di musim panas. Karena besarnya peningkatan ibadah-ibadahnya, maka ia mendapatkan berbagai macam karamah dan keistimewaan yang luar biasa dari Allah SWT.
Terhadap karamah dan karunia yang diterimanya itu, ia pernah berkata,”Biasa kami menyebut Allah dengan lisan dan hati. Kemudian, bentuk-bentuk huruf yang terucap dengan lisan itu lenyap, yang tersisa hanyalah cahaya yang memancar di dalam hati hingga sampai ke hadirat Allah.”
Nasehat-nasehat yang sangat bermakna diantaranya,”Sesungguhnya aku tidak takut menjadi miskin, sebab aku yakin bahwa karunia yang ada di sisi Allah lebih dekat dari apa yang ada di tanganku. Sesungguhnya aku tidak membenci kematian, sebab seseorang yang membenci kematian maka ia membenci untuk bertemu dengan Allah. Aku tidak pernah membenci tamu meskipun aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikan.”
Disebutkan suatu saat ketika ia hendak tampil menjadi imam shalat di masjid Ba’alawi, sebagian orang mencegahnya dan salah seorang dari mereka berkata dengan ketus kepadanya, ”Engkau seorang Arab dusun, engkau tidak pantas menjadi imam!”
Setelah selesai mengimami shalat, maka beliau dengan sangat tenang dan santun kemudian menerangkan sebuah surat di Al-Qur’an dengan keterangan yang mempesonakan para pendengarnya. Cara penyampaian yang penuh kelembutan dan penerangan yang gamblang membuat mereka sadar, bahwa ia adalah sosok seorang ulama yang berilmu.
Beberapa hari menjelang kematiannya, ia pernah mengucapkan bait-bait puisi tanda kecintaan kepada baginda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya setiap rumah yang engkau (Rasul) tempati, tidak butuh adanya lampu penerangan. Wajahmu yang bersinar adalah hujjah kami, pada hari ketika manusia mendatangkan berbagai macam hujjah.”
Dari hari ke hari ia semakin meningkatkan ketaatannya kepada Allah, sampai saatnya tiba berpulang ke rahmatullah pada hari Senin tanggal 10 bulan Sya’ban 965 H. Ia dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim dan makam nya banyak dikenal dan diziarahi orang. Ia meninggalkan empat orang putera yakni Abdullah, Ali, Alwi dan Abdurahman Assegaf.

(Disarikan AST dari buku Alawiyyin, Asal-Usul dan Peranannya karya Alwi ibnu Muhammad ibnu Ahmad Balfaqih, PT LENTERA BASRITAMA, 1999)

Caption:
1. Lead
2. Pekuburan Zanbal, Tarim. Menjadi pusat ziarah
3. Suasana kota Tarim. Banyak menghasilkan ulama

------------------------------------------------------------------------
Habib Husein bin Bin Abdurrahman Assaqqaf (Manakib)
-------------------------------------------------------------------------

Sesepuh Keluarga Bahsin dan Musawa Assaqqaf

Habib Husein adalah salah satu wali agung yang tinggal di kota Tarim. Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal dengan keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf

