25.3.06

Profil

  Posted by Picasa

Cinta Sahabat kepada Rasul

Salah satu hadits yang terkenal mengungkapkan betapa penting kecintaan kaum muslimin pada Rasulullah SAW. Sabda beliau, “Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu-bapaknya, anaknya, dan semua manusia” (HR Bukhari). Memang, mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu bukti keimanan seorang muslim. Sebaliknya, iman pulalah yang membuat para sahabat sangat setia mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai maupun perang. Kecintaan itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan perbuatan nyata.
Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika Rasulullah SAW bersama Abubakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu Rasuklullah SAW tertidur berbantalkan paha Abubakar. Tiba-tiba Abubakar merasa kesakitan karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga menahan sakit, hingga mencucurkan airmata, jangan sampai pahanya bergerak – khawatir Rasulullah SAW terbangun.
Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar menghadapi ancaman kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Ketika itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan akan dibunuh. ”Hari ini, tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu?” kata Abu Sufyan kepadanya.
“Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di mana satu duri pun dapat menyakitinya – jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat kembali ke keluargaku,” jawab Zaid tegas. “Wah, aku belum pernah melihat seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad menyayangi Muhammad,” sahut Abu Sofyan.
Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. ”Ya, Rasulullah. Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku,” kata Umar. Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab, ”Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.”

Hari Kiamat
”Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri,” sahut Umar spontan. Maka Rasulullah SAW pun menukas, ”Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan iman itu” (HR Bukhari).
Penhormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al Fath : 8-9).
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW, ”Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu, perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada rasulullah SAW, ”Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka jawab Rasulullah SAW, ”Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Jawab sahabat itu, “Saya tidak mempersiapkannya dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati.” Lalu, sabda Rasulullah SAW, ”Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau cintai itu.”
Menurut Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Shafwan, dan Abu Dzar, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus mencintainya, ”Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang dicintainya.” Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat mencintai beliau.
Suatu hari seorang sahabat hadir dalam majelis Rasulullah SAW, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku. Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?”
Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, ”Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah karunia Allah Yang Maha Mengetahui” (QS An-Nisa : 69-70). Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia.

Terduduk Lemas
Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri seorang perempuan – beberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya meratapi mereka, tapi menanyakan nasib rasulullah SAW, ”Apa yang terjadi pada diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian kepadanya.”
”Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya,” jawab para sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, “Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku dapat memandangnya.” Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah SAW. “Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat,” kata perempuan itu kepada Rasulullah SAW.
”Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan kekayaannya untuk berjumpa denganku,” sabda Rasulullah SAW sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Setelah Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin masih senantiasa mencintainya. Suatu malam, Khalifah Umar bin Khatthab melakukan inspeksi di seantero kota Makkah. Ketika itulah, demikian cerita Zayd ibn Aslam dalam sebuah riwayat, Umar menjumpai sebuah rumah bercahaya terang. Di dalamnya seorang perempuan tua mendendangkan sebuah syair yang mengharukan sambil menabuh rebana, hingga Umar terharu lalu terduduk lemas, menangis:
Rasulullah, engkaulah yang setiap malam / senantiasa bangun beribadah / dan pada akhir malam menangis / Aku tak tahu dapatkah bertemu lagi dengan kekasihku / Rasulullah telah wafat / Aku tak tahu bisakah kita bertemu lagi

Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya, “Justeru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.” Wafatnya Rasulullah SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW sampai ia meninggal.
Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW. Untuk mengungkapkan rasa cinta itu, sewajarnyalah jika kaum muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan sunnahnya, mengikuti kata-kata dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan menjauhi larangannya. Itulah cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 31: “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
AST/SB

Saat ke Gresik

  Posted by Picasa

22.3.06

Mayada (Sosok)

Suaranya Mirip Ummu Kultsum

Suaranya bak suara emas Ummu Kulsum. Ia sudah menerbitkan 12 album termasuk tiga album kompilasi dengan artis lain.

Artis ini kerap muncul di layar kaca melantunkan lagu-lagu shalawat. Ia adalah Mayada, 16 tahun, yang nama aslinya Umi Mayadah. Namanya meroket sejak ia mengeluarkan album Cahaya Rasul 1 pada 1999, kumpulan shalawat yang di masa silam dinyanyikan oleh Ummu Kultsum, penyanyi legendaris Mesir.
Sejak kecil, anak sulung pasangan H. Adnan Ya’kub Limbong dan Hj. Sunarti Yusuf itu sudah belajar mengaji. Maklum, orangtuanya adalah juara qari dan qariah tingkat nasional. Ayahnya, juara MTQ TVRI/RRI 1986, sementara ibundanya juara MTQ Sulawesi Utara.
Minat Maya dalam berqiraah memang sudah tampak sejak kecil. Setiap kali ada tayangan qiraah di televisi, ia langsung duduk bersimpuh lalu menirukan suara qari di layar kaca. Ketika itu orangtuanya mengira anaknya hanya main-main saja. Bahkan terkadang Maya mengigau membaca Al-Quran layaknya seorang qariah.
Mendengar igauan cucunya itu, sang kakek yang kebetulan tidur bersamanya, kontak menangis. "Sub-hanallah, ini anak mengigaunya saja mengaji, lain dari pada yang lain, " kata kakeknya. Tahu Maya berbakat dalam seni baca Al-Quran, ayahnya mendidik anak sulungnya itu tehnik membaca Al-Quran yang benar.
Dengan sabar, Adnan Ya’kub menurunkan keahliannya dalam hal qiraah sab’ah (tujuh jenis qiraah) kepada anaknya tercinta. Latihan yang sangat disiplin itu ternyata tidak sia-sia. Ketika usianya menginjak tujuh tahun, Maya telah menguasai qiraah sab’ah, sehingga berhasil meraih juara I Musabaqah Tilawatil Quran tingkat Nasional di Jambi pada 1997 untuk kategori anak-anak. Lalu suara emasnya direkam dalam sebuah album qiraah anak-anak.
Selain itu, ternyata Maya juga gemar lagu-lagu shalawat. Kebetulan orangtuanya memiliki koleksi album shalawat cukup banyak, sehingga Maya dapat belajar dengan leluasa. Setelah cukup lancar, ia meluncurkan sebuah album shalawat. Kebetulan, Habib Husein Alaydrus -- produser sebuah perusahaan rekaman -- tengah mencari artis yang cocok untuk menyanyikan lagu-lagu Ummu Kultsum.
Habib Husein Alaydrus pernah ikut serta dalam perekaman album shalawat Nur Muhaammad SAW dan Ziarah Rasul yang dibawakan oleh Haddad Alwi. Suatu hari, Habib Husein menerima sebuah kaset qiraah Maya, dan langsung tertarik. Ketika menjalani tes rekaman, ternyata Maya mampu melantunkan lagu-lagu Ummu Kultsum.
"Pertama kali bikin album, saya grogi. Tapi saya senang, dan seru," tutur Maya. Akhirnya, dalam waktu relatif singkat, pada 1999 sebuah album shawalat, Cahaya Rasul 1, berhasil dirilis. Ketika itulahsuara Maya banyak terdengar di radio dan televisi, apalagi memasuki bulan Ramadhan.
Sejak itu nama Mayada dikenal luas sebagai penyanyi cilik untuk lagu-lagu shalawat, sejajar dengan Sulis, Wafiq Azizah, dan lain lain. Maya tak pernah khawatir bersaing, sebab baginya persaingan harus dilihat secara positif sebagai fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan ketika mengikuti MTQ, Maya sering minta sekamar dengan Wafiq Azizah.
Setelah album Cahaya Rasul 1, setiap kali menyambut Ramadhan, Maya selalu merilis album shalawat. Hingga sekarang sudah terbit 12 album, terdiri dari tujuh album Cahaya Rasul, tiga kompilasi dengan artis lain, dan dua lagi karet qiraah dan shalawat.. Sejak itu Maya sering diundang menggelar konser di berbagai kota-kota besar, termasuk tawaran konser di luar negeri. Beberapa waktu lalu ia menggelar konser di Kualalumpur dan Hongkong.
Ada penggemar yang mengirim surat, ada pula yang berkunjung ke rumah. Tapi, ada penggemar yang unik: bertandang ke rumah membawa oleh-oleh sekeranjang mangga. Tentu keluarganya senang. Tapi, ada yang bikin sedih. Dalam setiap konser, ada penggemar yang berlebihan dengan menarik-narik bajunya, menungguinya di depan rumah (bahkan sampai bermalam di teras), memanjat pagar rumah, atau membaca puisi di depan rumah.
Tapi, yang paling bikin sedih Maya ialah ulah para pembajak yang mencuri album shalawatnya. Praktis, semua albumnya selalu dibajak sehingga ia banyak merugikan. "Baru seminggu masternya keluar, kaset bajakannya sudah beredar," katanya sedih.
AST/Ft AST
Caption:
Lead
Bersama orangtuanya. Belajar qiraah dan shalawat sejak kecil
Bersama Habib Husein Alaydrus. Suara Maya mirip suara Ummu Kultsum

Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Haul)

Seimbangkan Hablumminallah dan Hablumminannas

Habib Husein bin Hadi Al-Hamid adalah seorang waliyullah yang berusia panjang. Anugerah usia panjang ini, antara lain, karena semasa hidup ia senantiasa menyeimbangkan ibadah hablumminallah dan hablumminannas.
Sabtu sore, 11 Maret 2006, Kompleks Ponpes Islam Al-Habib Muhammad Shodiq di Desa Brani Kulon, Maron, Probolinggo, Jawa Timur, telah didatangi muhibin yang hendak menghadiri acara Haul Habib Husein bin Hadi Al-Hamid, salah seorang waliyullah yang tersohor di kawasan itu.
Menurut sahibulbait, Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq bin Husein bin Al-Hamid, cucu Habib Husein, sang wali lahir di Hadramaut, Yaman Selatan, tahun 1862 M, dari pasangan Habib Hadi bin Salim Al-Hamid dan Ummu Hani. Dari kecil, Habib Husein dididik langsung oleh kedua orangtuanya. Habib Hadi dikenal sebagai salah seorang wali yang kesohor di Hadramaut.
Di usia 86 tahun, pada 1929 M, Habib Husein masih senang mengembara ke berbagai negeri, termasuk ke Gujarat, India, dengan menggunakan kapal laut bersama saudagar Arab. Sejak itu ia meninggalkan Yaman dan tidak pernah kembali lagi.
Habib Husein tinggal di Gujarat selama dua tahun. Setelah itu, dia mengembara ke Indonesia dengan menggunakan kapal saudagar yang menuju Batavia. Selanjutnya ke kota Pekalongan dan berguru kepada seorang wali besar, yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas, hingga beberapa tahun.
Kepada wali yang sangat terkenal di kota Pekalongan itu, Habib Husein mendalami ilmu kewalian. Dan, sebagai tanda bahwa Habib Husein telah mencapai maqam kewalian, dia dihadiahi sebuah sorban dan kopiah putih dari Habib Ahmad Alattas.
Atas pesan gurunya, Habib Husein kemudian mengasah ilmu kepada Habib Muhammad bin Muhammad Al-Muhdhor, yang tidak lain adalah guru Habib Ahmad Alatas. Selama menjadi murid Habib Muhammad, Habib Husein senantiasa mendapat perintah untuk berdakwah ke berbagai daerah.
Salah satu tugasnya yang terakhir dari gurunya itu, Habib Husein diperintahkan untuk menyebarkan dakwah ke Desa Brani Kulon pada 1939. Saat itu kondisi Desa Brani masih berupa hutan belantara dan banyak sarang penyamun.
Ibadah amaliah rutin Habib Husein adalah tiap habis maghrib membaca Ratib Hadad, membaca shalawat 12.000 kali dalam semalam, shalat Subuh berjamaah, al-Wirdul Lathif dan wirid-wirid lainnya. Amal Habib Husein bukan saja ibadah kepada Allah SWT, hablumminnallah, tapi juga menjalin hubungan yang erat dengan sesama, hablumminannas. Tak pelak, dengan keseimbangan amaliah itu, dakwahnya diterima dengan baik oleh masyarakat luas.
Habib Husein termasuk seorang waliyullah yang berumur panjang dan jauh dari penyakit. Ketika ditanya kenapa ia selalu sehat, Habib Husein menjawab, "Di hati saya, tidak ada sedikit pun rasa iri dan dengki terhadap orang lain." Kunci Habib Husein berumur panjang, antara lain, ia secara istiqamah shalat Subuh berjamaah di masjid dan gemar melakukan jalan kaki sekitar satu jam.
Habib Husein wafat hari Jumat Legi, 11 Safar 1406 H/25 Januari 1986, dalam usia 124 tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah utara Masjid Al-Mubarok, Desa Brani Kulon.
Selepas shalat Isya berjamaah, tepat pukul 21.00 para santri dan jamaah mengadakan acara Khataman Quran di kompleks makam Habib Husein. Acara dipimpin Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq dan berakhir pada pukul 23.00.
Puncak acara haul sendiri berlangsung pada hari Minggu (12/3). Sejak pagi hari, jamaah kaum muslimin dari berbagai kota sekitar Probolinggo telah berkumpul di seputar Masjid Al-Mubarok. Mereka datang dengan kendaraan pribadi maupun mobil carteran. Tak kurang, jamaah yang hadir mencapai 35.000 orang.
Ketika jarum jam tepat menunjuk pukul 09.00, acara haul disambut dengan pembacaan Kasidah Burdah yang dibawakan oleh kelompok hadrah Mamba ’Ali dari Desa Alas Tengah pimpinan Habib Umar Ba’Ali. Kurang lebih acara berlangsung sekitar satu jam. Acara dilanjutkan dengan pembacaan maulid Simthud Durar secara bergantian. Dimulai oleh Habib Abdul Qadir bin Muh Shodiq bin Husein Al-Hamid, lalu Habib Syekh bin Salim Al-Muhdhor, Habib Thalib bin Salim Al-Muhdhor, Habib Hasan bin Muhammad bin Hud Assegaf, Habib Idrus Baraqhbah, Habib Umar Ba’Ali, Habib Syekh bin Ahmad Assegaf, dan Habib Syekh bin Abubakar. Pembacaan doa Maulid oleh Habib Muhammad Shodiq bin Husein bin Hadi Al-Hamid.
Bupati Probolinggo, H. Hasan Aminuddin, dalam sambutannya, selain mengucapkan selamat datang kepada jamaah, juga mengajak mereka meneladani perjuangan Habib Husein bin Hadi Al-Hamid. "Almarhum adalah orang yang istiqamah mengamalkan Islam Ahlussunah wal Jama’ah."
Sementara itu, tausiyah utama disampaikan oleh Habib Muhammad Shodiq bin Husein bin Hadi Al-Hamid, pengasuh Pondok Pesantren Islam Al-Habib Muhammad Shodiq, Desa Brani Kulon. "Berjuanglah dengan landasan taqwa, wasilah, dan tepat dalam wadahnya. Sehingga tujuan sebuah tatanan masyarakat yang baldatun thayibatun warabun ghafur tercapai," katanya.
Acara haul diakhiri dengan doa penutup Habib Thalib dan Habib Hasan. Selanjutnya para jamaah dijamu dengan nasi kebuli puluhan ribu piring.
AST/Ft. AST
Caption:
Lead
Suasana haul Habib Husein. Dihadiri ribuan kaum muslimin
Habib Muh Shodiq bin Husein Al-Hamid (di podium). Meneladani perjuangan almarhum
Jamaah menyimak tausiyah. Mengharap berkah haul
Habib Husein bin Hadi Al-Hamid. Istiqamah shalat Subuh
Jamaah menghadiri haul Habib Husein. Memenuhi jalanan

Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus (Figur)

Figur

Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus

Pakar Hadits Kota Malang

Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus rajin menyampaikan tausiah di sejumlah masjelis taklim di Jawa Timur. Dia dikenal sebagai salah satu pengajar ilmu hadits yang mumpuni dari kota Malang.
Reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui kaum muslimin di Jawa Timur. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajah ulama yang shaleh ini selalu tampak bersih, tutur katanya halus dan dengan gaya bertutur yang enak didengar. Dia dikenal sebagai pakar hadits yang mumpuni dari kota Malang. Selain rajin memberi ceramah di berbagai tempat, ia juga berstatus sebagai pengajar tetap Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang, Jawa Timur.
Dialah Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, yang lahir di Malang, 18 Juni 1957. Sejak kecil dia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. Pendidikan dasar Habib Soleh terasah sejak ia masuk Madrasah Ibtidaiyah At-Taroqi, Malang, yang dikelola ayahnya, Habib Ahmad bin Salim Alaydrus. "Ayah adalah orang yang betul-betul mencintai pendidikan. Hampir 30 tahun hidupnya disumbangkan untuk Madrasah At-Taroqi," kesan Habib Soleh.
Selain cinta pendidikan, Habib Ahmad juga dalam kehidupan sehari-hari sangat sederhana. "Beliau adalah orang yang wara’, dan hanya mau makan dari hasil jerih payahnya sendiri. Ini yang sulit ditiru banyak orang pada zaman sekarang."
Selepas lulus dari madrasah, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan Tsanawiyah di Ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Pada pondok pesantren ini ia mempelajari dasar-dasar ilmu hadits dari Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Bilfagih. Banyak kesan selama ia menimba ilmu di ponpes yang berdiri sejak 12 Rabiul Awal 1364 H/12 Februari 1945 ini.
Habib Soleh sangat mengagumi sang guru, Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, yang sekaligus mertuanya. Ia memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. "Habib Abdullah, menurut saya, sangat kuat dalam menghafal hadits. Ia hafal jutaan hadits serta sanad-sanadnya dan nama-nama kitab sekaligus halamannya," ujarnya.
Selepas dari Pondok Pesantren Darul Hadist Al-Faqihiyyah, Habib Soleh kemudian belajar di Ribath Maliki, Makkah. Sejak 1997, dia belajar agama kepada Imam Assayid Muhammad Al-Maliki. Baginya, Sayid Muhanmmad Maliki tidak sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi.
Selama mengaji di Ribath Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, ia sangat menyenangi pelajaran hadits. Terutama kitab Shahih Bukhari. "Shahih Bukhari merupakan dasar hukum-hukum Islam yang ada, karena itu sangat saya gemari," kata Habib Soleh.
Di dalam tradisi Ribath Maliki, kitab Bukhari dan Muslim bila diajarkan selalu diulang, dan pengulangannya secara mendetail. Selain kedua kitab hadits utama itu, dia juga mempelajari kitab ummahatus sitt (induk kitab hadits yang enam), seperti kitab hadits dari Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi.
Belajar di Ribath Maliki sering dilakukan di Masjidil Haram. Semua murid Sayid Maliki ini duduk sekitar empat sampai lima jam. Padahal santri-santri banyak yang mengeluh sering beser (kencing). Hingga akhirnya beberapa santri memberanikan diri bertanya pada Sayid Muhammad, "Bagaimana kami sering kencing (beser)?"
Mendengar pertanyaan santri-santrinya, Sayid Muhammad menjawab, "Wahai anak-anakku, air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja. Sekarang doakan agar tidak kencing selama di Masjidil Haram."
Benarlah apa yang diucapkan oleh sang guru, semua santri kemudian minum air zamzam sambil memohon untuk tidak kencing selama di Masjidil Haram. Padahal tiap 15 menit mereka minum air zamzam itu. Perkataan sang guru ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja, pasti terkabul."
Selama di Makkah, ia bersama santri-santri Indonesia yang lain, seperti Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Hadad (Al-Hawi), Habib Ahmad bin Husein Assegaf (Bangil), Muhammad bin Idrus Al-Hadad, dan Muhammad bin Husein Alatas (cucu Habib Ali Bungur), Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi (Probolinggo), dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan ulama pesantren, di antaranya K.H. Thoefur Arafat (Purworejo), K.H. Jauhari (Magelang), K.H. Ali Karar (Madura), dan lain-lain.
Banyak pengalaman yang menarik selama dia menimba ilmu di Ribath Maliki. Hampir setiap malam Sayid Muhammad Al-Maliki mengajak santri-santrinya ke Masjidil Haram. "Kalau dia masuk ke masjid, banyak orang yang datang kepadanya. Sayid Maliki sudah menyiapkan sedikit bekal. Dan terkadang dalam tasnya ada uang untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan," kenang Habib Soleh mengenai sosok gurunya itu.
Tidak jarang, kata Habib Soleh, hampir semua santrinya diajak ke rumah orang-orang jompo untuk membagi-bagikan bantuan. Selepas itu mereka kembali ke Masjidil Haram untuk mengaji. "Kami didoakan, insya Allah, menjadi ulama yang barakah dan bermanfaat ilmunya."
Setelah menempuh pendidikan di Ribath Maliki selama sepuluh tahun, Habib Soleh pulang ke Indonesia tahun 1988. Kemudian ia menikah dengan salah satu putri Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih dan sekaligus mengajar di Ponpes Darul Hadits. Ia juga membuka majelis taklim di rumahnya, Jln. Bareng Raya Gg. 1 No. 2, yang bernama Majelis Taklim wa Dakwah lil Habib Soleh Alaydrus. Pengajian dilakukan setiap hari Jumat, Senin, dan malam Rabu.
Sekarang aktivitasnya banyak dicurahkan untuk mengajar, di samping menjadi kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah At-Taroqi. "Pada bulan-bulan tertentu, saya juga menyempatkan diri mengisi tausiah, seperti di Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam," kata bapak enam anak (empat putra dan dua putri) ini.
Adapun materi yang disampaikan dalam tiap taklimnya, Habib Soleh merujuk kitab-kitab ulama salaf, seperti Minhajuth-Thalibin, karya Imam Nawawi, Al Muhadzdzab, karya Imam Ishaqi As-Sirazi, untuk tasawuf; sedang kitab hadits rujukannya adalah Al Adzkar an-Nawawiyah. Minhajul Qawim, karya Syekh Bafadhal, Sabilul Iftikar, karya Habib Abdullah Al-Hadad, Jauharud Tauhid, karya Al-Jazairi, Ihya Ulumiddin, Bidayatul Hidayah, karya Imam Ghazali, Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari, Jam’u jawawi, karya Imam Subkhi, An-Nasaih ad-Diniyah, karya Habib Abdullah Al-Hadad.
Selain berdakwah lewat taklim, dia juga telah mengarang 11 kitab yang dijadikan acuan dalam mengajar di banyak pondok pesantren. Kitab-kitab itu, di antaranya, Asy-Syafiyah fi Istilahatil Fuqaha’ asy-Syafi’iyyah, Faidhul Allam fi Akhkamis Salam, Annasyrul Fa’ikh fi Tartibil Fawatih, Is’aful Muhtaj fi Syarhi al-Qilat al-Murajahah fil-Minhaj, Nailul Arab fi Muqaddimatil Khuthab, Lawami’un Nurissany fi Manaqibil Imam Muhammad Al-Maliki al-Hasany, Al-Injaz fi Matsali Ahlil Hijaz.
AST/Ft. AST
FOTO:
Foto calon Cover majalah dan lead figur sudah di Emma, lagi dipilih...
Caption:
Cover. Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus (pada Mbak Emma)
Lead Figur (Foto ini juga pada Mbak Emma)
Bersama para habib. Rujukannya banyak
Sedang memberi tausiah. Rajin bertaklim
Bersama Habib Ahmad bin Zein. Bertahun-tahun menimba ilmu di Makkah
Sedang berceramah. Penulis kitab yang produktif

Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa (Figur 4)