Habib Husein dilahirkan dan dibesarkan di kota Tarim. Ia menghafal Al-Qur’an sejak kecil, itu semua berkat bimbingan sang ayah, Habib Habib Abdurrahman bin Muhammad Ass-Saqqaf, seorang wali besar yang berjuluk Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Habib Husein juga berguru pada kakak-kakaknya, seperti Habib Muhammad, Ahmad Abubakar dan Umar Muhdhor.
Generasi ke-23 dari Rasulullah SAW ini dikenal rajin menuntut ilmu syariat dan lebih mengutamakan ilmu tasawuf. Ia sangat taat dan gemar melakukan amal-amal kebajikan sampai mendapat derajat kewalian yang tinggi. Hidupnya lebih banyak menutup diri, ia tidak ingin mengeluarkan dirinya dan kelebihannya kepada orang lain. Selain itu, ia dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut, bahkan lebih lembut dari angin yang berhembus.
Ia lebih senang bergaul erat dengan para fakir miskin dan kaum ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya. Ia tidak senang bergaul erat dengan kaum penguasa dan orang-orang besar, meskipun demikian syafaat ia selalu diterima baik di kalangan awam maupun kalangan khusus.
Anak cucu Habib Husein inilah yang di kemudian hari dikenal dengan keluarga Al-Bahsin Assaqqaf dan Al-Musawa Assaqqaf. Perlu diketahui bahwa panggilan atau julukan keluarga Al-Musawa digunakan untuk menyebut sejumlah keluarga yang tersebar di seluruh pelosok bumi. Sedangkan keluarga Musawa tanpa diawali huruf Alif dan Lam termasuk dari anak cucu Shahib Mirbath, mereka ada dua keluarga yakni keluarga Musawa dan Musawa Assaqqaf.
Keluarga Musawa Assaqqaf adalah keluarga Abubakar As-Sakran, kakek penghimpun mereka adalah Sayid Ahmad Al-Musawa ibnu Muhammad ibnu Ahmad Abubakar As-Sakran. Adapun keluarga Musawa yang ada di Hiridz, Wa’lan, Ribath dan Dzaihan bermukim di sekitar Tihamah Yaman dan Zubaid. Mereka adalah anak cucu Nabi dari keturunan Hasan dan Husain. Ada pun kakek penghimpun mereka adalah Sayid Al-Musawa ibnu Thohir ibnu Al-‘Athifah ibnu Al-Musawa ibnu Yahya ibnu Zakariah ibnu Hasan ibnu Dzarwah ibnu Yahya ibnu Daud Abdurrahman ibnu Abdillah ibnu Sulaiman ibnu Ubaidillah ibnu Musa Al-Juun ibnu Abdillah Al-Mahedz ibnu Hasan ibnu Mutsanna ibnu Al-Hasan As-Sibth Al-Imam Ali ibnu Abi Thalib.
Dari mereka bercabang keluarga Al-Anbari, diantaranya adalah Sayid Thohir ibnu Ahmad Al-Musawa ibnu Yahya ibnu Al-Qadhi Abdullah ibnu Al-Anbari ibnu Yahya Al-Musawa dan seterusnya sampai nasab Husein bin Abdurrahman Assaqqaf. Di Kota Madinah ada juga dari keluarga Al-Musawa, yang mereka pindahan dari Yanbu’ ke Madinah lebih dari 50 tahun yang lalu. Kakek mereka adalah Muhammad ibnu ‘Iwadhillah ibnu Abdul Mu’thi ibnu Faris Al-Musawa, diantara mereka adalah seorang pemuda Ahmad Al-Musawa. Guru mereka adalah Rajaallah ibnu Faris Al-Musawa.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, keluarga Assaqqaf merupakan keluarga terbesar dalam jajaran Ba’alwi. Tidak sedikit anak cucu Assaqqaf. Tidak sedikit anak cucu Assaqaf yang menyandang gelar lain sebagai ganti dari keluarga Assaqqaf, misalnya kleuarga Alaidrus, Syihabuddin, Asy Syeikh Abubakar ibnu Salim, Alatas, Al-Hadi, Al-Baiti, Al-Zahir, Ba’aqil dan keluarga-keluarga lain yang kesemuanya itu menurun dari keluarga Assaqqaf.
Sebagaimana ayahnya, yakni Habib Abdurrahman bin Muhammad Ass-Saqqaf, Habib Husein bin Abdurrahman Ass-Saqqaf juga memakmurkan dua majelis dzikir di Masjid Assaqqaf dalam setiap minggunya, yakni pada malam Senin dan malam Kamis selepas shalat Isya’. Kedua majelis dzikir itu memang biasa mengumandangkan bait-bait puisi kaum sufi dengan iringan terbang dan seruling. Bahkan sepeninggalnya, tradisi itu dipimpin oleh salah satu putra Habib Husein, yakni Habib Ahmad bin Husein Alaydrus. Habib Ahmad ibnu Husein bahkan sering mendatangkan para pembaca puisi dari Mesir dan dari belahan negeri mana pun untuk menyemarakan suasana majelis dzikir.
Setiap diadakan majelis dzikir selalu diikuti oleh suara seruling, jumlah peniup seruling ada tujuh orang. Para pembaca puisi dan peniup seruling dari Mesir itu kemudian menetap di kota Tarim. Mereka menurunkan anak cucu yang juga meneruskan tradisi (pekerjaan) dari kakek-kakek mereka secara turun temurun, yakni tampil di majelis dzikir dua kali dalam seminggu dan sudah berlangsung hampir 600 tahun lebih.Habib Husein selalu mengamalkan amal-amal kebajikan dan ketaqwaan sampai akhir hayatnya. Ia wafat di kota Tarim pada tahun 892 H dan dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim.