Guru para Kiai dan Habaib

Ia dikenal sebagai guru para ulama dan habaib. Seperti ulama yang lain, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Meski sudah berusia 85 tahun, ia masih membuka taklim di Surabaya.
Sore itu langit cerah. Suasana di sekitar sebuah gedung di perkampungan Arab Jalan Kalimasudik II Surabaya tampak lengang. Melalui lorong gang sempit di kawasan yang tak jauh dari kompleks Ampel, alKisah sempat berziarah ke rumah Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa, seorang ulama yang kini sudah berusia 85 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai muballigh di berbagai majelis taklim di Jakarta. Bisa dimaklumi jika cukup banyak santrinya yang kini menjadi ulama di Jakarta, seperti K.H. Abdurrahman Nawawi, K.H. Thoyib Izzi, K.H. Zain, dan lain-lain.
Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 1921, Habib Syekh Al-Musawa putra pasangan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Musawa dan Sayidah Sa’diyah. Sejak kecil, putra kedua dari tiga bersaudara ini dididik langsung oleh ayahandanya, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya. Pada 1930, menginjak usia sembilan tahun, ia belajar ke sebuah rubath (pesantren) di Tarim, Hadramaut. Di sana ia berguru kepada Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiry, pengarang kitab Al-Yaqut an-Nafis, dan Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, pengasuh Rubath Tarim. Ia belajar fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, dan tasawuf, selama 10 tahun.
Namun yang paling ia senangi ialah tasawuf. "Pelajaran tasawuf sangat saya senangi, karena merupakan salah satu jalan manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga menganjurkan orang menjadi bijaksana dan lebih berakhlak," kata Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Selain itu, menurut dia, tasawuf mudah dipelajari – baik dalam keadaan senang maupun susah. Maka ia pun dengan tekun mempelajari kitab tasawuf karya Imam Ghazali, seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain.
Semangat belajarnya yang tinggi membawanya belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Meski waktu itu Timur Tengah tak lepas dari imbas suasana Perang Dunia I, tekadnya yang besar tak menyurutkan langkahnya menuju Makkah. Di tengah kecamuk perang itulah, dengan mengendarai unta ia berangkat dari Tarim ke Makkah. Di tengah perjalanan Habib Syekh Al-Musawa terpaksa singgah di beberapa desa, bahkan sempat pula mengajar di perkampungan Arab Badui. Bisa dimaklumi jika perjalanan itu makan waktu sekitar dua bulan.
Di Tanah Suci, ia langsung belajar kepada Sayid Alwy bin Muhammad Al-Maliky. Bermukim di Makkah sekitar lima tahun, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa juga berguru kepada Habib Alwy Shahab, Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus, dan Sayid Amin Al-Kutbi. Di Makkah, ia sempat bertemu para santri asal Indonesia, seperti Habib Ali bin Zain Shahab (Pekalongan), Habib Abdullah Alkaf (Tegal), Habib Abdullah Syami Alatas (Jakarta), Habib Husein bin Abdullah Alatas (Bogor).
Islamic Centre
Pada 1947 Habib Syekh Al-Musawa pulang, lalu menikah dengan Sayidah Nur binti Zubaid di Surabaya. Tak lama kemudian ia mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, sambil berguru kepada Habib Muhammad Assegaf di Kapasan, Surabaya. Setelah gurunya itu wafat, ia menggantikan mengajar di majelis taklim almarhum. Tiga tahun kemudian Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa pindah ke Jakarta, mengajar setiap Minggu pagi di majelis taklim Kwitang yang diasuh oleh Habib Muhammad Alhabsyi selama enam tahun. Ia membantu Habib Muhammad membangun Islamic Centre Indonesia (ICI), antara lain berangkat ke beberapa negara Islam di Timur Tengah pada 1967 untuk mencari dana pembangunan ICI.
Setelah pembangunan ICI selesai, Habib Syekh Al-Musawa mengajar majelis taklim asuhan K.H. Muhammad Zein di Kampung Makassar, Kramat Jati, selama setahun. Dan sejak 1971 ia mengajar di Madrasah Az-Ziyadah asuhan K.H. Zayadi Muhajir selama 30 tahun. Setelah Kiai Muhajir wafat, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menggantikan almarhum mengasuh taklim sampai 2003. Selain mengajar di Az-Ziyadah, ia juga mengajar di majelis taklim Habib Muhammad bin Aqil bin Yahya di Jalan Pedati, Jakarta Timur. Bukan hanya itu, ketika itu ia juga mengajar di 30 majelis taklim lain di berbagai tempat di Jakarta.
Pada 2003, Habib Syekh Al-Musawa kembali ke Surabaya, tinggal di rumahnya yang sekarang di Jalan Kalimasudik II. Bapak delapan anak ini (dua putra, enam putri) sekarang lebih banyak beristirahat di rumah. Meski begitu, banyak santri dari sekitar Surabaya yang datang mengaji kepadanya. Ia mengajar fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.
Saat ini fisiknya memang sudah berubah. Dulu gagah dan tampan, kini agak kurus, sementara wajahnya tampak agak cekung. Hanya dua-tiga patah kata yang ia bisa ucapkan, itu pun tentu saja tak lagi lantang seperti dulu ketika masih muda, saat ia masih bergiat sebagai muballigh. Jalannya pun tak lagi gesit.
Meski begitu, semangatnya untuk membangkitkan dakwah masih bergelora. Ia, misalnya, tetap menyampaikan tausiah, meski hanya kepada para tamunya.
Sorot matanya pun masih jernih, pertanda jiwa dan kalbunya bersih pula. Dengan segala keterbatasannya, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menerima tamu dengan hangat. Meski sulit berbicara, ulama yang selalu mengenakan gamis dan serban putih ini justru lebih sering menanyakan kondisi kesehatan tamunya.
Selain mengajar privat para santri yang datang ke rumah, ia masih sempat mengajar tasawuf di Majelis Burdah asuhan Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus di Jalan Ketapang Kecil setiap Kamis sore sampai menjelang maghrib. Salah satu buah karyanya yang mutakhir ialah kitab Muqtathafat fi al-Masail al-Khilafiyyah (Beberapa Petikan Masalah Khilafiah). Dan kini, meski sudah agak uzur, ia masih bersemangat menyelesaikan sebuah kitab tentang pernikahan dalam pandangan empat ulama madzhab.
AST/Ft. AST
Caption Foto:
Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa (untuk Pin Up)
2. Habib Syekh bersama seorang anaknya. Masih bersemangat berdakwah
3. Habib Syekh usia 60-an tahun. Mengajar 30 majelis taklim
4. Habib Syekh Al-Musawa di ICI Kwitang, Jakarta. Berdakwah ke berbagai pelosok

Habib Hasan bin Umar Baagil (Figur 3)

Pengasuh Darul Mustafa Jawa Timur

Selain sering mengisi taklim di berbagai daerah pinggiran di Jawa Timur, Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda, salah satu cabang Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut.

Usianya baru 30 tahun, tapi reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui oleh kaum muslimin di Surabaya. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajar, karena ia adalah salah satu alumnus Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut. Wajah ulama muda yang shaleh ini, selain ganteng, juga bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya yang enak didengar. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, yang dibiarkannya terjurai. Kalau sedang memakai iqamah, ulama muda ini mirip Habib Munzhir Al-Musawa, pengasuh Majelis Taklim Rasulullah di Jakarta.
Dialah Habib Hasan bin Umar Baagil, putra Habib Umar Baagil, salah seorang ulama yang terkenal di Surabaya. Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Ponpes Al-Huda, di Jln. K.H. Mas Mansyur 220 Surabaya. Ponpes Al-Huda bisa dikatakan satu-satunya cabang Pondok Darul Mustafa di Jawa Timur.
Lahir di Surabaya, pada 28 Desember 1976, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. “Sejak kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di Surabaya. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa kiai dan habib yang termasyhur,” kenang Habib Hasan.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu juga yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. “Ketika masih kecil, saya pernah dititipkan ke Ponpes Darut Tauhid di Malang untuk belajar agama. Di Malang, sehari-hari saya tekun belajar agama. Pengalaman yang sungguh mengesankan,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Di Ponpes Darut Tauhid ini ia menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA. Sepulangnya dari Malang, ia memperdalam agama pada Ustadz Ahmad Baraja Surabaya. Selama di majelis taklim Ustadz Ahmad Baraja, ia juga sempat belajar pada ayahanda, sang Ustadz Umar bin Ahmad Baraja. ”Beliau adalah salah seorang ulama di kota ini. Cara mengajarnya mengesankan.”
Kemudian, pada 1995 ia berangkat ke Hadramaut dan belajar di Ribath Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar bin Hasan sangat bersyukur bisa belajar di pesantren yang mencetak ribuan santri muda terkemuka di seluruh dunia ini serta menjadi benteng Madzhab Syafi’i di Yaman. Muridnya berdatangan dari mana-mana, termasuk Indonesia. “Alhamdulillah, selama di Hadramaut, kami dididik ilmu zhahir dan batin. Gemblengan ilmu agama, seperti fiqih dan tasawuf, sangat ditekankan,” tuturnya.
Selama di Hadramaut, Habib Umar bin Hasan mendapat bimbingan dari Habib Umar bin Hafidz, Habib Abdullah As-Shahab, Habib Salim Asy-Syathiry, dan Habib Hasan Syathiry. Namun guru yang paling berkesan baginya selama di sana adalah Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar, menurutnya, bukan sekadar guru biasa, tapi juga sumber inspirasi. “Kalau beliau sedang memberikan wejangan, sangat menyentuh hati, terutama saat berbicara di majelis Maulid,” kata Habib Hasan.
Dan yang paling mengesankan dari sang guru adalah semangatnya dalam berdakwah. “Hampir setiap Senin malam membuat pengajian terbuka yang dinamakan Jalsatul Isnain. Pengajian ini unik, sebab dilaksanakan di jalan raya, yang dihadiri masyarakat kota Tarim,” tambahnya.
Santri-santri dari Indonesia yang ada di Ribath Tarim, di antaranya, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Munzhir Al-Musawa, Habib Ahmad bin Novel, Habib Soleh Al-Jufry (Surakarta).

Kiblat Pelajaran
Selepas lulus dari Darul Mustafa tahun 2003, ia menetap di Surabaya. Ia langsung mengajar di Pesantren Al-Huda, yang saat itu masih diasuh oleh sang ayah. “Dan, karena Ponpes Al-Huda merupakan cabang Ponpes Darul Mustafa Tarim Hadramaut yang ada di Jawa Timur, arah dan kiblat pelajaran Al-Huda sama persis seperti Pondok Darul Mustafa Hadramaut,” ujar bapak satu putra ini.
Untuk menjadi santri Al-Huda, ada beberapa syarat utama. Selain punya kemauan kuat untuk belajar menuntut ilmu bidang fiqih, nahwu, dan hadits, calon santri juga harus sudah bisa memahami berbicara dan menulis bahasa Arab dengan baik. “Syarat utama menjadi santri di Pondok Al-Huda ini adalah umur santri di atas empat belas tahun, laki-laki, bisa membaca Al-Quran, dan mendapat izin dari orangtua atau wali santri,” katanya.
Di Pesantren Al-Huda, para santri mempelajari kitab secara berjenjang, dari yang yang mudah hingga yang paling puncak. Misalnya, dalam ilmu fiqih, para santri mempelajari kitab Risalatul Jami`ah, Safinatun Naja, Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, Matan Abi Suja’, Az-Zubad, Yaqutun Nafis, `Umdatus Salik, hingga Minhajuth Thalibin, sering disebut salah satu puncak kitab ilmu fiqih Madzhab Syafi’i.
Dalam program bahasa Arab, mereka mempelajari kitab Al-Ajurumiyyah, Mutammimatul Ajurumiyyah, dan Alfiyyah Ibni Malik. Sementara untuk tauhid, para santri mengkaji kitab Aqidatul `Awam, Al-Aqidah, karya Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dan, dalam bidang hadis, mereka membedah kitab Mukhtarul Ahadis, karya Habib Umar bin Hafidz, dan Arba`in An-Nawawiyyah (empat puluh hadits himpunan Imam Nawawi). Khusus untuk tasawuf, para santri menelaah kitab Risalatul Mu`awanah dan karya-karya lain Habib Abdullah Al-Haddad, serta Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumiddin, karya Imam Ghazali.
Pada perkembangan terakhir, para santri juga mendapat pendidikan keterampilan menggunakan komputer dan latihan pidato. “Ini semua untuk meningkatkan keterampilan santri dalam mengembangkan dakwah,” tambah Habib Hasan.
Selain disibukkan sebagai pengajar Pondok Al-Huda, Habib muda ini juga berdakwah ke masyarakat. Ia dikenal sebagai dai yang banyak disukai kalangan muda, karena materi dakwahnya sering menyentuh persoalan remaja, seperti narkoba, kenakalan remaja, dan lain-lain. Pada setiap hari Senin, Habib Hasan pagi membuka taklim di rumahnya yang diikuti masyarakat sekitar kawasan Kapasan (Jln. K.H. Mas Mansyur), dan tentu saja para santri dari Ponpes Al-Huda.

AST/Ft. AST
\\NS1\alkisah_komp\SBY\Habib Hasan bin Umar Baagil
Foto Cover sudah di Emma (pada Alkisah Redaksi)

Caption:
Habib Hasan bin Umar Baagil
Habib Hasan bersama santri-santrinya. Calon ulama masa depan
Santri-santri Al-Huda belajar komputer. Membekali diri menjadi dai yang tangguh
Pondok Pesantren Al-Huda. Cabang Darul Mustafa di Jawa Timur

Habib Husein bin Abdullah Assegaf (Figur 2)

Telaga Ilmu Kota Gresik

Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad Assegaf adalah tokoh penting. Ilmunya bak telaga yang tak pernah kering, membuatnya menjadi rujukan para habib.

Di kalangan para habib di Jawa Timur, nama Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad Assegaf memiliki tempat tersendiri. Dia dianggap wali dengan kedudukan dan kedekatan di hadapan Tuhan. Orang yang belum pernah ketemu dengannya tentu tak menyangka dia seorang ulama besar. Orangnya sangat terbuka dan tak pernah mengagungkan dirinya di hadapan orang lain. Setiap orang yang datang, selalu diajaknya bicara dengan lemah lembut dan penuh keakraban. Hampir setiap orang yang menemuinya ingin segera mencium tangannya.
Jarang keluar kota, ia lebih banyak mengajar dan sekaligus menjadi khadam (pelayan) Majelis Abubakar bin Muhammad Assegaf, di dekat rumahnya. Hampir setiap hari ia mengajar kitab Ihya Ulumuddin dan kitab-kitab klasik kepada jamaahnya. Puncaknya pada pertengahan bulan Dzulhijjah pada saat haul Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf.
Di majelis ini, dia menemui banyak tamunya, yang tak pernah sepi. Rumah Habib Abubakar ini senantiasa terbuka untuk siapa saja. Ia kerap berbicara dalam bahasa Arab dengan tamu-tamunya, dengan bahasa Arab yang tinggi, yang menandakan keterpelajarannya serta kualitas pengetahuannya.
Wibawa Habib Husein akan terlihat jika ia tampil dalam kerumunan kalangan habaib. Misalnya, pada suatu acara rauhah (acara kekeluargaan di kalangan Alawiyyin – keturunan Alawiy). Tepat habis shalat Ashar, orang-orang dengan baju putih-putih mulai berdatangan ke tempat itu. Aroma wangi menonjol sekali dari asap dupa kayu gaharu khas Arab.
Para tamu duduk berimpitan menghadap Habib Husein, yang diapit beberapa habib sepuh. Acara rauhah dimulai dengan pembacaan kasidah oleh seorang sayid muda yang juga mengenakan pakaian serba putih. Ia melantunkan kasidah berbahasa Arab yang dikutip dari syair-syair lama tentang puja-puji kepada Rasulullah. Suaranya melengking tinggi dalam nada Syikah, lantas turun rendah mendayu-dayu dalam nada Nahawand.
Semua orang dibuat khusyuk mendengarkan kasidah sayid muda itu. Selanjutnya, beberapa habib muda membaca lembar demi lembar kitab Ihya Ulumuddin, karya Hujjatul Islam Al-Imam al-Ghazali, di hadapannya. Dengan kata-kata lembut, sang habib menggunakan bahasa Arab membetulkan satu per satu setiap kesalahan bacaan dari para habib yang datang di acara khataman kitab Ihya itu.
Habib Husein memang memiliki banyak kelebihan di luar habaib yang lain. Di samping sebagai sesepuh para habib di kota Gresik dan sekitarnya, ia juga dikenal sebagai salah seorang yang cakap menggunakan bahasa asing – tak kurang tiga bahasa asing dikuasainya: Inggris, Prancis, dan tentu saja bahasa Arab. Tidak mengherankan, karena ia banyak bergaul dengan ulama-ulama yang ada di luar negeri.
Banyak hal yang dapat digali dari Habib Husein. Salah satunya adalah penguasaan khazanah kesejarahan wali-wali Allah asal Hadramaut. Yang luar biasa, keterangan yang diberikan dalam mengomentari para tokoh tersebut diucapkan di luar kepala. Lelaki kelahiran Surabaya tahun 1941 ini memang dikenal sebagai tokoh yang mumpuni.
Mengenal tokoh ini seperti mengenal biografi berjalanan. Hal itu ditunjukkan dengan kepiawaian Habib Husein dalam meriwayatkan berbagai tokoh di balik sejarah Islam dan ulama-ulama Hadramaut. Kepiawaiannya dalam hal ini bisa dilihat ketika ia menjelaskan dengan cermat para tokoh ulama Hadramaut. Misalnya, tentang kehidupan Al-Faqihul Muqaddam, Habib Abdullah Al-Hadad (Shahiburratib), dan seluruh nama besar dari kalangan keturunan Rasulullah dari Sayyidina Husein bin Ali. Dengan tutur kata yang halus, ia bercerita tentang sisi lain para pendahulu itu. Habib menyebut tahun atau usia seorang tokoh secara akurat.
Jangan heran, kepandaiannya ini, baik dari segi bahasa maupun sejarah para auliya’ Hadramaut, mengantarkannya menjadi pemandu bagi 55 kiai terkemua di Jawa Timur, untuk tur ziarah dan umrah pada biro perjalanan umrah dan haji Al-Mastur, pimpinan H. Bargowi, di Surabaya sejak tahun 2005.

Mengaji sejak Kecil
Sejak kecil mengaji pada Madrasah Al-Khairiyah sampai tahun 1955. Pendidikannya kemudian berlanjut dengan belajar kepada Habib Abdulqadir Bilfagih di Pondok Pesantren Darul Hadist Malang sampai 1958.
Pada 1958, dia kembali ke Surabaya dan menetap di Jln. Ketapang Adiguno. Di lingkungan Ampel ini, ia belajar fiqih dan nahwu sharaf kepada Habib Muhammad bin Ahmad Assegaf, salah seorang ulama terkemuka Surabaya yang tinggal di kawasan Kapasan. Menurutnya, Habib Muhammad bin Ahmad Assegaf adalah ulama yang alim, ahli fiqih setaraf dengan mufti, pemberi fatwa.
“Orang-orang tertentu yang mengenal dia mengetahui kebesaran dan keilmuan Habib Muhammad bin Ahmad Assegaf. Banyak ulama yang menanyakan masalah-masalah fiqih kepadanya. Kalau ada masalah yang tidak dapat dipecahkan, larinya ke Habib Muhammad,” kata Habib Husein mengomentari gurunya itu.
Menurut Habib Husein, Habib Muhammad adalah orang yang sangat sederhana. Namun di balik kesederhanaannya itu tersimpan mahkota ilmu yang luas. Habib Muhammad pernah bercerita kepadanya, ”Andai kata ada masalah fiqih, saya bisa memberi fatwa dengan empat madzab dengan dalil dan ilat-nya,” demikian Habib Husein menirukan perkataan Habib Muhammad.
Di majelis taklim Habib Muhammad bin Ahmad Assegaf inilah, banyak juga ulama seangkatannya yang belajar kepada sang habib, seperti Habib Abdurrahman bin Seggaf Assegaf, Habib Hamid bin Seggaf, Habib Alwi Al- Hasani, dan lain-lain. “Saya termasuk yang paling muda waktu itu,” katanya.
Banyak hal yang menarik dari sosok Habib Muhammad Assegaf. Di antaranya, dia dikenal sebagai ulama yang tawadhu’. “Meskipun, dari yang hadir, dia didebat, Habib Muhammad tidak marah.Yang dikatakan, ‘Kau salah. Tidak percaya? Coba kau rujuk lagi’. Setelah seminggu datang untuk dirujuk, betul apa yang dikatakan Habib Muhammad. Sekalipun dibantah, ia tidak pernah marah-marah,” demikian kesan Habib Husein terhadap gurunya.
Selepas dari kota Surabaya, ia pindah ke kota Gresik tahun 1972 dan menikah di kota itu. Kini dia dikaruniai 12 anak, tiga putra dan sembilan putri. Di kota Gresik inilah ia mempelajari tasawuf kepada Habib Ali bin Abubakar bin Muhammad Assegaf. Setiap hari, ia mengaji kitab Ihya Ulumuddin dengan tekun. ”Inti-inti ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT itu dipelajari dari ilmu-ilmu tasawuf,” katanya.
Akhir 1982, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, yang meneruskan tradisi mengajar di Majelis Taklim Abubakar bin Muhammad Assegaf, mengatakan, ”Husein, siapa di antara kita yang mati dulu harus mengawasi anak-anak. Jadi, seumpama saya mati dulu, Habib Ali yang mengawasi anak saya. Begitu pula jika Habib Ali mati dulu, sayalah yang mengawasi anak-anaknya.”
Selepas Habib Ali meninggal, Habib Husein mulai mengajar taklim di majelis ini sampai sekarang. Dan yang saat ini ia kerjakan di majelis taklim hanya meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh Habib Abubakar. ”Saya hanya melanjutkan.”
Kini, setiap pagi ia mengajar kitab Ihya Ulumuddin secara rutin di majelis taklim. Tidak hanya itu, dia juga mengajar taklim di majelis-majelis yang ada di sekitar rumahnya. Keinginannya yang belum tercapai adalah membuka pondok pesantren di Gresik dengan anak-anak muda dari lulusan Hadramaut.
“Tempatnya sudah ada, dan sudah diberi nama oleh Habib Umar bin Hafidz, yaitu Pondok Pesantren Al-Ridwan. Insya Allah, satu tahun lagi dibuka,” ujarnya.

AST/Ft. AST

Foto: Komp_SBY\Komplet Habib Husein Gresik


Caption Foto:
Habib Husein di tengah jamaah. Selalu menjadi sumber rujukan
Habib Husein saat arak-arakan. Menjadi rujukan para habib
Habib Husein membaca maulid. Majelisnya dipenuhi dengan ilmu
Bersama Habib Abdulqadir dan Habib Abubakar. Seperti anak sendiri

Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaf (Figur 1)

Lebih Banyak Menjaga Akidah

Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berdakwah. Berbagai tempat telah ia rambah, untuk membentengi umat dari pendangkalan akidah.

Gaya berdakwah dai yang satu ini sangat khas, suara bariton yang berat dan dalam. Orasinya terkesan galak, penuh nada kritik namun bertanggung jawab. Sesekali dalam ceramahnya, ia menyelipkan canda-canda yang segar. Sehingga, dalam tiap pengajian yang diisi olehnya, ribuan jamaah betah mendengarkan sampai acara pengajian berakhir.

Jamaahnya banyak tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Dialah Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaf, salah satu keluarga Al-Kaf yang paling keras dalam berdakwah dari tujuh bersaudara anak lelaki Habib Abdullah Al-Kaf. Sebagai pendakwah, pria kelahiraan Tegal, 15 Agustus 1960, ini dikenal sangat konsisten dalam membentengi umat dari pendangkalan akidah, terutama oleh berkembangnya aliran sesat.

Mengenakan baju koko putih dan bersarung, demikian tampilan sederhana habib yang sebagian besar waktunya habis untuk berdakwah ini. Ditunjang oleh sosoknya yang tinggi besar, kalau sedang berbicara di atas panggung, nada bariton yang berat dan suara menggelegar, itulah ciri khasnya. Gaya pidatonya berapi-api penuh semangat, sehingga dai ini terkesan angker. Namun, di balik kesehariannya, ia adalah seorang yang berhati lembut, bertutur kata pelan dan bersahaja.

Habib Thohir mendapatkan pendidikan agama dari ayah, Habib Abdullah Al-Kaf, yang dikenal sebagai ulama senior di Jawa Tengah. Kemudian SD dan SMP Al-Khairiyah di Tegal. Baru, pada tahun 1980, menjadi santri Sayid Al-Maliki di Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain Makkah. Dia menjadi santri selama enam tahun bersama adiknya, Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf. Habib Hamid kini dikenal sebagai muballigh dan pemimpin Pondok Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain, Jln. Ganceng, Pondok Ranggon, Cilangkap, Jakarta Timur.

Pulang ke Indonesia tahun 1986, Habib Thohir langsung terjun ke bidang dakwah, dan pernah juga menjadi ustaz di beberapa pesantren. Kini, meski berkeluarga di Pekalongan, dia lebih banyak membina umat di Tegal, khususnya di Masjid Zainal Abidin. Di masjid yang terletak di Jalan Duku Tegal itulah, dia mengadakan majelis taklim yang diberi nama "Majelis Taklim Zainal Abidin".

Dia berharap, pesantren Zainal Abidin, yang sejak lama digagasnya, akan bisa dibangun di Tegal. Sebab sudah banyak orang tua yang ingin menitipkan anaknya kepadanya. Namun, cita-citanya itu tampaknya masih akan lama terwujud, sebab sekarang jadwal berdakwahnya masih padat.

Pendangkalan Akidah

Ketika disingung dengan isu aktual berdakwah, Habib Thohir dengan penuh semangat menyatakan, tantangan terberat umat Islam saat ini adalah adanya pendakalan akidah lewat aliran sesat. "Berdakwah, menurut saya, sebenarnya lebih dari gerakan moral. Sebab saat ini umat Islam Indonesia khususnya masih sering terjebak gerakan aliran sesat. Jadi saya sekarang berkonsentrasi untuk berdakwah, lebih banyak menyoroti tentang akidah, terutama fenomena banyaknya aliran sesat itu," kata Habib Thohir membuka perbincangan.

"Jadi, kalau Habib Rizieq memerangi kemaksiatan lahiriah, seperti perjudian, mabuk-mabukan, dan pelacuran, saya lebih banyak memerangi kemungkaran dalam akidah yang diakibatkan oleh aliran sesat, seperti Ahmadiyah dan lainnya," ujar ayah dua anak ini.

Hampir dalam berbagai dakwah, entah dalam kesempatan majelis taklim, haul, ataupun seminar, dia selalu memperingatkan beberapa kesesatan yang dilancarkan kepada kaum muslimin di Indonesia. Sebab Islam di Indonesia, menurutnya, adalah Islam warisan Walisanga, yaitu Ahlusunnah wal Jamaah, bukan Syiah maupun Ahmadiyah, misalnya. Nama Habib Thohir lebih banyak dikenal oleh kaum muslimin yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Karena dia lebih senang berdakwah di daerah-daerah, bahkan masuk di pedesaan.

"Yang paling penting sekarang adalah menjaga akidah, jangan sampai ketidaktahuan mereka pada akidah Ahlussunah wal Jamaah, menjadi sasaran empuk propagandis aliran sesat yang merusak pokok-pokok kepercayaan umat Islam," kata Habib Thohir.