AST

Caption:
1. Lead
2. Suasana Tarim

Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf

Guru yang Ramah dan Santun, Penuh Karamah

Ia merupakan guru dari banyak ulama dan habaib di kawasan timur pulau Jawa. Banyak orang mengambil hidmah dari habib yang santun dan ramah dalam mengajar ini

Suatu ketika ada seorang penduduk yang tidak percaya akan kewalian dari Habib Ja’far bertamu kepadanya. Sesampainya di rumah Habib Ja’far, ia langsung minta agar disediakan buah korma. Habib Ja’far sudah tahu akan keinginan orang asing yang bertamu ke rumahnya.
Selepas mengucap salam, sang tamu kemudian menyatakan keinginannya yakni minta buah korma. Dengan santainya, Habib Ja’far kemudian membuka jendela rumahnya lalu ia menjulurkan tangannya lewat jendela dan kemudian dengan secepat kilat tangan kanannya itu telah meraih setandan buah korma yang masih segar. Orang asing itu kaget bukan kepalang, sebab di Pasuruan tanaman korma tidak ada. Maka secepat itu ia kemudian minta maaf kepada Habib Ja’far dan ia kemudian hari menjadi muridnya.
Karamah Habib Ja’far memang sangat terkenal di kalangan kaum muslimin di Jawa Timur. Ia adalah seorang wali besar yang menurunkan banyak ulama di Pasuruan dan sekitarnya. Nama lengkapnya adalah Habib Ja’far bin Syaikhan bin Ali bin Hasyim bin Syeikh bin Muhammad bin Hasyim Assegaf. Ia dilahirkan di kota Ghurfah, Hadramaut pada tahun 1298 H.
Sebagaimana kebanyakan para Salaf Bani Alawi, sejak kecil ia mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Habib Syaikhan bin Ali Assegaf. Selain ia menuntut ilmu kepada ayahnya, ia juga mengambil ilmu dari ulama-ulama besar di Hadramaut, diantaranya: Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (pengarang kitab ‘Iqdul Yawaaqit), Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas dan lain-lain.
Beberapa tahun kemudian, berangkatlah ia ke kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Semangatnya untuk menuntut ilmu seakan tak pernah pupus. Kesempatannya berada di kota Makkah tak ia sia-siakan. Kesempatan itu ia pergunakan untuk menuntut ilmu dari para ulama yang ada disana, diantaranya: Habib Husin bin Muhammad Alhabsyi, Habib Muhammad bin Salim As-Sirry.
Setelah dari kota Makkah Al-Mukarramah, kembalilah Ia ke kota kelahirannya, Ghurfah. Di sana ia kemudian diangkat menjadi imam masjid jami Ghurfah. Ia tinggal di kota tersebut selama 8 tahun. Setelah itu ia kemudian pindah ke kota Tarim. Disana ia dipercaya mengajar di Rubath Tarim, sebuah sekolah yang banyak sekali mencetak ulama-ulama besar. Di kota Tarim ia tinggal selama 2 tahun. Kemudian setelah itu, ia berhijrah ke Indonesia dan tinggal di kota Bondowoso.
Tak lama kemudian, ia lalu pindah ke kota Pasuruan dan menetap disana. Di kota Pasuruan, selain berdakwah mengibarkan bendera laa ilaaha illallah, Habib Ja’far juga membuka majlis taklim dan mengajak masyarakat kepada agama Allah. Pribadinya yang arif menyebabkannya menjadi tempat bermusyawarah, mencari perlindungan dan pengayom masyarakat. Ia selalu memberikan nasihat-nasihat agama dan petunjuk ke arah yang benar. Akhlak ia mencontoh para pendahulunya yang penuh dengan sifat tawadhu, sabar, dan ramah. Tidaklah itu semua kecuali mengambil daripada akhlak-akhlak Rasulullah SAW.