Habib Thohir juga mengharapkan, para ulama dan cendekiawan mempunyai sikap dan kepedulian untuk membentengi umat Islam dari kerusakan akidah. Kepada sesama Ahlussunah wal Jamaah, diharapkan tidak perlu lagi berdebat soal furu’iyyah (masalah cabang-cabang agama), seperti tahlil, Maulid, haul, dan lainnya.

"Jangan dianggap bahwa orang-orang yang menjalankan ritus ini tidak mempunyai argumentasi. Dan sewaktu berdebat dengan orang-orang semacam ini berarti berhadapan dengan saudara sendiri. Perlu diketahui juga, mayoritas umat Islam Indonesia adalah paham Ahlussunah wal Jamaah, yang senang tahlil, Maulid, haul, dan lain-lain. Dakwah semacam ini, dipastikan akan mendapat tantangan. Contoh di kota Mataram beberapa waktu lalu, sebuah pondok pesantren dibakar, karena melarang talqin. Ini bisa timbul di tempat lain," katanya dengan nada penuh prihatin.

Habib Thohir menambahkan, perdebatan semacam persoalan furu’iyyah sebaiknya segera diakhiri. Menurutnya perdebatan-perdebatan semacam itu sangat kontraproduktif bagi umat Islam. "Di saat kita membutuhkan energi, kekuatan, dan ilmu kita untuk sesuatu yang sangat berbahaya menimpa umat – terutama aliran sesat – kita kok masih berdebat soal khilafiyah?" kata bapak dua orang putra ini.

Karena panggilan rasa persatuan itulah, Habib Thohir senantiasa menggandeng semua pihak untuk bisa duduk bersama dan bahu-membahu membangun dan berdakwah untuk umat.

"Jadi paham aliran sesat dan paham-paham di luar Islam, seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme perlu diluruskan. Ini dapat merusak akidah umat Islam, karena paham-paham ini mengarah para pemurtadan. Alasannya sudah cukup kuat, yakni memutuskan akal, merekayasa fiqih lintas agama karena fiqih Islam dianggap tidak demokratis, dan berupaya meragukan kaidah keislaman," kata Habib Thohir lagi.

Amar Ma’ruf

Tekadnya untuk memerangi aliran sesat semakin mantap ketika dia menjadi pemrasaran dalam seminar Sekitar Syi’ah di Aula Masjid Istiqlal pada 1997. Sikapnya terus berlanjut dengan berbagai seminar di dalam maupun luar negeri.

"Kita diperintahkan oleh Nabi untuk bangkit, tidak diam. Mana yang bangkit? Siapa yang berjuang dan menantang arus ini (pendangkalan akidah – Red.)?"

Habib Thohir, selain berdakwah dengan pidato-pidatonya yang kerap menolak aliran sesat, juga telah menuliskan karyanya dengan judul Mengapa Kita Menolak Syiah?, serta beberapa buku lainnya. Namun, dia merasakan lebih mantap untuk menjelaskan kepada umat lewat dakwah bil lisan, sebab umat belum terbiasa untuk membaca buku.

Dia sangat menyesalkan lambannya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan. Padahal, menurutnya, gerakan aliran sesat itu sekarang masih berjalan, walaupun dalam skala yang kecil dan sembunyi-sembunyi. "Di saat orang lain diam, saya katakan, saya menyediakan diri untuk menghadapinya sekalipun sendirian!"

Ketika disinggung tentang maraknya kegiatan terorisme yang banyak menimpa umat Islam, Habib Thohir dengan keras menentangnya. "Islam tidak mengenal teroris, keberadaan orang-orang yang melaksanakan kegiatan terorisme sangat merugikan citra Islam. Sehingga dilihat, seakan-akan Islam itu kejam, keras, tidak kenal kasih sayang."

Habib Thohir sendiri merasakan betapa masyarakat kita, dan skala yang lebih luas internasional, begitu ketat dalam menanggapi fenomena terorisme. Ia mengisahkan pernah "diinterogasi" petugas intelijen dan imigrasi di perbatasan antara Malaysia dan Singapura.

Kisahnya bermula ketika dia mendapat undangan untuk mengisi peringatan haul di Masjid Ba’alawi Singapura. "Saya sampai dua jam diinterogasi, dikira teroris. Ditanya ini-itu, sampai menanyakan istri dan anak, pendidikan, sekitar dua jam. Sangat melelahkan. Itu salah satu imbas efek terorisme," kata Habib Thohir.

Bahkan tidak hanya terjadi ketika di Singapura. Pulang ke tanah air pun, dia masih merasakan efek terorisme. Ketika masuk bandara, mall, hotel, ia selalu diperiksa dengan ketat. "Ini semua karena ‘efek samping’ suatu perbuatan saudara kita yang salah sasaran. Dan ini justru menjadi kesempatan bagi orang-orang di luar Islam untuk menjelek-jelekkan citra Islam," komentarnya mengenai terorisme.

Karenanya, untuk menyudahi persoalan terorisme, Habib Thohir mengimbau umat Islam untuk mendefinisikan kembali makna dan hakikat jihad. Yakni, jihad tidak dibenarkan menggunakan bom. Menurutnya, teror bom hanya akan mengganggu kehidupan umat manusia. Jihad merupakan sarana dakwah, bukan tujuan, sehingga harus dilaksanakan secara baik, bermanfaat luas, dan jauh dari anarkisme dan kekerasan.

Jihad itu mempunyai aturan main yang sangat luas. Jadi, berjihadlah seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. "Kapan kita harus perang, kepada siapa kita berperang, dan siapa saja yang harus kita perangi? Perempuan, anak-anak, orang yang sedang beribadah sekalipun nonmuslim, tidak boleh dibunuh. Binatang tidak boleh dibunuh, bahkan pohon dan barang-barang pun tidak boleh dirusak!"

AST/SB

Caption:

Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaf

Habib Thohir dalam acara haul. Salah satu murid Syekh Maliki

Gaya Habib Thohir sedang berpidato. Suara bariton dan pidatonya berapi-api

Habib Thohir dan muhibin. Memerangi pendangkalan akidah

Habib Thohir. Jihad dalam Islam penuh dengan kasih sayang

Habib Syekh bin Salim Al-Attas ke-27 (haul 6)

Ulama dan Pejuang yang Gigih

Keluasan ilmunya telah melahirkan ulama-ulama yang mumpuni di berbagai daerah.

Perangai dan kepribadiannya yang luhur, membuatnya dihormati sekaligus dicintai berbagai lapisan masyarakat.

Sinar pagi yang cerah mengiringi langkah ribuan jemaah yang kemudian berkumpul di Pondok Pesantren Al-Masyhad, Sukaraja, Sukabumi. Pakaian mereka yang serba putih menambah keagungan acara yang akan berlangsung pada Minggu, 4 September 2005, yaitu haul seorang ulama warak ke-27, Habib Syekh bin Salim Al-Attas.

Peringatan haul ini berbarengan dengan peringatan Khataman Qiraah Al-Bukhari, sekaligus Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Tampak wajah jemaah yang datang dari berbagai pelosok tanah air, bahkan dari mancanegara, seperti Singapura dan Malaysia, bersinar memancarkan ukhuwah Islamiah di antara mereka.

Sebelum pelaksanaan haul tersebut digelar, Sabtu malam, 3 September 2005 di Pondok Pesantren Al-Masyad tersebut diadakan pembacaan Ratib Al-Attas yang berlanjut dengan ramah tamah tamu undangan, dengan hiburan musik marawis.

Tepat pukul 8 pagi, para habib, keluarga Pondok Al-Masyhad, serta tamu yang hadir, secara bergantian membaca satu per satu halaman kitab Bukhari, yang memuat sekitar 7.000 hadis sahih. Sementara itu, para jemaah menyimak pembacaan kitab hadis tersebut dengan khidmat. Di sela-sela pembacaan, terkadang diselingi lantunan kasidah dari kelompok hadrah Al-Masyhad pimpinan Ustaz Abdul Karim.

Menjelang siang, acara berlanjut dengan pembacaan manakib Habib Syekh bin Salim Al-Attas oleh Habib Zein bin Hamid Al-Attas. Kemudian, Habib Rizieq Syihab menyampaikan tausiahnya. Dengan penuh semangat, habib FPI itu menyampaikan hikmah Isra Mikraj serta keagungan cinta Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.

"Dalam perjalanan Isra Mikraj pun, Rasulullah SAW senantiasa ingat kepada umatnya. Karena itu, sepatutnya kita bersyukur kepada Allah SWT, karena mengutus rasul yang menyayangi umatnya. Allah SWT dalam Al-Quran menggambarkan bagaimana sifat Rasulullah SAW. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’." (QS 9, At-Tawbah: 128).

Kasih sayang Rasulullah SAW, kata habib berkacamata minus ini, tidak hanya pada umat ketika beliau masih hidup, tapi juga bahkan kepada umat yang akan datang sesudah beliau wafat. Sebuah hadis menggambarkan kecintaan beliau kepada umatnya: Tatkala Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabat, beliau berbicara sendiri, "Ahbabi...! Ahbabi...! (Kekasihku...! Kekasihku...!) Kapan aku melihat mereka? Kapan aku bisa bertemu orang yang paling kukasihi?"

Saat itu sahabat-sahabat yang hadir tertegun mendengar ucapan Baginda Rasulullah. Salah seorang sahabat memberanikan diri bertanya, "Ya Rasulullah, bukankah kami, yang saat ini duduk bersamamu, mengorbankan apa saja untuk perjuanganmu, adalah kekasihmu?"

Nabi Muhammad menjawab, "Kalian bukan kekasihku, akan tetapi kalian adalah sahabatku."

Jawaban tersebut membuat penasaran para sahabat. Maka ia bertanya lagi, "Kalau bukan kami yang menjadi kekasih-kekasihmu, lalu siapa gerangan para kekasihmu yang berulang kali Baginda ucapkan?"

"Kekasihku yang aku rindukan, sehingga aku ingin sekali bertemu dan berkumpul bersama mereka, adalah segolongan kaum dari umatku yang tidak pernah melihatku tapi mereka beriman kepadaku."

Jadi, kata Habib Rizieq, jangan disangka Rasulullah tidak mencintai umatnya yang belum pernah beliau lihat. "Beliau sangat mencintai kita. Karena itu, janganlah kita menyakiti beliau dengan menyimpang dari ajaran yang beliau sampaikan. Banyak-banyaklah beramal saleh dan berjuanglah di jalan yang lurus, bekali diri kita dengan ilmu yang bermanfaat."

Hafal Al-Quran

Acara puncak haul ditandai dengan pembacaan tahlil dan manakib Habib Syekh bin Salim Al-Attas. Manakib habib kelahiran Huraidhah, Hadramaut, Yaman, ini disampaikan oleh Habib Zein bin Hamid Al-Attas.

Dalam manakib tersebut diceritakan, Habib Syekh bin Salim Al-Attas adalah intelektual sekaligus guru para ulama termasyhur di Jawa. Ia cucu kesepuluh Shahibur-Ratib Al-Attas, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas.

Masa pendidikannya dimulai dari asuhan ayahnya, Habib Salim bin Umar bin Syekh Al-Attas, yang wafat tahun 1956. Saat berusia tujuh tahun, Habib Syekh memperoleh bimbingan langsung dari Habib Abdullah bin Alwi Al-Attas, ulama kelahiran Cirebon yang menetap di kota Huraidhah, Yaman. Kemudian ia mempelajari beberapa ilmu qiraat Al-Quran di bawah bimbingan Syekh Sa’id bin Sabbah, yang piawai dan terkenal dalam bidang qiraat Al-Quran.

Pada usia 12 tahun, Habib Syekh telah hafal Al-Quran secara sempurna, dan terus mendalami berbagai ilmu ushul dan furu’, pokok-pokok dan cabang-cabang pengetahuan Islam, dari Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas.

Habib Syekh hijrah ke Indonesia pada usia 27 tahun, pada 1338 H/1920 M, tepatnya di kota Tegal. Dengan gigih ia memulai dakwahnya, menyebarkan ajaran Rasulullah SAW dan memurnikannya dari berbagai penyimpangan. Perkawinannya dengan putri bangsawan dari Kota Bahari ini, membuat syiar Islamnya meluas, dan hubungannya dengan tokoh-tokoh masyarakat semakin baik. Keluhuran pribadinya membuat namanya semakin bersinar.

Di zaman kemerdekaan, Habib Syekh tidak tinggal diam. Bersama putra pribumi, K.H. Ahmad Sanusi dari Sukabumi, ia berjuang merebut kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1942. Pasca-kemerdekaan, ia aktif dalam partai politik. Ia menduduki jabatan penasihat Partai Islam Masyumi. Dan diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai anggota Panca Tunggal, tim penasihat presiden.

Bagi setiap murid dan siapa saja yang menghadiri pengajian yang digelarnya, ia selalu memberikan sejumlah uang serta kitab yang dibutuhkan secara cuma-cuma. Hasil perjuangan dakwah dan mengajar tampak meluas di kemudian hari, hingga banyak muridnya menjadi ulama yang mumpuni dan mempunyai lembaga pendidikan di berbagai tempat, terutama di daerah-daerah Jawa Barat. Di antaranya, K.H. Abdullah bin Husain, Sukabumi; K.H. Abdullah bin Nuh, Bogor; K.H. Abdullah Mahfudz, Sukabumi; K.H. Muhammad Masthuro, Sukabumi.

Habib Syekh bin Salim Al-Attas wafat pada hari Sabtu tanggal 25 Rajab 1398 Hijriah, bertepatan dengan 1 Juli 1978, dalam usia 86 tahun, dimakamkan keesokan harinya di selatan Masjid Jami Tifar, Kompleks Pondok Pesantren Al-Masturiyah, Tifar, Cisaat, Sukabumi.

AST/Ft. AO

Caption Foto:

1. Makam Habib Syekh bin Salim Al-Attas. Keikhlasannya berdakwah melahirkan ulama yang mumpuni

2. Habib Rizieq mengisahkan keagungan cinta Rasulullah. Limpahan rahmat Allah kepada umat

3. Habib kelahiran Hadramaut yang berjuang merebut kemerdekaan RI. Penasihat Presiden Soekarno

4. Jemaah khidmat mengkuti acara khataman dan haul. Agenda tahunan Al-Masyhad

Haul Tiga Ulama Besar (Haul 5)

Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, Habib Syekh bin Salim Al-Attas, dan K.H. Muhammad Masthuro adalah tiga ulama yang membaktikan diri berjuang mesyiarkan ajaran Islam. Haulnya bertujuan agar kita mengingat kebaikan-kebaikan mereka serta meneladaninya.

Tak seperti biasanya, pagi itu, 3 September 2005, Pondok Pesantren Al-Masthuriyah, yang terletak di Desa Tifar, Cisaat, Sukabumi, sudah ramai oleh puluhan ribu orang berpakaian serba putih. Mereka sengaja datang ke kompleks pesantren tersebut untuk mengikuti haul tiga ulama besar: Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, pengarang Ratib Al-Attas, Habib Syekh bin Salim Al-Attas, dan K.H. Muhammad Masthuro, pendiri Pondok Pesantren Al-Masthuriyah.
Acara peringatan haul yang dimulai sekitar pukul 08.30 ini diawali dengan pembacaan tahlil, tasbih, tahmid, takbir, dan doa yang dipimpin oleh Habib Umar bin Abdullah Al-Attas, sesepuh Majelis Zikir dan Wirid Asmaul Husna, Bendungan Hilir, Jakarta. Setelah itu, dibacakan sekilas manakib Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, disambung dengan Manakib K.H. Muhammad Masthuro.
Dalam uraian hikmah haul, Habib Hamid bin Hud Al-Attas mengatakan, ulama mempunyai peran besar dalam menuju terciptanya masyarakat aman, tenteram, dan penuh kedamaian. “Karena itu, diharapkan kita semua mencintai para ulama karena ilmunya, dan menjalankan apa yang disampaikan sebaik-baiknya. Karena apa yang diajarkan ulama adalah jalan menuju keridaan Allah dan Rasulullah.”
Dalam sebuah hadis, kata Habib Hamid, Rasulullah SAW menjelaskan, jika masyarakat sudah membenci para ulama, dan yang disenangi hanya kehidupan duniawi, Allah akan menghukum mereka dengan empat perkara. Yaitu, musim kemarau yang dahsyat, penguasa yang kejam terhadap rakyat, pengkhianatan dari penguasa, dan kebencian yang luar biasa dari musuh.
Namun begitu, Habib Hamid juga menekankan kepada para alim ulama agar menjadi pengayom masyarakat yang teguh berjalan di atas petunjuk Allah, tidak silau oleh harta dan jabatan. “Jika para ulama teguh berpegang pada risalah Rasulullah SAW, insya Allah masyarakat yang aman, tenteram, dan penuh kedamaian akan tercipta. Dalam sebuah hadis, Baginda Rasulullah mengatakan, bila dalam sebuah negara ada empat macam golongan manusia seperti berikut ini, penduduknya akan aman dari malapetaka. Yaitu, adanya pemimpin yang adil, orang alim yang berjalan atas petunjuk Allah, para guru yang beramar makruf nahi mungkar serta senantiasa mendorong masyarakat untuk menuntut ilmu, dan yang terakhir adalah kaum wanita yang menutup aurat.”
Sementara itu, Habib Syekh bin Ali Al-Jufry menyampaikan kepada jemaah pentingnya memperingati haul. “Dalam haul, kita akan menyebut kebaikan orang yang sudah meninggal, apalagi kalau mereka adalah guru-guru kita. Supaya kita dapat mengikuti keteladanan yang mereka ajarkan.”
Pemimpin Pondok Pesantren Al-Khairaat, Condet, Jakarta Timur, itu juga mengajak para jemaah meneladani perjuangan Rasulullah SAW dan para generasi penerus untuk menyebarkan ilmu. “Yang paling penting adalah meniru keteladanan Rasulullah yang senantiasa memohon ampun kepada Allah SWT. Walaupun maksum, terjaga dari maksiat, beliau bersumpah, ‘Demi Allah, sesungguhnnya aku setiap hari beristigfar dan bertobat kepada Allah seratus kali’.”
Nabi SAW sendiri, yang tidak punya dosa, beristigfar seratus kali sehari. Tetapi kita, yang tidak maksum, belum tentu sempat beristigfar setiap hari. “Makanya di antara umat Islam banyak yang tertimpa bencana, karena cara hidupnya tidak benar.”
Habib Syekh Ali Al-Jufry kemudian menceritakan ketawadukan Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, yang patut ditiru umat. “Suatu hari Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas pergi dari Huraidhah, Hadramaut. Saat hendak pergi, ia bertemu Habib Abdullah Al-Hadad, pengarang Ratib Al-Haddad, yang memita ijazahnya. Habib Umar berkata, ‘Saya akan memberi ijazah, tetapi ada syaratnya. Yakni, Anda mengijazahkan saya juga’,” kata Habib Umar.
Ketika itu, usia Habib Umar jauh lebih tua dari Habib Abdullah Al-Hadad. Ia sudah dikenal sebagai wali qutub, tingkatan wali tertinggi, yang mempunyai karamah luar biasa. Namun, ia tetap menghargai yang muda.
“Ini adalah pelajaran untuk kita semua. Singkirkan kecintaan kita kepada kedudukan. Buang jauh-jauh! Para ulama itu mengajar kita semua dengan lillahi ta’ala (tanpa pamrih),” kata Habib Syekh Ali Al-Jufry.
Cerita lain yang dituturkan oleh Habib Syekh Ali Al-Jufry adalah kebaikan Habib Syekh bin Salim Al-Attas, cucu kesepuluh Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas. “Ulama lain kalau mengajar dapat uang, tapi Habib Syekh kalau mengajar justru keluar uang. Ajengan-ajengan dari mana-mana yang datang mengaji, pulangnya diberi ongkos oleh Habib Syekh.”
Kisah terakhir yang disampaikan kepada jemaah adalah kisah K.H. Muhammad Masthuro. Kisah sang pendiri Pondok Pesantren Al-Masthuriyah yang juga murid Habib Syekh bin Salim Al-Attas tersebut diceritakan oleh putranya, K.H. E. Fakhrudin Masthuro.
K.H. Muhammad Masthuro lahir di Kampung Tifar pada 1901. Ia adalah putra dari K.H. Ansol. Sebenarnya, nama ayahnya itu adalah Asror. Karena menjadi buronan kompeni Belanda, ia mengganti nama menjadi Ansol, untuk menghilangkan jejak. Nenek moyang K.H. Masthuro adalah pejuang yang gigih dalam menentang penjajah, bahkan kalau dilacak lebih jauh ia masih keturunan Maulana Syarif Hidayatullah atau lebih terkenal dengan julukan Sunan Gunungjati, salah seorang Walisanga yang makamnya di Cirebon.
Masthuro kecil belajar mengaji pada sang bapak. Setelah tiga belas tahun belajar di rumah, ia meninggalkan kampung halamannya untuk mendalami ilmu agama kepada K.H. Qurtubi, K.H. Ghozali, K.H. Asy’ari, dan sekolah di Ahmadiyah, yang didirikan oleh H. Ahmad di Sukabumi.
Setelah menyantri 13 tahun di berbagai pesantren di Jawa Barat, ia mendirikan pesantren pada tanggal 9 Rabiulakhir 1338 H/1 Januari 1920 M, dengan nama Masthuriyah, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal Pesantren Tipar. Setelah 48 tahun mengabdi kepada masyarakat dengan membina para santri, K.H. Masthuro wafat pada 1968.
Saat jarum jam menunjuk angka 12, acara haul tiga orang ulama besar itu ditutup dengan doa oleh Habib Abdul Rahman bin Alwi Al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta. Jemaah pun dijamu dengan hidangan nasi kebuli, kemudian salat Zuhur berjemaah di Masjid Jami’ Al-Masthuriyah.

AST/Ft. AO

Kepsyen Foto:

1. Habib Syekh Ali Al-Jufry. Mengajak jemaah meneladani para alim ulama
2. Habib Hamid bin Hud Al-Attas. Ulama berperan menciptakan masyarakat yang aman dan tenteram
3. Habib Umar bin Abdullah Al-Attas memimpin doa tahlil. Khidmat mengikuti haul
4. K.H. E. Fakhruddin Masthuro. Mengikuti jejak sang ayah
5. Dihadiri puluhan ribu jemaah. Mencintai ulama karena ilmunya

21.3.06

Habib Salim bin Jindan (Manakib)

Ulama dan Pejuang Kemerdekaan

Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.

Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa -- menurut keyakinan Habib -- belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim oleh AST. Ft: AO & AST.

Pelajaran Hakikat Rasulullah (Mutiara Rasul 7)

Rasulullah SAW terlambat hadir di masjid untuk mengimami shalat Subuh, karena bermimpi mendapat pelajaran hakikat dari Alah SWT.

Sejak adzan Subuh berkumandang sampai menjelang fajar, Rasulullah SAW belum muncul di masjid. Para sahabat sudah gelisah. Beberapa sahabat diutus menemui Rasulullah SAW di rumahnya. Namun yang lain mencegah, sebab mereka yakin Rasulullah SAW akan hadir. Maka mereka pun menunggu Rasulullah SAW sembari membaca Al-Quran.
Tak lama kemudian, Rasulullah SAW masuk ke masjid dan memerintahkan salah seorang sahabat membaca iqamat. Kemudian beliau menjadi imam dan mempercepat shalatnya. Seusai salam, beliau membaca doa dengan suara keras. Suaranya yang jernih penuh wibawa menggetarkan para jemaah. Lalu beliau bersabda, ”Tetaplah kalian berada di shaf masing-masing.”
Rasulullah SAW lalu menghadap ke arah jamaah dengan pandangan yang sejuk. Wajahnya yang putih bersinar menandakan suasana hati yang sedang gembira. Matanya yang indah dan tajam menatap jamaah satu per satu. Para jamaah tertunduk, tak berani menatap wajah Rasulullah SAW yang agung.
Sejurus kemudian beliau bersabda, ”Aku akan memberi tahu kalian apa yang membuatku terlambat datang. Semalam aku bangun mengambil air wudhu, lalu mendirikan shalat. Dalam shalatku aku tertidur karena kantuk yang amat berat. Ternyata aku bermimpi bersama Allah SWT dalam rupa yang sangat gemilang.”
Setelah diam sejurus, beliau meneruskan sabdanya, “Dia berfirman, ‘Wahai Muhammad!’ Aku menjawab, ‘Labbaika ya Rabbi’.”
”Mengapa para malaikat berselisih?”
“Hamba tidak tahu.”
Lalu Rasululah SAW melanjutkan ceritanya, “Allah SWT bertanya sampai tiga kali. Kulihat Dia meletakkan telapak-Nya di atas bahuku, hingga dapat kurasakan dingin jari-jari-Nya di dadaku. Segala sesuatu tampak jelas di depanku, dan aku mengetahuinya. Lalu Dia berfirman lagi, ‘Wahai Muhammad...’.”
”Labbaika ya Rabbi.”
“Tentang apa para malaikat berselisih?”
”Tentang penebus-penebus dosa.”
”Apa penebus dosa-dosa itu?”
”Langkah menuju kebaikan, duduk di masjid setelah shalat, mengguyurkan air wudhu pada saat-saat tidak disukai.”
”Tentang apa mereka berselisih?”
”Tentang memberi makan, ucapan yang lemah lembut, shalat malam ketika manusia tidur nyenyak.”
”Mintalah!”
”Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu taufik untuk mengerjakan hal-hal yang baik, meninggalkan yang munkar, mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku jika Engkau hendak menimpakan cobaan.”
Setelah itu Rasulullah SAW membaca sebuah doa pendek yang semalam dipanjatkan kepada Allah SWT, ”Allahuma inni as-aluka khubaka wa hubba man yukhibbuka wa kulla ‘amalin yuqarribuni illa khubbika.” (Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kecintaan-Mu dan kecintaan orang yang mencintai-Mu, serta kecintaan kepada amal yang mendekatkan kepada kecintaan kepada-Mu).
Kemudian, dengan suara sangat pelan – sementara matanya yang mulia berkaca-kaca – Rasulullah SAW mengakhiri sabdanya, ”Ini adalah pelajaran hakikat. Maka pelajarilah!”
AST