Salah satu akhlak Habib Ja’far adalah sikapnya ramah dan lemah lembut pada tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Pernah suatu ketika ia berhutang pada salah seorang pedagang. Sang pedagang saat itu sudah tak sabar untuk menagih hutang padanya. Dengan sangat kasar sang pedagang itu mengetok pintu rumahnya dan saat itu Habib Ja’far habis shalat Dhuha. Setelah dipersilahkan masuk, kemudian sang pedagang itu berkata,”Bib, saya datang kemari untuk menagih hutang sekarang!”
“Wah kalau menagihnya mendadak seperti ini, saya sedang tidak punya uang. Bukankah saya telah berjanji akan melunasinya minggu depan?” kata Habib Ja’far dengan santun.
“Saya butuhnya sekarang, masa tidak punya?” kata sang pedagang itu dengan tidak percaya.
“Betul, saya sedang tidak punya uang. Masa anda tidak percaya? Berilah saya waktu, jangan sekarang,” kata Habib Ja’far masih di atas sajadahnya.
“Pokoknya saya butuh sekarang juga!” kata pedagang itu dengan suara keras dan makin memaksa.
“Baiklah kalau engkau memaksanya, lihatlah!” kata Habib Ja’far dengan sambil membuka sajadahnya dan terlihatlah uang yang sedemikian banyak di balik sajadah yang dipakainya untuk shalat dhuha tadi.
Tentu saja melihat keajaiban yang baru saja terjadi membuat sang pedagang itu kaget dan ia langsung minta maaf pada Habib Ja’far atas kelancangan sikapnya.
Dengan amat santun, Habib Ja’far kemudian menasehati bahwa janganlah menjadi manusia yang suka memaksakan kehendak dan menghina pada orang lain. Belum tentu orang yang dihina itu lebih baik dari yang menghina.
Habib Ja’far sangat menghormati tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Jika ia menerima tamunya, ia sendirilah yang menuangkan minuman buat si tamu dan ia menolak jika ada orang lain yang hendak menggantikannya. Melihat kedalaman ilmunya terutama dalam ilmu tafsir dan disertai dengan keagungan akhlaknya.
Habib Ja’far juga dikenal sebagai penghafal Qur’an yang sangat mumpuni. Setiap hari ia menghatamkan Qur’an. Dimana setiap hari pula, saat ia mulai berangkat kerja memulai dengan membaca Qur’an dan sampai sore hari ketika pulang ke rumah, ia sudah khatam satu Qur’an.
Dengan menghatamkan Qur’an dalam setiap hari di tengah aktivitasnya itulah, maka sangat pantaslah bila Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor sampai pernah mengatakan bahwa Habib Ja’far adalah Al-Qur'an yang berjalan. Begitulah keadaannya yang menjadi figur bagi keluarga dan masyarakatnya.
Kehidupan berputar terus dan Ia selalu mengisinya dengan kebaikan. Sampai pada suatu saat dimana Allah hendak memanggilnya. Berpulanglah ia menuju mardhotillah pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil Akhir 1374 H. Jasadnya lalu disemayamkan di sebelah barat masjid jami Pasuruan.
Begitulah kehidupan Habib Ja’far sebagai profil manusia yang penuh dengan kebaikan dan kemuliaan. Meskipun ia telah berpulang, ruh kehidupannya senantiasa menghidupkan kalbu-kalbu para pengenangnya dan mengisi sisi-sisi kehidupan para pecintanya.
AST/Ft. AST