Ketika ditanya tentang iman, Rasulullah SAW bersabda, “Iman adalah kesabaran dan suka memaafkan.” (HR Ahmad, Thabrani, dan Ibnu Hiban)

HabibAbubakarbinMuhammadAssegaf (Haul 4)

Haul Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf ke-50

Semarak dengan Ukhuwah Islamiyah

Haul Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf ke-51 kembali diperingati dengan acara mengkhatamkan kitab Ihya Ulumuddin. Tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Peringatan Haul Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf ke-50 berlangsung pada 16-17 Dzulhijah 1427 H (16-17/1), memancarkan kesemarakan ukhuwah Islamiyah. Sekitar lima puluh ribu jamaah datang untuk memperingati acara haul yang berada di Jln. K.H. Zuber Kabupaten Gresik. Mereka tidak hanya datang dari Jawa Timur, bahkan dari berbagai pelosok tanah air. Jakarta, Semarang, Surakarta, Banjarmasin, Samarinda, Palembang, dan lain-lain.
Sebelum puncak pelaksanaan haul, sore hari sebelumnya, Senin (16/1), dilaksanakan acara Rauhah, pembukaan, dengan acara khataman kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Al-Ghazali. Acara khataman kitab karya Hujjatul Islam ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu dan mentradisi hingga saat ini.
Satu per satu jamaah yang duduk di bagian depan majelis membaca kitab tasawuf itu dengan hikmat. Bila ada kesalahan, Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad Assegaf dengan sabar dan telaten membetulkan setiap kesalahan bacaaan para jamaah. Acara ini berlangsung selepas shalat Ashar sampai pukul 19.00.
Setelah acara santap malam dengan hidangan nasi kebuli, jamaah kebanyakan telah pulang ke penginapan atau masjid terdekat, padahal pada jam sembilan malam acara dilanjutkan dengan acara pembacaan maulid Diba’. Praktis acara yang biasa disebut Marhaban ini hanya diikuti oleh sahibulbait dan jamaah yang ada di sekitar kompleks majelis haul. Acara ini diiringi kelompok rebana Al-Muhibbin dari Tulungagung di bawah pimpinan K.H. Nawawi Muhammad, dan berakhir tepat pukul 23.00.
Menginjak hari Selasa (17/1), selepas shalat Subuh, yang dipimpin Ali bin Alwi Al-Habsyi dari Solo, acara dilanjutkan dengan dzikir oleh Habib Alwi Al Habsy. Setelah itu dibacakan pesan-pesan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dalam bahasa Arab oleh Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Habib Abubakar bin Hasan Assegaf dari Pasuruan. Lalu, para habib membaca maulid Simthud Durar secara bergiliran. Begitu acara berakhir, jamaah pun kembali dijamu dengan sarapan pagi berupa nasi kebuli.
Tepat pukul 09.00 acara dilanjutkan dengan puncak acara haul, yakni ziarah dan tausyiah di kompleks makam Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Para habib yang datang, oleh jamaah kemudian diarak dengan diiringi rebana Al-Muhibbin dari Tulungagung menuju kompleks makam. Setelah berjalan kaki sekitar lima ratus meter dari Jln. K.H. Zuber, sampailah mereka ke kompleks makam yang ada di sisi kanan depan Masjid Jami di Alun-alun Gresik.
Pada pukul 10 tepat acara pembukaan pun dimulai dengan pembacaan surah Al-Fatihah,Ya-Sin, dan tahlil yang dipimpin oleh Habib Hasan bin Muhammad bin Hud Assegaf. Selepas dibacakan manakib Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf oleh Abdulkadir bin Ali bin Ahmad Assegaf yang langsung diterjemahkan oleh Habib Anis bin Muhammad bin Syekh Assegaf, acara berlanjut dengan mauizah hasanah. Tampil sebagai pembicara pertama Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus, pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang, yang banyak menyoroti persoalan moral bangsa.
Sementara Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan dalam tausyiahnya mengajak jamaah untuk meneladani perjalanan hidup Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dan para ulama salaf. ”Kita sibuk dengan dunia kita, hingga kita lupa dengan perjalanan hidup para ulama salaf yang shaleh, termasuk Habib Abubakar, yang perjalanannya semua hanya untuk Allah SWT serta berusaha memberikan manfaat lahir dan batin bagi umat manusia,” kata Habib Jindan, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyyah, Ciledug, Tangerang.
Sedangkan Habib Thohir bin Abdullah Alkaf dari Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sebagai pembicara terakhir menyampaikan pentingnya meneladani Rasulullah SAW dan para ulama salaf. Dengan suara bariton khas yang lantang dan penuh semangat, Habib Thohir menyatakan, ”Berusahalah untuk menyenangkan Habibuna Muhammad SAW. Koreksilah, sebab waktu kita tinggal sedikit, mari kita tingkatkan ibadah kita kepada Allah SWT!”
Acara ditutup dengan doa Wahbah, yang dipimpin Habib Muhammad bin Syekh Assegaf, dan doa penutup oleh Habib Husein bin Abdullah Assegaf. Selepas acara shalat Dzuhur berjamaah di Masjid Jami Gresik, jamaah kemudian kembali ke tempat acara haul untuk menyantap hidangan nasi kebuli yang telah disediakan sahibulbait.

Pembacaan Manakib
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf lahir di kota Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H/1865 M. Semenjak kecil dia sudah ditinggal ayahnya, yang wafat di kota Gresik. Pada tahun 1293 H/1873 M, Habib Abubakar berangkat ke Hadramaut karena memenuhi permintaan neneknya, Syaikhah Fatimah binti Abdullah ‘Allan.
Dia berangkat ke sana ditemani Al-Mukarram Muhammad Bazmul. Sesampainya di sana, dia disambut paman, sekaligus juga gurunya, Abdullah bin Umar Assegaf, beserta keluarganya. Kemudian ia tinggal di kediaman Habib Syekh bin Umar bin Segaf Assegaf.
Di kota Seiwun dia belajar ilmu fiqih dan tasawuf kepada pamannya, Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Hiduplah Habib Abubakar di bawah bimbingan gurunya itu. Bahkan dia dibiasakan oleh gurunya untuk bangun malam dan shalat Tahajjud meskipun masih kecil. Selain berguru kepada pamannya, ia juga menuntut ilmu dari para ulama besar yang ada di sana. Seperti Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi, Habib Muhammad bin Ali Assegaf, Habib Idrus bin Umar Alhabsyi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Imam Abdurrahman bin Muhammad, Almasyhur (mufti Hadramaut saat itu), Habib Syekh bin Idrus Alaydrus, Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi. Sungguh telah terlihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abubakar, kelak akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan tinggi.
Pada tahun 1302 H/1882 M, ia pun akhirnya kembali ke Pulau Jawa bersama Habib Alwi bin Segaf Assegaf, dan menuju kota Besuki. Di kota inilah ia mulai mensyiarkan dakwah Islamiyah di kalangan masyarakat. Kemudian pada tahun 1305 H/1885 M, di saat usianya masih 20 tahun, ia pindah menuju kota Gresik.
Di Pulau Jawa, ia pun masih aktif menuntut ilmu dari para ulama, di antaranya Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Bogor), Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (wafat di Jombang), Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas (Pekalongan), Habib Al-Qutub Abubakar bin Umar Bin Yahya (Surabaya), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor (wafat di Surabaya).
Semenjak itu, Habib Abubakar mulai membuka majlis taklim dan dzikir di kediamannya di kota Gresik. Masyarakat pun menyambut dakwahnya dengan begitu antusias. Dalam majlisnya, ia setidaknya telah mengkhatamkan kitab Ihya’ Ulumuddin sebanyak 40 kali. Dan merupakan kebiasaan, setiap kali dikhatamkannya pembacaan kitab tersebut, ia selalu mengundang jamuan kepada masyarakat luas.
Praktis majlis taklimnya senantiasa penuh dengan mudzakarah dan irsyad (diskusi dan petunjuk) menuju jalan para pendahulunya. Majlisnya tak pernah kosong dari pembacaan kitab-kitab mereka. Itulah yang ia lakukan semasa hayatnya, mengajak manusia kepada kebesaran Ilahi. Waktu demi waktu berganti, sampai kepada suatu waktu ketika Allah memanggilnya. Di saat terakhir akhir hayatnya, ia melakukan puasa selama 15 hari, dan setelah itu ia pun menghadap ke haribaan Ilahi. Dia wafat pada tahun 1376 H/1956 M pada usia 91 tahun. Jasadnya kemudian disemayamkan di sebelah Masjid Jami, Gresik.
Walaupun Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf sudah berpulang ke rahmatullah, kalam-kalamnya masih terdengar dan membekas di hati para pendengarnya. Akhlak-akhlaknya masih menggoreskan kesan mendalam di mata orang-orang yang melihatnya dan mengukir keindahan iman di kehidupan para pencintanya.
AST/Ft. AST


Foto: Komp_SBY\05Gresik

1. Khataman kitab Ihya’ Ulumuddin. Meneruskan tradisi Habib Abubakar
2. Makan nasi kebuli. Sampai tiga kali
3. Pembacaan maulid Simthud Durar. Penuh hikmah
4. Arak-arakan menuju makam. Mengiring para habib
5. Pembacaan manakib dan tausyiah. Meneladani perjalanan hidup Nabi
6. Jamaah di acara haul. Dihadiri sekitar 50.000 jamaah

Habib Sholeh bin Abdullah Assegaff (Haul 3)

Mengenang Guru yang Shalih

Habib Sholeh adalah seorang pengajar yang mumpuni. Seorang guru yang shalih dan menjadi teladan bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya.

Mushalla Al-Barakah di Kebon Syarif, Jalan Bahagia, Cirebon, telah dipadati jamaah dari berbagai wilayah sekitarnya, Sabtu pagi (18/2). Mereka datang untuk memperingati haul ke-5 Ustadz Saleh, sebutan lain untuk Habib Sholeh, seorang ulama yang di masa hidupnya dikenal sebagai tokoh karismatik dan memiliki pengaruh yang sangat besar di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Tepat pukul 09.00, acara dimulai dengan pembacaan tahlil oleh Habib Abdurrahman Al-Kaff, yang kemudian disambung dengan pembacaan maulid Simthud Durar. Habib yang hadir dan turut membaca kitab maulid karya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi itu, antara lain, Habib Muhammad bin Syekh bin Yahya, Habib Abdullah Fauzi Assegaff (putra sulung Habib Sholeh), Habib Utsman bin Yahya (saudara seibu Habib Sholeh), Habib Ahmad bin Yahya.
Mengawali acara haul, Habib Abdullah Fauzi, shahibul haul, menyampaikan terima kasih atas kehadiran jamaah pada acara haul yang sebagian datang dari Jakarta. Habib Idrus bin Hasyim Alatas dari Jakarta tampil memberi mau’izhah hasanah. Ia menyampaikan pentingnya keutamaan mendoakan orang-orang yang sudah meninggal. ”Doa yang ditujukan untuk orang meninggal (doa untuk arwah) pasti sampai, sebagaimana firman-Nya, ’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (QS Al-Hasyr: 10).
Dalam kesempatan itu Habib Idrus juga menjelaskan pentingnya memperingati haul. “Memperingati haul ini mengingatkan kita kembali kepada sosok seorang pendidik yang ikhlas. Habib Sholeh telah menciptakan dan meninggalkan sesuatu yang sangat bermanfaat, dimulai sedikit demi sedikit dari madrasah yang diasuhnya. Mudah-mudahan madrasah yang ia tinggalkan ini tidak dibisniskan. Sebab sekarang pendidikan sudah dibisniskan,” katanya.
Sejak muda hingga akhir hayatnya, Habib Sholeh memang dikenal sebagai seorang pendidik dalam arti yang sesungguhnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berbagai aktivitas mendidik masyarakat, baik melalui madrasah yang dipimpinnya, majelis-majelis taklim yang diasuhnya, maupun dakwah-dakwah yang disampaikannya di berbagai tempat – baik di wilayah Cirebon dan sekitarnya maupun di daerah-daerah lain. Melalui ceramahnya yang berlangsung satu jam itu, Habib Idrus juga mengajak jamaah untuk kembali menggiatkan shalat Subuh berjamaah.
Haul kelima Habib Sholeh ini ditutup dengan doa oleh Habib Muhammad bin Syekh bin Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Jagasatru yang juga ketua MUI Kodya Cirebon. Selesai acara, jamaah dijamu dengan hidangan nasi kebuli sebagaimana kelaziman pada acara-acara yang diadakan di tempat habaib.

Hidup Sederhana
Habib Sholeh bin Abdullah Assegaff dilahirkan pada tahun 1925 di Kampung Kebon Syarief, kota Cirebon. Ia putra pasangan Sayyid Abdullah bin Abdurrahman Assegaff dengan Hj. Siti Aminah binti H. Ibrahim. Ayahandanya wafat ketika ia berusia sekitar lima tahun.
Masyarakat, khususnya yang berada di wilayah III Cirebon dan Jawa Barat pada umumnya, lebih mengenalnya dengan panggilan Ustadz Saleh daripada Habib Sholeh bin Abdullah Assegaff. Sebab, sejak berusia 16 tahun ia menjadi guru di Madrasah Diniyah Al-Islamiyah Darul Hikam, sebuah madrasah atau sekolah agama resmi yang pertama sekali didirikan di kota Cirebon. Sekolah ini didirikan tahun 1910 oleh tokoh-tokoh agama dari kalangan keturunan Arab, khususnya kalangan Alawiyin.
Sejak kecil Ustadz Saleh hidup penuh dengan kesederhanaan. Pada usia 12 tahun ia menyelesaikan sekolah Madrasah Diniyah Ibtidaiyah. Setelah itu bermaksud melanjutkan sekolah ke Jakarta atau Bandung, tetapi tak jadi diteruskan karena tak tega harus tinggal terlalu jauh dengan ibundanya yang hidup seorang diri. Akhirnya ia memutuskan belajar di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Ia sempat juga menimba ilmu di berbagai pondok pesantren sekitar Babakan (Palimanan, Kempek, Balerante, dan lain-lain) sambil muthala’ah (mengkaji ilmu sendiri) dengan tekun.
Setiap hari Jumat ia pulang ke Cirebon untuk menjenguk sang ibu dan menyiapkan bekal seadanya. Tetapi ini tidak berlangsung lama dan akhirnya ia memutuskan untuk tinggal bersama ibunya di rumah. Di samping itu, ia juga membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kakeknya, Habib Abdurrahman bin Muhammad Assegaff, dan pamannya, Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaff.
Sejak muda Ustadz Saleh telah ikut dalam majelis-majelis rauhah bersama orang-orang tua. Dari berbagai majelis taklim itulah ia banyak belajar bahasa Arab. Jadi, di samping belajar di sekolah dan belajar sendiri, ia banyak menimba ilmu bahasa Arab dari pergaulan. Kemampuan bahasa Arabnya yang sangat bagus membuatnya tidak minder bergaul dengan orang-orang tua. Ia pun menguasai bahasa Jawa dan Sunda dengan bagus. Lebih dari itu, penuturan bahasa Indonesianya juga baik, tidak terpengaruh logat dan dialek bahasa daerah.
Di madrasah tempatnya mengabdi, Madrasah Darul Hikam, ia terutama mengajar pelajaran-pelajaran bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, lughah, insya’, imla’. Selain itu juga pelajaran sejarah, baik sejarah Islam maupun sejarah umum, dan juga pelajaran akhlak yang diambil dari kisah-kisah para nabi, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan lain-lain. Bahkan, ia juga mengajarkan lagu-lagu Islami dan lagu-lagu yang bernuansa perjuangan. Untuk keperluan mengajar, ia memiliki kebiasaan yang bagus, yakni selalu membuat diktat yang ia tulis sendiri, baik dengan tulisan tangan maupun ketikan.
Ustadz Saleh dikenal sebagai seorang yang tekun mengajar. Pagi hari ia mengajar di Darul Hikam, sedangkan siangnya di Madrasah Muallimin. Di samping itu juga mengajar di SMP Muhammadiyah, yang tak jauh dari Darul Hikam.

Gemar Membaca
Semasa muda, Ustadz Saleh berdagang batik bersama kawannya, Ustadz Hasan Bayasut. Ia pun pernah bekerja menulis Al-Quran untuk Percetakan Al-Ma’arif, Bandung, dan menulis kitab Maulid Azab. Hiasan-hiasan khat (kaligrafi) Arab juga sering dibuatnya, karena ia memang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menulis tulisan Arab dengan berbagai gaya tulisan.
Ustadz Saleh juga dikenal sangat gemar membaca. Ia tidak hanya senang membaca kitab-kitab agama, baik dalam bahasa Arab maupun yang lainnya, melainkan juga buku-buku pengetahuan umum dalam berbagai disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan agama.
Di sela-sela tumpukan kitabnya ditemukan berbagai majalah, terutama majalah Islam. Meskipun ia tidak pernah duduk di bangku kuliah, bahkan sekolah menengah pun tidak, salah satu bacaannya di waktu muda, di tahun lima puluhan, adalah majalah Media, majalah yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. Beberapa nomor majalah ini edisi tahun 1957 dan 1958 masih tersimpan rapi. Pada kulit mukanya dan halaman pertama terdapat nama dan tanda tangannya disertai tanggal diterimanya majalah-majalah itu.
Ustadz Saleh juga mengajar di IAIN Cirebon. Bahkan, ia termasuk yang mempelopori pendiriannya dan terlibat dalam proses pengalihan status dari Fakultas Tarbiyah UII Cirebon menjadi IAIN. Di sini ia mengajar sebagai dosen bahasa Arab dan sejarah Islam. Ia diangkat menjadi dosen IAIN Cirebon karena penguasaan bahasa Arabnya yang baik, dan juga pengetahuan sejarah Islam yang luas.
Habib Sholeh wafat pada 13 Muharram 1420 H/2000 M dan dimakamkan di kota Cirebon.
AY, AST
Caption:
1. Lead Cover
2. Pembacaan maulid Simthud Durar. Mengharap berkah haul
3. Jamaah menyimak tausiyah. Meneladani perjuangan Habib Sholeh
4. Ustadz Saleh. Pakar bahasa Arab dan sejarah Islam
5. Bersama tamu-tamunya. Pelukis kaligrafi

Habib Ahmad bin Abdullah bin Hasan Alattas (Haul )

Penggagas Majelis Zikir Asmaul Husna

Selama hidupnya, Habib Ahmad berjuang keras agar masyarakat yang berada di lingkungannya meninggalkan perbuatan syirik serta kemungkaran. Majelis zikir yang digagasnya kini berkembang hingga mempunyai cabang sekitar 1.000 majelis.

Bila maut telah tiba, cinta, nama, harta, semua akan mengucapkan selamat jalan kepada pemiliknya. Semua kembali ke asalnya, tingallah kenangan yang membekas dan terus hidup di hati manusia yang ditinggalkan. Begitu pula dengan kisah hidup almarhum Habib Ahmad bin Abdullah bin Hasan Alattas. Walau sudah 11 tahun telah pulang ke rahmatullah, budi baiknya selalu dikenang dan menjadi teladan anak-cucu serta jemaah yang pernah dibimbingnya menuju jalan Allah.
Pada Ahad, 11 Juli yang lalu, Majelis Zikir Asmaul Husna pimpinan Habib Idrus bin Bagir Alattas menggelar haul Habib Ahmad bin Abdullah bin Hasan Alattas ke-11. Ribuan jemaah dari berbagai pelosok tanah air berjubel memadati lokasi peringatan haul yang berada di belakang pasar Bendungan Hilir, Jakarta. Bahkan ada juga yang datang dari mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, dan Hadramaut. Semua hadir untuk mengingat perjuangan Habib Ahmad dalam mensyiarkan ajaran Rasulullah SAW.
Haul yang dimulai tepat pukul 10 pagi ini berlangsung khidmat. Seusai pembacaan Ratib Alattas secara berjemaah, tampak di atas panggung Habib Isa bin Ahmad Alattas memimpin zikir Asmaul Husna, dilanjutkan dengan pembacaan Surah Yasin dipimpin oleh Ustaz Fauzan, zikir tahlil oleh Habib Hud bin Bagir Alattas, dan ditutup dengan zikir Asmaul Husna kembali oleh Habib Umar bin Abdullah Alattas.
Tepat pukul 11 siang, Imam Afifi, imam salah satu masjid di Singapura, dalam ceramahnya mengisahkan peranan dakwah Habib Ahmad saat berada di Negeri Singa tersebut, sekitar 12 tahun lalu. “Almarhum sempat mengijazahkan Asmaul Husna. Sampai sekarang wirid tersebut masih menjadi pegangan masyarakat dalam beribadah,” katanya.
Imam Afifi melanjutkan ceritanya, saat ia sakit parah, Habib Ahmad sengaja datang ke Singapura untuk mendoakan dirinya. Imam Afifi kemudian sembuh total. “Insya Allah, saya tidak akan melupakan budi baik Habib Ahmad yang datang ke Singapura khusus untuk mendoakan kesembuhan saya, hingga saya sembuh dan sehat hingga sekarang,” katanya lagi.
Sebelum pembicara kedua tampil, Habib Muhsin bin Umar Alattas, yang terkenal dengan panggilan Muhsin Alattas, melagukan kasidah dari kitab maulid Simthud Durar. Kemudian, Habib Syekh bin Ali Al-Jufri, yang mendapat kesempatan kedua, menyampaikan ceramahnya tentang keutamaan mengenang kebaikan-kebaikan orang yang sudah wafat.
“Terutama orang-orang yang sudah berjasa membimbing kita ke jalan yang baik, seperti Habib Ahmad. Beliau senantiasa mengajak jemaah untuk mengamalkan wirid-wirid Asmaul Husna,” katanya.
Menurutnya, Habib Ahmad adalah sosok ulama yang sangat mencintai Allah, tawaduk, dan sederhana dalam kesehariannya. “Kebiasaan semacam inilah yang paling gampang kita tiru,” katanya lagi seraya mengajak jemaah untuk membersihkan hati agar menjadi orang saleh.
Tak kalah menariknya tausiah Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, yang juga mengajak jemaah untuk meneladani perjuangan orang-orang saleh, termasuk Habib Ahmad.
“Aulia Allah adalah orang-orang yang memahami hakikat penciptaan manusia di muka bumi. Bagi mereka, Allah adalah segalanya. Sehingga Allah memuliakan mereka dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, dan menjadikan mereka sebagai wali-Nya,” kata Habib Jindan, pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, ini.
Perjalanan syiar Islam Habib Ahmad meluas, dimulai sejak tahun 1958. Ia melihat, masyarakat di sekitarnya cenderung kepada perbuatan syirik dan kemungkaran, dan menjadi pemandangan sehari-hari.
Sebelum berdakwah luas, terlebih dahulu ia mengajak sanak dan kerabatnya untuk tetap teguh berada di jalan Allah, menjauhi larangan-Nya, dan menjalankan semua perintah-Nya. Lambat laun, syiar Islam yang disemaikan Habib Ahmad tumbuh dan berkembang. Masyarakat luas mulai tertarik dengan cara berdakwah Habib Ahmad yang santun dan penuh kasih. Zikir Asmaul Husna yang diajarkannya pun dirasakan jemaah sangat menyentuh kalbu.
Setiap kali ia menggelar pengajian di suatu tempat, jemaah yang datang semakin bertambah. Sehingga banyak usulan agar pengajian Habib Ahmad ditetapkan di satu tempat, tidak berpindah-pindah, yakni di kediamannya sendiri. Maka, sejak 1978, rumah Habib Ahmad menjadi tempat taklim tetap jemaah.
Keberadaan Majelis Zikir Asmaul Husna berkembang dari waktu ke waktu. Karena jemaah yang datang tidak hanya dari sekitar Bendungan Hilir, Jakarta, tapi juga Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Ambon, hingga ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. Maka, pada tahun 1984, ia membuka cabang di daerah-daerah tersebut. Hingga saat ini jumlah Majelis Zikir Asmaul Husna tercatat mencapai 1.000 majelis.
Jasad Habib Ahmad kini terbaring di kompleks pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta. Sebelum haul digelar, malamnya, sekitar pukul 9, jemaah berziarah ke makamnya. Peringatan haul ini bukan sekadar peringatan biasa. Karena diharapkan jemaah yang hadir meneladani perjuangan penggagas Majelis Zikir Asmaul Husna ini dalam menegakkan kalimat tauhid.
AST/Ft. AST

Kepsyen foto:
01. Tausiah dari Habib Jindan bin Novel. Meneladani kesalehan Habib Ahmad
02. Puncak acara haul. Dihadiri ribuan jemaah, dalam dan luar negeri
03. Habib Syekh Al-Jufri mengisahkan keteladanan Habib Ahmad. Pentingnya menjaga kebersihan hati